MUSSAGAR HUSEN, bisa disebut salah satu praktisi akupreser dan pengobatan alternatif di Lombok yang mumpuni. Lebih dari dua puluh tahun menggeluti pengobatan alternatif, tapi justru tidak betah membuka klinik pengobatan. “Saya ingin melatih masyarakat tentang pengobatan alternatif, agar bisa mandiri mengatasi masalah kesehatannya,” katanya.
Dibesarkan di lingkungan pesantren, pria kelahiran 1968 asal Desa Pegataman, Singaraja, Bali ini punya pandangan sendiri terkait penghobatan. Kalau di rumah sakit, atau di ruang praktik dokter, makin banyak pasien datang berarti para dokter gagal menyehatkan masyarakat.
“Para dokter atau praktisi pengobatan alternatif seharusnya mendorong masyarakat bisa mengobati dirinya sendiri,” kata Mussagar ketika bicara dengan Lombok Journal.Com, hari Selasa (3/5).
Mengorganisir Pemulung
Tahun 1989 Mussagar tamat SMA di lingkungan pesantren Al Sidiqi Putra di Jember, jawa Timur yang dipimpin Kyai Ahmad Sidiq (almarhum, yang pernah menjadi Rois A’am PBNU). Lepas dari Al Sidiqi langkah kakinya membawanya ke pesantren Pabelan , Muntilan, Jawa Tengah, belajar di Institut Pengembangan Masyarakat.
Di tempat inilah ia mendapat pengaruh yang mewarnai cara berpikirnya di kemudian hari. Mussagar banyak belajar dari tokoh-tokoh yang saat itu banyak dikenal masyarakat luas. Seperti Dawam Raharjo, Gus Dur, Cak Nur (Nurcholis Majid) atau Emha Ainn Najib. Dari Cak Nur ia belajar tentang Islam transformatif, sedang Emha Ainun Najib mengajarinya ‘teater rakyat’ yang berorientasi pada penyadaran masyarakat.
“Dari Pabelan saya mulai belajar memahami konsep-konsep pengembangan masyarakat,” tutur Mussagar.
Sekitar tahun 1990-an, usai belajar di Pabelan, Mussagar hijrah ke Jakarta bergabung dengan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Di tempat ini ia belajar banyak dari tokoh NU progresif, Masdar Mashudi. Ia mulai langsung terjun dalam aktivitas pengembangan masyarakat.
Di kampung Awi Luar, Cibeureum, Jawa Barat, Mussagar mengoranisir pedagang mendong (tikar). Bukan hanya sebagai fasilitator dalam diskusi, tapi ia langsung ikut bergabung dengan para pedagang tikar. Beberapa tahun ia bergelut dengan dunia pengrajin tikar.
“Saya sering mengangkut bertruk-truk tikar bersama pedagang, memasarkan tikar ke Jakarta. Waktu itu saya hapal hampir semua gang di Jakarta,” cerita Mussagar.
Setelah beberapa tahun di Jawa Barat, ia kembali ke P3M di Jakarta dan harus terjum kembali mengorganisir masyarakat. Kali ini ia mengorganisir para pemulung di Cakung, Cilincing. Di komunitas baru ini ia sempat membuka lapak sampah bersama para pemulung.
Di komunitas pemulung ini Musagar bisa belajar dari Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo) yang saat itu juga aktif mengorganisir pemulung, antara lain mempelopori terbentuknya koperasi para pemulung. Tapi kegiatan bersama pemulung itu tidak berlanjut, karena pembuangan sampah dipindahkan ke Bantar Gebang.
Kesehatan Mandiri
Tahun 1994, Mussagar mulai hidup di Lombok. Setelah beberapa saat bergabung dengan LSM di Lombok, ia mendapat kesempatan belajar pengobatan alternatif di Yayasan Sidowayah, Jakarta Selatan. Mussagar mengaku beruntung bertemu dengan Putu Oka Sukantha, pakar akupresur dan pengobatan herbal.
“Dari pak Putu, saya pertama kali mulai mengenal pemijatan simpul-simpul syaraf, dan membuat obat-obatan herbal,” kata Mussagar.
Di Sidowayah, Mussagar belajar pengobatan alternatif (pijat dan ramuan herbal) hingga tingkat trampil. Bagi Mussagar yang mempnyai pengalaman dalam pendampingan masyarakat, cocok denngan konsep kesehatan dari Sidowayah yang benar-benar berorientasi ke masyarakat. Konsep yang mendasarinya, masyarakat harus bisa sehat dengan keampuannya sendiri.
“Masyarakat harus dibekali pengetahuan kesehatan, agar mereka bisa mengaktualisasikan kemampuan dirinya, setidaknya bisa mengobati diri sendiri,” kata Mussagar.
Konsep kesehatan masyarakat itu yang hingga kini menjadi sandaran Mussagar dalam praktik pengobatannya. Memang sempat ia membuka klinik pengobaan bersama beberapa temannya, tapi ia mengaku tak betah. Menurutnya, makin banyak pasien yang datang berarti mengindikasikan kegagalan membuat masyarakat mandiri mengurus kesehatannya.
Karena itu, Mussagar saat ini memilih untuk melatih kelompok di masyarakat, membekali mereka mengerti cara melakukan akupresur dan membuat ramuan herbal. Ia pernah bekerja sama dengan PT Newmont Nusa Tenggara melalui Comdev (community development), untuk melatih 30 orang penduduk sekitar tambang. Bahkan Mussagar juga pernah dikontrak selama 10 hari oleh perusahaan piranti komputer di Malaysia, untujk melatih karyawannya.
“Dengan ijin Allah, saya bisa mengatasi penyakit darah tinggi, kolesterol, kencing manis, hepatitis atau penyakit lainnya. Tapi saya lebih senang kalau masyarakat bisa mehami bagaimana membuat dirinya sendiri sehat,” tuturnya.
Teknik pengobatan akupresur (memijit simpul dengan tangan) dan ramuan herbal, yang sudah dikenal di Cina ribuan tahun yang lalu, ternyata tak kalah dengan pengobatan modern. Di kalangan pengobatan alternatif akupresur, tidak dikenal nama-nama penyakit. Yang diketahui, tubuh sedang mengeluh dan bermasalah, karena itu harus ditangani. “Akupresur mengembalikan kekuatan daya tahan tubuh,” kata Mussagar.
Kini ia memperdalam pengetahuan pengobatannya dengan konsep Islami ‘tehibun nabawi’. Pengobatan yang disunahkan Rasul Muhammad itu, antara lain dengan metode ‘bekam’, atau menggunakan bahan-bahan halal yang berkhasiat seperti air zam-zam, minyak Zaitun atau habatus saodah. Dengan pengobatan bekam itu, kisahnya, ia pernah ikut turun dalam pengobatan masyarakat yang kena bencana, Misalnya waktu banjir Sembalun, ia turun bersama 20 orang membekam sekitar 500 orang. Demikian juga waktuterjadi gempa di Lombok Utara.
Dengan konsep pengobatan Islami itu, Mussagar juga lebih leluasa terjun ke pondok pesantren. Hingga kini ia sudah melatih santri-santri di pondok pesantren Haramain di Narmada, Al Ihklas dan Nurul Jannah di Ampenan. Ia melatih santri-santri itu untuk trampil mijat, bekam, dan di pesantren itu mereka membuka klinik pengobatan.
“Sesungguhnya, tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan,” pungkas Mussagar.
Ka-eS