Stunting Punya Keterkaitan dengan Berdayanya Perempuan

Berdayanya seorang perempuan juga mewujudkan generasi bebas stunting, cerdas, dan tangguh

LombokJournal.com ~ Upaya memberdayaan perempuan secara ekonomi, sejalan dengan peningkatkan kesejahteraan keluarga.

Perempuan yang berdaya secara ekonomi, akan meningkatkan kesejahteraan keluarganya, bisa memberikan nutrisi dan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.

““Dalam jangka panjang, berdayanya perempuan juga mewujudkan generasi bebas stunting, cerdas, dan tangguh,” tutur Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga.

Hal itu disampaikan Menteri PPPA dalam HUT ke-35 Wanita Hindu Dharma Indonesia “Perempuan Berdaya Mewujudkan Generasi Bebas Stunting, Cerdas dan Tangguh” di Denpasar, Minggu (26/02/23).

BACA JUGA: Pentingnya Pemeriksaan Kehamilan dan PMT Anak Stunting

Menurutnya, Stunting masih menjadi isu nasional yang mengancam pemenuhan hak dasar anak-anak. 

Namun dijelaskan, selama ini orang memahami anak yang mengalami stunting terjadi karena kekurangan gizi semata. 

“Padahal di balik kekurangan gizi tersebut ada masalah yang lebih kompleks, mencakup permasalahan sosial dan juga budaya,” tuturnya,

Stunting memiliki permasalahan yang lebih kompleks, tidak masalah kesehatan semata. Namun juga mencakup sosial dan budaya, seperti perkawinan anak, peran dalam pengasuhan anak yang setara, kekerasan yang dialami Ibu, hingga berdayanya perempuan secara ekonomi.

Bintang Puspayoga menyinggung salah satu dari 5 (lima) isu prioritas amanat Presiden RI kepada KemenPPPA di tahun 2020 – 2024. Yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender.

Isu prioritas itu menjadi hulu dari 4 (empat) program prioritas lainnya.

Isu lainnya yang masih dihadapi hingga saat ini dan sangat berpengaruh terhadap angka stunting adalah perkawinan anak, dan pengasuhan dalam keluarga.

“Perkawinan anak ini akan menjadi penyumbang untuk lahirnya generasi stunting. Seperti kita ketahui, perkawinan anak berisiko meningkatkan kerentanan dalam kesehatan ibu dan bayi. Maka, untuk menyelesaikan isu ini kita tidak boleh berfokus pada pendekatan dari sisi kesehatan saja. Tapi menyinggung hal yang lebih besar, upaya menuju perubahan pola perilaku dan konstruksi sosial yang salah pun secara holistik harus kita laksanakan,” tuturnya. 

Kesetaraan dalam Pengasuhan Keluarga

Isu lainnya yang berdampak terhadap stunting, yaitu kesetaraan dalam pengasuhan di keluarga, yang belum benar-benar diterapkan oleh keluarga di Indonesia. 

Pengasuhan dalam keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. 

Cara pandang yang setara dan saling mendukung antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, merupakan kunci dari pemenuhan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak, khususnya dalam pencegahan stunting.

BACAJUGA: Makanan Ini Bisa Melawan Hilangnya Daya Ingat

Dengan mengarusutamakan konsep pengasuhan setara, mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta menekan angka perkawinan anak.

“Lewat pemberdayaan perempuan, kita akan mewujudkan generasi bebas stunting, cerdas dan tangguh. Saya berharap seluruh anggota WHDI dapat turut bergerak aktif dalam menyuarakan, menyosialisasikan dan mempraktikkan upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan,” ujar Menteri PPPA.***

 




Cegah Perkawinan Anak, Wujudkan Indonesia Layak Anak 2030

Untuk melanjutkan upaya cegah dan tangani perkawinan anak, pihak KemenPPPA sudah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak

LombokJournal.com ~ Perkawinan berdampak negatif jangka panjang, misalnya masalah kesehatan reproduksi perempuan, tingginya angka stunting hingga munculnya kekerasan dalam rumah tangga.

Masyarakat belum menyadari, perkawinan anak memicu banyak masalah, seperti masalah kesehatan reproduksi perempuan, secara ekonomi belum siap karena justru perkawinan anak banyak karena faktor kesulitan ekonomi. 

Hal itu diungkapkan Rini Handayani, Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA.

BACA JUGA: Dispensasi Nikah, Ini Dampak Serius Perkawinan Anak

Upaya cegah perkawinan anak untuk mewujudkan target penurunan angka perkawinan anak

“Masalah yang menghadang lainnya adalah isu stunting, hilangnya potensi kualitas pendidikan anak dan rentan kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Rini, dalam siaran pers  KemenPPPA, Minggu (22/01/23)

Isu perkawinan anak menurut Rini sudah terjadi sejak lama, tetapi belakangan ini kasus-kasus tersebut kembali muncul di media. 

Sebagai respon, KemenPPPA didukung oleh Kementerian/Lembaga, rekan-rekan pemerhati anak dan juga media, terus memperkuat komitmen perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak.  Salah satunya melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974. 

Pada pasal 7 Undang-undang Nomor 6/ 2019 menyatakan, usia minimum perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi usia 19 tahun.

Pasca disahkannya UU Nomor 6 tahun 2019 permohonan dispensasi kawin meningkat pada tahun 2020. 

KemenPPPA merespon fenomena maraknya dispensasi kawin, dengan mendorong edukasi bahaya perkawinan anak, digaungkan oleh pemerintah daerah hingga masyarakat. 

Permohonan dispensasi kawin dalam dua tahun terakhir kembali mengalami penurunan. 

Menurut Data Badan Peradilan Agama (Badilag), permohonan dispensasi kawin pada tahun 2021 sebanyak 61.000,  sedangkan tahun 2022 sebanyak kurang lebih 50.000 permohonan.  Data dari Pusat Data Perkara Peradilan Agama terdapat empat provinsi dengan angka dispensasi kawin yang tinggi diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

“Meskipun tren permohonan dispensasi kawin menurun, tapi jumlahnya tetap sangat besar,” kata Rini.

Rini Handayani mengatakan, pihaknya memiliki pekerjaan rumah besar karena masih terdapat empat propinsi yang memiliki jumlah permohonan dispensasi kawin yang tinggi. 

Berbagai upaya telah kami lakukan untuk mewujudkan target penurunan angka perkawinan anak di tahun 2030 sebesar 6,94 persen. 

Untuk melanjutkan upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak, pihak KemenPPPA sudah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak.

Dan terus melibatkan berbagai sektor mulai dari pemerintah, sektor pendidikan, dunia usaha, media, hingga lingkup pemerintahan terkecil yakni desa dan kelurahan melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), tutur Rini.

BACA JUGA: Cegah Perkawinan Anak, Tingkatkan Kesehatan Anak

Perjanjian kerja sama

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Rohika Kurniadi Sari menyampaikan, upaya yang telah dilakukan KemenPPPA, diantaranya ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Sekretaris Kementerian PPPA dengan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Khususnya terkait Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Dispensasi Kawin dan Perceraian.

“Kami melakukan koordinasi dengan Badilag supaya ke depan ada data terpilah, pengajuan permohonan dispensasi kawin serta data perceraian berdasarkan usia dan pendidikan. Dengan data terpilah, intervensi akan lebih tepat sasaran, terutama usia kawin di bawah 18 tahun,” ungkap Rohika.

Rohika menyampaikan, proses dispensasi kawin di pengadilan sendiri telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. 

BACA JUGA: Pemprov NTB dan Plan Indonesia Perangi Perkawinan Anak

Selain itu pemerintah telah mengupayakan pemenuhan sertifikasi Hakim Anak dan pelatihan Konvensi Hak Anak bagi semua hakim yang menangani kasus dispensasi kawin di seluruh Indonesia.

KemenPPPA terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak agar dapat menekan angka perkawinan anak di Indonesia. 

Sehingga target Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045 dapat terwujud.***