Indeks

Montong Gedeng (Gunung Kayangan) Dulu Tempat Pemujaan Adat

GUNUNG KAYANGAN; sebelum tahun 1965, ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya
Simpan Sebagai PDFPrint

LOMBOK UTARA — lombokjurnal.com

Kabupaten Lombok Utara memiliki tradisi lama yang kuat dipegang masyarakatnnya hingga kini. Sebut saja Montong Gedeng, Desa Sesait Kecamatan Kayangan, dulu jadi lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh masyarakat.  Meski kini keadaannya hanya bukit yang sepi dan ditumbuhi tanaman liar yang mongering, pernah jadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat di sekitar Kayangan.

Nilai-nilai peninggalan nenek moyang berupa ritual adat, hingga kini masih dijalani masyarakat Lombok Utara. Seperti ritual ‘buka tanah’ yaitu sebelum mulai membuka areal tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet (baca: gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.

Menjelang musim tanam masyarakat Wet Sesait selalu menggelar perayaan adat yang jatuh pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara turun-temurun oleh masyarakat adat Wet Sesait dan dikenal dengan Perayaan Adat Taiq Daya dan Taiq Lauq.

Taiq Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan ritualnya.

Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.

Tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.

Dikatakan, kebiasaan para sesepuh Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu dimulainya musim pola tanam.

Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.

Djekat menambahkan, kegiatan ritual adat yang digelar setiap bulan lima tiap tahun tersebut adalah sebagai bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1966 ritual adat ini hilang atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu terjadi perombakan ajaran Islam dari ‘wettu telu’ ke ajaran Islam waktu lima.

Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 50 tahun silam ritual Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,” jelasnya.

Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun sebelum tahun 1965, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.

Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya (terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”) itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq (para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15 grup.

Praktis sejak tahun 1966 acara pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan nama Desa Kayangan saat ini.

djn

Exit mobile version