Indeks
Umum  

Cerita Muslim di Tiongkok (3)

Pemerintah Cina menempelkan poster-poster 'teroris' di jalan-jalan di wilayah otonomi Xinjiang
Simpan Sebagai PDFPrint

LARANGAN BERPUASA MUSLIM UIGHUR DI XINJIANG

lombokjournal.com

Meski sama-sama beragama Islam, dan sama-sama etnis minoritas di daratan Tiongkok, namun ada perbedaan mencolok antara muslim Hui dan muslim Uighur yang banyak menetap di Turkistan Timur atau di Cina disebut Xinjiang.  Etnis Uighur merupakan suku bangsa Turki yang datang dari daerah Gunung Altai, di utara Mongolia sebelah barat.

Kalau muslim Hui yang sejak awal sudah berasimilasi dengan suku Han,  dalam sehari-hari mereka malah ‘lebih Cina dari orang Han’. Namun berbeda dengan orang Uighur yang sehari-hari masih berbahasa Turki, dan kuat memegang teguh kebudayaannya sendiri.  Masjid-masjid orang Uighur dan adat istiadatnya masih kental bercorak Asia Tengah.

Umumnya orang Hui ulet dan pekerja keras, menggebu-gebu dalam perdagangan dan mengumpulkan uang.  Pedagang kaki lima Hui bisa berjaga di lapaknya mulai pagi hari hingga tengah malam.  Bahkan orang Han (asli Tiongkok) banyak mengekor rintisan perdagangan yang dilakukan muslim Hui.

Sangat berbeda dengan muslim Uighur yang lebih lemah lembut, santai, dan (sering dikatakan) kurang menghayati kerja sebagai kebajikan tersendiri. Orang Uighur lebih mirip dengan orang Tibet yang lebih menikmati hidup, dan umumnya kurang menyukai pekerjaan rutin. Mereka bukanlah keturunan pedagang yang bersemangat mengejar uang.

Perbedaan sejarah, watak dan mensikapi hidup itu, belakangan  mengakibatkan timbulnya ketegangan sesama muslim.  Muslim Hui yang keturunan masyarakat yang menekuni perdagangan dan tentara bayaran, kerap menjelajah daerah-daerah baru. Termasuk ke Xinjiang, membuka rumah makan dan toko-toko sepanjang jalan, dan setelah diikuti warga mereka lainnya di tempat-tempat mana pun, kemudian orang Hui itu mendirikan masjid.  Mesjid itu sebenarnya bukan semata-mata tempat beribadah tapi lebih utama untuk tetap berkumpul sesama warga Hui.

Hal itu seperti itu menyulut kemarahan orang Uighur. Para pendatang Hui (juga diikuti orang Han) dianggap sebagai ancaman bagi kebudayaan masyarakat Uighur.  Dan limpahan orang-orang Hui itu juga merupakan ancaman dalam persaingan ekonomi. Sementara kebijakan pemerintah setempat cenderung lebih memihak orang Hui.

Dan ada perbedaan antara muslim Hui dan Uighur, yang berbuntut adanya perbedaan perlakuan penguasa Tiongkok terhadap kalangan muslim yang berbeda etnis itu. Kalau orang Uighur menuntut kemerdekaan (seperti halnya Tibet), untuk mempertahankan kebudayaan, agama dan bahasanya sendiri, serta limpahan pendatang Hui maupun Han. Sedang muslim Hui yang bersemangat dalam perdagangan dan uang, impian tentang sebuah negara merdeka tak pernah ada di benak mereka.

Meski pemerintah pusat di China sering membantah, sebenarnya tekanan terhadap muslim Uighur di Xinjiang memang fakta yang tak terbantahkan.  Dari tahun ke tahun kecurigaan terhadap muslim Uighur tak pernah pupus. Dan sekarang mendapat protes dari kalangan internasional adalah tekanan terhadap muslim Uighur dalam menjalankan ibadah puasa.

Bulan Ramadhan tahun lalu, protes diserukan oleh Imam Besar Al Azhar, Ahmed al-Tayeb karena larangan yang diberlakukan pemerintah Tiongkok terhadap umat muslim yang menjalankan ibadah puasa dan melakukan ritual keagamaan selama bulan Ramadhan di Xinjiang.

Pembatasan itu menimbulkan bentrokan etnis yang menewaskan ratusan orang. Tiongkok sendiri beralasan menghadapi ancaman teroris Xinjiang. Karena itu PNS, mahasiswa dan guru dilarang berpuasa, dan restoran diperintahkan tetap buka di siang hari.  Pembatasan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, meski pemerintah Tiongkok selalu membantahnya.

Anak-anak sekolah, seperti tahun-tahun sebelumnya, diarahkan untuk tidak menjalankan ibadah puasa, atau menjalankan ritual agama lainnya. Biro pendidikan kota Tarbaghatay, dikenal sebagai Tacheng dalam bahasa China, memerintahkan sekolah-sekolah untuk memberitahu siswanya dilarang menghadiiri kegiatan keagamaan.

Para pejabat di Kabupaten Qiemo bertemu dengan para pemimpin agama setempat, ada peningkatan inspeksi selama Ramadhan untuk menjaga ‘stabilitas sosial’.  Menjellang bulan Ramadhan, di salah satu desa di Yili, dekat perbatasan dengan Kazakhstan, masjid harus memeriksa kartu identitas siapa saja yang datang utuk beribadah selama bulan Ramdhan.

Pemerintah setempat juga menyiarkan pengakuan (yang dipropagandakan) dari salah seorang anggota Partai Komunis Uighur, Mahmet Talip, 90, yang bersumpah tidak berpuasa dan “tidak masuk masjid untuk sadar menolak ajaran keagamaan dan tahyul.” –bersambung-

Roman Emsyair

(dari berbagai sumber)

Exit mobile version