Seni Instalasi Dengan Bumbu Performance Art
Tanpa menguasai medium yang mengantar gagasan, nyaris sama dengan tak punya gagasan apa pun. Kalau seni instalasi tak bisa mengantarkan ‘penemuan kembali’ persepsi audiensnya dengan ruang atau lingkungan dari penciptaan pengalaman unik seniman, apakah sudah gagal menyampaikan gagasannya?
R. Eko Wahono
Pertanyaan itu muncul setelah menyaksikan karya intalasi seniman Mataram, Sabtu (27/8), di halaman luar Taman Budaya NTB. Ini jarang terjadi, pameran instalasi dilakukan ramai-ramai, ada Sembilan karya instalasi beberapa di antaranya karya dari seniman Bandung dan Bali. Dan beberapa di antaranya karya instalasi itu ‘dibumbui’ performing art. Tentang yang terakhir, saya menganggapnya inheren sebagai seni instalasi. Jadilah sebuah seni instalasi hidup (live). Audiens pun berharap, di sebuah ruang ‘pemasangan’ ilusi multidimensi, baik seniman dan penonton bisa berkontribusi pada proses penciptaan dan penemuan seniman.
Zaeni Muhammad
Bisa dimengerti pameran ramai-ramai itu berlangsung karena Dinas Budpar NTB, pada bulan Agustus ini sedang menjalankan program Bulan Budaya Lombok Sumbawa (BBLS). Sebenarnya bukan masalah berkarya dengan orderan dalam event apa pun. Tentu jadi pertanyaan, kalau semua berlangsung mendadak, sehingga beresiko munculnya karya-karya dadakan yang semata-mata hanya ‘bernostalgia’.
Sembilan orang yang membuat karya instalasi itu adalah Zaini Muhammad, REko Wahono, Syamsul Fajri Nurawat, Hadi Kru, Justihan Imtihan (Bali), Farhan Adytiasmara (Bali), Muhammad Sibawaihi, Setia Wibowo (Bandung), dan Jante Prabamandala (Bandung). Tidak diperoleh penjelasan, kenapa beberapa perupa tidak ikut serta, seperti Mantra Ardhana, Lalu Syaukani, Lingsartha Partha atau beberapa lainnya yang biasa membuat seni instalasi.
Mungkin Lingsartha seharusnya ikut terlibat, sebab perupa yang kini justru banyak menghasilkan karya musik ini sering mengkritisi karya-karya yang menyatukan dan mengkontruksi sejumlah benda melahirkan persepsi yang bisa merujuk suatu konteks kesadaran makna tertentu.
“Tapi soal gagasan yang hendak disampaikan harus sepadan dengan penguasaan teknik penyampaian konsep seni instalasi. Saya lihat seniman yang pameran belum sampai kesana,” ujar Ligsartha. Saya lihat, sebagian seperti menganggap seni innstaasinya sebagai set pertunjukan fragmen.
Gagasan yang tak sampai itu hanya akan berhenti sebagai inspirasi, belum sampai sebagai gagasan yang berwujud sebagai karya seni. Seni instalasi seharusnya bisa mengajak pengunjung masuk dan bergerak di sekitar ruang atau berinteraksi dengan beberapa elemen. Seharusnya menawarkan ‘bentuk’ pengalaman berbeda dari (katakanlah) karya lukisan atau patung yang biasanya dilihat dari sudut referensi tunggal .
Pemirsa bisa terlibat, mungkin sentuhan, suara atau sekedar bau. Juga visi seniman dalam mengangkat tema social, hubungan ketergantungan tubuh dengan alam sekitar atau persoalan-persoalan sosial politik
Tubuh dan Ruang Maya – Hafizah hamzah
“Ruang makan bukan lagi ruang sosial, tapi benar-benar individual saat kita intens bergaul di dunia maya,” kata aktor Hafizah Hamzah (Opik).
Opik tidak ikut memamerkan karya instalasinya tapi membuat performance art. Banyak yang menilai, ia berhasil menyampaikan gagasannya.
Suk