Indeks

Kemajuan Literasi ; Tersedianya Buku ‘Tingkat Keterbacaan’nya Sesuai Jenjang Pendidikan

Simpan Sebagai PDFPrint

MATARAM – lombokjournal

Mantan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof Mahsun, menunjukkan kelemahan Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan No 13/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.  Apakah kelemahan iutu? Menurutnya, Permen yang kegiatan utamanya antara lain mewajibkan siswa membaca buku non pelajaran selama 15 menit (literasi sekolah) itu, tidak ditunjang buku-buku yang menumbuhkan pemuliaan perilaku. “Permen itu mandul,” katanya.

Terbitnya Permen itu memang tak ditopang infra struktur, yakni penyediaan buku-buku bacaan yang menumbuhkan pemuliaan perilaku.  Menteri Dikbud, Anis Baswedan, bahkan tidak memikirkan seandainya membutuhkan buku-buku yang berisi tokoh-tokoh yang mempunyai karakter mulia, dimana harus memperolehnya. Khususnya untuk menunjang kegiatan literasi sekolah.

Prof Mahsun; penyediaan buku-buku bacaan yang menumbuhkan pemuliaan perilaku
Prof Mahsun; penyediaan buku-buku bacaan yang menumbuhkan pemuliaan perilaku

Kelemahan ini menimbulkan masalah di beberapa tempat. Misalnya di Surabaya yang telah menetapkan diri sebagai “Kota Literasi”.  Tiap sekolah di Kota Pahlawan itu bersemangat  membangun ‘pojok perpustakaan’.  Untuk mengatasi kekurangan buku, pihak sekolah meminta sumbangan buku dari orang tua siswa.

Ketika buku-buku terkumpul, siapa akan menyeleksi buku-buku tersebut? Memang banyak cerita-cerita lokal, bagaimana kalau terbukti banyak ditemui buku-buku cerita dengan bahasa tak senonoh?

Demikian juga yang terjadi di Aceh, yang mencoba meniru apa yang telah dilakukan sekolah-sekolah di Surabaya. Pihak sekolah juga meminta sumbangan buku dari orang tua. Sayangnya, di Aceh sangat sedikit toko buku yang menyediakan buku-buku yang sesuai dengan misi penumbuhan budi pekerti. “Sumbangan buku yang terkumpul lebih banyak komik yang sama sekali tidak sesuai dengan misi penumbuhan budi pekerti,” kata Mahsun.

Kelemahan serupa berlangsung terus, hingga pihak Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Apa yang terjadi? Misi yang diemban adalah menumbuhkan budi pekerti, namun buku yang diwajibkan untuk dibaca siswa ternyata adalah “buku pengayaan” (penunjang mata pelajaran).

“Setiap kegiatan harus ada indikator pencapaiannya.  Kegiatan literasi sekolah harus mengutamakan kemajuan dan pengembangan kemampuan membaca dan menulis,” kata Mahsun. Itulah sebabnya, ia mengatakan Permen Dikbud itu mandul.

Tingkat Keterbacaan

Kegiatan literasi memang bertujuan menumbuhkan motivasi agar siswa bergairah membaca dan menulis.  Dalam konteks penumbuhan budi pekerti, misalnya siswa diwajibkan membaca buku cerita lokal yang mempunyai pesan pemuliaan perilaku. Kemudian siswa yang bersangkutan diwajibkan untuk mereproduksi kembali (menceritakan dengan bahasanya sendiri) hasil bacaannya.

Namun dalam kegiatan literasi sekolah, siswa tidak sekedar asal dibiasakan membaca buku. Buku-buku yang wajib dibaca siswa adalah buku yang ‘tingkat keterbacaannya’ sesuai jenjang pendidikan siswa. Menurut Prof Mahsun, yang dimaksud ‘tingkat keterbacaan’ sesuai kebutuhan siswa itu mencakup dua hal, yakni segi kebahasaan dan substansi isinya.

“Kalau seorang ibu membacakan cerita untuk anaknya yang kelas 3 SD, harus tersedia buku yang bahasa maupun isinya benar-benar sesuai dengan jenjang pemahaman anaknya,” kata Mahsun mencontohkan.

Pengalaman Prof Mahsun sebagai Tim Pengarah Pengembangan Kurikulum 2013, memang sangat ketat dalam penentuan standar buku-buku wajib. Sebagai anggota Tim Pengarah itu, Mahsun berperanan dalam menilai standar kompetensi lulusan (SKL).  Ia juga menilai buku-buku yang disusun Tim Inti. “Waktu itu kita harus ketat, karena itu banyak penulis yang harus diganti karena tidak memenuhi standar,” katanya.

Karena itu, dengan program ‘provinsi literasi’, tim yang dipimpinnya tengah mengembangkan buku iterasi sekolah, dengan penulisan kembali cerita-cerita lokal yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Selain itu juga melatih guru-guru agar kegiatan literatur sekolah dapat berlangsung.

Prof Mahsun dengan Institut Riset Nusantara yang didirikannya juga menyiapkan penyediaan buku yang ‘tingkat keterbacaannya” disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Juga termasuk merancang agar sekolah siap melakukan kegiatan literasi sekolah.

Kemajuan literasi perlu diupayakan, mengingat siswa Indonesia hanya 1,5 persen yang memiliki kemampuan memahami bahan bacaan yang memerlukan pemikiran. Contohnya, kalau siswa diberi soal biasanya bisa menjawab cepat kalau jawaban itu terdapat dalam bahan yang dibacanya. Kalau harus menyimpulkan sendiri isi bacaannya, kemampuannya masih rendah. Ini juga tercermin dari penelitian PICA, kemajuan literasi di Indonesia masih menempati urutan 64 dari 65 negara yang diteliti.

Sebagai pakar bahasa, Mahsun juga mengkritik pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2006. Dalam kurikulum 2006, pelajaran bahasa tidak mendorong kemampuan berpikir, tapi hanya mempelajari penguasaan ‘bentuk bahasa’.

“Kurikulum 2013 saat ini yang mengembangkan kemampuan berpikir,” kata Prof Mahsun yang memimpin Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak tahun 2012 hingga bulan Desember 2015.

Penetapan NTB sebagai ‘Provinsi Literasi Tahun 2016’ memang tak lepas dari masukan Prof Mahsun. Hal terpenting dari program itu, untuk mendorong kemampuan berpikir siswa. “Siswa kita kemampuan berpikirnya rendah, karena terbiasa menghafal,” katanya.

Seperti biasa, pria kelahiran 1959 di Jereweh, Sumbawa itu selalu bersemangat. Mahsun optimis, dengan potensi yang dimiliki NTB, program provinsi literasi ini akan menjadikan NTB sebagai model penyelenggaraan kegiatan literasi sekolah secara nasional.

Ka-eS.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

,

 

Exit mobile version