Pesiapan jelang perhelatan event World Superbike (WSBK) di MandalikaInternational Street Circuit merupakan kerja ekstra keras, mulai mengejar target capaian vaksinasi, pengaturan tamu-tamu mancanegara di tengah pandemi, hingga merampungkan infrastruktur dalam tekanan waktu
MATARAM.lombokjournal.com ~ Perlu diketahui pelbagai pihak, berdasarkan kalender event World Superbike (WSBK) seri ke-9 diadakan di Circuit de Barcelona – Catalunya Spanyol, tanggal 17 – 19 September 2021. Selanjutnya di Circuit de Jerez –Angel Nieto Spanyol (10), Autodromo Internacional do AlgarvePortugal (11), Circuito San Juan VillicumArgentina (12) dan MandalikaInternational Street Circuit yang ke-13 tanggal 12 – 14 November 2021 mendatang.
Berarti kita hanya punya tenggang waktu 2 bulan hari lomba (Race Day). Tentu ini bukanlah tempo yang panjang untuk persiapan. Terlebih di tengah situasi pandemi Covid 19, dengan segala keterbatasan dan pembatasannya.
Karena event besar itu berlangsung di tengah pandemi Covid-19, maka para penonton, peserta dan timnya dari luar negeri yang akan mengikuti race, harus ketat pengaturan karantinanya. Tidak bisa tidak, aturan ini harus diberlakukan agar sesuai dengan Surat Edaran Pemerintah tentang pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) di era Covid-19.
Mereka harus dimonitor dengan protokol kesehatan (prokes) sejak landing di BIZAM, menginap di hotel, berkegiatan di sirkuit saat test race, babak kualifikasi, dan pada hari lomba (Race Day). Demikian juga, hingga saatnya mereka kembali ke bandara untuk pulang ke negara asal masing-masing.
Dan penonton pun tidak luput dari pengaturan. Sebelum membeli tiket, calon penonton dipastikan telah tervaksin secara penuh (2 kali vaksin), serta wajib menginstal dan terhubung ke aplikasi pedulilindungi.
Penonton yang hendak masuk ke Mandalika International Street Circuit, harus menjalani posedur yang tidak sederhana. Penonton harus menunjukkan tiket. Penonton harus diverifikasi vaksin melalui scan aplikasi pedulilindungi. Penonton harus di sweb antigen di lokasi yang sudah disiapkan. Jika hasilnya negatif penonton boleh masuk sirkuit dengan tetap melewati security screening. Selama proses pemeriksaan menerapkan prokes yg ketat.
Jika hasil sweb antigen positip, penonton dipulangkan atau di rujuk ke rumah sakit. Terhadap tiket yang sudah dibeli ada opsi refund atau untuk next race.
Dari informasi beberapa kali rapat koordinasi persiapan, kapasitas penonton untuk WSBK kali ini hanya 20 persen. Setara dengan 40.000 an penonton termasuk 1.000 an orang yang terdiri dari pembalap/riders, crew, mekanik, official, media, konsultan dan lain lain. Kapasitas normal sirkuit dirancang berkisar 200.000 orang. Target 20 pesen penonton kali ini sudah memperhitungkan biaya produksi penyelenggaraan event.
Menjelang hari H penyelenggaraan, PT ITDC terus berbenah. Sejak penandatanganan kesepakatan antara DORNA dan PT ITDC tanggal 28 Januari 2019 dilanjutkan audiensi CEO DORNA – Carmelo Ezpelata ke Presiden Jokowi tanggal 11 Maret 2019, jajaran BOC-BOD PT ITDC dihinggapi H2C alias Harap-harap cemas. Terlebih tahun 2020 awal, kita mulai disapa pandemi Covid-19 yang hingga kini unpredictable kapan berakhirnya.
PT ITDC membangun Sirkuit Mandalika. Sirkuit sepanjang 4,3 km dengan 17 tikungan ini, progressnya hingga 18 September 2021 mencapai 98,09 persen. Pembangunannya menelan biaya Rp. 900 miliar. Tanggal 15 Agustus 2021, telah selesai pengaspalan lapis terakhir.
Ditargetkan akhir September 2021 sirkuit dan fasilitasnya tuntas 100 persen.
Race control building, progressnya 94,50 persen. Deck circuit progressnya 71,40 persen. Hotel Pullman Mandalika yang dibangun di areal 4,5 ha, dengan 257 room, progress per 21 Agustus 2021 sudah 86,30 pesen. Ada yang progressnya positif, namun ada juga pekerjaan rumah yang harus di selesaikan secara humanis dan mutualistik, seperti penyelesaian tanah-tanah enclave maupun penataan/penyelesaian 48 KK yang berada di 13 bidang tanah enclave sekitar lintasan sirkuit.
Di luar areal KEK Mandalika, pemerintah melalui berbagai kementerian/lembaga/BUMN, Pemerintah Propinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah turut berbenah.
PT Angkasa Pura I misalnya, meningkatkan kapasitas dan kualitas BIZAM. Dengan dukungan dana Rp700 Miliaran lebih. Di BIZAM kini telah dilakukan perluasan terminal penumpang internasional juga domestik, penambahan belalai gajah (gerbarata), perpanjangan runway, pengembangan fasilitas cargo, perluasan apron barat dan lain-lain.
Saya teringat saat peresmian mulai beroperasinya BIL/LIA tanggal 20 Oktober 2011, Gubernur NTB (saat itu TGB – Almukarram Dr TGH M. Zainul Majdi), mohon run way BIL sepanjang 2.700 meter diperpanjang menjadi 3.000 meter agar pesawat berbadan lebar bisa landing leluasa di BIL.
Presiden SBY (Susilo Bambang Yudoyono) dalam sambutan peresmian, memahami dan sangat menyetujui usulan Gubernur NTB saat itu. Tapi sayang, setelah bertahun-tahun diperjuangkan ke Bappenas, Kementerian Perhubungan dan juga ke PT Angkasa Pura I tak kunjung terealisasi.
Berulang kali Irjen Pol Prof. Dr. H. Farouk Muhammad – almarhum (anggota DPD RI – senator Dapil NTB) selaku Wakil Ketua DPD RI memfasilitasi pertemuan dengan stake holder terkait. Bersama Anggota DPD RI dapil NTB lainnya – Drs. HL. Suhaimi Ismy, berusaha bertemu Dirut PT Angkasa Pura I, hasilnya pun masih belum memuaskan.
Dirut PT Angkasa Pura I bahkan menyampaikan bahwa pembangunan BIL/LIA generasi kedua kemungkinan baru bisa dilakukan setidaknya tahun 2029. Itu pun bergantung trend pertumbuhan penumpang.
Waktu terus berjalan. Tahun 2014 pemerintah menerbitkan PP 52 Tahun 2014 tentang KEK Mandalika. Tanggal 21 Oktober 2017 Presiden Jokowi meresmikan mulai beroperasinya KEK Mandalika. Tahun 2019, PT ITDC dengan dukungan Presiden Jokowi, menjadikan KEK Mandalika sebagai venue MotoGP.
Sejak saat itu Kementerian/Lembaga/BUMN, memberikan dukungan yang luar biasa. Tahun 2020, saat Covid-19 melanda, dengan adanya lockdown, PSBB, PPKM, pejabat terbatas mengakses fasilitas bandara. Tak diduga tak dinyana, bersamaan Covid 19, BIZAM ditata dan berubah wajah. Runway yang bolak balik minta diperpanjang jadi 3.000 meter kini justru diberi lebih panjang lagi mencapai 3.400 meter. Pembangunan BIZAM generasi kedua tahun 2029, justru maju jadi tahun 2020. Alhamdulillah.
Selain moda transportasi udara, dukungan moda transportasi laut juga diberikan untuk dukung KEK Mandalika. PT. Pelindo III membangun Pelabuhan Gili Mas, kapasitas 1.700 penumpang dengan biaya Rp. 1,3 Triliun. Per 23 Juli 2021 sudah selesai pembangunannya 100 persen.
Kementerian PUPR, membangun akses jalan bypass BIZAM – KEK Mandalika sepanjang 17, 363 km yang segera akan dapat difungsikan. Kementerian perhubungan melalui Dirjen perhubungan darat memberikan dukungan penguatan sistem transportasi melalui penyediaan armada, fasilitas rambu dan PJU, menyusun managemen dan rekayasa lalu lintas dan lain sebagainya.
Kementerian/lembaga/BUMN full support terhadap pembangunan KEK Mandalika.
Pemerintah Provinsi, membangun RS Mandalika di Desa Sengkol. Melalui pinjaman PEN dari PT SMI, Pemprov NTB membangun dan meningkatkan kualitas jalan dan RSUP NTB yang diharapkan menjadi RS terbaik, sekaligus sebagai RS rujukan di Indonesia Timur serta layak mengawal event motoGP 10 tahun ke depan.
Jelang penyelenggaraan WSBK, masih ada kecemasan yang kini jadi atensi utama yaitu masalah vaksinasi. Vicon tanggal 18 September 2021 dipimpin Menko Bidang Perekonomian – Ir. Airlangga Hartarto, menekankan agar Pulau Lombok sebagai lokasi WSBK harus sudah tervaksinasi minimal 70 persen.
Dalam Apel Gabungan Percepatan Vaksinasi hari Minggu 19 September 2021 di halaman Kantor Bupati Lombok Tengah, Kapolda NTB – Irjen Pol Muhammad Iqbal dan Danrem 162 Wirabhakti – Brigjen Rizal Ramdhani menargetkan vaksinasi 70 persen di Lombok Tengah harus tercapai tanggal 5 Oktober 2021 yang akan datang.
Hari Senin tanggal 20 September 2021, dalam rapat koordinasi analisa dan evaluasi (Anev) Covid-19 yang dipimpin Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah SE MSc dan Wakil Gubernur, Dr. Ir. Hj. Siti Rohmi Djalilah MPd, para Kepala Daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/walikota se-NTB didukung Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (forkopimda) masing-masing semua bertekad dan siap berjibaku sukseskan vaksinasi di NTB.
Mereka bertekad, bila vaksin tersedia siap segera habiskan. Vaksinator masing-masing daerah sudah siap. Animo masyarakat kami sangat siap di vaksin, itu dikatakan H. Mohan Roliskana, H. Fauzan Khalid, H. Sukiman Azmy dan yang lain yang hadir secara offline pada acara Anev itu.
Kebutuhan untuk vaksin, diperkirakan jika ditargetkan 4 kecamatan di sekitar KEK Mandalika (Kec. Pujut, Kec. Praya Tengah, Kec. Praya Timur dan Kec. Praya Barat), dibutuhkan vaksin sebanyak 415.000 dosis. Jika ditargetkan seluruh Kabupaten Lombok Tengah, dibutuhkan vaksin sebanyak 1,34 juta dosis.
Jika ditargetkan seluruh Pulau Lombok dibutuhkan vaksin sebanyak 4,5 juta dosis. Pokoknya dibutuhkan banyak vaksin di NTB, kata Gubernur Zulkieflimansyah yang bergegas menghubungi Menko Marinves, Menko Perekonomian, Menteri Kesehatan dan lain lain. Bila perlu, Kepala Dinas Kesehatan dan Dirut RSUP jemput bola ke Jakarta dan jangan pulang kalau tidak membawa vaksin. Itu perintah Gubernur.
Yang pasti, seiring berjalannya waktu, vaksinasi terus dipacu, semua kekuatan bergerak dan bekerja terpadu. Insyaallah di sirkuit mandalika kita bertemu bersama tamu yang datang dari berbagai penjuru.***
Bang Zul dan (Aduan Masyarakat dari) Facebook
Tengah malam, Sekda NTB membaca direktif Bang Zul melalui WAG, agar bikin Rapat Kordinasi OPD. Bagi pejabat eselon 2 dan 3 di tiap OPD wajib punya akun Fb, Instagram dan Twitter, dan 1 x 24 jam wajib merespon keluhan masyarakat
MATARAM.lombokjournal.com ~ Selasa pagi – 14 September 2021, bisa jadi jantung Kepala OPD Pemprop NTB berdegub lebih kencang dari biasanya. Ketika membuka WA Group Forum OPD.
Gubernur NTB – Dr. H. Zulkieflimansyah SE MSc yang akrab disapa Bang Zul, tengah malam pukul 23.37 wita, masih kerja blusukan di seputaran KEK Mandalika. Inspeksi lapangan malam hari bersama komandan TNI dan Polri.
Bisa jadi saat itu Kepala OPD dan juga Sekdanya mungkin sudah banyak yang tertidur atau setidaknya baru naik keperaduan.
Namun, bukan tidur nya Kepala OPD dan Sekda di saat Bang Zul masih melek yg jadi masalah. Banyak yang sudah paham, Bang Zul terbiasa begadang. Terbiasa blusukan malam. Juga betah hingga tengah malam menerima curhatan warga. Baik yang datang sillaturrahmi ke pendopo maupun yang mencuit melalui medsos : Facebook (Fb), Instagram (ig) maupun Twitter (Twt).
Semua cuitan terkait layanan publik disimak dan direspon. Bang Zul seakan bekerja 24 jam lewat ujung jari jemarinya yang menari membangun narasi.
Lalu apa masalahnya? Yang membuat Sekda dan Kepala OPD sedikit berdebar adalah direktif Bang Zul di WAG tengah malam itu. Pak sekda, bikin Rapat Kordinasi OPD. Setiap OPD, eselon 2 dan 3 nya harus punya akun Fb, Instagram dan Twitter. 1 x 24 jam pertanyaan atau keluhan masyarakat tidak dijawab jabatannya hilang.
Membaca direktif lewat pesan WAG itu, spontan saya membayangkan 3 hal. Pertama, ini zaman memang sudah serba IT. Di era industri 4.0 ini industri digital berkembang pesat. Gaya dan tuntutan kerja sudah serba elektronik dan penggunaan sIstem tehnologi informasi menjadi keniscayaan. Paperless, Work from Home ( WfH ), Sosialisasi program dan kebijakan pemerintah, efektif disampaikan lewat medsos.
Rakyat pun lewat medsos seakan bebas berkeluh kesah tentang kualitas dan kuantitas layanan publik yang diterimanya. Kualitas layanan publik dapat dicermati dari konten pemberitaan medsos seperti di Fb itu.
Fb menjadi penting dan bermanfaat bila digunakan dengan baik.
Karenanya, pada saat diadakan seleksi pengisian JPT Pratama posisi Staff Ahli Gubernur NTB, sebagai anggota pansel saya selalu menanyakan ke peserta pansel apakah saudara memiliki akun dan aktif di FB, Ig dan Twt ?
Ini penting ditanyakan mengingat Bang Zul sangat aktif di Fb dan Staff Ahli Gubernur sebagai penasehat gubernur tentu harus ikut aktif mengawal dinamika yang terjadi di Fb.
Ada peserta pansel calon Staff Ahli Gubernur NTB yang dengan jujur mengakui tidak bisa dan tidak pernah berkomunikasi lewat Fb. Namun, bila nanti saya ditaqdirkan lulus sebagai Staff Ahli Gubernur NTB berikan saya waktu 1 minggu untuk belajar Fb, katanya diplomatis.
Alhamdulillah kebetulan peserta seleksi tersebut lulus dan kini sudah sangat piawai berselancar di dunia maya.
ASN apalagi pejabat eksekutif, kini mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka harus rajin dan ramah medsos dalam mendukung sukses pelaksanaan tugasnya.
Kedua, ASN khususnya Kepala OPD harus lebih peduli dengan permasalahan yang dihadapi rakyat. Kalau dalam 1 x 24 jam aduan masyarakat tidak direspon dengan baik, jabatan bisa hilang.
Bang Zul mendapat banyak informasi tentang kesusahan dan kesulitan rakyatnya dari Fb.
Ada rakyat yang hidupnya susah, tidak memiliki akses keluar masuk rumahnya karena tertutup tembok tetangganya. Banyak berita anak-anak, ibu-ibu, orang tua jompo menderita suatu penyakit ganas. Namun kesulitan mendapatkan layanan kesehatan. Ada warga yang kesulitan bahan kebutuhan pokok untuk dikonsumsi dan lain sebagainya.
Berita yang muncul di Fb itu menjadi referensi Bang Zul untuk memerintahkan Kepala OPD terkait segera action (gercep alias gerak cepat) berikan bantuan dan selesaikan masalahnya.
Informasi yang muncul di Fb ini sering kali hadir lebih cepat dari laporan dan telaah staff yang demikian hierarkhis. Langkah ini cukup efektif untuk segera atasi masalah di lapangan dengan cepat, tepat dan dalam skala yang luas.
Memang cara Bang Zul ini, kadang membuat Kepala OPD pontang panting. Jatuh bangun dan mungkin terasa capek dalam laksanakan perintah.
Namun, Mengutip pesan Gubernur Jawa Tengah – Ganjar Pranowo, aparat tidak boleh capek. Petugas tidak boleh capek. Birokrat tidak boleh capek. Suka tidak suka, pejabat harus hadir layani rakyat. Itulah juga cara Bang Zul merespon kesulitan dan kesusahan rakyatnya.
Ketiga, Kepala OPD harus bekerja dengan kinerja yang tinggi. Perintah agar eselon 2 dan 3 aktif di fb, ig dan twt, seakan warning bahwa pejabat harus siap kerja 24 jam sehari. 7 hari seminggu memonitor aneka kesulitan dan kesusahan rakyat melalui medsos masing-masing.
Kini dan ke depan seorang Pejabat publik dituntut harus mau dan mampu kerja keras dengan kinerja yang memuaskan.
Kerja keras dan cerdas dengan hasil nyata yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Itu jauh lebih penting maknanya dari sekedar penghargaan terhadap sebuah dokumen penilaian kinerja aparat.
Pada saat memberikan arahan waktu penilaian SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), Bang Zul menyebutkan bahwa meraih predikat A dalam penilaian SAKIP bisa jadi itu penting.
Tapi jauh dari sekedar dokumen, penilaian kinerja yang langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat kiranya itu menjadi jauh lebih penting.
Saat ini Pemprov NTB memang sedang berjuang meningkatkan nilai SAKIP nya dari nilai B (68,53 : 2020) menjadi nilai A, atau minimal BB ( 70,05 : 2019 ).
Bila nilai A mampu diraih, akan menjadi kado indah menyongsong 19 September 2021 – peringatan 3 tahun perkhidmatan Duo Doktor (Dr. H. Zulkieflimansyah SE MSc – Dr. Ir. Hj. Siti Rohmi Djalilah MPd).
Selamat dan Sukses berkhidmat menuju NTB Gemilang.
Wassalam.
Pembangunan Berbasis Desa, Butuh Peran Aktif Masyarakat
Besarnya perhatian Pemerintah Pusat terhadap pembangunan desa terlihat dari besarnya anggaran yang disediakan pemerintah melalui transfer daerah serta Dana Desa.
TANJUNG.lombokjournal.com ~ BERBICARA kemajuan suatu desa tidak luput dari dinamika pembahasan pembangunan daerah dan nasional. Berkaitan erat dengan pembangunan yang terjadi di setiap desa dalam lingkup suatu daerah.
Pembangunan daerah dapat dikatakan berhasil apabila desa sebagai lingkup terkecil dari negara telah diperhatikan dengan baik dari sisi kemajuan dan kemandirian di berbagai bidang.
Pembangunan desa tentu bergantung pada pendanaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Sumber pendanaan pembangunan desa meliputi alokasi dana desa dari Pemerintah Daerah dan Dana Desa dari Pemerintah.
Besarnya perhatian Pemerintah Pusat terhadap perkembangan desa terlihat dari besarnya anggaran yang disediakan pemerintah melalui transfer daerah serta Dana Desa dalam jumlah triliunan. Pembiayaan untuk desa tidak luput pula dari rencana pemerintah memanfaatkan fasilitas pembiayaan untuk kegiatan produktif di desa guna mendorong pembangunan daerah.
Melihat perhatian lebih yang diberikan pemerintah kepada pembangunan desa, diperlukan peran dan partisipasi aktif masyarakat pedesaan memberikan pemikiran mengenai arah kebijakan yang akan diterapkan di tiap-tiap desa. Pasalnya, masyarakat pedesaan di suatu desa termasuk pihak yang mengetahui secara spesifik mengenai identitas desa.
Orientasi pembangunan dari bawah (bottom up) tidak hanya dilaksanakan oleh warga masyarakat, melainkan (termasuk) intervensi peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Khususnya dalam hal merencanakan kebijakan terkait dengan pembangunan desa, yang mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat dengan menampung berbagai aspirasi.
Empirisnya, ditilik dari sisi administratif jumlah desa tertinggal dimungkinkan lebih banyak dari data dalam RPJMN. Sementara’ ditilik dari data administratif kabupaten/kota, masih terdapat ribuan desa menyandang status tertinggal. Padahal, berdasarkan hasil pertemuan Kementerian Desa dan PDTT dengan berbagai Pemerintah Daerah dan aparatur desa, kabupaten/kota yang memiliki desa tertinggal masih ratusan daerah.
Pada sisi lain, Pemerintah telah menetapkan pelbagai program strategis untuk percepatan pembangunan bagi desa tertinggal. Dengan program tersebut terpancar optimisme jumlah desa tertinggal akan berkurang lebih dari target yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mengurangi jumlah desa tertinggal, Pemerintah memfokuskan perhatian serius pada upaya untuk mengurangi aspek-aspek ketertinggalan, dengan melaksanakan sejumlah fokus utama peningkatan pembangunan dan kemandirian masyarakat desa. MElalui enam kriteria yaitu aspek ekonomi dengan tinjauan indikator kemiskinan dan pengeluaran per kapita, aspek sumber daya manusia dengan indikator angka harapan hidup.
Lalu ada aspek ketersediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan, aspek kemampuan fiskal desa, aspek aksesbilitas desa ke perkotaan, dan aspek geografis dari kerentanan bencana.
Pentingnya posisi desa dalam suatu daerah sebagai penentu kemajuan daerah, sudah semestinya Pemerintah maupun Pemerintah Daerah memiliki kepentingan besar untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa di berbagai bidang pembangunan.
Atensi tersebut dapat difokuskan pada penumbuh kembangan desa sesuai arah dan kebijakan pembangunan yang tepat dan benar. Mengingat tidak ada sebuah daerah bahkan negara dapat dikatakan sejahtera, apabila masyarakat desanya tidak sejahtera.
Tidak hanya itu, melihat begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan seluruh desa, sehingga sepatutnya masyarakat mendukung penuh berbagai kebijakan pemerintah dengan tetap mengawasi transparasi pembiayaan yang digunakan untuk membangun kesejahteraan desa demi kemajuan daerah dan negara. ***
Zul-Rohmi Cekatan, Second Line Perlu Diperkuat
SEBAGAI kapten yang memimpin NTB, Zul-Rohmi tidak ditopang second line (lini kedua) dari Gubernur dan Wakil Gubernur NTB yang sering tampak kedodoran. Lingkaran internal kalangan dinas maupun eksternal para staf khusus tampak kurang sigap
MATARAM.lombokjournal.com ~ Bulan September 2021 ini, umur kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Dr H. Zulkieflimansyah dan Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah tepat memasuki tahun ketiga.
Paket yang sering disebut Zul-Rohmi memimpin NTB dalam kondisi tidak biasa. Di tahun pertama dihadapkan pada pemulihan gempa bumi. Menyusul tahun kedua dan ketiga mengadapi gelombang pandemi Covid-19.
Lembaga Kajian Sosial dan Politik M16, menghimpun sejumlah data, baik melalui media massa maupun informasi lapangan, Zul-Rohmi mencatatkan sejumlah pencapaian.
Program strategis seperti pariwisata andalan dan strategis, Industrialisasi; Pengembangan Daya Saing SDM; NTB Ramah Investasi; Pembangunan Konektivitas dan Aksesibilitas Wilayah NTB, dan NTB Bersih dan Berkelanjutan, menurut data yang dilansir oleh dinas-dinas berjalan simultan.
Fakta lapangan juga menunjukkan ada sejumlah capaian. Masa kepemimpinan tersisa dua tahun, masih ada waktu untuk menuntaskannya program strategis dan program unggulan.
Duo doktor menghadapi gelombang berat saat Covid-19. Praktis program tidak sanggup berjalan optimal akibat refocusing anggaran. Meski begitu, hal ini tidak serta-merta dijadikan alasan. Publik tentu menanti segala janji-janji politik dituntaskan.
Selain program-program yang dijalankan Zul-Rohmi, hal lain yang patut dicermati dari kepemimpinan Zul-Rohmi pola pendekatan yang baik kepada masyarakat. Sebelum pandemi menyerang, keduanya begitu aktif untuk turun ke lapangan.
Pola pendekatan persuasif terlihat kontinyu dilakukan. Hal yang tepat untuk menyerap sebanyak mungkin pendapat atau respon publik, baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa.
Menurut Soemirat, 2012:1.31, salah satu bentuk komunikasi paling mendasar yaitu komunikasi persuasif, yakni proses mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal.
Komunikasi persuasif dimanfaatkan orang sudah sejak lama. Simons (1976) menjelaskan bahwa studi tentang persuasif berasal dari zaman Yunani Kuno. Belakangan, karena pandemi pendekatan itu berganti dengan agenda daring.
Sesekali Gubernur dan Wagub NTB tetap menerima keluhan maupun silaturahim masyarakat. Langkah humanis yang patut terus dirawat hingga 2023 mendatang.
Gubernur dan Wagub Perlu Ditopang
Mengibaratkan sebuah tim olahraga, Zul-Rohmi adalah kapten memimpin NTB. Sementara itu, Kepala Dinas maupun staf khusus adalah pemain pendukung. Tugasnya mensupport langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Sang Kapten. Menjalankan program, menyiapkan data, dan menginformasikan kepada publik. Sehingga goal yang diinginkan dapat tercapai.
Pro kontra terhadap sebuah kebijakan pemerintah menjadi hal yang lazim. Sayangnya, second line (lini kedua) dari Gubernur dan Wakil Gubernur NTB tampak kedodoran. Alih-alih menopang kerja-kerja positif, lingkaran internal dari kalangan dinas maupun eksternal para staf khusus tampak kurang begitu sigap.
Gelagapan merespon kritik publik. Dan cenderung menjawab ala kadarnya. Yang penting kelihatan membela Sang Bos.
Contohnya, dapat dilihat ketika begitu banyak kritik terhadap beasiswa. Kritik terhadap soal industrialisasi. Isu sumir mengenai zero waste, terbaru kritik terhadap masyarakat terisolir di dalam lingkaran Sirkuit ITDC Mandalika, dan banyak lagi.
Second line justru terjebak pada dialektika membela membabi buta. Kurang dingin menyikapi sejumlah kritik. Respon yang diberikan jauh dari substansi utama. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah gaya para buzzer. Beringas tanpa kedalaman analisa dan data.
Jika ini terus dibiarkan justru mereduksi kepemimpinan Zul-Rohmi. Melemahkan segala kerja yang telah berjalan tiga tahun.
Layak pula dicermati, gaya komunikasi terbuka Gubernur NTB di media sosial menghadirkan sejumlah perdebatan. Sebagian kalangan menilai, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah dipandang terlalu berlebihan di media sosialnya. Termasuk keaktifan menjawab segala macam kontra di akun media sosial pribadinya.
Di zaman gadget seperti saat ini, langkah tersebut sebagai hal yang lazim. Seperti halnya dilakukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ataupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Di era serba digital, justru gaya seperti ini perlu diikuti oleh jajaran kepala dinas maupun staf khususnya. Terbuka kepada masyarakat. Tidak anti kritik. Menghadirkan respon yang menyejukkan hati.
Lembaga Kajian Sosial dan Politik M16 memandang penting inner circle dari Gubernur dan Wagub NTB meniru pendekatan persuasif yang dilakukan duo doktor. Mendatangi para kritikus, menyerap sedalam mungkin problem-problem di lapangan.
Sehingga narasi publik yang disampaikan begitu mendalam. Termasuk dapat menjadi tambahan masukan bagi kepala daerah.
Seperti disampaikan oleh Nothstine (1991), pendekatan persuasif bagian dari analisis sasaran, menganalisa pesan disampaikan dengan jelas dan menghormati perbedaan-perbedaan individual antara orang-orang dan sasaran, meningkatkan dan memelihara motivasi sasaran, tujuan yang realistis, pemahaman atas perbedaan individual, pemahaman atas penggunaan informasi yang berbeda, pemahaman atas kerumitan sasaran dalam menanggapi pesan, pemahaman atas fakta yang hanyalah dasar bagi berfikir, merasa dan berbuat, dan pemahaman atas makna fakta, bahwa tidak hanya sekadar fakta.
Dengan menjalankan pendekatan persuasif, lingkar internal maupun eksternal Zul-Rohmi dapat menyajikan kontra narasi terhadap kritik yang lebih substansi. Penuh data dan fakta. Menghadirkan pandangan yang begitu kaya kepada publik.
Misalnya, program beasiswa. Sudah saatnya lingkar Zul-Rohmi menyajikan cerita putra-putri terbaik di luar negeri. Menghadirkan cerita mereka secara terbuka, baik melalui media massa maupun media official khusus. Dengan membuat desain grafis ataupun audio visual.
Begitu halnya dengan industrialisasi, mengulas cerita sukses para pengusaha binaan pemerintah. Termasuk di dalamnya pencapaian industrialisasi yang dihasilkan. Hal yang sama berlaku pada zero waste, posyandu, dan program yang lain.
Tidak cukup pencapaian program Zul-Rohmi hanya disampaikan dalam bentuk puja-puji dan bergaya pandu sorak. Masih ada waktu, lingkaran Zul-Rohmi harus menjadi penopang yang solid menuju NTB Gemilang.***
Merawat Generasi Penerus Bangsa
Kader HMI berperan merawat dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia menjadi tugas dan tanggungjawab yang dilakukan dengan progresif dan benar
MATARAM.lombokjournal.com ~ 17 Agustus 2021 Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai umur kemerdekaan yang ke 76 sejak di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah merdeka, ungkapan Bhineka Tunggal Ika menjadi tanda khusus bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki penduduk yang beranekaragam, kemudian bersatu dengan luar biasa hingga saat ini.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga memiliki Kebhinekaan atau keanekaragaman, Tujuan HMI menjadi pemersatu dengan menjunjung tinggi asas kebangsaan dan keislaman. Hal itu dengan terang menegaskan, peran Kader HMI dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia menjadi tugas dan tanggungjawab yang harus dilakukan dengan progresif dan benar.
Itulah visi besar yang menjadi esensi penggerak setiap Kader HMI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Secara garis besar peran Kader HMI tersebut diawali dengan kesadaran diri sebagai Mahasiswa untuk menyongsong kemajuan berdasarkan asas kebangsaan dan keislaman. Dengan kesadaran tersebut, Kader HMI memiliki nasionalisme serta sikap dan karekter yang terpadu dan berlaku kedepan.
Kualitas Mahasiswa semacam itu berdampak kepada semakin besarnya kewajiban untuk merealisasikan nasionalisme dan perlikunya dilingkungan sekitar.
Pada kondisi Indonesia saat ini, minimal Mahasiswa melakukan filterisasi informasi untuk menjaga kondusifitas dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kader HMI telah terbiasa menggapai informasi dengan referensi yang tepat. Selain itu juga kebiasaan-kebiasaan intelektual menjadi tindakan yang progresif dilakukan dilingkungan sekitarnya terutama dalam lingkup organisasi.
Kader HMI dengan keilmuan akademis, inovasi dan pengabdiannya di lingkungan kampus dan masyarakat merupakan cerminan generasi bangsa yang berderajat tinggi. Bukan hanya membentuk diri sendiri, ke depan kader HMI juga bertindak secara luas membentuk generasi yang ada di kalangan masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut Kader HMI harus mampu melihat dan mengkaji keadaan generasi penerus bangsa disekitarnya. Melakukan interaksi sosial secara terus-menerus untuk menumbuhkan nasionalisme dan membentuk perilaku yang baik.
Misi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan Kader HMI secara progresif dapat mengokohkan jiwa kebangsaan dan keislaman tidak hanya kepada Kader HMI, namun juga berdampak kepada generasi penerus bangsa dalam cakupan yang luas.
Itulah yang harus selalu digodok dengan baik secara bersama-sama untuk mencapai tujuan HMI secara menyeluruh.
Peran yang dibawa sebagai Kader HMI tidak diemban hanya sebatas konsep atau teori, namun terlaksana dalam praktek kehidupan bernegara dan berbangsa. Keindonesiaan serta keislaman melekat pada diri masing-masing kader.
Pemahaman dirinya sebagai Mahasiswa yang ditanamkan melalui perkaderan, memberikan dorongan semangat untuk terus melakukan tugasnya sebagai supporting dan preasure serta menjadi agen perubahan bagi negara dan rakyat.
Dalam perjalanannya, kader-kader HMI memiliki caranya tersendiri untuk merealisasikan cintanya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam konteks mempertinggi derajat rakyat Indonesia, Kader HMI menjalankan titah tersebut sebagai kebutuhan dalam perjuangan–perjuangannya untuk berkontribusi. Maka dari itu dalam mencapai tujuan yang pasti itu, kader HMI harus benar-benar menjadi output yang memiliki integritas dan kualitas akademis yang tinggi.
Salah satu peran Kader HMI yang telah dilaksanakan sejak pertama kali menjadi kader adalah menjaga kebhinekaan itu sendiri sebagai bentuk penyederhanaan miniatur negara indonesia yang plural.
Formulasi mencapai visi besar Kader HMI yang telah disebutkan diawal memang berjalan pada proses yang tiada henti dan berlanjut dari generasi ke generasi.
Tantangan pada masa pandemi sekarang ini dan kedepannya harus dihadapi dengan komitmen nasionalisme dan karakter perjuangan yang konkret, mulai dari diri pribadi untuk kemudian menjadi mahasiswa yang mampu menginspirasi. ***
Senyum Abadi dari Sang ‘Smiling Politician’
Sang Politisi yang memiliki Senyum Abadi itu saat sudah tak lagi menjadi Wakil Gubernur tetap pandai mendengar dan selalu tersungging senyumnya yang khas
MATARAM.lombokjournal.com ~ Tanggal 12 Juni 2021 lalu, hari terakhir saya berjumpa Bapak H. MUHAMMAD AMIN SH MSi – Wakil Gubernur ke 5 NTB.
Seakan sama-sama ingin melepas rindu, Pak Amin demikian kami biasa menyapanya, mengundang kami rombongan pejabat Pemprov NTB mampir ke kediamannya untuk santap siang.
Waktu itu kami ramai-ramai ke Sumbawa Besar hadiri acara pemakaman Almarhumah Hj. Siti Fatimah Ungang Dea Mas – ibunda Bapak Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah .
Dalam 3 jam reuni dadakan dan dialog, kami menangkap kesan kuat, tak ada yang berubah pada sosok Pak Amin. Masih sehat dan energik. Stylenya kala menjadi wakil gubernur tetap tak berubah. Pimpinan yang hangat, terbuka, bersahaja, tak berjarak, pandai mendengar dan selalu tersungging senyumnya yang khas. Sang Politisi yang murah senyum.
Kalo bertemu, lebih sering terdengar gelak tawa dibanding hening kernyitan dahi. Suasana diskusi di ruang kerja wagub, rapat di Pendopo Panji Tilar seakan berulang tiada beda dengan suasana sillaturrahmi terakhir di kediaman (villa) beliau di Raberas Sumbawa Besar itu.
Saya mengenal pak Amin diawal tahun 1990 an. Waktu itu, Pak Amin adalah pengacara Sumbawa yang hebat. Kami sering ngopi di kantornya di Brang Biji dekat Bandara Sultan Kaharudin Brang Biji. Kami sering ngobrol bersama.
Kami sama-sama aktif di KNPI Sumbawa era Bung AM Jihad (Ketua), juga bersama Bung Syamsun Asir, Bung Burhanudin Salengke, Bung Majid Abdullah, Bung Jeff, Abah Mang, Oni Pasirlaut, Towe dan lain2.
Meski sama2 aktivis, tapi sering kali kami berada pada sisi yang bersimpangan.
Perbedaan perspektif bisa jadi karena perbedaan posisi. Saya berada di lingkar kekuasaan (inner circle) sebagai staf juru bicara (humas) Pemkab Sumbawa di era Bupati Kolonel Jakob Koswara (almarhum).
Sedangkan pak Amin adalah outsider yang rajin mengkritisi pemerintah. Era ini saya juga kenal dengan Bung Nurdin Ranggabarani, M. Jabir dan lain lain yang sedang nakal-nakalnya jadi orator jalanan.
Perbedaan posisi dan perspektif, hasilkan dialektika yang cerdas dan dinamis. Berbeda tapi selalu merindu untuk bertemu. Perbedaan serius tidak membeku jadi batu sandungan yang mengganggu. Perbedaan selalu mencair karena kepintaran dan gaya humanis Pak Amin yang tetap senyum dalam membangun narasi.
Dalam sebuah momentum pilkada, saya menulis sebuah artikel berjudul: ‘Antara Bang dan Bung Amin’. Bang Amin kala itu adalah sebutan populer tokoh reformasi-personifikasi dari Prof Amin Rais. Politisi ulung yg memimpin gerakan reformasi, popularitas politiknya sedang hebat, tokoh sentral poros tengah tapi tidak maju jadi Presiden, dan justru memberikan kesempatan itu kepada Gus Dur dengan berbagai pertimbangan dan dinamika yang mengiringinya.
Sedangkan Bung Amin tak lain dan tak bukan adalah politisi lokal sumbawa yang juga hebat yang kelak jadi suksesor Pak De Jari Djaelani memimpin DPD II Golkar Sumbawa dan pimpinan di Gedung Dewan Sumbawa jalan RA Kartini.
Saya tulis artikel itu agar Bung Amin yang politisi muda itu jangan maju ikut pilkada. Tetap saja dulu di jalur politik. Biarkan senior Bapak Drs. H. Latief Madjid yang maju jadi Bupati. Waktu itu pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD. Prediksi banyak pihak, kalo Bung Amin serius maju dan sukses melakukan konsolidasi penggalangan fraksi internal dewan, maka kans Bung Amin menjadi Bupati sangat besar.
Seperti biasa, gara-gara artikel itu kami pun terlibat perdebatan. Tapi saya bersyukur Bung Amin tdk marah, tidak juga benci. Bung Amin justru tertawa. Saya senang Bung Amin akhirnya tidak maju. Sayapun senang Pak Latief Madjid terpilih jadi Bupati Sumbawa.
Tahun 1997, saya menulis artikel berjudul : Ketika Sumbawa Dibagi Dua. Lagi lagi kami terjebak dalam perdebatan panjang. Saya yakinkan basis analitik saya adalah ilmu pemerintahan dan administrasi negara, untuk percepatan dan memperpendek rentang kendali pelayanan publik. Bukan tafsir politik atau polarisasi budaya. Sepat tetap sepat, singang tetap singang, tak ada laksana tembok berlin sebagai pembatas. Yang ada, pemerintah hadir lebih dekat layani rakyat.
Tahun 2008, ketika Pak Amin duduk di Udayana sebagai wakil rakyat, kami bertemu kembali setelah lama tak jumpa. Dihadapan banyak kolega sambil ngobrol beliau sampaikan, Bung Gite ini musuh tapi dia saudara saya. Musuh karena sering menjadi lawan diskusi yang sering beda sudut pandang tapi kami tetap bersahabat katanya kala itu. Tak lupa Pak Amin juga cerita tentang polemik artikel cikal baksl terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat.
Tak diduga, 6 tahun setelah polemik, saya harus tanda tangan rekomendasi pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Waktu itu saya Ketua DPRD Sumbawa. Sesuai aturan pemekaran/pembentukan daerah otonomi baru, harus ada rekomendasi bupati dan ketua DPRD Kabupaten induk. Pada waktu saya akan tanda tangan rekomendasi, saya terbayang wajah Lalu Gite, katanya.
Hal ini kami bahas dan cerita ulang kembali ketika 5 hari mendampingi Wakil Gubernur H. Muhammad Amin SH MSi, tahun 2018 awal kunjungan kerja ke Ning Xia Tiongkok, sebuah provinsi yang penduduk muslimnya paling banyak di China. Selama di Ning Xia, banyak hal dibahas termasuk sikap dan persiapannya hadapi pilkada Gubernur tahun 2018.
Satu hal yang justru tak dibahas adalah dengan siapa akan berpasangan. Saya akan setia hingga akhir menunggu petunjuk Pak Gubernur TGB, katanya. Tapi apa pun nanti saya juga adalah pimpinan parpol yang pasti harus menentukan sendiri langkah politik yang akan saya tempuh, katanya.
Awal bulan Agustus ini kesehatan Pak Amin baru kami ketahui dalam kondisi yang kurang baik. Dirawat di RS Manambai Sumbawa Besar. Kami kaget, ketika viral di medsos, flayer urgen dari Sultan Kertapati bahwa Pak Amin butuh donor plasma konvalesen untuk golongan darah B.
Kamis 5 Agustus 2021 pukul 20.35, dr Eka Nurhandini Assisten 3 Setda ProVinsi NTB melaporkan kondisi kesehatan Pak Amin yang malam ini menurun. Jumat dinihari, 6 Agustus 2021, Pukul 04.18 Gubernur NTB – Dr. H. Zulkieflimansyah, share di WAG Forum OPD yang berisi pejabat utama Pemprov NTB, berita duka telah berpulangnya ke rakhmatullah Bapak H. Muhammad Amin SH MSi. Innalillahi waa innailaihirojiun.
Sewaktu menjadi wakil gubernur, saya bersaksi Pak Amin sangat loyal dan setia ke TGB. Pak Amin pemimpin baik yang kini pergi meninggalkan kita semua dengan segala kebaikannya.
Saya teringat senyumnya yang sangat bersahabat. Saya ingin membalas senyum itu untuk menghantar perjalanannya yang panjang. Saya janji tidak ingin menghantarnya dengan kesedihan, walau itu ternyata sulit. Tetap terselip rasa sedih dan haru.
Selamat jalan sahabat, selamat jalan sang pemimpin, selamat jalan smiling politician.
Semoga Allah SWT mengampuni salah khilafmu, menerima segala amal ibadahmu, menjadi ahli surga dan semua sanak keluarga tabah dan ihlas melepaskan kepulanganmu. Alfatehah. Aamiin. ***
*Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi NTB
BERSIPONGANG anganku mengais kembali keping-keping artefak dari beberapa peristiwa kala bocah di kota kelahiranku. Telah kusaksikan terjadi dan kudengar Ayah Ibu membicarakannya dengan para tamu. Ketika itu belum dapat kumengerti sebab-musabab terjadinya. Kemudian ujungpangkal dan duduksoal kisahnya sudah tersibaklah oleh waktu. Namun impresi kebocahanku atas serpihan dari kejadian itu hingga selanjut ini usiaku tidak jua kunjung selesai mengusik.
Itulah yang membawaku kembali berkunjung ke kota ini.
1
DARI BANDARA seorang famili mengantarku menyusuri jalan datar berkelok. Mengikuti garis pantai di pesisir timur teluk. Panoramanya dulu memesona. Kini tak membuatku terpukau. Kami menuju sebuah perempatan di pusat kota. Dua ratus meter arah timurlaut istana kesultanan. Lalu lintas sedikit mobil dan sepeda motor bersilang arah di sekitar. Arman Jahar, yang mengantarku, menepikan mobilnya di depan pagar halaman rumah pada pojok tenggara dari perempatan. Bangunan rumah tampak sudah berbeda sama sekali. Halaman luas yang ditumbuhi aneka bunga dan pepohonan, tempatku berkemah dan berkuda, semua telah punah. Namun utuh dalam terawanganku. Terekam jelas bentuk lama rumah itu. Bahkan perabotnya, warna kayunya dan susunannya. Dari semuanya, meja makan lah yang mendominasi kenanganku.
Ya meja makan besar terbuat dari kayu hitam itu. Kolongnya cukup luas, bisa menampung kasur tidur untuk Ibu dan dua bocah. Di sanalah kami mengungsi tidur. Dalam remang, seringkali gelap. Setiap malam. Malam yang berulang-ulang. Malam- malam yang diberondong derap tapak banyak orang. Suara dentang pagar halaman yang dipukul dengan besi dan batang kayu. Dan pekik serombongan lelaki perempuan yang meneriakkan lagu entah apa.
Cercah cahaya sebatang lilin yang tegak di lantai tak kuasa mengenyahkan rasa tercekam itu. Listrik dipadamkan, kata Ibu, agar kami di dalam rumah tidak terlihat oleh gerombolan yang selalu berkeliling mengendus dan bernyanyi lantang. Mereka menyusuri jalan di komplek dengan meneriakan lagu yang selalu sama. Asing dalam pendengaranku. Tidak pernah diajarkan Ibu Sinaga, guru TK kami. Setiap mulai terdengar lagu dari barisan itu, Ibu meraih aku dan adik dalam pelukannya. Sekarang,
Saat ini, kurasakan pelukan dekapan Ibu laksana pendar cahaya paling terang pada gulita kala itu. Ketika malam terteror pekik nyanyian tak kukenal dan dentang pagar terhantam besi.
Cukup lama sesudahnya adalah hari-hari tatkala tiada lagi berondongan teriakan lagu dari gerombolan yang berkeliling. Jauh waktu kemudian aku tahu, saat itu adalah hari-hari menjelang ujung tahun 1965.
Pada sekitar waktu itu, kerap pada hari sudah berbungkus malam, Ayah pergi dengan jip hanya berdua dengan supir. Kata Ayah, harus ke hutan jati. Jauh di luar kota. Kami—ibu, aku dan adik—tinggal di rumah dijaga petugas.Namanya, Pak Kus. Mulai menjaga—dan tak pernah pergi—setelah tidak ada lagi rombongan yang berkeliling melantangkan nyanyiannya. Sejak itu ia menempati satu ruangan di luar rumah induk, di sisi garasi. Menyusul hadir dan tinggal di kamar di teras belakang adalah Yusuf. Berasal dari pedalaman, ia murid SMP di dekat rumah. Bersama kawan- kawannya sering berbaris dan berteriak di jalanan mencari-cari rombongan yang menyanyikan lagu tak kukenal.
Pernah terdengar olehku, Ayah menjelaskan pada Ibu, bersama banyak yang lain ia mendapat tugas harus ke hutan jati. “Hadir untuk lihat orang yang ditangkap,” kata Ayah. “Banyak orang sudah diringkus.”
Mengingat itu, aku tercenung. Masygul. Terpaku menepi di sisi pagar halaman rumah. Rumah masa silam di pojok tenggara perempatan. Aku diam termangu.
2
TATAPANKU kemudian beralih ke sebentang jalan lebar di depan rumah. Di jalan ini pada satu siang melintas beriringan banyak truk. Hari itu, tak berapa lama setelah Pak Kus mulai menjaga rumah kami. Dalam iringan truk terbuka yang melintas terlihat orang-orang dan berbagai barang menumpuk. Mereka, orang-orang yang sering kujumpai di toko tempatnya berdagang, melayani pembeli. Kukenal raut mereka. Dua kali dalam seminggu aku dan adik diajak Ayah jalan-jalan ke kawasan pertokoan di sebelah barat istana kesultanan. Mampir belanja di toko pakaian dan toko kue. Atau makan cap cay enak dan mie kuah sedap di restoran. Juga ke pembuat sepatu yang selalu bercelana pendek. Sepatu dan sandalku dibuat oleh tangannya. Aku menyapa mereka, ‘Om Sepatu’, ‘Om Restoran’, atau ‘Om Toko Baju’—sesuai jenis usahanya.
Siang itu, om-om bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya—sebagian temanku di TK. Mereka duduk di atas tumpukan barang dalam truk yang bergerak perlahan. Sebagian berdiri menempel di dinding tepi bak truk. Ada Om yang cuma mengenakan singlet. Tante yang berdaster. Tak ada yang melambai. Hanya menatap.
Mereka berjejal dengan barang-barang. Kain warna warni serta kelambu putih berkibar melambai diterpa angin keluar dari tumpukannya.
Orang-orang dari rumah di sepanjang tepi jalan berhamburan keluar mendengar deru iring-iringanan truk yg melintas. Mereka meruyak, hiruk pikuk. Serupa tatkala menonton pawai perayaan kemerdekaan.
Karnaval. Aku merengek pada Ibu, mengapa aku tak ikut bersama temen- temenku seTK di atas truk? Mengapa ayah ibu mereka, Om dan Tante, turut dalam karnaval? Mana hiasan kertas warna? Mana benderanya?
Setiap peringatan hari kemerdekaan, selalu melewati depan rumah: karnaval anak, gerak jalan, drum band, juga parade segala jenis kendaraan hias dari truk sampai dokar. Semuanya meriah dalam balutan aneka warna kertas maupun ragam busana. Dan pasti banyak bendera kertas.
“Bukan, Nak. Ini bukan karnaval,” ujar Ibu membungkuk ke arahku. Lalu pandangannya kembali ke arah iring-iringan truk.
Tetapi, deru mesin banyak kendaraan itu. Hiruk pikuk orang di tepi jalan. Suasana meriah itu. Aku sedang menonton karnaval. Warna-warni kain diterpa angin. Dan kelambu yang melambai itu.
Aku sudah menjadi murid klas 2 SD di utara istana kesultanan ketika Pak Ali Jahja, kepala sekolah, mengantar masuk ke klas beberapa murid baru. Dan semuanya kukenal. Ada Ang, Kae, Ing, Fung, Cucing, Yong, Cae, dan Sing. Mereka sebelumnya adalah teman-temanku di TK. Pada saat istirahat aku melihat ternyata ada adik Ang di klas 1. Juga dua kakak perempuan Fung jadi murid baru di klas 3.
Teman-temanku kembali. Namun sebagian lainnya teman satu TK tak lagi pernah bertemu denganku. Entah ke mana sejak pergi dalam iring-iringan truk berkelambu melambai itu. Tak pernah kutanyakan itu pada para sahabatku. Tidak ada pula yang membicarakannya.
Hari ke hari kami belajar di klas. Bermain bola. Dan membolos, pergi menonton pacuan kuda. Aku kadang sebangku dengan Ang. Tubuhnya tinggi, kupikir hampir satu setengah kali badanku. Dia sering membantu untuk pelajaran berhitung. Kerap pula aku sebangku dengan Fung. Kami sama bertubuh mungil. Seringkali dia mengajari menggambar.
“Tanganmu jangan kaku. Lenturkan jarimu,” katanya agak dongkol ketika menggurui aku menggambar lengkung pelepah dan detail daun kelapa. Dia terampil menggambar. Bola mata dan manyun bibirnya otomatis bergerak searah gerakan pensil di tangannya. Tak pernah kualami keadaan seperti itu apapun yang coba kugambar.
Kadang Ang dan Fung minta tolong untuk jawaban dalam pelajaran bahasa, sejarah dan pengetahuan umum. Menjelang ulangan kami belajar bersama di rumah Jamil. Rumahnya gedung yang luas. Ayahnya pedagang kain. Di rumah itu sering terdengar musik kasidah dari piringanhitam. Rumah tokonya bersebelahan dengan toko
ayah Ang. Di sekolah, Jamil sebangku dengan Cucing. Syaiful dengan Ing. Dan Rais kadang dengan Yong. Rais lah yang kerapkali membentuk tim 2 x 6 orang untuk laga sepakbola di halaman depan deretan klas. Waktu istirahat, kami bertanding. Mayong, Kae, Rudin dan Rais adalah jagoan pencetak gol. Dua kakak perempuan Fung dan kakak perempuan Rais selalu menjadi supporter adiknya. Fung dan dua kakaknya— kurasa mereka berdua adalah perempuan paling cantik di sekolah kami—adalah anak Om Restoran. Ang kerap menggoda salah seorang kakak Fung. Jamil kepincut pada kakak Rais.
Serapat itu pertemanan kami, tak terdengar ada yang saling membicarakan karnaval truk berkibaran kelambu. Tidak juga ada yang bertanya, misalnya di mana anak-anak Om Sepatu dan anak-anak Om Baju kemudian bersekolah. Mereka teman kami satu TK, sebagian yang tak pernah bertemu lagi denganku setelah karnaval truk berkibaran kelambu.
Dari sisi pagar tempatku berdiri, kelambu tampak masih di pelupuk mata, melambai-lambai. Ranjang di kamar di manakah mereka dulu lalu merangkai kembali kelambu itu?
3
MASIH BERDIRI di sisi pagar, sesaat aku terkesiap. Seketika ingatanku mengapungkan kembali sepenggal cerita yang sempat kudengar saat klas 2 SD. Tentang komandan yang berkuasa memerintahkan penangkapan orang-orang, termasuk yang dibawa ke hutan jati. Belakangan, setelah pindah ke ibukota provinsi, justru komandan ini yang ikut ditangkap. Dipecat. Ditahan. Tidak lama sebelumnya, adik ipar komandan telah juga ditahan di Jawa.
Istri komandan dan adiknya adalah kerabat Ibuku. Anak-anak komandan tentu familiku. Kudengar Ibu dan Ayah bicara, sudah terima kabar bahwa anak-anak serta istri komandan dalam keadaan aman. Dan mereka dipindahkan dari rumah komandan ke rumah yang lebih kecil.
Sedikit yang kudengar mengenai adik istri komandan, dia ikut bersama kakaknya sejak SMP sampai SMA. Berpindah-pindah kota karena pindah tugas suami kakaknya. Selulus SMA, memisah dari kakaknya, ia ke Jawa untuk belajar melukis.
4 AKU MASIH di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan. Kulihat Arman agak menjauh, duduk di atas dinding riol. Kakinya menjuntai di saluran tak berair itu.
“Arman,” kataku mencelahi kebisuan. “Dulu, di halaman rumah kami ini,” aku menunjuk pekarangan di belakang punggungnya, “terpancang empat, mungkin lima, papan kampanye satu partai.”
“Partai apa?” tanya Arman menatapku.
“Tegak berdiri cuma dua hari,” sahutku tak hirau pertanyaannya. “Tiang dan papan kampanye partai itu dicabut, diangkat dari tanahpancangnya. Kemudian dilempar ke atas truk.”
Kelumit ingatanku tentang diringkusnya papan kampanye ini sungguh masih segar belaka. Saat itu aku sudah klas 5 SD. Setelah truk berlalu membawa papan kampanye, kusaksikan beberapa tetangga dan banyak orang tak kukenal datang bergegas. Lantas gerutuan marah bersahutan. Entah kepada siapa dituju. Makian, umpatan dan cacian berkelebatan saling tubruk pada suasana kerumunan.
Tidak berselang lama, muncul seorang yang semua dalam kerumunan mengenalnya. Ia Pak Abu Bedon, pedagang hasil bumi dan ternak. Ayah Rais, temanku seklas. Terkaya dari enam orang kaya di kabupaten ini—lima lainnya pun adalah adik kandung dan para sepupunya. Dari mobilnya, menurutku itu mobil terbaik di kota kami—bahkan lebih baik dari mobil bupati, ia turun dengan mata yg tampak merah. Air mukanya muram sangat. Lilitan sarungnya pun tidak kencang dan tak beraturan hingga ujung bawah lingkar sarungnya tinggi dan rendah. Tampak ia datang dengan terburu-buru.
“Datupa rawi lako doho re… La nga’i danta mena ba ina na.” Dari bibirnya yang dower terlontar umpatan murka sekasar yang bisa memuaskannya.
Kepada siapa orang-orang tua itu melontarkan serapahnya? Yang bisa kuduga ialah kepada para peringkus papan kampanye. Tetapi aku sungguh tak bisa menebak siapa para peringkus. Dan untuk apa mereka melenyapkan papan kampanye. Aku juga tidak tahu kelanjutan setelah amarah yang memuncak itu. Kerumunan itu beranjak bubar oleh gema azan maghrib.
Di pojok baratdaya dari perempatan adalah masjid raya kota ini.Menempati satu blok seluas dua kali lapangan bola. Ketika azan senja itu menggema, kerumunan orang dengan amarah tadi beriringan menuju masjid.
Di masjid itukah amarah melanjut? Atau mereda?
5 PADA SUATU Jumat, satu atau mungkin dua pekan setelah peristiwa diberangusnya papan kampanye. Seperti biasa, di masjid ramai orang yang akan beribadah Jumat.. Meluber sampai ke koridor timur masjid raya.
Khutbah sedang berjalan tatkala insiden itu mendadak muncul. Aku terpana. Beberapa orang beseragam lengkap dengan sepatunya merangsek masuk dari koridor timur. Melangkahi dengan kasar jamaah yang sedang bersila menyimak khutbah. Aku sempat bereaksi ingin tahu. Kutegakan tubuhku dengan menumpukan dua dengkul di lantai bersajadah. Secepat itu pula reaksi tangan Ayah menyentak lenganku. Menggamitku agar bersila kembali.
Sampai di depan mimbar, para penyerbu dadakan mengurung khatib yg seketika itu lalu menghentikan khutbah. Berlangsung ringkas dan cepat, khatib disorong keluar melalui pintu darurat sempit di belakang mimbar. Entah ke mana mereka membawa khatib. Empat orang berseragam berlompatan menyusul keluar melalui beberapa jendela pada dinding barat masjid, di depan saf pertama.
Ibadah Jumat terganggu hanya sekejap. Sekejap saja. Begitu khatib ditarik turun dari mimbar, muazim langsung sigap berdiri dan melantunkan bacaan standar penanda jeda antara selesainya inti khotbah dengan penutup. Sesudahnya muazim itu juga yang sekaligus membacakan penutup khutbah.
Seakan tak terjadi gangguan apapun, ibadah Jumat hari itu berlanjut dengan azan. Kemudian Om Imam memimpin salat Jumat dua raka’at.
Keriuhan terjadi usai salat. Orang-orang tidak langsung pulang. Mereka bergerombol menjadi banyak kelompok di dalam masjid. Ada yang berdiri, lebih banyak lagi yang belum beranjak. Mereka bersila, juga berselonjor di lantai.
Suara kata-kata yang berlompatan dari banyak kumpulan orang itu menggema di dalam masjid. Menimbulkan dengung di seantero ruang yang ditangkupi kubah utama, persis di bagian tengah atap masjid.
Itu atap bergenting tebal. Pernah kudaki bersama tetanggaku si pendiam Ainul dan Zulkifli yang gemar bicara. Beberapa kali selepas zuhur kami mendakinya sampai pelataran sempit persis di kaki kubah. Hanya untuk pamer cerita pada teman-teman di sekolah.
“Sudah kulihat semua atap rumah sekeliling kota ini sampai ujung teluk di kaki langit,” kata Zul sembari merangkak mundur menuruni atap.
Ainul menyeringai. “Selamat dulu sampai teras lantai dua, baru bicara selangit,” ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
Di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan, terasa bibirku membuka dan agak tertarik melebar. Mengingat itu, aku tersenyum. Baru terpikir olehku, dengung menggema usai Jumat kemelut 50 tahun silam itu mungkin merayap jauh lebih tinggi dibanding tiga pendaki genting.
Kubayangkan, dengung itu berkelindan dalam perut kubah. Lalu menyeruak keluar melalui celah kaki-kaki penyangga mahkota kubah. Di pucuk ketinggian, dengung itu merayapi mahkota, yaitu bintang dan bulan sabit—mengantar semua doa dan kata-kata meraih langit.
6 TIGA ATAU EMPAT HARI sesudah Jumat kemelut sekejap itu. Kakek datang.
Biasa. Mampir dua kali seminggu. Tengok cucu. Ibuku anak tunggalnya.
Kakek seorang yang tertib dan necis. Pakaiannya tersetrika licin. Ujung atas pantalonnya melingkar di atas pusar, diikat ban pinggang. Ujung bawahnya jatuh tepat seinci di atas sepatu yang tersemir mengkilap.Seringkali duduk dengan kaki bersilang. Mengobrol dengan siapapun, dengan Pangeran—adik kandung Sultan—pun, tetap bersilang kaki. Ujung sepatu Kakek kadang nyaris menyentuh ujung sepatu Pangeran yang sama bersilang kaki. Anak perempuan mereka bersahabat dekat. Dua dari sedikit perempuan masa itu yang dikirim sekolah ke Jawa.
Kakek pembaca yang bukan saja rakus. Pada buku-bukunya bisa ditemukan garis tinta merah, biru, hijau, atau hitam di bawah teks yang dianggapnya menarik. Di ruang kosong teks, di tepi kanan atau kiri pada halaman dengan teks yang menarik perhatiannya, Kakek menulis—kadang dalam bahasa Belanda—catatan atau pertanyaan dengan tinta merah.
Kepada tamu, siapapun, yang mampir di rumahnya, Kakek selalu membacakan kutipan teks buku yang telah digarisbawahi. Sekaligus catatan atau pertanyaannya. Tidak perduli tamunya suka atau tak suka. Aku kerap tertawa, geli melihatnya seperti berdeklamasi tatkala membacakan teks untuk tamunya.
Di rumahnya banyak buku. Beberapa rak. Di atas rak yg paling lebar diletakkan bingkai foto—persis foto di dinding rumahku—pria berkacamata, kemeja putih lengan pendek dan berkopiah. “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar,” ujar Kakek menatap foto.
Siang itu aku sedang menemani Kakek di meja makan hitam besar. Membaca koran dan majalah. Aku cuma membolak-balik, membaca judul-judul, melihat foto-foto pada setumpuk publikasi langganan Ayah. Harian Abadi dari Jakarta; Petugas Pos
datang membawanya sekali seminggu, sekaligus 6 edisi; Pesawat terbang jenis DC-3 bekas perang Korea yang diubah jadi pesawat penumpang terjadwal sekali seminggu ke kota ini. Ada juga Majalah Panjimas, Jakarta; Buletin Adil, Solo; Majalah Berita Sketmasa, Surabaya; Ada yg seronok, majalah hiburan Varia.
Ketika itulah masuk Yusuf dari teras belakang memapah Om Tasrif sampai di ruang tengah. Dibaringkan di sofà. Tampak rautnya menahan kesakitan. Siang itu, tajam sorot matanya tampak tak berkilat.
Om Tasrif berkulit gelap. Rahangnya menonjol. Bekerja sebagai pegawai negeri pada satu kantor pemerintah. Ia berasal dari kecamatan dengan tradisi berani untuk tidak takluk. Di sana lelaki bertarung bebas satu lawan satu sebagai perayaan tiap selesai panen. Leluhurnya menolak patuh pada perintah sultan karena perintah sultan harus membayar bea kepada Hindia Belanda. Pembangkangan itu akhirnya mereka tempuh dengan perang. Melawan bedil dan sangkur, tentu kalah dan banyak yang gugur. Anak cucunya bangga, setiap tahun merayakan sikap dan tindakan pendahulunya. Dari komunitas itulah ia berasal. Tak aneh bila cap pemberani lekat padanya.
Dia keponakan Kakek. Sering datang mengobrol dengan Ayah Ibu. Kepadaku dia selalu tersenyum. Kerap membawakan untukku buah srikaya gunung, kadang mangga atau tebu.
Tetapi sekali ini datang tanpa buah di tangannya. Tak tampak senyum. Dia muncul dengan wajah lebam, bonyok, luka. Suaranya terdengar merintih. Tangannya menangkup di bagian perut. Langkahnya tertatih. Tidak lagi tegap.
Dari meja makan dan setumpuk majalah aku beranjak memberitahu Ayah. Kakek tak bereaksi, tetap membaca. Ayah bergegas keluar kamar hanya dengan sarung dan kaos oblong, mendelik ke arah Om Tasrif.
“Tiga hari saya disekap di markas. Begini jadinya,” keluh om Tasrif. Spontan Kakek berdiri.
“Verdomme..Stop sedu merintih itu,” Kakek membentak.
“Komandan yang dulu menangkap musuh, ternyata segolongan dengan yang ditangkapnya. Komandan yang sekarang, saya kira segolongan kita, ternyata menahan dan kejam menyiksa,” jawab Om Tasrif meradang.
“Hei Tasrif, saya disiksa dan dipenjara oleh dua penguasa berbeda sebelum zaman ini,” kata Kakek. Kepal tangannya berkacak di pinggang. “Ketahuilah, Nak. Orang-orang berkuasa datang dan pergi. Seperti musim, ganti berganti. Tetapi yang mereka genggam adalah zat kekuasaan yang sama.”
Kukira Kakek akan diam mendengar Om Tasrif masih meratap. Ternyata tetap bicara. “Orang berkuasa memihak kepentingannya sendiri. Selalu demikian. Di luar itu adalah korban. Bergiliran. Pada saatnya mereka juga adalah korban. Begitulah selalu yang terjadi.”
Tak hirau percakapan itu, Ayah menuju meja kecil di sudut ruang tengah. Diputarnya engkol telepon hitam, lalu berbicara kepada operator sentral telepon minta disambungkan ke telepon rumah dokter Hasan.
Belum lama menikahi sepupu ibuku. Ia paman dari temanku Sing. Dokter satu- satunya di kota ini, bahkan di sekabupaten ini. Baru dua tahun lulus dari Universitas Airlangga sudah langsung diangkat sebagai kepala rumah sakit kabupaten. Rumah dinasnya hanya berjarak empat rumah di sebelah barat masjid raya. Sedangkan rumah kami, diselingi seruas jalan, berada di timur masjid.
Dokter datang dengan tas hitam. Berkacamata tebal. Dan senyum yang tak pernah tanggal dari pipinya yang tembem. Laksana melekat pada wajahnya. Menatap parasnya serasa seisi dunia ini damai belaka. Dokter tidak bertanya yang terjadi pada pasiennya. Hanya menyentuh perlahan dan memeriksa menyeluruh pada permukaan tubuh.
Dengan stateskop tergantung di leher, dan airmuka yang senantiasa memberi senyum itu, ia laksana dewa penyelamat.
7 TUJUH BULAN setelah pemilu 1971 kami sekeluarga pindah ke kota provinsi. Ikut Ayah pindah tugas. Bertemulah aku dengan anak-anak bekas komandan yang ditahan itu. Kami sekolah di tempat yang sama. SMP dan SMA. Ibu mereka kupanggil Uwak. Itu aturan dari Ibuku. “Uwakmu enam tahun lebih tua dari Ibu.”
Aku sering mampir main di rumah kecil Uwak lantaran Anom, teman sebangku di SMP, kerap memintaku untuk menemaninya. Dia menaksir Lala, anak Uwak yang seumur aku. Lincah bergaul. Berlaku dan bertutur manis pada semua orang. Belia ini pandai pula menulis surat. Banyak teman terpesona. Mereka menganggapnya serupa Yessy Gusman, bintang film remaja kondang kala itu. Menurutku, Yessy lah yang mirip Lala karena anak perempuan Uwak lah yang lebih dulu lahir. Berbeda dengan kakak maupun adiknya, Lala tak tampak inferior di tengah pergaulan murid sekolah favorit.
Uwak bekerja apapun yang mungkin demi hidup dan sekolah enam anaknya. Acapkali kutemui sedang menyulam, menjahit atau membuat kue. Juga memasak pesanan tetangga dan kenalan. Kenduri di rumah keluarga jarang tanpa sentuhan
tangannya di dapur.”Yang penting anak-anak sehat, Uwak cukupkan kebutuhannya, dan bisa sekolah,” ujarnya.
Aku cuma mengangguk.
“Kamu tahu, nak…Uwak ibarat setir mobil tanpa kaca spion. Mobil khusus, telah Uwak copot persneling mundurnya. Lantas untuk apa kaca spion? Jangankan penumpangnya, sedangkan Uwak yang nyetir pun sudah tak perlu lihat samping dan belakang lagi.”
Kembali aku mengangguk. Dan mengucap, “Iya Uwak.”
Kuperhatikan tubuh Uwak makin lama kian ringkih. Tampak bagiku kepedihan menderanya. Betapapun ia terlihat berusaha selalu senyum. Sembari menyulam kadang turut mengobrol dan tertawa riang bersama teman-teman anaknya. Baju hangat tebal di badannya, kulihat seperti kukuhnya ketabahan membungkus lara dan perih.
Suami berpangkat overste mendadak sontak tidak lagi bisa bersama oleh sebab yang tak pernah Uwak tahu sebelumnya. Hidup berkecukupan sebagai anak istri komandan seketika terenggut, yang tak pernah Uwak duga akan mengalaminya. Anak bungsu terombang-ambing antara cap tak pernah tumbuh dewasa dengan stigma berkelainan mental, yang tidur berpindah-pindah dari satu rumah kerabat ke kerabat lainnya.
Dengan segala daya upaya Uwak dapat menyelesaikan lima anaknya sampai tamat sekolah menengah atas. Setiap ada anaknya lulus, segera ia berupaya mendapatkan pekerjaan. Hanya seorang yang dapat menjadi pegawai negeri. Itupun dengan akrobat memohon dengan air mata kepada istri jenderal yang menjabat gubernur—bekas atasan suami Uwak.
Adalah keajaiban Uwak dapat bertahan menghidupi sekeluarga. “Martabat dan kehormatan, kalau itu masih penting, kita sendiri yang menentukannya, yaitu oleh yang kita lakukan dalam menjalani hidup ke depan. Kalau ada cibir dan cemooh, biarkan saja. Itu pasti terhadap masa lalu dan keadaan kita saat ini. Kalian anak-anakku, ingat ya, bangunan masa lalu kita sudah rubuh. Telah melakukan apa Papamu dan Om kalian, dua laki-laki itu, Mama pun tak tahu. Apalagi kalian. Jangan pernah menoleh ke belakang. Mulai sekarang Mama yang pimpin ini keluarga. Kita susun bata demi bata bangunan masa depan kita. Apapun yang kita capai, yang lebih penting adalah kita sudah berusaha sebaik-baiknya usaha. Kelak waktu yang membuktikan.”
Begitulah Lala menulis kepadaku dalam salah satu suratnya mengisahkan tentang sikap dan pendirian Mamanya—Uwakku.
Aku merasa, Uwak adalah pejuang. Pahlawan berani hidup. Dengan keteguhan luar biasa, ia bertahan atas beban yang mengepungnya. Juga menghindar dan melawan kepedihan yang hari ke hari mengiris dan mencabiknya. Bukan saja suami dan adik lelaki telah diringkus darinya. Tetapi nyaris kehidupan di tubir jurang itu menggilas dan mengkremusnya.
Adik Uwak, kukenal sebagai Om Ima Hamanda. Begitu ia meminta namanya harus dieja. Bukan cuma Ima Haman. Itu kata seorang ponakannya, anak Uwak.
Haman, nama ayahnya. Tak jelas sebab ia menambah dua huruf pada nama ayahnya, yang ia terakan sebagai nama belakang dirinya. Mungkin—aku sekadar menduga, lantaran keyakinan ayahnya yang seringkali dipertanyakan dan didebat oleh Om Ima.
Pak Haman seorang guru sekolah menengah negeri. Ia menikah dengan sepupu Kakek. Sama dengan Kakek, Pak Guru Haman adalah pengagum seorang berkemeja putih lengan pendek, berkacamata dan berkopiah, yang pernah disebut Kakek sebagai “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar” itu.
Belakangan aku tahu Om Ima adalah seorang pelukis alumnus ASRI Yogyakarta, satu dari lima orang pada awal 1960an mendirikan sanggar seni lukis berpengaruh—bahkan hingga saat ini. Ia ditahan, kemudian dimulailah, yang belakangan setelah bebas disebutnya, “hewan dari penjara ke penjara—tempat kemanusiaan telah hendak coba dipunahkan.”
Dibebaskan 1977 dari tempat tahanan terakhir, jauh di sebuah pulau kecil, terbawa pulang bersamanya: TBC kronis. Jalan pun sudah tak mampu. Ia ditandu.
Berselang setahun atau hampir dua tahun sesudah Om Ima, bebas pula kakak iparnya, sang bekas komandan eksekusi di hutan jati. Pada sekitar saat pembebasan itu, Lala lulus SMA dan berkeras melanjutkan belajar ke universitas di Jawa. Bersikukuh pada kehendaknya, sekukuh Uwak membesarkannya. Dengan bantuan famili, akhirnya Uwak dapat biaya untuk berangkatkan Lala.
Om Ima sudah tampak cukup sehat ketika kebetulan bertemu saat aku mengunjungi Uwak dalam kesempatan mudik liburan kuliah. Tak banyak bicara, Om Ima cuma bergumam, “Di penjara, dari penjara ke penjara, Om diperlakukan jadi hewan. Kemanusiaan dinistakan.” Kemudian menyingkir, berjalan tertatih menuju kamar tidur. Ia tak menanti tanggapan atas ucapannya.
Kabar yang menggembirakan Uwak dan suami—yang terbaring sakit—serta anak-anaknya, akhirnya datang. Lala diwisuda sebagai sarjana.
“Yang ini melebihi cantik ibunya waktu muda,” dengan airmata tertahan begitulah Ibuku memuji Lala ketika datang sowan setelah wisuda sarjana.
Pada awal 1990an di teras Wisma Seni TIM, Cikini, Jakarta, aku berpapasan dengan Om Ima.
“Ehhh, Om Ima… Sehat yaa,” seruku spontan—tak menduga bertemu dengannya pada sebuah pagi berkilau cerlang mentari.
Kami ternyata sama menginap di wisma yang bertarif 50 ribu perak per orang per malam itu.
“Iya… Beginilah. Lumayan,” jawabnya. Senyumnya tampak hanya segaris.
Kami berpelukan. Terasa olehku tipis tubuhnya. Dan bergetar. Kupikir tinggal semangat yang membuatnya kuat bertahan. Kulihat itu pada sorot matanya.
“Kembali melukis, Om?”
“Itulah enerji hidup ini. Tapi begini ya… Sudah belasan tahun di luar penjara. Memang bebas… Tapi terasa masih… masih digantung … terutama lantaran … apa itu
…kehormatan yang belum pulih,” ujarnya patah-patah.
Aku jadi merasa canggung. Kehilangan kata-kata untuk merespon Om Ima.
“Ayo Om, kita pulang kampung,” ujarku sekenanya. “Mungkin di kampung bisa ..”
“Om memang ingin pulang,” sahutnya menyambar kalimatku yang masih diawang-awang. “Tapi…Semua membenci. Tak seorang pun keluarga dan kerabat di sana yang mau terima Om pulang.”
“Eh Om, lahir di sana ‘kan tidak mesti mati dan bermakam di sana,” ujarku. Dia terkekeh. Terdengar getir.
8
AKU MENGINGAT momen di TIM Jakarta itu dari tepi pagar halaman rumah di pojok tenggara perempatan. Rumah masa lampau. Kemudian kuajak Arman berkendara keliling kota ini, ke area seputaran tempat kelahiran Uwak dan Om Ima. Sekaligus mampir makan enak di warung peninggalan Om Madura, ayah temanku Gatot.
Masakan kambing dengan resep Om Madura yang terkenal lezat ini lebih mirip tengkleng ketimbang soto—sebagaimana dikenal sejak mula kisah tatkala dijual keliling dengan gerobak dorong. Kuahnya berbumbu aneka rempah. Dagingnya disajikan lengkap dengan tulang. Tidak pakai santan, maka bukan soto apalagi gulai. Tidak pula bening, maka bukan sop.
Sebelum aku lahir puluhan keluarga Madura sudah bercampur baur saling silang kawin mawin dengan warga setempat. Temanku Gatot lahir sebagai generasi kedua, mungkin ketiga, peranakan Madura di kota ini. Saat kukunjungi warung peninggalan ayahnya ternyata sudah di tangan generasi anak dan ponakan dari Gatot. Bahkan siap- siap dioper ke generasi cucunya.
Lokasi warung ini tak pernah pindah, masih di tempat yang sama sejak aku TK 55 tahun silam. Di dalam kawasan kampung tempat Om Ima lahir. Sembari kunikmati daging dan kuah berbumbu rempah itu, Gatot bermata bulat besar itu masih tertawa- tawa menyerap ceritaku. Bahwa pernah kejadian dalam hidupku, tak mampu menemukan masakan seperti yang sedang kukunyah ini setelah 3 hari 2 malam mengubek-ubek dari Bangkalan, Pemekasan sampai Sumenep. Bahkan dalam rute sebaliknya pun masih kucari dengan penasaran.
“Namanya memang Soto Madura. Tapi ndak mungkin ada di Madura … Ha ha ha
… Ndak ada….. Ini menu racikan orang Madura di sini .. Kakek Nenek kami Madura di sini… ini formula yang sudah disesuaikan dengan selera lidah orang sini,” Gatot berkisah tentang moyangnya, perantau awal yang menetap atas ijin sultan.
Tampaknya makanan pun, di mana dimasak di situ selera dijunjung.
Menikmati formula bumbu moyangnya Gatot, aku ingat cerita Ibuku tentang perkembangan Lala tahun-tahun berikutnya selepas wisuda. Bekerja swasta. Menikah. Tinggal di Jakarta. Membangun usaha dagang scrap alias besi tua dengan suaminya. Beberapa tahun sudah bisa membeli tiga rumah besar. Berlimpah kekayaan materi. Dan diberkahi empat anak.
Suatu hari sesudah 2010 aku mencoba menemui Lala. Tak dapat kujangkau. “Gak pernah bisa sama kesempatan kita yang lowong acara,” kata Lala mendahului bicara ketika kutelepon.
“Banyak acara bisnis dan banyak pengajian,” lanjutnya.
“Orang kaya sibuk Ya sudah, kita ngomong di telepon saja,” sahutku.
Kudengar Lala tertawa mengikik.
“Aku cuma ingin Lala bantu Om Ima ”
“Ah, Om Ima udah beda, dia pindah jadi .ituu….” Lala memotong cepat kalimatku yang belum selesai.
“Lala ngomong apaan sich? Apanya yang beda? Pindah dari jadi apa ke jadi apaa?”
“Pokoknya beda … Dia beda dengan kita sekeluarga.”
“Dari kita belum lahir sampe kita tua, Om Ima juga udah beda dengan kita. Tapi kan tetap om kita.”
“iiihhh … Bukan itu. Dia udah menganut agama tapi beda dengan kita.”
“Ohh itu….. Soal keyakinan… Itu wilayah bebas merdeka tiap-tiap orang untuk berbeda pilihan yang diyakininya. Toh kita semua sama-sama mengabdi pada Zat Tuhan yang Satu, yang sama. Aku bukan mau bahas itu… Tapi mau minta Lala bantu Om Ima Saling bantu saling tolong, jangan pilih-pilih berdasar keyakinan.”
“Udah sering kubantu. Kirim-kirim semampuku.”
“Yeee …Bukan uang. Menghina dia memberinya uang belas kasihan. Dia gak butuh uangmu. Jadi OKB jangan sombong, Lala.”
“Apaan sich? Terus aku mesti bantu apaa?”
“Lala lakukan sesuatu, yakinkan, bujuk, keluarga besar di kampung agar mau terima Om Ima pulang dan menjalani sisa umurnya di sana. Sudah lebih 70 tahun, sakit-sakitan pula. Itu angannya, kerinduannya. Mungkin dia mau menunggu saat pergi dengan tenang nyaman di tengah keluarga di kampung.”
“Waduh, itu beraat. Berat. Justru enggak bisa tenang. Bisa dikucil dan dikata-dikatain di sana. Semua sudah bilang menolak.”
“Lala sering menyumbang keluarga di kampung. Mereka pasti berubah kalau Lala yang minta,” aku agak mendesak.
“Gak ada celah. Aku gak bisa. Gak mampu bantu alirkan kerinduan yang ini. Angkat tangan. Dan mohon maaf. Kita hormati pilihan keyakinan Om Ima. Harusnya kita hormati juga sikap berbeda yang diambil keluarga di kampung.”
“Tega banget tuh orang-orang, menolak kehendak seseorang, keluarga pula, menetap kembali di kampung tempat kelahirannya, untuk mencoba nyaman pada sisa umurnya,” sungutku mulai kesal.
“Buat apa juga pusing dengan tempat hidup dan mati. Sendiri dan tersisih tak bisa dijawab dengan melarikan diri ke dalam tempurung. Om Ima mestinya terus aktif saja melukis lagi. Siapa tahu ada kolektor gila kelak menggilai karyanya. Tuh temannya sesanggar, yang melukis celeng adalah tiran, ‘kan sama dulu juga dari penjara ke penjara. Sekarang jadi hebat. Dihormati orang. Lukisannya mahal. Kehormatan harus diperjuangkan. Aku belajar dari Mama. Mestinya dia kuat seperti Mama. Om Ima terlalu banyak lihat kaca spion sich. Mandeg daya kreasinya karena selalu meratapi masa lalu……”
“Hei Lala, cerewet. Stop ceramah. Om Ima ‘kan tetap melukis. Ada kolektor yang tampung lukisannya. Bukan perihal itu aku meneleponmu. Intinya, mau apa tidak bantu Om Ima diterima pulang tinggal di kampung? Dia mau kerja melukis di kampung.”
“Gak bisa. Berat. Pokoknya Om Ima jangan cengeng deh.” Kemudian ‘jeb’—Lala menutup telepon.
Buntu. Mentok sudah. Nasib Om Ima. Sendiri. Dan tersisih.
Setelah perjumpaan di TIM itu, dan percakapan telepon dengan Lala, lama tidak terdengar kabar berkenaan dengan Om Ima, Uwak maupun tentang suami Uwak. Sampai seorang teman menelepon. Temanku SMP dan SMA, tetangga beberapa rumah dari rumah Uwak. Dan ia seorang dokter. Sang dokter berkisah mengenai Lala yang membeli rumah besar milik tetangga Uwak. Lalu tembok pemisah dirubuhkan. Lantas rumah kecil Uwak dan rumah besar baru dibeli itu sama-sama direnovasi dan digabung jadi satu menjadi rumah dengan banyak ruang yang jembar. Halamannya pun jadi lebih lapang.
“Memangnya kenapa, Pak Dokter? Bagus dong Si Lala. Mencoba meraih kembali masa kecil riang berkecukupan yang dulu seketika terenggut. Inisiatif anak berusaha bikin suasana hidup nyaman agar Mama Papanya jadi sehat dan berbahagia,” ujarku merespon cerita sang dokter.
“Iya, bagus. Orangtua Lala kelihatan memang happy sekarang. Tadinya aku mengincer rumah itu. Eh keduluan Lala,” sahut dokter.
“Tuan ini dokter atau pedagang jual beli properti?” Kudengar dia tertawa berderai sambil memaki.
“Pak dokter mestinya sesekali bantu periksa kesehatan beliau berdua. Kan sudah pada uzur tuh,” kataku.
Berkeliling seputaran kota ini telah mengapungkan hampir semua halaman- waktuku kala bocah dan belia. Perkisahan ini sekadar sepuing dua-puing yang dapat kuceritakan. Ada sepercik luka dan perih. Mungkin setangkup kegetiran. Ada secercah elan dan harapan. Barangkali setangkup optimisme. Semua itu—lazimnya kehidupan— adalah latar yang melengkapi kesementaraan.
9 BEBERAPA TAHUN setelah nyaman berbahagia—sering dalam sakit—di rumah yang jembar itu, sang bekas komandan, suami Uwak, wafat.
“Semua keluarga tabah menerima,” kata Ibu mengabariku melalui telepon.
Ihwal duka dan belasungkawa lah yang kian sering saling dikabari di antara teman-teman seiring makin tua usia kami. Daniel, temanku membolos, memberi kabar bahwa Jamil tewas dalam kecelakaan sepeda motor. Joewel, saudara kembar Daniel, meninggal menyusul Johanes kakak mereka. Zulkifli, yang kemudian menjadi arsitek spesialis masjid, mengabari adiknya wafat.
Tujuh tahun setelah suaminya berpulang, lalu Uwak menyusul mangkat dengan tenang di tengah semua anak dan mantu serta para cucu yang menungguinya di rumah sakit.
Ang juga mengirim pesan bahwa Fung sekeluarga sedang berduka. Dalam ingatanku, sekeluarga Fung pindah ke Jawa setelah semua tiga kakak-adik ini lulus SD. Belum genap 10 tahun menetap di Jawa santer kudengar mereka menjadi satu keluarga dari 5 Terkaya Indonesia. Posisi yang kemudian selama puluhan tahun hingga kini tetap bertahan. Dan selalu menjadi berita media massa mainstream maupun media sosial.
“Papanya Fung meninggal dunia karena sakit,” Ang menulis pesan.
Kubayangkan Ang—yang memilih nyaman di kampung dan meneruskan toko ayahnya
—mungkin masih memendam hasrat masa bocah SD.
“Sekeluarga Fung datang ke kampung dengan jet pribadi membawa abu jasad mendiang.” Begitulah Ang menutup pesannya.
Belakangan Fung sendiri mengirimiku kabar, abu jasad papanya (di masa lalu biasa kusapa ‘Om Restoran’ itu) telah ditabur oleh anak cucu di tengah perairan teluk tepi barat kota ini . “Itu pesan Papaku ketika sakit. Abunya harus ditabur di teluk di kampung halaman,” tulisnya.
Pesan dari Fung tadi, sungguh kuingat dengan pasti, ketika itu tak urung telah memaksaku membacanya berulang-ulang. Teringat lagi olehku bocah temen-temen TK dan orangtua mereka yang tak pernah kembali setelah karnaval truk berkelambu melambai itu. Lalu kuketik jawaban untuk Fung. “Pada zaman ini, kita tidak tahu pentingnya seseorang masih memiliki kampung halaman. Tapi, Papamu ada benarnya. Mau di mana lagi kampung halaman kita—tanah tempat pulang, tempat kita merasa berakar dan bertaut dengan puak maupun leluhur, sedangkan luka dan gembira masa silam kita, juga kakek nenek kita lahir, hidup, mati dan dikuburkan di sana.”
Memiliki tempat untuk kembali, tanah terakhir yang dikehendaki—sebelum akhir……………
Hasrat dan kerinduan Om Ima yang tak pernah sanggup ia raih hingga kemarin, ketika virus maut itu merenggutnya. Misa Requim pun urung mengiringi perjalanan terakhirnya.●
#Bima – LabuanBajo, Medio 2020
Mempercakapkan Zaken OPD di Pemerintahan Djohan-Danny
Dibutuhkan birokrasi profesional yang jadi kunci keberhasilan pemerintahan, karena itu penting mempercakapkan Zaken OPD, yakni figur-figur jajaran pembantu bupati yang memiliki kompetensi bagus di bidangnya.
lombokjournal.com ~ “Serahkanlah semua urusan pada ahlinya”. Kalimat ini adalah penerang jalan kebangkitan daerah Lombok Utara di tengah senjakala birokrasi saat ini. Satu sisi butuh percepatan atas seabrek pekerjaan rumah yang kini sedang menanti penyelesaian.
Disisi lain, birokrasi daerah sebagai penggerak pembangunan daerah masih memerlukan penataan-penataan SDM sesuai dengan fokus dan lokusnya.
Secara sederhana kalimat di atas dapat kita analogikan sebagai berikut. Misalkan, seorang ayah ingin anaknya pintar bermain tenis meja, serahkan pada pelatih teknis meja ternama. Atau jika ingin kualitas pembangunan infrastruktur bagus dan berkualitas, serahkan pada orang yang tahu ilmu konstruksi.
Demikian pula ketika mempercakapkan soal politik dan pemerintahan. Maka segala hal ihwal tentangnya haruslah dipegang oleh orang yang benar-benar kompeten. Begitu kira-kira, hemat penulis, makna sederhana ungkapan di atas.
Torehan ini penulis ketengahkan ke ruang publik, musababnya saat ini percakapan komposisi birokrasi yang akan dibentuk oleh Bupati dan Wakil Bupati terpilih Lombok Utara, H. Djohan Sjamsu, SH dan Danny Karter Febrianto, ST, M.Eng.
Berbagai spekulasi liar merebak jika jabatan-jabatan penting di birokrasi akan diisi oleh orang-orang yang dianggap berkonstribusi terhadap pemenangan pasangan Djohan-Danny dalam Pilbup Lombok Utara 9 Desember 2020.
Memang, terlalu dini memunculkan spekulasi semacam itu, pasalnya usia pemerintahan Djohan dan Danny belum genap empat bulan, terhitung sejak dilantik pada tanggal 26 Februari 2020 di graha bhakti kantor gubernur oleh Gubernur Zulkifliemansyah didampingi Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah dan sejumlah pejabat teras Pemprov NTB.
Luput dari berbagai spekulasi dan kecurigaan publik yang boleh jadi dianggap sebagian kalangan sebagai wacana prematur, dalam amatan penulis, keterlibatan warga dalam mengawal pemerintahan Djohan-Danny adalah langkah maju yang patut mendapat apresiasi seperlunya.
Kemenangan fantastik pasangan Djohan-Danhy (JODA AKBAR) pada Pilbup Lombok Utara dengan perolehan suara 56,1 %, mengalahkan pasangan petahana, Najmul Akhyar-Suardi (NADI) yang harus puas mengantongi dukungan suara 43,9 % adalah bukti jika ekspektasi publik untuk pasangan ini cukup tinggi, (www.suaralomboknews.com).
Zaken OPD
Birokrasi profesional menjadi kunci keberhasilan pemerintahan lima tahun ke depan. Komposisinya diisi oleh figur-figur yang mumpuni di bidangnya masing-masing sehingga program pembangunan yang telah dituangkan dalam blue print pemerintahan Djohan-Danny bisa terealisasi dengan baik.
Konsekuensinya: Djohan-Danny harus berani mengambil sikap tegas untuk tidak diintervensi oleh kepentingan manapun jika ingin pemerintahan yang mangkus-sangkil dan maksimal.
Kendatipun tidak bisa dimungkiri bahwa kemenangan yang diraih oleh keduanya memang hasil kerja keras banyak pihak. Banyak spektrum kekuatan yang berkolaborasi menjadi satu kekuatan dahsyat untuk memastikan pasangan ini keluar sebagai juara. Memang politik punya perspektif kepentingan, sehingga tepat rasanya istilah klasik: tidak ada makan siang gratis, digunakan. Semua punya nilai kepentingan yang mesti dibayar.
Namun luput dari kepentingan, ada baiknya sejenak kita menoleh ke belakang mencermati kondisi Lombok Utara tiga tahun silam, sesaat pascagempa mendera, daerah otonomi yang baru beranjak menapaki usia 13 tahun ini tampak seperti “kota mati”. Baru saja bangkit dari siuman akibat gempa beruntun ribuan kali mengguncang, tetiba kita dikejutkan dengan pandemi Covid-19. Wabah penyakit yang bermula menjangkiti masyarakat Kota Wuhan China.
Dari sana kemudian menyebarluas ke seluruh penjuru dunia, menembus sekat ruang dan waktu, bergerak cepat melintasi koridor batas-batas benua/negara. Lombok Utara pun tidak luput dari serangan virus corona. Menciptakan suasana kian mencekam, lebih menakutkan dari bencana gempa dan tsunami sekalipun, lantaran sifatnya yang tidak kelihatan. Dampak yang ditimbulkan disadari luar biasa.
Daerah ini mengalami keterpurukan dalam berbagai sendi kehidupan akibat dua bencana menghantam daerah dalam kurun dua tahun terakhir: gempa bumi 2018 dan pandemi Covid-19 setahun silam, nyaris seluruh aspek berdaerah lumpuh, perekonomian daerah tiarap, APBD turun drastis, dan seterusnya.
Beberapa deskripsi kondisi berdaerah seperti diuraikan di muka layak direnungi bersama, menjadi pertimbangan matang bagi para pemegang otoritas kepemimpinan daerah sebelum melakukan penyegaran pejabat OPD.
Menjadi wacana yang solutif di tengah isu mutasi yang akan dilakukan oleh kepala daerah. Langkah yang mesti dicoba oleh pimpinan daerah periode 2021-2026, jika ingin menghendaki stabilitas politik dan berpemerintahan membaik.
Zaken OPD adalah jawabannya. Orang-orang terpilih di jajaran pembantu bupati adalah orang yang memiliki kompetensi yang bagus di bidangnya. Misalkan saja, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, siapa yang menjabat. Ia adalah ahli di sektor pertanian, kelautan, perikanan dan pangan.
Ia juga jago, atau paling tidak mengerti keempat aspek tersebut serta berlatar belakang dunia pertanian, pangan, kelautan dan perikanan. Kepala Bappeda, ia adalah orang yang mengerti dan memahami kredo persoalan perencanaan pembangunan.
Demikian pula Kepala Dinas Kominfo, ia harus benar-benar mengerti soal komunikasi (publik) dan teknologi informatika berikut dinamika informasi dari waktu ke waktu. Terlebih dinas ini memliki tupoksi, salah satu di antaranya sebagai “Humas Daerah”, dalam arti luas.
Pun, Kepala Dinas Pariwisata. Siapa yang layak, tentu jawabannya adalah orang yang memahami seluk beluk dunia pariwisata, punya jaringan yang luas, tahu strategi promosi wisata, punya inovasi mengembangkan destinasi pariwisata, dan mampu mengelola aset-aset pariwisata strategis, dan sebagainya.
Apalagi seperti yang kita tahu, bahwa sumber terbesar PAD Lombok Utara berasal dari sektor pariwisata.
Sekali lagi, zaken OPD atau birokrasi profesional menjadi solusi terbaik, karena diisi oleh orang-orang dengan kapasitas mumpuni, punya etos dan visi kerja yang tinggi. Di sinilah, menurut penulis, kapabilitas dan kredibilitas kepala daerah diuji.
Kontestasi telah usai, namun meninggalkan beberapa coretan-coretan sejarah sepanjang proses pelaksanaan pemilukada 2020, berdampak pada kehidupan masyarakat. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menangkap tren elektoral seraya berdiri paling depan memastikan kebangkitan bumi pertiwi adi mirah paer daya.
Traits Theory
Dalam teori kepemimpinan “Traits Theory”, kehadiran seorang pemimpin dalam masyarakat dilahirkan atau tidak dilahirkan (Steve Wolinski, 2010). Dalam teori ini, keberhasilan dan kualitas pemimpin ditentukan oleh personality dan ability.
Oleh sebab itu, Bupati sebagai seorang pemimpin yang dilahirkan dari proses kompetisi politik sudah seharusnya memiliki kepribadian role model bagi rakyatnya serta punya kemampuan dalam mengatasi persoalan yang ada di tengah masyarakat. Ordway Tead (1931) dalam bukunya berjudul “The Art of Leadership”, berpandangan kepemimpinan adalah penggabungan perangai yang membuat seseorang mungkin dapat mendorong beberapa pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Oleh karena itu sudah saatnya pucuk pimpinan daerah mulai menyaring kepala-kepala OPD yang ada saat ini sembari mencari figur-figur baru yang dapat membantu menata eskalasi etape pemerintahan daerah. Hal utama yang mesti dilakukan bagaimana memastikan figur yang terpilih adalah sosok yang bersih, mampu mengeksekusi program, mempunyai keahlian manajerial, dan tentu yang tidak kalah penting, sosok yang cerdas.
Kepala daerah memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kedaerahan lain yakni hak prerogatif, adalah hak kepala daerah untuk mengeluarkan keputusan atas nama daerah, bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Jadi, Zaken OPD merupakan susunan OPD-OPD pembantu bupati yang diisi oleh para teknokrat atau kaum profesional dalam bidangnya masing-masing agar betul-betul dapat merumuskan persoalan yang tengah dihadapi daerah.
Tujuan dan fungsi dibentuknya zaken OPD, tentu untuk menghindari terjadinya malfungsi OPD, menghindari terjadinya malpraktek di OPD serta memaksimalkan kinerja dari para kepala OPD beserta jajarannya. Semoga ***
Banjir Bandang dan Melonjaknya Harga Bawang Merah di NTB
Bawang merah sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat alami lonjakan harga cukup tinggi.
‘Harga” sendiri kurang lebih bermakna jumlah uang yang dibutuhkan guna mendapatkan sejumlah barang. Harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan dapat ditentukan dengan melihat keadaan ekuilibrium di suatu pasar.
Beberapa ahli seperti Djasmin Saladin berpendapat bahwa yang dimaksud harga yakni sejumlah uang sebagai alat tukar untuk memperoleh produk atau jasa. Ahli lain Henry Simamora menyebut harga sebagai sejumlah uang yang dibebankan atau dikeluarkan atas sebuah produk atau jasa.
Maret lalu harga bawang merah stabil pada kisaran 15.000 rupiah per kilogram. Pada awal April–saat banjir bandang menerjang Kabupaten Bima, bawang merah langsung hargaya melonjak menjadi 25.000-30.000 rupiah per kilogram.
“Harga bawang akan mulai stabil jika cuaca buruk di pusat produsen bawang merah sudah membaik. Biasanya ketika harga bawang merah mengalami kenaikan harga di pasar maka bahan-bahan dapur lainnya juga akan mengalami kenaikan harga seperti cabai, bawang putih, tomat, terasi dan lain-lain,” ujar Faizal, salah seorang pedagang bawang merah di Dusun Montong Ara Kabupaten Lombok Tengah.
Kepada penulis, Faizal menyebut lonjakan harga bawang merah disebabkan kelangkaan karena bencana banjir bandang yang menerjang pemukiman berserta lahan pertanian warga di Kabupaten Bima.
Dikatakan, kondisi tersebut cukup meresahkan pedagang sebab dengan harga yang tinggi daya beli masyarakat berkurang, yang berakibat pada minimnya pendapatan para pedagang.
Dijelaskan, dalam kondisi normal Faizal bisa mendapat laba bersih 5.000.000-10.000.000 rupiah perbulan dari aktivitasnya berjualan bawang merah. Hal tersebut tentu berbeda saat kondisi seperti saat ini, selain harga bawang merah tinggi, ketersediaan bawang merah untuk konsumen juga sulit dipenuhi.
Bahasa Daerah Tersingkir oleh Bahasa Indonesia, dan Bahasa Indonesia Dianggap Kalah Bergengsi dibanding Bahasa Asing.
Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya
Bahasa merupakan cerminan dari identitas suatu bangsa. Identitas sangat erat kaitannya dengan suatu sikap dari karakter. Karakter yang dimaksud ialah suatu kecerdasan berbahasa yang meliputi kemampuan dalam memilah berbagai kata yang baik, untuk digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi keseharian di lingkungan masyarakat.
Seiring perkembangan zaman dan era globalisasi, membuat bahasa daerah dan bahasa Indonesia seakan terhipnotis dengan perkembangan tersebut.
Setiap libur akhir semester dan lebaran tiba, rumah kakek dan nenek di salah satu kecamatan tanjung kabupaten Lombok Utara selalu dipenuhi para keponakan. Sebagian telah duduk di sekolah menengah pertama, sebagian lagi masih di sekolah dasar. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik dengan orang tua maupun dengan keluarga lainnya.
Orang tua mereka seratus persen penutur bahasa Sasak. Namun tak seorang pun dari para keponakan itu fasih berbahasa Sasak.
Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman saya ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota.
Di rumah, bahasa yang dipakai orang tua kami untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sasak. Ada proses pewarisan Bahasa Daerah, bahasa ibu, atau dalam Bahsa Sasak nya “inaq”, yang kini mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, dan Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut Bahasa Daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot.
Sekali waktu saya pernah ke rumah tetangga, saat itu saya mengirim undangan acara rowah atau biasa orang Sasak menyebutnya mensyilak, Kemudian saat itu saya mendengar anak pertamanya itu mentuturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris.
Ketika itu saya bertanya-tanya, kenapa bapak tidak mengajarkan anak-anak bapak dalam berbahasa daerah atau berbahasa Sasak ?
Dan tetangga saya mengatakan, bahwa mereka tidak biasa brabahasa Sasak karena mereka lama hidup di luar negeri. Namun alasan itu buru-buru saya tanggapi, sebab guru saya tinggal lama di Arab Saudi, malah anak-anaknya lahir di Arab Saudi, semuanya mampu berbahasa Sasak.
Kita tahu, alasan ketakutan seperti contoh di atas tak dapat dilekatkan ke dalam konteks kiwari dalam penolakan menggunakan bahasa daerah. Perkara lain yang paling memungkinkan dijadikan alasan oleh para orang tua adalah soal keefektifan.
Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah Bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan khususnya dalam kasus bahasa Sasak meski para orang tua mereka penutur bahasa Sasak, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Inggris,setengah bahasa Indonesia.
Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sasak, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.
Namun sejak 2008 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan.
Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, Bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia.
Tapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah pinggiran atau yang lebih dekat pusat.
Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan Bahasa Daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan leluhur.
Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga guru saya yang tinggal lama di Arab Saudi dan tetap menggunakan Bahasa Sasak dan Bahasa Indonesia di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut. Dan Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, sebetulnya bahasa utama mereka adalah Bahasa Arab (sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Arab ), tapi karena orang tua dan saudara-saudaranya di rumah menggunakan bahasa Sasak, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh anak guru saya.
Dalam masyarakat dwi bahasa, fungsi bahasa memang berbeda-beda. Dan seperti dituturkan sebelumnya, di Indonesia posisi Bahasa Daerah memiliki fungsi yang lebih rendah daripada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal ini kemudian melahirkan prestise berbahasa yang berbeda-beda.
Bahkan, secara ironis, mereka menyebut sebagai bahasanya orang-orang dari dunia luar,
Penjelasannya tentang tingkatan gengsi bahasa, jika ditarik ke dalam kondisi penggunaan Bahasa Daerah hari ini di Indonesia, bisa jadi menjadi salah satu alasan para orang tua dalam menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, alih-alih menggunakan Bahasa Daerah.
Sebaliknya tentang penyakit “nginggris” yang merasuki orang Indonesia, khususnya kalangan terpelajar, yang menurutnya, semestinya lebih mengerti konteks sejarah yang mengiringi lahir dan tumbuhnya bahasa Indonesia.
Anehnya lagi, orang merasa berprestasi tinggi jika dia dapat berbahasa Inggris dengan baik, yakni bahasa yang memiliki fakta keinternasionalan. Sebaliknya, orang merasa berprestasi rendah jika hanya dapat berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia menjadi tidak karuan karena pemakainya, terutama kalangan terpelajar, dalam bercakap maupun menulis, tampak seperti kesurupan, jor-joran, menghias Bahasa Indonesia dengan kata-kata, istilah-istilah, bahkan kalimat-kalimat tertentu bahasa Inggris. Tidak jelas apa maunya, apakah supaya kelihatan pintar, kelihatan cendekia, ataukah sekadar menunjukkan bakat genit dan kebolehan bersolek?. Contoh terjadi di Kalangan artis. Di sosial media lebih tempatnya di YouTube, beberapa artis berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan bahasa asing, sedangkan di negara kita tercinta ini menggunakan Bahasa Indonesia.
Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia tidak hanya disebabkan oleh masuknya berbagai bahasa Asing, tetapi juga disebabkan oleh adanya berbagai permasalahan dalam Bahasa Daerah dan pengaruh bahasa gaul. Sekarang ini bahasa Asing hampir disemua sektor kehidupan sering digunakan daripada Bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Asing di zaman modern seperti sekarang ini memang sangat diperlukan khususnya untuk para generasi muda. Sebab bahasa Asing menjadi model utama dalam mencapai cita-cita yang telah diimpikannya.
Pada generasi muda sekarang ini, mendalami pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap cukup, ketika berada di bangku sekolah SMA. Alasan yang sering mereka ungkapkan adalah sebagai orang Indonesia tentu sudah pasti mampu untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Jika hal ini terus bergulir dan dibiarkan begitu saja, maka cepat atau lambat Bahasa Indonesia akan menjadi terpinggirkan dengan adanya berbagai bahasa Asing. Tidak adanya filterisasi terhadap akulturasi budaya yang masuk ke Indonesia merupakan salah satu dampak yang menjadikan maraknya penggunaan bahasa Asing di kalangan masyarakat.
Keanekaragaman bahasa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke perlu dijadikan sebagai bahan dalam pemacu bangsa Indonesia untuk bisamelestarikan budaya sendiri. Hal tersebut harus dibarengi dengan penanaman rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang lebih, melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dengan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, agar mereka lebih mudah menerimanya,
Menurut Saya , kenyataan sintesis kebahasaan tersebut seolah-olah tidak tersanggahkan. Namun dalam kerangka pembinaan dan pembakuan bahasa, kenyataan kebahasaan ini merupakan spesimen pelanggaran yang perlu diperbaiki.
Dalam semangat pemeliharaan dan pemajuan Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia, kenyataan ini tentu menjadi catatan yang mesti diperhatikan. Memang bukan hal mudah untuk memperbaikinya, namun setiap orang yang masih peduli setidaknya bisa mempertimbangkan usul saya dalam Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya. ***