Gadis yang masa mudanya menjadi primadona di kotanya itu, kini telah menjalani masa tuanya, Di bawah terik matahari yang membakar kulit, Nurul (67), duduk di pinggiran sawah. Ia beristirahat di bawah sebuah pohon sambil menikmati sebotol air putih yang ia bawa dari rumahnya, bersama suaminya, Rahman (70)
lombokjournal.com ~ Inilah keseharian perempuan yang di masa mudanya bagai primadona di kotanya, menjadi idola para pria karena kecantikan dan kekayaannya. Lahir dari keluarga berada, bahkan bisa dikatakan kaya raya.
Tak heran kalau masa muda Nurul menjadi Primadona di kotanya. Banyak pria berpangkat termasuk yang memangku jabatan “tergila-gila” padanya. Namun, itu masa lalu Nurul. Kisah yang menghampiri hidupnya setengah abad yang lalu. Tubuh dan kulitnya yang dahulu putih dan mulus, kini tinggalah keriput yang menghitam akibat sengatan matahari yang tiap hari membakarnya.
Karena patah hati, Nurul pulang kampung di sebuah desa terpencil di Pulau Sumbawa dan memilih menikah dengan kerabatnya yang seorang petani. Sejak itulah, puluhan tahun ia menerima nasibnya menjadi seorang petani.
Perjalanan hidup yang penuh ironi, sempat membuatnya shock ketika pertama kali menyadari bahwa ia telah memilih menikah dengan pemuda kampung yang beda dengan pria-pria kota yang parlente yang pernah ia kenal. Namun, makin lama ia berpasrah diri, makin ia bisa menerima keadaannya itu meski terkadang ia sedikit minder.
Ketika ia memutuskan mengikuti kakaknya tinggal di Bandung, Jawa Barat, sekitar 40-an tahun yang lalu, ia menikmati kehidupan kota besar yang membawanya pada pergaulan berkelas.
Keputusan kakaknya untuk membawa Nurul ke Bandung kala itu lebih karena di Pulau Sumbawa tempatnya tinggal, ia banyak disukai para pria. Ia memang dikenal sebagai seorang perempuan cantik dan menawan.
“Istilah sekarang, di kota kecil tempatnya tinggal Bibi Nurul menjadi role model. Apa yang dipakainya akan diikuti orang lain. Begitu juga dengan gaya rambut dan model pakaiannya. Jika memakai sanggul, miring seinci pun akan membuat ia berdandan berjam-jam, seolah tiada habisnya jika dandannya tidak sempurna,” ungkap Rahmi, salah seorang keponakannya.
Cantik, menawan, pintar dan dikenal membuat banyak pria menyimpan hati padanya.
Namun Nurul seperti tidak bersemangat untuk pacaran. Hingga suatu hari seorang pria dengan kedudukan jabatan yang baik nekad datang melamarnya pada kakaknya karena kala itu orang tua mereka telah meninggal dunia.
BACA JUGA: Bau Nyale, Ini Kisah Drama Cinta Puteri Mandalika
Karena ia merasa tidak menyimpan hati untuk pria tersebut ia menolak. Penolakannya itu membuat si pria nekad dan memilih melarikannya. Beruntung, pria tersebut baik hati karena terlalu mencintainya sehingga Nurul tidak mengalami pelecehan atau lainnya.
Selama dua hari dilarikan pria itu, Nurul baik-baik dan aman saja. Nurul sendiri tidak marah pada pria itu karena ia tahu pria itu mencintainya apalagi dia memperlakukannya dengan baik selama “pelarian” itu.
“Kejadian itu bikin heboh di kota kecil tempat Bibi Nurul tinggal,” kata Rahmi.
Kisah itu sempat membuat beberapa pria yang juga menyukai Nurul “patah hati”. Melihat situasi demikian, kakak Nurul akhirnya membawa Nurul tinggal bersamanya di Bandung.
Di sana, Nurul melanjutkan sekolah guru TK-nya dan dengan mudah masuk dan bergaul meski pun itu kota besar. Ia banyak memiliki kawan-kawan hingga konon ia berkawan dengan orang-orang berkelas.
“Bibi Nurul punya pacar seorang pilot, tampan dan baik,” kata Rahmi. Mereka menjalin hubungan cukup lama bahkan hingga sekolah Nurul selesai.
Suatu hari, di saat sang pilot berlibur dan mengunjunginya di Bandung, mereka pun jalan-jalan bersama. Mereka berdua sengaja naik becak berkeliling kota. Di tengah jalan, Nurul di lamar oleh kekasihnya.
Alangkah senang hati Nurul mendengarnya. Obrolan pun berlanjut hingga ke rencana pernikahan yang rupanya mereka sepakati bersama.
Kedua sejoli ini larut suka cita karena keduanya merasa bahwa cinta mereka segera bersatu. Seluruh kesepakatan mereka buat sambil meneruskan naik becak bersama. Termasuk soal waktu sang pilot yang tidak setiap waktu bisa bersamanya karena harus terbang dari satu kota ke kota lainnya.
Setelah semua sepakat, tibalah waktunya mereka membahas soal tempat pernikahan.
“Di sanalah Bibi Nurul baru tahu kalau calon suaminya itu beda agama,” kata Rahmi.
Nurul sesaat tersentak dan diam. Selama mereka berhubungan, karena jarang bertemu, ia memang tidak pernah bertanya soal agama. Yang ada di kepalanya laki-laki itu Muslim, seagama dengannya karena tiap kali ketemu ia selalu mengucapkan salam dan sapaan-sapaan keseharian seorang Muslim.
Nurul tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya dan langsung menyampaikan keberatannya pada calon suaminya jika harus menikah di luar cara Islam. Di lain pihak, rupanya calon suaminya pun bertahan bahwa ia tetap ingin menikah memakai cara agamanya.
Sempat terjadi percekcokan hingga akhirnya Nurul pulang dalam keadaan menangis. Nurul mengurung diri di kamar beberapa hari tidak keluar. Matanya sembab dan ia murung. Hingga akhirnya kepada kakaknya ia minta pulang ke kampung.
Oleh kakaknya sebenarnya mereka telah dipertemukan untuk bisa bicara lebih jauh dalam diskusi dengan kepala dingin. Rupanya diskusi itu mentok karena masing-masing bertahan dengan agama yang dianutnya. Pembicaraan yang menemui jalan buntu itu, akhirnya membuat Nurul tetap memutuskan pulang kampung.
Lari dan bersembunyi dari calon suaminya. Ia memilih tempat yang sangat jauh dan terpencil, di sebuah kampung asal ibunya. Padahal ibunya sendiri belum pernah tinggal di kampung tersebut karena sejak kecil telah tinggal di kota.
Tanpa pikir panjang, ia tidak ingin lagi berurusan dengan banyak pria yang juga dulu “memperebutkannya” ditambah lagi ia tak ingin calon suaminya itu menemukannya, ia minta dinikahkan dengan keluarganya yang tinggal di desa itu.
Tentu saja, pemuda yang telah memberinya tiga orang anak itu, seperti ketiban bulan, rezeki yang tidak pernah diduganya. Pernikahan mereka berjalan mulus dan Nurul menyerahkan nasibnya pada suami yang seorang petani.
Saat pulang dari Bandung, Nurul tidak kembali ke kota tempat mereka tinggal bersama orangtuanya melainkan ia pulang kampung. Hal itu dilakukannya karena Nurul sudah tidak memiliki apa-apa.
Harta kekayaan orangtuanya yang banyak, tidak ditemuinya lagi. Beberapa toko, rumah dan aset-aset lain milik saudagar ini telah dikuasai oleh saudara-saudaranya (paman-paman Nurul).
Sebelum ayah dan ibunya meninggal, toko sembako terbesar milik mereka di kota itu, terbakar habis tak meninggalkan sisa sama sekali.
Awalnya kondisi ekonomi mereka tidak terganggu dengan terbakarnya toko tersebut karena masih memiliki aset-aset lainnya. Situasi mulai berubah setelah orangtuanya meninggal.
Seperti dalam sinetron-sinetron, harta mereka “dirampas” dan diakui oleh paman-pamannya yang tinggal di kota itu. Benar-benar tidak ada sedikit pun yang tersisa untuk mereka. Kakak beradik itu pun memilih pergi dari kota tersebut tanpa membawa apa-apa.
Mereka tidak sedikit pun mendapatkan hak-hak dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua mereka.
BACA JUGA: Basri, Kakek yang Pantang Menyerah Meraih Sarjana
“Allah kan maha tahu dan maha melihat,” ujar Nurul pelan sambil tersenyum dan menyiangi padi di sawahnya.
Nurul dan kakaknya ikhlas atas apa yang dilakukan oleh paman mereka. Kedua anak yatim piatu itu akhirnya memilih pergi mencari kehidupan sendiri di luar kota. Begitu kembali ke kota itu mereka sama sekali tidak menemukan secuil pun dari harta orangtua mereka.
Sejak itulah ia diambil kakaknya untuk tinggal di Bandung beberapa tahun hingga akhirnya Nurul memilih kembali ke kampung asal ibunya dan menikah. Segala dendam dan sakit hati atas berbagai peristiwa perjalanan hidupnya, telah hilang.
Ia menerima kehidupannya hari ini sepahit apa pun itu.
Selama obrolan, Nurul memang tidak banyak bicara, ia hanya tersenyum-senyum saja, ketika keponakannya menceritakan kisahnya. Satu hal yang selalu ia katakan pada keponakan-keponakannya, hidup ini adalah pilihan. Jalani apa yang menjadi pilihan itu dalam keikhlasan lalu nikmati dengan ketulusan.
Nurul, perempuan dengan pesona yang indah telah memilih hidup sebagai seorang petani dalam keikhlasan dan kesabaran menjalani hari-harinya. Sesekali, beberapa pria yang pernah sangat menyukainya, kerap bertanya tentang keberadaannya pada keponakannya ini.
Ketika menghilang, Nurul tidak main-main. Meski ia selalu menjadi trendsetter di kota tempatnya tinggal, ia tidak segan bersembunyi di tempat yang tidak bisa dijangkau orang lain.
Ia lari dan bersembunyi dari dunia yang pernah menawarkan “keindahan hidup” tersebut demi satu pilihan yang selalu dijalaninya dengan ikhlas dan sabar.***