Kesombongan Monyet pada Lumba-Lumba Penolongnya

Lumba-Lumba telah menyelamatkan Monyet yang nyaris ditelan ombak laut, namun pertolongan itu dibalas dengan kesombongan

Cukup Wibowo bercerita tentang kesombongan MonyetLombokJournal.com ~ Suatu hari, beberapa pelaut berangkat ke laut dengan kapal layar mereka. Salah satu dari mereka membawa serta monyet peliharaannya untuk perjalanan panjang. 

Ketika mereka berada jauh di laut, badai yang mengerikan menjungkirbalikkan kapal mereka. Semua orang jatuh ke laut, dan monyet itu yakin kalau dirinya akan tenggelam. Tiba-tiba seekor lumba-lumba muncul dan mengangkatnya.

BACA JUGA: Jangan Ubah Dunia (Kisah Sakit Kaki sang Raja)

Diselamatkan dari laut, Monyet mnembalas dengan kesombongan
Monyet dan Lumba-Lumba / IST

Mereka segera mencapai pulau itu dan monyet itu turun dari punggung lumba-lumba. Lumba-lumba bertanya kepada monyet, “Apakah kamu tahu tempat ini?” 

Monyet itu menjawab, “Ya, aku tahu. Raja di pulau ini adalah sahabat baikku. Tahukah kamu, aku sebenarnya seorang pangeran?”

Mengetahui tidak ada siapa pun yang tinggal di pulau itu, lumba-lumba itu berkata, “Yah, baiklah, jadi kamu adalah seorang pangeran! Sekarang kamu bisa menjadi raja!” 

Monyet itu heran, dan serta merta bertanya, “Bagaimana aku bisa menjadi raja?” 

Sambil berenang menjauh, lumba-lumba menjawab, “Itu mudah. Karena kamu adalah satu-satunya makhluk di pulau ini, kamu dengan sendirinya akan menjadi raja!”

BACA JUGA: Kisah Bocah Gembala tentang Seekor Srigala

Inspirasi dari kisah ini:

Mereka yang berbohong dan menyombongkan diri akan menghadapi masalah yang diciptakannya sendiri. ***

 

 

 




Kisah Bocah Gembala tentang Seekor Srigala

Ada kisah anak gembala yang kerap iseng minta tolong, padahal tidak ada bahaya apa pun,  karena itu saat ia benar-benar menghadapi bahaya penduduk desa pun tak menolongnya

LombokJournal.com ~ Ada seorang anak gembala yang harus menjaga sekawanan domba. Suatu hari, ia merasa bosan dan memutuskan untuk mempermainkan penduduk desa. Tanpa sebab tiba-tiba ia berteriak, “Tolong! Ada serigala! Ada serigala!”
Penduduk desa yang mendengar teriakannya bergegas menuju ke arahnya bermaksud menolong. Sesampai di tempat itu, mereka bertanya, “Di mana serigala itu?”
Bocah gembala itu tertawa keras, “Ha, Ha, Ha! Aku sengaja memainkan kalian semua untuk mengisi kebosananku saja.” Para penduduk menggerutu oleh cara bocah gembala itu memainkan mereka.
Beberapa hari kemudian, bocah gembala itu memainkan trik ini lagi. Sekali lagi dia berseru, “Tolong! Tolong! Ada serigala! Ada serigala!”
Sekali lagi, penduduk desa bergegas ke atas bukit untuk membantunya, namun sekali lagi mereka menemukan bahwa anak laki-laki itu telah menipu mereka. Mereka sangat marah oleh kebohongan yang diulang.
Tak lama setelah itu, seekor serigala pergi ke ladang dan menyerang sekumpulan domba. Anak gembala itu berlari menuju desa sambil berteriak, “Tolong! Tolong! Ada serigala! Ada serigala!”
Penduduk desa mendengar teriakan yang kali ini disertai oleh tangisan sang bocah tetapi mereka tertawa karena mereka pikir itu adalah trik lain. Mereka tak ingin dihongi lagi. Anak laki-laki itu berlari ke penduduk desa terdekat dan berkata, “Seekor serigala sedang menyerang dombaku. Aku memang berbohong sebelumnya, tapi kali ini aku bekata benar!”
Akhirnya, penduduk desa pergi juga untuk melihat apakah itu benar. Mereka melihat serigala melarikan diri dan terlihat banyak domba mati tergeletak di rumput.

Inspirasi dari KISAH ini:
Sulit untuk percaya pada seseorang yang sering berbohong, bahkan ketika dia sedang mengatakan yang sebenarnya. ***

BACA JUGA:




Kisah Rowana, Kabur ke Jawa Terlantar di Lombok

Ini kisah nyata tentang Rowana, yang diceritakan Nanik I Taufan. Rowana, gadis asal Sumbawa dibawa kabur pacarnya ke Jawa, menghilang dari rumah orang tuanya. Sampai di Jawa, ternyata pacarnya tak bertanggung jawab. Ia diantar pulang tapi tak sampai ke rumah, Rowana terlunta-lunta di Lombok 

lombokjournal.com ~ Beberapa tahun lalu, di salah satu sudut perumahan di Kota Mataram, seorang gadis duduk termenung di gardu ronda. Pakaiannya lusuh dan tubuh tidak terurus. Ia sudah berada di berugak tersebut sejak dua hari lalu. 

Awalnya tidak ada yang memperhatikan gadis bermata bening ini. Warga mengira ia tengah menanti seseorang. 

Namun, pada hari kedua, warga baru sadar bahwa gadis tersebut masih juga berada di berugak ini. 

Warga menduga ia tersesat. Saat ditemukan, ia sudah tidak lagi bisa bicara. Entah peristiwa apa yang sudah dialaminya sehingga ia tampak shock dan gagu. Warga juga menduga ia korban kekerasan, karena di tubuhnya seperti punggung sampai pinggang ditemukan luka memar seperti terkena benda tumpul. 

Ketika ditanya tentang identitasnya, ia hanya berdiam diri dengan pandangan kosong dan bola mata yang menyorot tajam kebingungan. 

Tak satu pun dokumen melekat pada dirinya untuk mengetahui siapa ia sebenarnya. Karena merasa prihatin dengan kondisinya, warga memutuskan merawatnya beberapa hari di rumah salah seorang warga. Mungkin saja ia mau bicara agar bisa dikembalikan ke orang tua atau keluarganya.

Salah seorang ibu rumah tangga, Alsirah (50) yang tinggal di kompleks tersebut mendekatinya. Ia seperti orang ketakutan. Ia benamkan wajahnya di antara tubuhnya yang dekil dan kurus. Sorot matanya, kosong. Gerakannya lemah terkesan malas. 

Selain Alsirah, beberapa ibu rumah tangga lainnya juga berdatangan melihat kondisinya. Alsirah lalu bertanya, tentang identitasnya. Begitu juga dengan para ibu lainnya. 

BACA JUGA: Kisah Maria, Menderita Bersama Suami Tapi Tak Bisa Bercerai

Gadis itu tidak bisa menjawabnya. Sikapnya datar dan seperti tidak ingin mengenal siapa-siapa. 

“Berkali-kali ditanya, berkali-kali pula ia hanya menatap kami,” ungkap Alsirah. 

Karena kasihan, Alsirah kemudian membawanya pulang ke rumah. Di sana ia sempat dimandikan dan dirawat selama beberapa hari. Namun, karena gadis ini tidak bisa berbicara (dianggap bisu), Alsirah merasa harus menitipkannya di rumah negara. 

Selain itu, gadis tersebut  susah sekali diatur. Gadis itu pun lalu dititipkan pada salah satu rumah aman di Mataram. Di sana ia dirawat dan petugas rumah aman terus mencoba melakukan pendekatan agar terkuak identitasnya. 

Satu minggu berada di rumah aman, petugas belum juga tahu siapa namanya dan di mana alamatnya. 

Hari-harinya hanya makan dan tidur. Diajak bicara ia hanya membalas dengan tatapan kosong. Perilakunya kasar. Jika keinginannya tidak dituruti, ia biasanya marah dan tidak jarang meludahi dan menjambak kawan lainnya. 

Petugas merawat dan memeliharanya dengan penuh kesabaran dan perhatian. Ia rupanya keras hati. Jika menginginkan sesuatu namun tak tersampaikan, ia bisa diam dan “ngambek” berhari-hari. Tidak jarang juga ia terlihat menangis dan sedih.  

Ia selalu tidur di siang hari dan jarang sekali tidur di malam hari. Waktu malam ia habiskan untuk menonton televisi hingga menjelang subuh. Sehari-hari ia apatis dan asosial. Ia sudah tidak lagi peduli dengan sekitarnya bahkan dirinya. 

Suatu hari setelah enam bulan berlalu, ia mau bicara tapi dengan informasi sangat minim. Ia bilang bernama Rowana (nama samaran). Ia ke Mataram dibawa seseorang bernama Rohidah yang berprofesi sebagai pengajar. Informasi lainnya, ia naik bus. Ia juga mengaku bahwa ibunya masih hidup. Informasi yang diberikan juga berubah-ubah. Ia mengaku ke Mataram naik truk lewat Pelabuhan Lembar bersama Agus, pacarnya. 

BACA JUGA: Kisah ‘Primadona’ Nurul, Menolak Menikah Beda Agama

Namun ia tidak mengetahui Agus itu berasal dari mana. Ketika ditanya lebih detail tentang siapa nama ibunya dan alamat pastinya, ia diam dan menggeleng. 

“Setelah itu saya sangat pelit bicara karena saya kesulitan berkomunikasi verbal,” ungkap Rowana. 

Kisah derita perempuan

Tiap kali ditanya, ia selalu bilang ”Rowana lupa”. Minimnya informasi yang diberikan Rowana membuat petugas kesulitan menguak identitasnya sehingga sulit melacak keluarganya. Dalam waktu berbulan-bulan, petugas belum berhasil menguak identitasnya karena semakin lama kosa kata Rowana semakin sedikit. 

“Saya hanya bisa bilang mau pulang, setelah itu diam,” ujarnya menyadari kebingungan petugas rumah aman saat mengurusnya. 

Hal inilah yang membuat petugas kesulitan memenuhi permintaannya untuk pulang. Permintaannya untuk pulang sangat sering dilontarkannya. 

“Tidak mungkin petugas melepas saya jika saya sendiri tidak lagi tahu berasal dari mana. Saya berterima kasih pada petugas yang telah merawat saya dan tidak membiarkan saya terlunta-lunta di jalanan. Saya juga berterima kasih pada ibu-ibu di perumahan yang sudah menyelamatkan saya,” lanjutnya.

Besarnya keinginannya untuk pulang membuat Rowana beberapa kali hendak melarikan diri dari rumah aman. Karena itu, petugas keamanan agak ketat mengawasinya. Bagaimana tidak, pernah ia beberapa kali sudah keluar dari halaman berjalan tak punya tujuan. Beruntung ia segera ditemukan. 

Bahkan, saking besarnya keinginan untuk pulang, ia pernah mengelabui petugas dan petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk panti tersebut dengan cara menyamar. Ia memakai baju rangkap dan memakai helm milik petugas yang diambilnya dari tempat parkir sepeda motor. Sampai akhirnya ia sadar bahwa ia harus berperilaku baik.

Beberapa waktu kemudian ia mulai menjadi normal dan sedikit demi sedikit ia lancar berbicara. Sampai akhirnya terkuaklah siapa sebenarnya Rowana. 

Ia berasal dari Pulau Sumbawa dan tinggal di pelosok desa. Rowana mengingat bahwa ia telah diperlakukan tidak baik oleh pacarnya yang melarikannya hingga ke Pulau Jawa lalu memulangkannya hanya sampai Pulau Lombok saja. Di sanalah kisah awalnya ia terlunta-lunta. 

Trauma yang hebat membuatnya menjadi gagu dan apatis. Setelah ingatannya kembali dan ia bisa bicara normal, ia sadar bahwa tidak mungkin pulang ke rumah orangtuanya setelah apa yang terjadi padanya.

BACA JUGA: Kisah Anak Majikan, Jadi Supir Tak Beruntung di Arab Saudi

Ia kekeh meninggalkan rumah, lari bersama pacarnya yang rupanya tidak bertanggung jawab. Ia melawan orang tuanya demi laki-laki tak bermoral itu. 

Rowana sangat rindu orang tuanya. Ia ingin meminta maaf pada mereka namun tidak punya keberanian untuk melakukannya. Ditambah lagi rasa malu yang amat dalam membuat ia memutuskan “lari” seterusnya dari orangtua dan kampung halaman. Kerinduan untuk pulang itu selalu ada. 

“Nanti jika saatnya tiba dan saya siap, saya ingin sekali pulang,” kata Rowana yang kini bekerja di bagian penjualan alat-alat rumah tangga. ***

 




Kisah Maria, Menderita Bersama Suami Tapi Tak Bisa Cerai

Ini kisah Maria yang memilukan, puluhan tahun ia menderita oleh perangai suaminya. Tapi saat ia menginginkan perceraian, selalu saja laki-laki itu memohon sambil mencium kakinya. Nasib sedih Maria dari Bima ini dikisahkan Naniek I Taufan 

MATARAM.lombokjournal.com ~ “Biarkan saja, sampai kapan dan sekuat apa dia mampu menyakiti saya, kita tunggu saja. Dia mau pergi atau pun mau pulang ke rumah, saya tidak peduli lagi,” ujar Maria sambil tertawa. 

Begitulah cara perempuan ini kini menghadapi sikap buruk suami yang dinikahinya 30 tahun lalu. Kini sikap-sikap buruk suaminya itu, ia hadapi dengan tertawa. 

Semua sakit dan hal pahit dalam perjalanan rumah tangganya, sudah lewat untuk ia tangisi. Telah habis air mata dan kesabaran serta ketabahannya berubah menjadi kepasrahan. Setelah semua usaha untuk “mengembalikan” suaminya ke pangkuannya telah ia lakukan namun gagal, kini ia menjadi lebih tenang dan menyerahkan semua kehidupannya pada Sang Pencipta. 

Dalam sujud dan doa-doanya kepada Sang Pencipta, Maria (54), bukan nama sebenarnya, selalu memanjatkan harapan agar suaminya mau berubah menjadi baik. Puluhan tahun berumah tangga, ia merasa tidak pernah mendapatkan perlakukan baik dari suaminya, Hendra (57), nama samaran, kecuali kemesraan sesaat usai mereka menikah. Sakit fisik dan psikis telah menjadi kawan baginya hampir tiap hari. 

“Tapi saya sendiri heran, kenapa saya bertahan sampai hari ini,” ungkap Maria.

Ia memang tidak habis pikir, mengapa selama ini ia bisa bertahan dengan perlakuan buruk suaminya. 

Takut ditinggal juga tidak, takut tak mendapatkan jaminan hidup, juga tidak. Karena ia sendiri memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan penghasilan tetap dan menurutnya sangat cukup untuk hidup layak dengan empat anaknya. 

Keheranannya itu akhirnya terjawab setelah ia dengan gagah berani menyatakan akan meninggalkan suaminya itu untuk bercerai pada tahun 2011 lalu. Itulah saat dimana ia sudah tidak lagi bisa mentoleransi sikap-sikap suaminya.

Ia bersiap datang ke KUA (Kantor Urusan Agama) di salah satu kota di Pulau Sumbawa tempat mereka tinggal, untuk segera menceraikan suaminya. 

BACA JUGA: Kisah ‘Primadona’ Nurul Menolak Nikah Beda Agama

Cerita ingin bercerai memang telah berkali-kali diungkap selama ini, namun pada 2011 itulah ia benar-benar serius melakukannya. Apalagi dorongan persetujuan itu juga datang dari empat anaknya yang sudah besar bahkan dua di antaranya telah menikah. 

Anak-anaknya memang menyetujui agar ibunya menceraikan ayah mereka karena kasihan pada perempuan yang melahirkan mereka itu. Mereka selalu melihat bahwa selama ini ia disia-siakan oleh ayah mereka. 

Namun belum lagi rasa percaya dirinya itu utuh ada dalam dirinya, ia harus menerima nasib kembali tak berdaya manakala suami yang menurutnya bejat itu, tiba-tiba datang memeluk kakinya, memohon agar ia tidak meninggalkannya. 

“Hendra sampai mencium kaki saya dan memohon agar saya tidak meninggalkannya saat itu,” ujarnya. 

Beberapa waktu ia sempat bingung melihat sikap suaminya itu. Hal itu akhirnya terulang beberapa kali.

 “Saya selalu tidak tega melihatnya memohon-mohon agar saya tidak menceraikannya. Ia bahkan bersumpah tidak akan mengulangi perbuatannya,” katanya.

Kisah Maria memang sulit dimengerti. Atas apa yang dialaminya, Maria sadar sepenuhnya, bahwa jika orang yang mengetahui betapa ia disakiti suaminya dengan perselingkuhan-perselingkuhan terang-terangan, tidak seorang pun bisa menerima keputusan Maria untuk kembali lagi pada suaminya tiap kali suaminya berbalik memohon padanya namun selalu mengulangi perbuatannya. 

Tidak hanya berselingkuh, suaminya juga terlalu sering kawin siri dengan banyak perempuan. Ia kerap melakukan kawin cerai. Bahkan yang terakhir ia menikah siri dengan perempuan tetangga rumahnya. Bisa dibayangkan, bagaimana sakit yang dialami Maria. 

Berbagai usaha telah ia lakukan untuk membuat suaminya betah di rumah. Salah satunya memasak makanan-makanan kesukaan suaminya. Ia bahkan bisa berdiam diri di pasar untuk memikirkan kira-kira apa yang harus ia masak untuk suaminya yang merupakan makanan kesukaannya, agar ia bisa diam di rumah. 

Timbang sana timbang sini, memilih bahan masakan, sampai ia memasak makanan paling enak khusus untuk suaminya.

“Eh…masakan itu ditoleh saja tidak apalagi dimakan,” kata Maria yang terheran-heran pada sikap suaminya yang jika di rumah istri mudanya yang nota bene tetangganya, disuguhkan makanan apa saja dengan lahap dimakan suaminya. 

Hendra memang tidak tahu diri. Ketika kelakuan bejat suaminya sudah di luar batas, Maria hanya bisa bersujud dan berdoa. Bahkan berkali-kali ia menengadahkan tangannya memohon pada Allah agar ia diberikan kehidupan baik. 

Atas apa yang dilakukannya itu, suaminya selalu sinis dengan mengatakan, sehebat apa pun ia berdoa, toh tetap tak mampu membuatnya kembali utuh padanya. 

Saking ingin suaminya berubah, ia pernah mendaftarkan suaminya tersebut untuk berangkat Umroh ke Tanah Suci. Barangkali saja ia mau berubah, begitu pikirnya. 

“Begitu ia tahu saya daftarkan namanya untuk Umroh, ia ngamuk-ngamuk dan marah karena tidak setuju. Saya heran, harusnya ia gembira kok malah ngamuk, aneh benar,” kata Maria tertawa.  

Atas apa yang dialaminya, Maria sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dalam perjalanan hidupnya. Ia bahkan dengan santai bercerita bahwa suatu waktu, ia dilabrak istri muda suaminya. 

“Saya jadi heran, harusnya kan saya yang istri tua yang melabrak istri muda. Ini terbalik, yang muda yang tidak tau diri datang melabrak saya,” katanya. 

Istri muda suaminya itu melabraknya karena suaminya tidak pernah pulang ke rumah. “Dipikirnya ada di rumah saya, padahal saya sendiri tidak tahu dia ada di mana,” kata Maria. 

Kisah ketegaran serta kepasrahan Maria ini mendapat respon beragam dari rekan-rekan kerjanya. 

Ada yang mengatakan bahwa untuk apa Maria mempertahankannya ada pula yang salut pada ketabahan Maria. Namun, bagi Maria semua usaha untuk menjadi lebih bahagia telah ia lakukan. Ia berusaha membuat suaminya kembali utuh padanya dengan berbagai cara sudah dilakukannya. 

BACA JUGA: Ini Kisah Drama Cinta Putri Mandalika

Mengambil langkah menceraikan suaminya juga dilakukannya berkali-kali, namun semua itu gagal. Ia sendiri tak habis pikir dengan perjalanan hidupnya. 

Hanya satu hal yang ia pegang, bahwa apa yang kini dialaminya ia bagikan kepada rekan-rekan kerjanya yang jauh lebih muda darinya dalam hal perkawinan. Ia berharap agar mereka tidak mengambil contoh buruk dari perkawinannya itu. 

“Jangan sampai kalian mengalami hal seperti saya,” katanya pada rekan kerjanya. 

Maria sendiri tidak tahu apa kekurangannya sehingga suaminmya begitu tega padanya. 

Selama ini ia telah berusaha semampunya menemukan kekurangan-kekurangan dirinya agar bisa bahagia bersama suami. Kini, Maria melanjutkan kehidupannya tanpa harus memikirkan kelakuan suaminya. 

Maria kini memang bisa tertawa menghadapi kelakuan suaminya setelah di masa awal pernikahannya ia merasa sangat sakit berulang-ulang karena ulah suaminya itu. 

“Allah maha tahu apa yang terbaik untuk saya,” katanya menutup wawancara.***

 

 




Kisah ‘Primadona’ Nurul, Menolak Menikah Beda Agama

Gadis yang masa mudanya menjadi primadona di kotanya itu, kini telah menjalani masa tuanya, Di bawah terik matahari yang membakar kulit, Nurul (67), duduk di pinggiran sawah. Ia beristirahat di bawah sebuah pohon sambil menikmati sebotol air putih yang ia bawa dari rumahnya, bersama suaminya, Rahman (70)

lombokjournal.com ~ Inilah keseharian perempuan yang di masa mudanya bagai primadona di kotanya, menjadi idola para pria karena kecantikan dan kekayaannya. Lahir dari keluarga berada, bahkan bisa dikatakan kaya raya.

Tak heran kalau masa muda Nurul menjadi Primadona di kotanya. Banyak pria berpangkat termasuk yang memangku jabatan “tergila-gila” padanya. Namun, itu masa lalu Nurul. Kisah yang menghampiri hidupnya setengah abad yang lalu. Tubuh dan kulitnya yang dahulu putih dan mulus, kini tinggalah keriput yang menghitam akibat sengatan matahari yang tiap hari membakarnya.

Karena patah hati, Nurul pulang kampung di sebuah desa terpencil di Pulau Sumbawa dan memilih menikah dengan kerabatnya yang seorang petani. Sejak itulah, puluhan tahun ia menerima nasibnya menjadi seorang petani.

Perjalanan hidup yang penuh ironi, sempat membuatnya shock ketika pertama kali menyadari bahwa ia telah memilih menikah dengan pemuda kampung yang beda dengan pria-pria kota yang parlente yang pernah ia kenal. Namun, makin lama ia berpasrah diri, makin ia bisa menerima keadaannya itu meski terkadang ia sedikit minder.

Ketika ia memutuskan mengikuti kakaknya tinggal di Bandung, Jawa Barat, sekitar 40-an tahun yang lalu, ia menikmati kehidupan kota besar yang membawanya pada pergaulan berkelas.
Keputusan kakaknya untuk membawa Nurul ke Bandung kala itu lebih karena di Pulau Sumbawa tempatnya tinggal, ia banyak disukai para pria. Ia memang dikenal sebagai seorang perempuan cantik dan menawan.

“Istilah sekarang, di kota kecil tempatnya tinggal Bibi Nurul menjadi role model. Apa yang dipakainya akan diikuti orang lain. Begitu juga dengan gaya rambut dan model pakaiannya. Jika memakai sanggul, miring seinci pun akan membuat ia berdandan berjam-jam, seolah tiada habisnya jika dandannya tidak sempurna,” ungkap Rahmi, salah seorang keponakannya.

Cantik, menawan, pintar dan dikenal membuat banyak pria menyimpan hati padanya.
Namun Nurul seperti tidak bersemangat untuk pacaran. Hingga suatu hari seorang pria dengan kedudukan jabatan yang baik nekad datang melamarnya pada kakaknya karena kala itu orang tua mereka telah meninggal dunia.

BACA JUGA: Bau Nyale, Ini Kisah Drama Cinta Puteri Mandalika

Karena ia merasa tidak menyimpan hati untuk pria tersebut ia menolak. Penolakannya itu membuat si pria nekad dan memilih melarikannya. Beruntung, pria tersebut baik hati karena terlalu mencintainya sehingga Nurul tidak mengalami pelecehan atau lainnya.

Selama dua hari dilarikan pria itu, Nurul baik-baik dan aman saja. Nurul sendiri tidak marah pada pria itu karena ia tahu pria itu mencintainya apalagi dia memperlakukannya dengan baik selama “pelarian” itu.
“Kejadian itu bikin heboh di kota kecil tempat Bibi Nurul tinggal,” kata Rahmi.

Kisah itu sempat membuat beberapa pria yang juga menyukai Nurul “patah hati”. Melihat situasi demikian, kakak Nurul akhirnya membawa Nurul tinggal bersamanya di Bandung.
Di sana, Nurul melanjutkan sekolah guru TK-nya dan dengan mudah masuk dan bergaul meski pun itu kota besar. Ia banyak memiliki kawan-kawan hingga konon ia berkawan dengan orang-orang berkelas.

“Bibi Nurul punya pacar seorang pilot, tampan dan baik,” kata Rahmi. Mereka menjalin hubungan cukup lama bahkan hingga sekolah Nurul selesai.

Suatu hari, di saat sang pilot berlibur dan mengunjunginya di Bandung, mereka pun jalan-jalan bersama. Mereka berdua sengaja naik becak berkeliling kota. Di tengah jalan, Nurul di lamar oleh kekasihnya.
Alangkah senang hati Nurul mendengarnya. Obrolan pun berlanjut hingga ke rencana pernikahan yang rupanya mereka sepakati bersama.
Kedua sejoli ini larut suka cita karena keduanya merasa bahwa cinta mereka segera bersatu. Seluruh kesepakatan mereka buat sambil meneruskan naik becak bersama. Termasuk soal waktu sang pilot yang tidak setiap waktu bisa bersamanya karena harus terbang dari satu kota ke kota lainnya.

Setelah semua sepakat, tibalah waktunya mereka membahas soal tempat pernikahan.
“Di sanalah Bibi Nurul baru tahu kalau calon suaminya itu beda agama,” kata Rahmi.

Nurul sesaat tersentak dan diam. Selama mereka berhubungan, karena jarang bertemu, ia memang tidak pernah bertanya soal agama. Yang ada di kepalanya laki-laki itu Muslim, seagama dengannya karena tiap kali ketemu ia selalu mengucapkan salam dan sapaan-sapaan keseharian seorang Muslim.

Nurul tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya dan langsung menyampaikan keberatannya pada calon suaminya jika harus menikah di luar cara Islam. Di lain pihak, rupanya calon suaminya pun bertahan bahwa ia tetap ingin menikah memakai cara agamanya.

Sempat terjadi percekcokan hingga akhirnya Nurul pulang dalam keadaan menangis. Nurul mengurung diri di kamar beberapa hari tidak keluar. Matanya sembab dan ia murung. Hingga akhirnya kepada kakaknya ia minta pulang ke kampung.

Oleh kakaknya sebenarnya mereka telah dipertemukan untuk bisa bicara lebih jauh dalam diskusi dengan kepala dingin. Rupanya diskusi itu mentok karena masing-masing bertahan dengan agama yang dianutnya. Pembicaraan yang menemui jalan buntu itu, akhirnya membuat Nurul tetap memutuskan pulang kampung.

Lari dan bersembunyi dari calon suaminya. Ia memilih tempat yang sangat jauh dan terpencil, di sebuah kampung asal ibunya. Padahal ibunya sendiri belum pernah tinggal di kampung tersebut karena sejak kecil telah tinggal di kota.

Tanpa pikir panjang, ia tidak ingin lagi berurusan dengan banyak pria yang juga dulu “memperebutkannya” ditambah lagi ia tak ingin calon suaminya itu menemukannya, ia minta dinikahkan dengan keluarganya yang tinggal di desa itu.
Tentu saja, pemuda yang telah memberinya tiga orang anak itu, seperti ketiban bulan, rezeki yang tidak pernah diduganya. Pernikahan mereka berjalan mulus dan Nurul menyerahkan nasibnya pada suami yang seorang petani.

Saat pulang dari Bandung, Nurul tidak kembali ke kota tempat mereka tinggal bersama orangtuanya melainkan ia pulang kampung. Hal itu dilakukannya karena Nurul sudah tidak memiliki apa-apa.
Harta kekayaan orangtuanya yang banyak, tidak ditemuinya lagi. Beberapa toko, rumah dan aset-aset lain milik saudagar ini telah dikuasai oleh  saudara-saudaranya (paman-paman Nurul).

Sebelum ayah dan ibunya meninggal, toko sembako terbesar milik mereka di kota itu, terbakar habis tak meninggalkan sisa sama sekali.
Awalnya kondisi ekonomi mereka tidak terganggu dengan terbakarnya toko tersebut karena masih memiliki aset-aset lainnya. Situasi mulai berubah setelah orangtuanya meninggal.

Seperti dalam sinetron-sinetron, harta mereka “dirampas” dan diakui oleh paman-pamannya yang tinggal di kota itu. Benar-benar tidak ada sedikit pun yang tersisa untuk mereka. Kakak beradik itu pun memilih pergi dari kota tersebut tanpa membawa apa-apa.

Mereka tidak sedikit pun mendapatkan hak-hak dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua mereka.

BACA JUGA: Basri, Kakek yang Pantang Menyerah Meraih Sarjana

“Allah kan maha tahu dan maha melihat,” ujar Nurul pelan sambil tersenyum dan menyiangi padi di sawahnya.
Nurul dan kakaknya ikhlas atas apa yang dilakukan oleh paman mereka. Kedua anak yatim piatu itu akhirnya memilih pergi mencari kehidupan sendiri di luar kota. Begitu kembali ke kota itu mereka sama sekali tidak menemukan secuil pun dari harta orangtua mereka.

Sejak itulah ia diambil kakaknya untuk tinggal di Bandung beberapa tahun hingga akhirnya Nurul memilih kembali ke kampung asal ibunya dan menikah. Segala dendam dan sakit hati atas berbagai peristiwa perjalanan hidupnya, telah hilang.

Ia menerima kehidupannya hari ini sepahit apa pun itu.

Selama obrolan, Nurul memang tidak banyak bicara, ia hanya tersenyum-senyum saja, ketika keponakannya menceritakan kisahnya. Satu hal yang selalu ia katakan pada keponakan-keponakannya, hidup ini adalah pilihan. Jalani apa yang menjadi pilihan itu dalam keikhlasan lalu nikmati dengan ketulusan.

Nurul, perempuan dengan pesona yang indah telah memilih hidup sebagai seorang petani dalam keikhlasan dan kesabaran menjalani hari-harinya. Sesekali, beberapa pria yang pernah sangat menyukainya, kerap bertanya tentang keberadaannya pada keponakannya ini.

Ketika menghilang, Nurul tidak main-main. Meski ia selalu menjadi trendsetter di kota tempatnya tinggal, ia tidak segan bersembunyi di tempat yang tidak bisa dijangkau orang lain.
Ia lari dan bersembunyi dari dunia yang pernah menawarkan “keindahan hidup” tersebut demi satu pilihan yang selalu dijalaninya dengan ikhlas dan sabar.***