Acara baca puisi/deklamasi yang bertajuk ‘Hidup Tanpa Etika’ menggugat praktik kehidupan sosial dan bernegara yang menabrak etika
MATARAM.LombokJournal.com ~ Tanpa etika hidup seperti dalam kebun binatang. Itu yang bergaung dalam acara baca puisi/deklamasi yang bertajuk ‘Hidup Tanpa Etika’ yang diikuti belasan pembaca puisi yang berlangsung di kafe Bawah Pohon, jalan Panji Tilar, Mataram, Senin (29/01/24) malam.
Acara baca puisi, deklamasi dan nyanyian jalanan yang menggugat praktik kehidupan sosial dan bernegara yang mengabaikan etika itu, digelar Koalisi Deklamator Mataram yang didukung relawan Ganjar-Mahfud (GaMa) Mataram.
Acara yang juga menyoal hancurnya etika yang dilakukan para elit penyelenggara itu mendapat sambutan hangat publik Mataram
Para deklamator dan penyanyi jalanan yang malam itu banyak menggaungkan penolakan kehidupan yang mengabaikan etika itu, memilih membacakan puisi karya penyair WS Rendra dan Wiji Tulul, keduanya sudah meninggal dunia.
WS Rendra adalah penyair dan sutradara teater yang karya-karyanya banyak mengungat penguasa Orde Baru yang melanggar etika penyelenggaraan negara, salah satu penggalan puisinya;
……………………………………………….
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
…………………………………………………………
Sedang Wiji Tukul merupakan penyair yang berasal dari kalangan buruh, dan sebagaimana Rendra, ia sangat keras mengkritik pelanggaran etika dalam penyelenggaraan negara yang dilakukan rezim Orde Baru. Malang nasib Wiji Tukul. Wiji Tukul yang banyak mendukung selama perjuangan reformasi yang dilakukan mahasiswa tahun 1998 itu hilang bersama beberapa mahasiswa dan aktivis yang kabarnya memang ‘dihilangkan’ oleh penguasa Orde Baru.
Ini penggalan puisi Wiji Tukul;
………………………………………..
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam
Kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversiv dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata
LAWAN!!!
Para deklamator yang bergabung dalam Koalisi Deklamator Mataram, dengan acara pergelaran sastra (puisi) itu, merupakan kepedulian seniman untuk mengingatkan, memilih pemimpin jangan sampai ‘terantuk batu yang sama’.
BACA JUGA : Bunda Lale : Terus Sosialisasikan Kendaraan Listrik
Maksudnya, jangan mengulangi kesalahan dalam memilih pemimpin, sehingga kehidupan bernegara kita kembali mundur ke belakang ke era Orde Baru.
“Sebab dalam proses pemilihan presiden (pilpres) di negara demokrasi ini, ada kecenderungan pelanggaran etika bernegara, misalnya maraknya politik uang, pelanggaran konstitusi atau secara tersamar ditengarai terjadi pelibatan aparat negara untuk kepentingan paslon tertentu,” kata seorang deklamator.
Etika bernegara
Dalam penyelenggaraan bernegara harus menjunjung etika, yang merupakan nilai dasar yang harus dijunjung tinggi. Kalau etika ditabrak, sendi-sendi kehidupan bernegara akan rusak ketika etika tidak dijunjung tinggi.
Calon pemimpin harus memberi contoh menjunjung tinggi etika bernegara harus diberikan pemimpin tertinggi. Menurutnya, akan terjadi kompromi dan praktik yang merusak jika tak ada etika dibiarkan. Apalagi, oleh seorang (calon) pemimpin.
“Tugas pimpinan tertinggi harus memberi contoh bila ada pelanggaran etika,” kata Novri Opik yang mendeklamasikan puisi Wiji Tukul.
Menurutnya, menganjurkan kita bersuara bila seorang pemimpin melakukan pelanggaran. Seperti dalam puisi ‘Ucapkan Kata-katamu’.
jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kau tahan kata-katamu
apa maumu terampas
kau akan diperlakukan seperti batu
Sebanyak 16 deklamator menyadari pentingnya bersuara dan bertanya saat pelangaran etika dilakukan terang-terangan tanpa malu-malu.. Para deklamator yang berasal dari beragam latar belakang, ada seniman, mahasiswa, pekerja dan wiraswastawan sepakat bila negara sedang dijerumuskan dalam kehancuran moral.
Mereka juga membenarkan bahwa fenomena “orang dalam” yang terjadi di masyarakat, juga terjadi di proses yang paling puncak kekuasaan.
BACA JUGA : Pj Gubernur : Perlu Bijak Mengelola dan Menjaga Hutan
“Ada praktik kekuasaan yang nepotis, pembohongan, dan semua pelanggaran etika itu dilakukan tanpa malu-malu,” kata Ardiansyah yang juga membacakan puisi Wiji Tukul.
Acara pembacaan puisi dan deklamasi selama dua jam itu yang menyoal pentingnya etika, didukung para relawan Ganjar-Mahfud GaMa) Mataram itu, mendapat sambutan antusias penonton yang hadir.
Bahkan ada di antara penonton yang spontan maju ke podium untuk ikut membaca puisi yang memprotes pelanggaran etika bernegara, yang dilakukan salah satu paslon dalam Pilpres 2024..
Di tengah proses Pilpres 2024, gerakan moral melalui sastra itu telah membuka kesadaran yang hadir, calon pemimpin yang melanggar etika bernegara, jelas akan menjerumuskan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dalam kebangkrutan moral bangsa. ***