Maestro Rudat, ZAKARIA, Bahagia dengan Seni Rudat 

Sosok Zakaria sang maestro Rudat sangat sederhana. Kesehariannya bekerja sebagai buruh harian lepas serabutan. Mungkin bagi sebagian orang dia hanyalah orang biasa. Tapi lihatlah, di balik kesederhanaannya, ada keyakinan yang kokoh dalam dirinya. Naniek I Taufan menuliskan kiprah Zakaria

KLU.lombokjournal.com ~ Zakaria merupakan satu dari tidak banyak orang yang mau menghabiskan waktunya untuk melestarikan kesenian tradisional Lombok, seni Tari Tradisi Rudat.

Lebih dari sebagian hidupnya ia dedikasikan untuk menjaga daya hidup Rudat di kampung halamannya di Lombok Utara. 

Kegiatan sehari-hari sang maestro, memetik cengkeh
Kegiatan sehari-hari Zakaria, metik cengkeh

Kecintaannya pada Rudat yang diwarisi turun temurun oleh keluarganya selama puluhan tahun lamanya, tidak membuatnya mundur meski hanya dibayar seadanya setiap kali pentas. 

Kegigihan dan konsistensi sosok yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal bidang seni ini dalam melestarikan Rudat, membuatnya terpilih sebagai seorang Maestro Nasional Tari Rudat.  

Lahir dan tumbuh dalam lingkungan seniman tradisional, Zakaria menitiskan darah seni dari sang kakek juga ayahandanya. Masa kecilnya ia habiskan untuk menonton seni tari tradisional Rudat dari kampung ke kampung. 

Sang ayah yang secara turun temurun melestarikan seni Rudat di kampung tempatnya tinggal Dusun Tanak Ampar Desa Pemenang Timur Kecamatan Pemenang Lombok Utara, kerap mengajaknya dalam pertunjukan-pertunjukan rudat. 

BACA JUGA: Wayang Sasak, Media Awal Penyebaran Islam

Dari sanalah, kecintaan Jaka (panggilan akrabnya), terhadap Rudat mulai tumbuh hingga akhirnya ia tidak bisa melepaskan diri dari seni tradisi Rudat hingga saat ini. 

Bermula sebagai penonton, di usia 10 tahun Jaka kecil akhirnya mulai tertarik untuk menjadi bagian dari tari Rudat ini. Berbagai peran pun ia mainkan, menjadi aktor dan juga penari rudat. Bakatnya sebagai anak rudat memang telah terlihat sejak kecil.

Meski memiliki kakek dan ayah yang secara turun temurun menggeluti Rudat, Jaka tidak pernah belajar khusus untuk menjadi aktor maupun penari rudat, melainkan pengalaman dan pengamatannya lah yang menjadi guru baginya. 

Kemampuan dan ketajaman intuisinya dalam menangkap roh rudat, membuatnya lekas beradaptasi dan lebur dalam gerak tari serta penokohan Rudat.

Puluhan tahun sudah, pria kelahiran 1974 ini menggeluti rudat hingga akhirnya ia mengabdikan diri sepenuhnya pada seni rudat. Demi melestarikan seni tradisi Rudat, Jaka lalu mendirikan sanggar seni ‘Rudat Setia Budi Terengan’ yang mengajak dan mengajarkan anak-anak muda Lombok Utara khususnya, untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan Rudat. Rudat telah ada sejak sekitar tahun 1920-an di kampung halaman mereka. 

Dedikasi dan kecintaan Jaka yang sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan formal seni ini pada seni tradisi rudat, akhirnya membuat Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memilihnya sebagai salah seorang maestro nasional tari Rudat. 

BACA JUGA: Wayang Sasak, Lalu Nasib: Tontonan dan Tuntunan Masyarakat

Bahkan pada tahun 2017 lalu, sang maestro mendidik para siswa dari seluruh Indonesia pada program Belajar Bersama Maestro yang diselenggarakan oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 

Sang Maestro menjelang pentas

Bertahan dalam keyakinan melestarikan bidang seni tradisi dalam masa puluhan tahun seperti ini, bukanlah hal mudah hingga ia dilabeli predikat sebagai seorang maestro. 

Terpilih sebagai maestro nasional untuk tari rudat bukanlah tujuannya selama ini, sebab ia masih memiliki besar untuk membawa Tari Rudat tetap lestari dan mampu bertahan di tengah arus modernisasi saat ini. 

Lebih dari itu ia sangat ingin rudat diakui UNESCO sebagai tari tradisional khas KLU. Bagi Jaka yang kesehariannya bekerja sebagai buruh serabutan ini, tidak ada prioritas lain dalam sisa hidupnya melainkan agar ia bisa hidup bahagia bersama rudat. ^^^

 




Warige dan Jangger Sasak Jangan Dilupakan

Mi6 dan Publik Institut NTB khawatir,  budaya seni Sasak masuki fase punah

MATARAM.lombokjournal.com

Budaya Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat mulai seni tari, pewayangan, alat musik tradisional hingga sistem penanggalan atau kalender, dikhawatirkan memasuki fase kepunahan.

Lalu Athari, Hendra Kesumah, Bambang Mei dan Ahmad SH

Sebab beragamnya budaya Sasak tapi tidak diimbangi literasi khusus kebudayaan Sasak, maupun mempromosikan secara aktif jenis-jenis kesenian tradisional tersebut.

Ancaman kepunahan pun menjadi semakin nyata seiring perubahan zaman. Milenial semakin melupakan kebudayaan asal.

Era teknologi menyeret khazanah Sasak tergerus di ambang pintu kepunahan.

Lembaga Kajian Sosial dan Politik, Mi6 dan Publik Institut NTB , menyoroti tanggalan Sasak Warige yang sudah hampir tidak dikenal. Padahal, sistem penanggalan leluhur tersebut cukup berjaya tempo dulu.

Sistem kalender Sasak Warige merupakan penanggalan yang berdasarkan pengamatan peredaran bintang. Identik dengan bintang pleiades atau dalam bahasa Sasak disebut Bintang Rowot.

Bintang Pleiades atau Gugus Kartika adalah sebuah gugus bintang terbuka di rasi bintang Taurus. Gugus bintang tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang karena dekat dengan bumi.

Warige adalah penanggalan oleh masyarakat Sasak digunakan untuk menentukan hari baik dan buruk. Sehingga, untuk beraktivitas bertani, melaut maupun kegiatan kebudayaan dan keagamaan mengacu pada Warige.

Hal itu menjadi sorotan Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto didampingi  Sekretaris Mi6, Lalu Athari Fathulah, Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kesumah dan Direktur Publik Institut NTB, Ahmad SH

“Warige itu menjadi rujukan oleh masyarakat Sasak dalam menentukan waktu yang baik atau waktu yang tidak baik,” ujar pria yang akrab disapa Didu, Sabtu (15/05/21) dini hari di Mataram.

Didu  mengatakan, zaman dulu tiap aktivitas masyarakat Sasak berpaku pada penanggalan Warige. Mulai dari bertani, melaut, acara budaya, acara hajatan atau yang berkaitan dengan keagamaan.

“Itu dulu. Tapi sekarang justru Warige mulai terlupakan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan akan punah,” tuturnya.

Sekretaris Mi6, Lalu Athari  menambahkan, tanggalan Warige saat ini justru hanya digunakan pada acara Bau Nyale. Itu karena sudah banyak orang mulai lupa dan tidak mengetahui menggunakan Warige.

“Dari generasi ke generasi, kebudayaan Sasak mulai dilupakan. Warige salah satunya,” ujarnya.

NTB sebagai daerah pariwisata membutuhkan kesenian dan budaya sebagai bagian dari atraksi pariwisata. Untuk itu, campur tangan pemerintah diharapkan mampu mempertahankan budaya dan kesenian Sasak.

“Jika pemerintah hanya fokus pada pariwisata semata, tanpa merawat penunjang pariwisata yang menjadi bagian atraksi seperti seni dan budaya, itu sama aja bohong,” tandas Lalu Athari.

BACA JUGA: Optimisme IndustriaLisasi NTB di Masa BBI

Jangger Sasak, Simbol Perlawanan Perempuan

Baik Mi6 maupun  Publik Institut NTB melihat Seni tari Jangger Sasak juga mulai terlupakan.

Padahal, seni tari tersebut pada masanya selalu ramai digunakan saat acara hajatan baik pernikahan maupun sunatan.

Namun era saat ini, Jangger sudah mulai sepi peminat. Padahal, banyak nyawa bergantung hidup pada seni tari tersebut.

Direktur Publik Institut NTB, Ahmad SH menuturkan, saat ini  generasi milenial yang tidak paham arti sesungguhnya Jangger.

Banyak orang yang hanya melihat Jangger adalah sebuah hiburan erotis yang menampilkan perempuan dengan lekuk tubuh seksi menari di hadapan banyak pria.

“Padahal tarian Jangger Sasak ini memiliki filosofis yang justru sebagai bukti perempuan Sasak mempertahankan kehormatan mereka,” tambahnya.

Setiap gerakan Jangger memiliki filosofis yang menandakan perjuangan perempuan menjaga kehormatannya.

Biasanya, saat perempuan menari, akan datang seorang laki-laki yang ikut menari. Terkadang tangan nakal lelaki itu berusaha menjamah tubuh si penari perempuan.

Dari sanalah Jangger akan mengeluarkan gerak tari mempertahankan kehormatannya. Dia memiliki gerakan menangkis tangan nakal lelaki.

Baju penari juga cukup tebal untuk melindungi dirinya. Sementara di kepala si penari terdapat perhiasan yang berbentuk tajam, yang akan mengarahkan kepada si penyawer pria saat posisi si Jangger tertekan.

Gerakan Jangger seperti silat yang bersiap menangkis serangan. Di tangannya juga memiliki kipas yang akan menghalau penyawer nakal.

“Bahkan, gerakan kaki si penari berbentuk kuda-kuda dalam posisi siap siaga. Itu semua memiliki filosofis bentuk perlawanan perempuan menjaga kehormatan,”  tambah Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kesumah.

Mi6 menyadari seni tari Jangger sudah mulai memasuki fase kepunahan. Itu karena peran pemerintah dinilai masih minim untuk terus mempertahankan budaya-budaya Sasak ini.

“Pemerintah kadang lupa, era modern yang membawa banyak teknologi dan industrialisasi, konsekuensinya tentu ada yang akan terlupakan. Yaitu seni-budaya tradisional kita. Itu juga akan tenggelam bersama kemajuan zaman jika tak terurus,” urai Hendra Kesumah.

Terkait adanya perubahan penari yang kerapkali berpenampilan seksi dalam seni tari tradisional maupun kontemporer Sasak, Ahmad SH  melihat itu hanya soal kedewasaan masyarakat dalam menikmati seni.

BACA JUGA: Gelombang Kedua Covid-19 di India

“Tidak perlu dikaitkan dengan religi. Seni itu murni ekspresi, bicara soal estetika. Religi itu ranah etik, sementara seni ranah estetik dan tidak berurusan dengan moral,” jelasnya.

Kesenian memang bukan kitab suci yang akan kekal sepanjang masa. Sudah menjadi hukum alam bahwa seni punya hak untuk lahir, berkembang dan mati.

Namun, menjadi kewajiban kehadiran pemerintah untuk mempertahankan seni dan budaya tetap terus hidup.

“Jadi jangan hanya dibuat mabuk dengan modernisasi dan industrialisasi, tapi seni budaya sendiri dilakukan. Itu ibarat anak kota yang tak tahu kampung asal jika seni dan budaya dilupakan,” tutur Ahmad SH yang juga aktivis Lingkungan dan  mantan pengurus teras di Walhi Nasional Jakarta.

Me




Nasib Seni Tradisi KLU di Masa Pandemi

KLU.lombokjournal.com

Nasib kesenian tradisional saat pandemi Covid-19 terbilang memperihatinkan.

Pelarangan berkerumun dan pembatasan aktivitas sosial membuat para pelaku seni tradisi alami dilema, mempertahankan eksistensi berkesenian atau menaati protokol kesehatan.

Pilihan membatasi kegiatan berkesenian sepertinya jadi opsi sementara yang musti segera menemukan solusi.

Itu terjadi pada sanggar Gendang Beleq ‘Erat Emas’ di Desa Pendua Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU).

Meski mengaku belum ada tawaran mengisi acara, sanggar Erat Emas memilih tetap aktif melakukan latihan dengan protokol kesehatan ketat.

Abdianto, Ketua Gendang Beleq Erat Emas mengungkapkan, pandemi Covid-19 harusnya tak menghalangi pelestarian seni tradisi.

Dikatakan, kendati sulit sebenarya masih ada beberapa opsi yang bisa dilakukan. Hal tersebut sekaligus menjaga semangat tetap produktif para pelaku kesenian di masa pandemi.

“Alhamdulillah kami tetap aktif latihan, tapi kita kurangi jadwal latihan dan mengikuti protokol kesehatan. Jadwal latihan yang sempit itu berdampak pada komunikasi atau shering dengan setiap anggota juga menjadi terbatas, terlebih lagi job menjadi kurang karena tidak diizinkannya acara yang mengundang kerumunan,” Kata Abdianto yang juga akrab disapa Uken, saat ditemui lombokjournal.com di kediamannya. Jumat (07/05/21).

Lebih jauh, Uken berharap ada upaya pemerintah memberikan ruang bagi pelaku seni tradisi eksis di sektor pariwisata KLU.

Tak seperti yang dialami selama ini, kesenian tradisi hanya untuk upacara adat atau uapara ritual.

Selain membuat kesenian tradisi tetap eksis, sinergi tersebut sebagai upaya memberi peran kesenian tradisional KLU untuk dunia pariwisata.

“Kami berharap, Gendang Beleq tidak hanya untuk acara adat saja. Tapi kami juga ingin Gendang Beleq ini sebagai daya tarik untuk mendorong kemajuan pariwisata alam yang ada di KLU ini,” ungkapnya.

BACA JUGA: Sumber Air Santong dan Sesait Volumenya Menyusut

Selain itu diperlukan dukungan lebih dari pemerintah dalam memperhatikan keberlangsungan seni tradisi yang ada.

Hal tersebut sekaligus jadi motivasi pelaku seni tradisi tetap bergairah, khususnya di masa sulit seperti sekarang.

Uken menjelaskan, rangsang motivasi tersebut diharapkan mengalir pada diri pemuda.

Karena banyak generasi muda yang  dilihatnya tidak tertarik sebagai pelaku seni tradisi, salah satunya disebabkan kurangnya apresiasi pemerintah.

BACA JUGA: Mi6: Wayang Sasak Terancam Punah

“Kelompok Gendang Beleq ini kami pertahankan juga sebagai wujud kepedulian kami selaku pemuda dalam melestarikan budaya local. Selain itu kami juga berharap bahwa setiap generasi di KLU ini tetap semangat dalam melestarikan kesenian tradisional kita,” harapnya.

Han




Mi6: Wayang Sasak Terancam Punah

LOBAR.lombokjournal.com

Pria paruh baya menggunakan kemeja putih itu, menggenggam wayang kulit putihan. Wayang yang belum jadi dan belum dicat sesuai bentuknya.

Amaq Darwilis namanya. Dia adalah penatah atau pengrajin wayang kulit Sasak asal Gunung Malang, Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat.

Di balik keindahan wayang miliknya, menyimpan masalah cukup pelik. Dia mulai krisis generasi penerus yang dapat mempertahankan budaya dari leluhur ini.

Pria berkumis berusia 65 tahun itu begitu semangat saat didatangi Lembaga Kajian Sosial Politik, Mi6.

Dengan semangat dia memperkenalkan wayang Sasak pada Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto dan Kepala Divisi Litbang Mi6, M. Zainul Fahmi, Jumat sore,  7 Mei 2021.

Dengan suara serak, Amaq Darwilis bercerita kekhawatiran akan punahnya wayang Sasak. Dia tidak memiliki generasi penerus di saat umurnya sudah cukup tua.

“Dulu bapak saya jadi penatah. Kakak saya dalang. Sekarang tersisa saya, bahkan anak saya kerja di kantoran jadi tidak bisa fokus,” katanya.

Amaq Darwilis ingin sekali mengajar orang-orang untuk membuat wayang Sasak, namun generasi saat ini belum ada yang tertarik terhadap wayang Sasak.

Bahkan, bantuan dari pemerintah tidak pernah didapat. Padahal, NTB adalah daerah pariwisata, sementara wayang adalah bentuk atraksi pariwisata yang menarik bagi wisatawan.

“Bantuan tidak ada. Pemerintah belum pernah datang ke sini,” imbuhnya.

Tidak mudah untuk membuat  wayang kulit Sasak. Apalagi dia bekerja seorang diri. Butuh waktu seminggu hanya untuk membuat satu wayang dengan melalui sejumlah proses.

“Ada beberapa proses pembuatan, mulai dari ngencang, dijemur, direndam, dikerik,” ujar Darwilis.

BACA JUGA:

Ngencang adalah proses membentang kulit sapi mentah di alat pembentang yang berupa bingkai dari bambu atau kayu. Sisa daging pada kulit akan dibersihkan.

Kemudian masuk ke proses jemur agar kulit itu kering dan kuat. Proses jemur cukup lama, yaitu 15 hari agar kulit sapi semakin kuat.

Setelah dijemur, kulit akan direndam selama satu hari dalam air. Baru setelah itu memasuki proses amplas (dikerik) sehingga bulu pada kulit hilang dan bersih.

Setelah itu wayang akan dibentuk dan dipahat. Itu membutuhkan ketelitian yang serius agar wayang dapat rapi dan indah.

Amaq Darwilis menjelaskan, wayang Sasak terdiri dari bagian yaitu wayang kiri dan kanan. Wayang kiri identik dengan tokoh jahat (antagonis), sementara wayang kanan identitas dengan tokoh baik (protagonis).

Namun lebih sulit untuk membuat wayang kiri, karena tokoh antagonis pada wayang memiliki banyak corak dan warna. Berbeda dengan tokoh protagonis yang digambarkan pada wayang kanan, cukup sederhana.

“Tapi kalau orang luar negeri akan membeli wayang kiri, karena lebih banyak corak dan warna,” ujarnya.

Dia mengatakan, dahulunya beberapa wisatawan mancanegara ke Lombok akan membeli wayang miliknya. Para turis ini lebih tertarik dengan wayang kiri yang memiliki corak yang ramai dan aneka warna.

“Wayang kiri karena banyak mahkota. Kalau wayang kanan itu biasa tidak, banyak aksesoris,” katanya.

Amaq Darwilis kini terancam tidak dapat membuat wayang. Selain karena tidak adanya generasi penerus yang membantu, dia juga kekurangan dana untuk membeli bahan kulit. Padahal momentum idul fitri nanti adalah waktu yang mudah menemukan kulit sapi.

Dia mengatakan, sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Amaq Darwilis sangat diapresiasi di luar daerah. Dia mendapatkan penghargaan Jakarta dan Bali.

Tapi justru tak digubris di daerah asalnya. Dia hanya mempertahan budaya leluhur yang menjadi harta berharga masyarakat Sasak.

“Saya dapat penghargaan dari Bali dan dari Museum Wayang Jakarta. Kalau di NTB belum ada bantuan,” ujarnya.

Padahal, Amaq Darwilis sejak tahun 1968 sudah menjadi penatah wayang kulit Sasak. Bahkan, dalang tersohor Lalu Nasib selalu membeli wayang miliknya.

Butuh Perhatian Pemerintah

Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto yang kerap disapa Didu, mengatakan pemerintah harus lebih serius memperhatikan para penatah yang menjadi penjaga budaya Sasak.

NTB, kata Didu adalah daerah wisata, sehingga peran penatah wayang Sasak tidak terlepas dari bagian atraksi budaya.

Didu merasa khawatir, jika para penatah wayang kulit Sasak telah tiada, maka salah satu budaya leluhur Sasak tersohor ini akan sirna bersama mereka.

“Jangan sampai kita menyesal ketika wayang kulit Sasak akan punah seiring habisnya para penatah yang menjadi penjaga kebudayaan Sasak ini,” katanya.

Keping demi keping kebudayaan Sasak harus direkat dengan benang penyekat. Benang itu adalah bantuan pemerintah yang terus membuat wayang Sasak bereksistensi.

“Maka bantuan pemerintah yang dapat menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan. Mulai berikan permodalan bagi para penatah dan mulai memperkenalkan wayang Sasak pada generasi,” imbuhnya.

Setali tiga uang dengan Mi6, Ketua DPD Sahabat Pariwisata Nusantara (SAPANA) NTB, Lalu Puguh Mulawarman, mengatakan keprihatinannya terhadap kesenian tradisional yang mulai tidak mendapatkan tempat di hati generasi.

“Kami merasa prihatin karena kesenian tradisional terkesan semakin dijauhi oleh kalangan anak muda. Cobalah kita liat kondisi Amaq Darwilis yang merasa risau karena tidak punya generasi penerus,” imbuhnya.

Generasi masa kini katanya, telah larut terhadap perkembangan teknologi dan gawai, sehingga “para penjaga budaya” mulai sirna seiring zaman.

“Mari kita liat saja kenyataan bahwa anak anak lebih mengenal tokoh kartun asing ketimbang tokoh dalam budaya sendiri, Bahkan, ada beberapa anak yang tidak mengenal sama sekali kesenian tradisional. Ini kemungkinan terjadi akibat kurangnya informasi dan pengajaran terkait kesenian tradisional khususnya pewayangan,” ujarnya.

Dia meminta semua stakeholder berperan untuk menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan akibat tidak adanya generasi penerus.

“Untuk itu, kami mengharapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang ada di Pulau Lombok , pegiat pariwisata, budayawan, akademisi besatu padu dan semua unsur terkait untuk bersatubpadu meningkatkan dan mengembangkan inovasi guna memperkenalkan kesenian wayang Sasak kepada kalangan milenial sehingga rasa cinta dan bangga bisa tumbuh di hati mereka,” imbaunya.

Dia berharap, pembuat kebijakan  agar kesenian wayang ini dapat diperkenalkan secara formal melalui sekolah sekolah dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler, sehingga kesenian wayang Sasak khususnya yang terkait dengan proses produksi wayang Sasak ini tidak punah.

“Kita sangat khawatir apabila tidak ada upaya nyata pemerintah dan masyarakat maka wayang sasak menjadi hilang, terlupakan dan tergerus zaman,” katanya.

“Padahal, kesenian dan alat-alat tradisional mempunyai nilai-nilai filosofis yang syarat akan makna dan pendidikan bagi pemuda dan juga masyarakat secara luas,” ucapnya.

Me




Kelompok Seni Tradisi Rudat Setia Budi di KLU, Bertahan Karena Cinta

KLU.lombokjournal.com

Kelompok Seni Tradisi Rudat Setia Budi Dusun Terengan, Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara, membuktikan diri ke khalayak seni tradisi di NTB, yang mampu mempertahankan eksisensinya di pusaran perkmbangan jaman.

Kemampuan bertahan itu karena kecintaan terhadap seni tradisi Rudat, dan membuat kelompok mereka tetap bertahan melewati beberapa zaman.

Zakaria

Sebagai kelompok seni tradisi,  merupakan prestasi tersendiri  Seni Rudat di Terenga itu bisa tetap bertahan ketika sebagian besar masyarakat telah berpaling kepada kesenian modern.

Dibutuhkan kecintaan yang dalam, kerelaan berkorban waktu dan tenaga, serta visi besar menyongsong masa depan untuk seni tradisi guna merealisasikannya.

“Jika tidak begitu, seni tradisi komedi rudat Setia Budi Terengan tidak akan mampu bertahan untuk terus menelaah zaman. Bersaing bersama seni modern. Dengan seni tradisi ini kita bercerita  kepada generasi saat ini mengenai peristiwa yang terjadi di masa silam, melalui lakon-lakon yang dimainkan,” tutur Zakaria, pimpinan Seni Tradisi Rudat Setia Budi, Terengan, Lombok Utara, Rabu, (11/09/20).

Selain itu, Bagi Zakaria, kekaguman terhadap kekayaaan budaya leluhur, jadi salah satu pemicu untuk terus maju menantang zaman.

Zakaria, dalam percakapan dengan lombokjournal.com memaparkan perkembangan seni Rudat yang dipimpinnya dari masa ke masa.  Pengaaman yang panjang menggeluti seni Rudat, dengan pahit getir yang dialami, membuat kelompoknya tetap bisa bertahan hingga saat ini.

Zakarian menjelaskan, perasaan cinta pada seni tradisi Rudat itu juga membuat kelompoknya merasa bertanggung jawab untuk terus melestarikan seni tradisi warisan leluhur tersebut.

Banyak nilai positif yang bisa jadi bekal hidup di dunia yang ada di dalam pertunjukan seni tradisi rudat.

“Khususnya untuk kami pribadi di Terengan. Berasal dari sana, kami mengajak segenap generasi muda untuk belajar dan melestarikan seni tradisi komedi rudat ini,” ujarnya.

Lebih jauh, pria yang akrab disapa Pak Jek itu menjelaskan, tentang kandungan makna filosofis yang terdapat pada hampir semua dimensi seni tradisi Rudat.

Mulai dari pola urutan tarian di dalam rudat yang dibagi menjadi tiga babak sebagai gambaran tiga fase kehidupan yang nantinya dilalui umat manusia sebelum menghadap ke sang pencipta.

Termasuk salam yang harus diucapkan sebelum memulai pertunjukan pun memiliki kandungan makna filosofis yang dalam. Tak terkecuali dengan pola baris-berbarisnya. Semuanya memiliki kandungan makna filosofis yang dalam.

“Dalam permainan juga dimulai dengan syair selamat datang, itu menandakan bahwa seharusnya kita ucap salam atau mendahulukan salam. Kemudian baris-berbaris yang bermakna apapun yang akan kita lakukan di muka bumi ini, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan-persiapan, itu filosofinya,” tuturnya.

Perlu diketahui, pada 2017 yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan Pak Jack sebagai salah satu maestro kesenian tradisi Rudat.

Gelar kehormatan tersebut didapatnya karena dinilai telah berdedikasi menjaga dan mengembangkan kesenian tradisi rudat di provinsi NTB.

Tepatnya 11-24 Juli 2017 silam, 20 siswa terpilih dari seluruh Indonesia setelah melewati seleksi bersama ratusan siswa lainnya juga datang ke Kabupaten Lombok Utara guna belajar Tari Rudat bersama Pak Jek.

20 siswa tersebut datang dalam rangka mengikuti program Belajar Bersama Maestro (BBM) oleh Direktorat Jenderal Kebuduayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Tujuannya, agar para siswa bisa melihat dan merasakan secara langsung seperti apa kehidupan sehari-hari seorang maestro.

Bagaimana maestro Rudat asal Lombok Utara tersebut tetap bertahan menggeluti keyakinannya di bidang seni sehingga menjadi seorang maestro seperti saat ini.

Ast