Advokasi Cegah Perkawinan Dini Anak Perempuan

Orang tua minta dispensasi untuk anak perempuannya menikah, meski umur mereka belum cukup

Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPA

MATARAM.lombokjournal.com

Alasan lain mengapa perkawinan anak masih tinggi di Indonesia adalah karena ketakutan masyarakat terhadap perzinaan semakin kuat seiring dengan meningkatnya konservatisme.

Kelompok-kelompok konservatif telah menciptakan gerakan mendukung perkawinan anak. Mereka percaya perkawinan anak akan melindungi diri dari dosa perzinaan. Salah satu gerakan tersebut adalah Indonesia Tanpa Pacaran, yang menganjurkan kaum muda untuk tidak berkencan dan menikah sesegera mungkin.

Tekanan publik seperti ini tergambar dalam sebuah penelitian di tahun 2019 yang menunjukkan alasan mengapa orang tua di Tuban, Jawa Timur; Mamuju, Sulawesi Barat dan Bogor, Jawa Barat meminta dispensasi untuk anak perempuan mereka menikah meski umur mereka belum cukup.

Studi ini menunjukkan bahwa alasan orang tua meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun belum cukup umur adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka akan melakukan perzinaan, terutama ketika anak-anak mereka mulai memiliki pacar.

Kita dapat mengatasi masalah perkawinan anak dengan bekerja di tingkat akar rumput dan melibatkan komunitas terkait.

Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat,  yang tingkat prevalensi pernikahan anak relatif tinggi, kaum muda bekerja bersama dengan lembaga-lembaga di desa. Mereka melakukan advokasi untuk menggalang dana untuk melindungi anak perempuan agar tidak menikah di usia anak dengan memberikan informasi mengenai kesehatan dan hak reproduksi seksual.

BACA JUGA:

Menteri PPPA Beri Penghargaan NTB, Atas Pengesahan Perda Perkawinan Anak 

Perkawinan anak adalah masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama  dari berbagai sektor.

Sebuah strategi di tingkat nasional yang mencakup semua masalah yang disebutkan di atas lebih dapat membantu mengurangi jumlah perkawinan anak di Indonesia.

Rr

sebelumnyaMencegah Pernikahan Anak, Ini Mestinya Dilakukan

 

Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa inggris

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.  Artikel sumber




Pemerintah Harus Dorong Kesetaraan Gender

Untuk anak laki-laki, kapan mereka siap menikah benar-benar terserah mereka

Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPA

MATARAM.lombokjournal.com

Anak perempuan lebih rentan pada pernikahan anak karena adanya persepsi dan ekspektasi masyarakat pada peran domestik anak perempuan.

Menurut penelitian Institut Credos tahun 2017, anak perempuan dianggap siap untuk menikah ketika mereka sudah bisa mengurus keluarga.

Sementara untuk anak laki-laki, kapan mereka siap menikah benar-benar terserah mereka. Kebanyakan berpikir mereka siap ketika mereka merasa mandiri secara ekonomi.

Ekspektasi ini mungkin lebih kuat di daerah perdesaan, dan ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa jumlah angka perkawinan anak di sana lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Dari  tingkat perkawinan anak di perdesaan berada pada angka 29,2%, lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang sebesar 19%.

Pemerintah harus lebih bekerja sama lebih erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mempromosikan kesetaraan gender.

Rr

selanjutnyaAdvokasi Cegah Perkawinan Dini Anak Perempuan




Pentingnya Informasi Hak-hak Reproduksi Seksual

Kehamilan dini akan meningkatkan kemungkinan mereka meninggal

Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPA

MATARAM.lombokjournal.com

Penelitian lain dari Institusi Credos pada tahun 2017 di Rembang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual adalah salah satu alasan kenapa perkawinan anak tetap terjadi.

Banyak anak di Indonesia tidak tahu bahwa berhubungan seksual dapat menyebabkan mereka hamil dan dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.

Sebuah penelitian dari Aliansi Remaja Independen pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengakui bahwa mereka hamil sebelum pernikahan mereka.

Tingkat kesuburan perempuan Indonesia yang berusia antara 15 dan 19 tahun adalah 47 kelahiran per 1.000 wanita pada 2017. Ini lebih tinggi dari India dengan 23 kelahiran per 1.000 wanita.

Mereka tidak tahu bahwa kehamilan dini akan meningkatkan kemungkinan mereka meninggal dibandingkan dengan mereka yang memiliki kehamilan di usia 20-an.

Pendidikan seks di Kenya, Peru dan Pakistan telah membantu mengurangi perkawinan anak dan kehamilan yang tidak direncanakan. Kelas-kelas tentang pendidikan seksual di negara-negara tersebut bersifat komprehensif.

BACA JUGA:

Menteri PPPA Beri Penghargaan NTB, Atas Pengesahan Perda Perkawinan Anak

Anak-anak dapat belajar tentang isu-isu seputar hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender dan hubungan kekuasaan dalam hubungan.

Pemerintah Indonesia harus memberikan pendidikan seks yang komprehensif dengan memasukkan hal tersebut ke dalam kurikulum sekolah

selanjutnyaPemerintah Harus Dorong Kesetaraan Gender

 




Cegah Perkawinan Dini, Siapkan Pendidikan Formal

Lulusan SMA lebih kecil kemungkinannya untuk langsung menikah dibanding dengan lulusan SMP

Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPA

MATARAM.lombokjournal.com

Melindungi anak perempuan dari perkawinan anak, berdasarkan berbagai penelitian, disarankan  setidaknya ada tiga tindakan yang diperlukan:

  • Menyediakan Pendidikan formal
  • mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual
  • mempromosikan kesetaraan gender di tingkat akar rumput.

Menaikkan batas usia minimum menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun, memberi kesempatan bagi anak perempuan menyelesaikan pendidikan SMA sebelum mereka menikah.

Riset menunjukkan, pentingnya pendidikan tinggi dalam mencegah perkawinan anak. Seiring dengan meningkatnya tingkat Pendidikan, maka jumlah perkawinan anak akan berkurang.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan, lulusan SMA lebih kecil kemungkinannya untuk langsung menikah dibanding dengan lulusan SMP.

Memastikan anak perempuan tetap di sekolah, akan mencegah mereka menjadi pengantin anak. Hal ini juga akan akan membawa manfaat ekonomi, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga bagi negara.

BACA JUGA:

Menteri PPPA Beri Penghargaan NTB, Atas Pengesahan Perda Perkawinan Anak

Sebuah laporan yang belum diterbitkan oleh UNICEF Indonesia menunjukkan, perempuan berpendidikan tinggi akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada perekonomian negara.

Agar anak perempuan tetap di sekolah dan tidak menikah pada usia anak, pemerintah harus memastikan, perempuan menerima hak mereka untuk ikut serta dalam program wajib belajar 12 tahun.

SelanjutnyaPentingnya Informasi Hak-hak Reproduksi Seksual




Mencegah Pernikahan Anak, Ini Mestinya Dilakukan

Mencegah perkawinan anak tidak cukup dengan hanya menaikkan batas usia minimum menikah

Penulis: Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPA

MATARAM.lombokjournal.com

Dari sembilan anak perempuan di Indonesia, menikah sebelum usia 18 tahun. Hal itu menempatkan Indonesia di antara 10 negara dengan jumlah pengantin anak terbanyak di dunia.

Bulan September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk untuk menaikkan batas usia minimum perempuan untuk menikah dari 16 ditingkatkan menjadi 19 tahun, untuk mencegah angka perkawinan anak.

Keputusan itu merupakan langkah penting untuk mengakhiri perkawinan anak. Tapi mari belajar dari India.

BACA JUGA:

Menteri PPPA Beri Penghargaan NTB, Atas Pengesahan Perda Perkawinan Anak

Di India, perkawinan anak masih terjadi, meskipun usia resmi untuk menikah sudah ditetapkan minimal 18 tahun sejak 1978.

BACA JUGA: Banjir Bandang dan Melonjaknya Harga Bawang di NTB

India memiliki angka absolut pernikahan anak tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk kurangnya akses terhadap pendidikan dan norma gender yang kaku.

Selanjutnya:  Cegah Perkawinan Dini, Siapkan Pendidikan Formal

 




PKK NTB Jalin Sinergi, Perbaiki Dampak Sosial Akibat Pandemi

Sinergi antar lembaga sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan akibat pandemi

MATARAM.lombokjournal.com – Masa pandemi Covid-19 ini berdampak kepada hampir semua lini kehidupan, baik itu dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya.

Hal ini menjadi salah satu perhatian TP-PKK Provinsi NTB yang menjadi mitra kerja Pemerintah. TP-PKK memperhatikan, salah satu dampak yang terasa adalah dampak sosial.

Dampak sosial yang cukup dirasakan adalah pola asuh anak yang mengalami perubahan di masa pandemi ini.

Ketua TP-PKK Provinsi NTB, Hj. Niken Saptarini Widyawati menyampaikan bahwa PKK memiliki kewajiban untuk membantu pemerintah dalam menangani dampak sosial dari Pandemi ini.

PKK Provinsi NTB melaksanakan Rapat koordinasi Pola Asuh Anak dan Remaja (PAAR) di Masa Pandemi COVID-19 di Provinsi NTB, Rabu (26/08/20).

Dalam rapat, Hj. Niken menyampaikan, bawah sinergi antar lembaga sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan akibat pandemi ini.

“Ini adalah bagian dari upaya kita bersama untuk NTB Gemilang, sinergi adalah salah satu cara memecahkan masalah di sekeliling kita akibat pandemi COVID-19 yang dampaknya ternyata tidak hanya bidang kesehatan, ekonomi, namun juga berbagai sendi kehidupan,” ungkapnya.

TP-PKK NTB melibatkan berbagai Lembaga, baik dari lembaga pemerintahan hingga Lembaga Swadaya dalam rapat ini, di antaranya Kesbangpol, Biro Kesra Setda NTB, Kemenag NTB, BKKBN, LPA, Dikbud Provinsi NTB, DP3AP2KB Provinsi NTB, guna menangani masalah pendidikan dan pola asuh anak di masa Pandemi ini.

TP-PKK sendiri memiliki Program Pola Asuh Anak dan Remaja yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat, terkait pola pengasuhan yang baik untuk anak dan remaja di rumah.

Pola ini sangat bermanfaat bagi anak d an remaja sebagai bekal dalam menimba ilmu di luar rumah.

“Bagaimana pun, semua dimulai dari keluarga, orang tua yang sukses melakukan pengasuhan dan pendidikan kepada anak di rumah, anak-anak tidak akan sulit berkembang di sekolah,” terang Ketua Bunda Niken.

Untuk menjalankan program ini di tengah Pandemi, lanjutnya, perlu adanya penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan protokol kesehatan.

Oleh sebab itu, lembaga swadaya dan instansi pemerintah turut dilibatkan dalam program ini.

Bunda Niken berharap, dengan sinergi ini, dampak sosial Pandemi ini khususnya di bidang pendidikan dapat teratasi.

Dengan begitu, pendidikan dan pola asuh anak di NTB dapat berjalan dengan baik sehingga menghasilkan generasi muda yang dapat menjadikan NTB sebagai Provinsi yang jauh lebih baik dari yang lainnya.

Ketua Pokja I, Dini Haryati mengatakan, program Pola Asuh Anak dan Remaja ini, sesuai dengan visi Pokja I yakni, terwujudnya keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, serta sejahtera lahir dan batin.

Misi dari Pokja I ini adalah meningkatkan pembentukan karakter melalui penghayatan pengalaman Pancasila, kegotongroyongan serta kesetaraan dan keadilan gender.

“Untuk mewujudkan visi misi tersebut salah satunya adalah melaksanakan Program Pola Asuh Anak dan Remaja,” tuturnya.

AYA/HmsNTB