Jika semua Desa bisa mengembangkan sektor unggulan pertanian mereka masing-masing, maka bukan saja akan memberi nilai tambah bagi komoditas yang mereka diproduksi, tapi juga akan mendorong minat wisatawan untuk datang.
lombokjournal.com —
MATARAM ; Sektor pertanian akan menjadi sektor strategis pembangunan NTB ke depan.
Sektor ini juga bisa masuk ke lintas sektor lainnya bila dikembangkan dengan serius dan sungguh-sungguh.
Sebut saja di sektor pariwisata. Komoditi hortikultura, sayuran dan buah-buahan pasti akan terserap di industri perhotelan dan juga restauran.
Sementara di tingkat hulu, Desa-Desa penghasil komoditi pertanian, bisa juga disulap menjadi desa agro wisata.
Ketua Badan Pengawasan dan Disiplin (BPD) Partai Gerindra, H. Bambang Kristiono (HBK) menegaskan, konsep desa wisata yang saat ini tengah dikembangkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) harus mulai diimplementasikan dengan mempertimbangkan sektor pertanian, selain panorama alam dan seni budaya.
“Di kawasan Narmada, ada Desa Buwun Sejati yang ternyata telah menjadi Desa Wisata karena sektor pertanian. Ada agro wisata di sana, dan ada juga budidaya madu. Ini bisa menjadi contoh baik untuk yang lain”, katanya, Sabtu ( 22/12)
Di Desa Buwun Sejati itu, perkebunan Manggis, Rambutan, Durian dan lain-lain menjadi objek agro wisata selain keindahan alam yang ditawarkan.
Menurut HBK, jika semua Desa bisa mengembangkan sektor unggulan pertanian mereka masing-masing, maka bukan saja akan memberi nilai tambah bagi komoditas yang mereka diproduksi, tapi juga akan mendorong minat wisatawan untuk datang.
“Selain itu, dengan bentuk-bentuk budidaya di tiap desa itu secara tidak langsung memperluas juga lahan tanam pertanian. Jadi pertanian secara luas ini memang sektor yang harusnya jadi pilihan kita”, kata HBK.
Dalam jangka panjang, papar Caleg DPR RI Nomor Urut 1 Partai Gerindra Dapil NTB II/Lombok ini, perluasan lahan tanam dengan pola agro wisata dan semacamnya, juga akan membawa manfaat bagi ketahanan pangan di daerah.
Pada akhirnya, ketahanan pangan itu juga akan memperkuat sistem ketahanan pangan secara nasional.
Tantangan Pangan Ke Depan
HBK mengaku miris dengan kondisi saat ini, di mana Indonesia sebagai negara agraris nan subur, justru masih melakukan impor komoditas pertanian.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia pada November 2018 sebesar USD. 16,88 miliar.
Beberapa impor komoditas yang meningkat pada November ini adalah besi, baja dan sayuran.
Data BPS menyebutkan bahwa impor sayuran Indonesia justru mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar USD. 57 juta, dibandingkan sebelumnya yang sebesar USD 40 juta.
“Ini kan menjadi ironis. Hanya untuk kebutuhan sayuran saja, kita masih harus impor, dan jumlah impornyapun terus meningkat’, tukas HBK.
Mengungkap data, HBK menyebutkan, data BPS mencatat impor sayuran pada November tercatat sebesar 116.536 ton.
Impor terbesar berasal dari China, yaitu sebesar 94.054 ton, disusul oleh Myanmar 1.273 ton, Etiopia 3.144 ton, Australia 1.470 ton dan Selandia Baru sebesar 44 ton.
“Data menyebutkan, secara komulatif Januari-November 2018, impor sayur kita mencapai 732.715 ton dengan nilai impor mencapai USD. 602 juta. Ini berarti negara kita yang agraris ini sedang mengalami sakit atau tidak beres”, kata HBK.
HBK mengajak segenap anak bangsa untuk memikirkan hal ini. Meski nampak sepele, tapi masalah ini akan menjadi hal yang sangat serius.
“Sebab, semangat bertani kita sudah mulai turun. Masih banyak generasi muda kita yang masih merasa gengsi untuk turun ke ladang. Kalau mental seperti ini tidak diubah, bisa jadi ke depan, kita benar-benar makan sayuran karena ada impor”, katanya.
Me