Komunitas Rabu Langit: Teater Pendekatan Intertekstual
Yusfianal Imtihan yang menyutradarai Nyanyian Angsa adaptasi puisi WS Rendra, mempertontonkan keberanian, keliaran kebebasan dan kebahagiaan Komunitas Rabu Langit dalam mengemas pertunjukan
MATARAM.lombokjournal.com ~ Komunitas Rabu Langit memainkan lakon berjudul Nyanyian Angsa .adaptasi dari puisi dengan judul sama karya WS Rendra pada acara Pentas Sastra Taman Budaya NTB, Jumat (22/07/22).
Disutradarai Yusfianal Imtihan, Rabu Langit memukau penonton yang hadir di gedung teater tertutup Taman Budaya NTB dengan penampilan apiknya.
Banyak gelak tawa, kemarahan dan kesedihan yang dialirkan para aktor dari panggung ke penonton.
Aliran energi yang penulis kira beresonansi positif, membangkitkan impuls penonton untuk andil merasakan apa yang dialami para tokoh – manusia yang jiwanya kacau-balau oleh keadaan buruk akibat lingkungan yang tak memiliki sistem pendukung ke arah yang baik.
Beberapa catatan terkait pertunjukan tersebut di antaranya keberanian, keliaran kebebasan dan kebahagiaan Komunitas Rabu Langit dalam mengemas pertunjukan.
Keberanian dan keliaran imajinasi sutradara tampak pada adegan-adegan yang tak tertebak, semisal manusia kotak dan manusia kepala bola yang jatuh, lalu kepalanya ditendang Maria Zaitun ke arah gawang imajiner di sisi barat panggung.
BACA JUGA: Membaca Sastra, Alternatif Menangkal Terorisme dan Radikalisasi
Selain liar adegan tersebut mengejutkan. Sangat komikal dengan nuansa yang cukup getir.
Kebebasan dan kebahagiaan tercermin dari beberapa adegan, salah satunya betapa ‘cueknya’ sutradara memasukkan adegan penata rias tengah memoles wajah Maria Zaitun agar makin kinclong, atau celetuk dialog dua aktor meniru tokoh kartun.
Sejatinya, empat hal tersebut – kebebasan, keberanian, kebahagiaan dan keliaran – harus dimiliki oleh kelompok kesenian khususnya teater.
Dan Rabu Langit pantas berbangga memiliki hal itu.
Keberanian mereka untuk menambah teks puisi dengan teks lain sangat memikat.
Di dunia sastra kita mengenal tokoh besar bernama Jorge Luis Borges yang karya-karyanya kerap melakukan hal serupa.
Lihatlah salah satu cerita pendek (Cerpen) berjudul Mawar Paracelsus. Betapa Borges membaca kembali teks seorang saintis abad lama bernama Celsus, dikaitkan dengan pikiran seorang Yahudi murtad yang menganggap Tuhan tidak ada.
Karena menurutnya, Tuhan tak hadir saat enam juta umat Yahudi berakhir jadi abu pada tragedi Holocaust, yakni pembantaian sistematis yang disokong negara terhadap Yahudi Eropa, oleh rezim Nazi Jerman dan sekutu serta kaki tangannya.
Terus terang impresi penulis saat menyaksikan pertunjukan Nyanyian Angsa langsung tertuju pada Borges, pada kemampuannya membuat cerita berkait-kelindan dengan cerita lain.
Teater intertekstual
Puisi dalam pendekatan Rabu Langit hanya jadi pemantik sutradara guna menyalakan mesin imajinasi yang kaya dan liar.
Contohnya beberapa adegan yang merepresentasikan nuansa kekinian, semisal ungkapan-ungkapan aktor yang merujuk pada film kartun masa kini, yang bagi penonton berusia 50 tahun ke atas tidak begitu familiar.
Liarnya imajinasi sutradara mengingatkan kita betapa luasnya ruang eksplorasi dalam dunia teater. Termasuk dalam hal eksplorasi teks naskah.
Hal yang bisa dikatakan sebagai upaya Rabu Langit menuju Teater Intertekstual. Bila menengok Wikipedia Intertekstual bermakna suatu teks tidak berdiri sendiri.
Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang sebuah teks adalah pembaca sebelum ia menulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang.
Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis.
Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca.
Teks-teks yang mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis.
Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Teks yang dimaksud disini bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat istiadat, kebudayaan, dan agama.
BACA JUGA: Teater Hitam Putih dan Artaud: Pertunjukan ‘Do’a Chairil’ SFNLab
Dari penjelasan tersebut kita bisa melihat betapa Rabu Langit telah melakukan upaya Intertekstual, puisinya Rendra dibaca tidak hanya teks melainkan berbagai macam peristiwa masa lalu – dan mungkin masa depan – yang telah dilalui oleh penulis sebelum menyelesaikan karyanya.
Memang, bila dilihat dari sudut pandang pengadeganan, beberapa adegan masih belum konsisten dengan tema besar Intertekstual tersebut, bahkan ada adegan yang membuat penonton kehilangan inti cerita.
Penulis kurang tahu apakah ulang-alik antara akting dan tidak akting sengaja dipakai sebagai strategi oleh sutradara guna mendidik penonton untuk melihat bahwa semegah apa pun pertunjukan teater tetaplah peristiwa yang tidak nyata.
Yang nyata adalah ketika salah seorang perempuan penata rias masuk ke atas pentas untuk memoles wajah Maria Zaitun agar makin kinclong guna memikat hati kaum Adam mata keranjang.
Ataukah ironi yang dimunculkan pada adegan si tokoh berkepala bola yang kemudian ditendang ke luar panggung oleh Maria Zaitun, pun lelaki ‘berpenis besar nan panjang’ yang karena tak awas membuat tali pengikat artistik putus.
Atau Maria Zaitun tua dan sakit di awal cerita, atau Maria Zaitun cantik dan seksi di akhir cerita? Mana yang nyata?
Dramaturgi Jamming
Kepada lombokjournal.com usai pertunjukan, penyair Kiki Sulistyo menyatakan bahwa secara dramaturgi Komunitas Rabu Langit menggunakan pendekatan Dramaturgi Jamming. Yang kurang lebih bermakna sebuah arsitektur pertunjukan di mana tak ada genre, warna, dan aliran, melainkan hanya ada pembawa acara sebagai pembuka dan penutup acara.
Penonton yang nantinya bebas memilih sendiri di bagian mana dan pada adegan apa, mereka bisa mengais makna dari semesta nilai pertunjukan Nyanyian Angsa.
Dikutip dari Brainly jamming dalam penggunaan sehari-hari, lebih sering digunakan menggambarkan kegiatan bermusik bersama-sama yang cenderung spontan utamanya dalam genre musik jazz.
Di sisi lain jamming ini lekat (untuk orang Indonesia sepertinya) sebagai aktifitas menari ketika musik reggae dimainkan.
Hal ini disebabkan salah satu lagu legenda Reggae yakni Bob Marley berjudul Jamming yang memang menggoyang. Namun dalam lirik tersebut pun maksudnya bukan bergoyang bersama namun bermain musik bersama.
BACA JUGA: Lagu-lagu Sedih Membuat Leboih ‘Nyaman’?
Dalam pertunjukan Komunitas Rabu Langit tak bisa kita identifikasi satu genre umum dalam dunia pemanggungan teater. Ia adalah bola salju yang bergerak dari atas ke bawah, semakin jauh bergerak semakin besar bobotnya.
Atau, ia adalah ‘pemulung makna’ yang sesekali singgah di selokan penuh sisa kotoran demi memungut barang bekas yang dinilai berharga, mengumpulkannya lalu menjadikannya berharga.
Karena itu mungkinkah kita sebut pertunjukan Komunitas Rabu Langit sebagai pertunjukan dengan pendekatan dramaturgi Intertekstual.
Akhir kata, penulis kira pertunjukan malam ini sebagai awal. Ibarat karya prosa, ia butuh pembersihan buih-buih, menambahkan yang perlu, mempertahankan yang penting. Dan tak ragu membuang yang dirasa perlu dibuang.
Emas pun butuh beberapa rangkaian proses agar indah dan bercahaya. Wallahu a’lam bissawab.***