Aangka iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), hanya premi peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 80 ribu
lombokjournal.com —
JAKARTA – Kepala Humas BPJS M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, permasalahan inti yang membuat BPJS Kesehatan tekor adalah iuran. Besaran iuran saat ini dipandang tidak sesuai dengan besaran pembiayaan kesehatan secara aktual.
“Kalau masalahnya iuran ya iuran (yang harus dibenahi). Kalau peserta bayar uangnya tidak cukup apa itu kesalahan BPJS Kesehatan?” kata Iqbal di Jakarta, Selasa (28/05) 2019.
Iuran yang tak mencukupi menutupi besaran pembiayaan kesehatan menyebabkan BPJS Kesehatan defisit. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun.
Atas defisit itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menegaskan enggan menalangi seluruh defisit tersebut.
BPJS Kesehatan memahami bahwa Sri Mulyani ingin pihaknya memperbaiki diri dan bisa mandiri. Namun BPJS Kesehatan meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan utamanya.
“Bu Menkeu ingin BPJS Kesehatan ini sehat, bisa mandiri dengan iurannya. Tapi harus diingat ada opsi regulasi yang memahami untuk mengantisipasi masalah ini. Kalau tahu sumber masalahnya kan harus diperbaiki itu,” kata Iqbal.
Menurut Iqbal, angka iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang sesuai hanya premi peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 80 ribu.
Sisanya menurut dia belum di bawah perhitungan aktuaria.
“Contoh untuk kelas PBI saja dari aktuaria Rp 36 ribu, sekarang baru ditetapkan Rp 23 ribu. Kalau yang mandiri kelas 1 sesuai. Untuk kelas 2 sekarang Rp 50 ribu, itu harusnya Rp 63 ribu idealnya. Lalu untuk kelas 3 ditetapkan Rp 22.500, idealnya itu Rp 53 ribu,” kata Iqbal
BPJS Kesehatan juga mencatat adanya defisit dari iuran terhadap biaya manfaat per jiwanya yang terus meningkat.
Tahun 2016 terjadi defisit sekitar Rp 2.500 per jiwa, lalu di 2017 defisit Rp Rp 5.000 per jiwa dan 2018 defisit Rp 10 ribu per jiwa. Penyesuaian iuran baru dilakukan satu kali pada 2016, ditetapkan melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2016.
Permalasahan lainnya, banyak peserta yang tidak taat membayar iuran. Dari sisi tunggakan peserta paling besar di peserta mandiri.
Menurut data BPKP kolektabilitas iuran di peserta mandiri hanya 53%.
“Karena kalau peserta mandiri tidak ada perusahaannya. Kalau PNS atau swasta kan ada HRD-nya (untuk ditagih). Kalau mandiri berarti kita harus kejar satu-satu. Kami bukan debt collector,” tutur Iqbal..
BPJS Kesehatan berharap, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan sanksi kepada peserta yang menunggak. Tujuannya agar kesadaran peserta untuk taat membayar iuran bisa meningkat.
Rr/detikF