Upaya mencegah perkawinan anak membutuhkan sinergi banyak pihak, sebab upaya itu akan meningkatkan kesehatan anak
MATARAM.lombokjournal.com ~ Upaya mencegah terjadinya perkawinan anak turut mendukung percepatan penurunan angka stunting, dan peningkatan setinggi mungkin derajat kesehatan anak Indonesia.
Ini sesuai dengan amanat Konvensi Hak Anak dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin, beberapa waktu lalu.
Kemen PPPA dalam mencegah perkawinan anak, caranya dengan mengoptimalkan peran dan fungsi layanan kesehatan yang ada di masyarakat.
BACA JUGA: Wagub NTB Ajak Santri Kampanye Cegah Perkawinan Dini
Salah satunya melalui Puskesmas Ramah Anak (PRA). Puskesmas Ramah Anak berperan penting mencegah perkawinan anak.
Menurut Lenny, mencegah perkawinan anak turut mendukung upaya percepatan penurunan stunting, serta risiko kesehatan.
Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat penting dalam mencegah perkawinan anak, mengingat 32 Ppersen anak di Indonesia diketahui berobat ke puskesmas.
Jika puskemas di seluruh Indonesia dapat memenuhi 8 (delapan) dari 15 indikator Puskesmas Ramah Anak dan fungsinya dioptimalkan untuk mencegah perkawinan anak, hal ini dapat menyelamatkan dan meningkatkan kualitas anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa.
BACA JUGA: Produk Shorgum, Dari Makanan Ternak ke Produk Ekspor
Puskemas Ramah Anak harus dapat melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan ramah anak. Di antaranya yaitu memperluas cakupan dan mengembangkan layanan puskesmas bagi masyarakat secara berkesinambungan, khususnya dalam Pencegahan Perkawinan Anak.
“Fungsi puskesmas dalam mencegah perkawinan anak yang dapat dioptimalkan, yaitu melakukan edukasi, sosialisasi, dan konseling terkait kesehatan reproduksi,” katanya.
Puskesmas dapat mengedukasi pentingnya pemenuhan hak anak. Dan pemahaman terkait hak anak untuk tidak dinikahkan saat usia anak.
Menurut Lenny, hal ini dapat disampaikan para tenaga kesehatan di puskemas. Agar diteruskan kepada masyarakat luas seperti keluarga dan anak itu sendiri.
Sbenarnya, perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Pelanggaran itu berdampak negatif dan sangat berbahaya tidak hanya bagi anak, keluarga, tapi juga Negara.
Di antaranya yaitu stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah.
Sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak lainnya. Karenai itu, semua pihak perlu bersinergi mencegah perkawinan anak.
“Ini demi kepentingan terbaik 80 juta anak Indonesia,” tegas Lenny.
“Kita perlu bersinergi, baik
Pemerintah Pusat, daerah, tokoh agama, tokoh adat, dunia usaha, media massa, dan lapisan masyarakat lainnya, perlu bersinergi.
“Melalui regulasi yang dapat diimplementasikan dengan baik, maupun menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif,” tuturnya.***