Senandika, Kumpulan Puisi Esay Nurdin Ranggabarani
Senandika itu sendiri adalah istilah dalam sastra dan teater yang merujuk pada monolog atau dialog yang dilakukan oleh seorang karakter dengan dirinya sendiri.
LombokJournal.com – Beberapa waktu lalu, seorang kawan semasa kuliah, tiga puluh delapan tahun berselang, menghubungi dan meminta berjumpa. Maka hari itupun menjadi catatan tersendiri bagi saya. “Di mana, bro? Ayo mampir ke Pagesangan Indah. Ada buku puisi untukmu.” BACA JUGA ; Indeks Ketimpangan Gender
Benar saja. Saya menerima buku: Kumpulan Puisi Essay Senandika (Cetakan Pertama, Mei 2025. Penerbit: Yayasan Sumbawa Bangkit) karya Nurdin Ranggabarani (NR). Ada sejumlah 107 puisi bertebaran di 132 halaman. Dalam rentang tahun 2006 hingga 2025.
Untuk posisi tiga besar pengkaryaan, maka pada tahun 2020 berada di tempat pertama dengan 26 puisi. Tahun 2019 di peringkat kedua dengan 19 puisi. Dan terakhir tahun 2024 dengan sejumlah 13 puisi.
Tak heran bila H. Dinullah Rayes, Penyair, Sastrawan dan Budayawan dari Tana Samawa, mengatakan Nurdin sebagai penulis otodidak yang tekun (hal. vii).
“Sejak belia, NR sering kali mengunjungi perpustakaan pribadi saya di Jl. Mawar 27, Sumbawa Besar. Ia betah di ruangan itu seharian. Membaca buku apa saja, utamanya buku-buku antologi puisi dan sastra, koleksi perpustakaan saya. Di usia yang sangat belia, NR telah membaca karya-karya sastrawan dan penyair besar di Indonesia, dan dunia,” tulis Rayes (hal. viii).
Tidak banyak orang, lanjut Dinullah, yang masih menyempatkan diri menulis, di tengah kesibukan kesehariannya sebagai pejabat dan politisi, dengan jadwal dan agenda kunjungan yang padat. Kecuali mereka, yang di dalam dirinya mengalir cahaya talenta, yang mampu menangkap getar resonansi sekitarnya, di sela waktu sesaat, dan menuangkannya bagai senarai yang apik, dalam imaji dan narasi puitis (hal. vii).
BACA JUGA ; Pengangguran Terbuka di Nusa Tenggara Barat Pilihan diksi “senandika” menarik minat untuk ditelisik. Sebagaimana diketahui, senandika itu sendiri adalah istilah dalam sastra dan teater yang merujuk pada monolog atau dialog yang dilakukan oleh seorang karakter dengan dirinya sendiri. Dalam senandika, karakter mengungkapkan pikiran, perasaan, dan motivasi dirinya sendiri, seringkali tanpa ada orang lain yang mendengarnya.
Dengan demikian, senandika dapat digunakan untuk:
- Mengungkapkan pikiran dan perasaan. Karakter dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya yang paling dalam, sehingga penonton dapat memahami motivasi dan konflik internalnya.
- Membangun karakter. Senandika dapat membantu membangun karakter dan memperlihatkan sisi lain dari kepribadian karakter.
- Meningkatkan tensi. Senandika dapat digunakan untuk meningkatkan tensi dan konflik dalam cerita, terutama jika karakter sedang mengalami kesulitan atau konflik internal.
Malah, dalam teater, senandika seringkali digunakan untuk memberikan wawasan tentang pikiran dan perasaan karakter, serta untuk membangun hubungan antara karakter dan penonton. Dalam sastra, senandika dapat digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan karakter secara lebih mendalam dan kompleks.
NR sendiri mengungkap soal senandika, secara khusus dan bagi saya justru lebih mencerminkan karakter dirinya:
Katanya kita kawan
Nyatanya kalian memandangku lawan
Katanya kita sahabat
Nyatanya kalian menganggapku musuh
Katanya kita saling sayang
Nyatanya kalian menebar fitnah dan kebencian
…….
(Senandika – Mengenang Penyair Si Burung Merak, WS. Rendra: Jakarta, 01-10-2019, hal. 71-72).
Dugaan saya, karena hal inilah yang mengantarkan NR pada pilihan “puisi esai”. Merujuk Denny JA, konon sebagai penggagas, maka puisi esai memiliki struktur unik, dengan perpaduan antara bahasa puitis dan analisis yang mendalam.
Ciri khas lainnya adalah penggunaaan catatan kaki dan tema yang berfokus pada isu-isu sosial dan kemanusiaan, serta melibatkan pembaca secara lebih dekat.
Bagi Brotoseno, seiring perkembangan zaman, puisi esai sebagiamana yang ditulis NR, seringkali menjadi pilihan untuk menyuarakan ketidakpuasan sosial. Banyak penyair mengangkat isu-isu kritis, seperti ketidaksetaraan, ketidakadilan, penindasan, kesewenangan, kezaliman, pengangkangan demokrasi, pembungkaman, kekuasaan yang anti kritik, totaliter dan korup, serta pelanggaran hak azasi manusia, petaka kemanusiaan, penjarahan, perang, penjajahan, aneksasi, hingga pembantaian, dan genosida (hal. xii)
Namun demikian, lanjut Brotoseno, puisi esai yang baik, tidak saja kita akan mampu mengenali kondisi kejiwaan, psikologis, suasana kebathinan, arah keberpihakan, nilai-nilai, visi, dan norma yang diperjuangkan, oleh penyairnya, namun lebih dari itu, sebuah puisi dapat menjadi pisau bedah yang sangat tajam, untuk memahami dan menganalisis kondisi zaman dan lingkungan sekitar kita (hal. xiii).
Berikut berapa puisinya:
Lihatlah pohon itu
Juga alam dan lingkungan kita
Mereka tampak berunjukrasa
Protes keras dan mengirim petisi
Udara gerah, hawa panas
Banjir, lumpur, dan longsor
Mereka mogok dan tak sudi lagi kompromi
Karena saudara-saudara mereka
Dibabat, dibakar, diperkosa dan dibantai
Dengan syahwat kerakusan dan keserakahan
Melampaui ambang batas keseimbangan
(Amuk: Sumbawa Besar, 17-11-2009, hal. 123)
—–
Tak ada lautan tanpa karang dan gelombang
Tak ada gunung tanpa jurang dan ngarai
Tak ada jalan raya tanpa tanjakan dan kelokan
Tak ada peran tanpa resiko dan tanggungjawab
Yakinlah, tak ada ksatria yang gugur sia-sia
(Istiqomah – Mengenang Tuan Syaigh Ismail Dea Malela: Simon’s Town-Afrika Selatan, 15-05-2018, hal. 99)
—–
Aku menyaksikan meja-meja persidangan
Miring dan ambruk ditimpa kezaliman
Aku menyaksikan lampu-lampu ruang para pengadil
Padam, gelap disambar petir transaksi
—–
(Wajah Negeriku – Mengenang Dr. H. Adnan Buyung Nasution, SH: Monumen Tugu Pahlawan dan Museum Sepuluh November Surabaya, 14-04-2022, hal. 30)
—–
Atas nama daulat rakyat
Kuasa memangsa yang tanpa daya
Hukum rimba pilihan lazim
Tirani semakin menjulurkan taring purbanya!
(Sajak Negeri Para Tiran – Kepada Presiden ILC, Karni Ilyas: Sumbawa Besar, 15-12-2020, hal. 46-47)
Jadi ini memperjelas bahwa menggunakan puisi esai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan tentang banyak hal: kehidupan, cinta, dan spiritual.
Mensitir Dinullah, goresan-goresan pena NR ini, sungguh-sungguh mewakili gambaran karakter kuat penulisnya. Pilihan diksi dan narasinya melesat bagai meteor api, di langit cakrawala. Menghentak, meledak dentum, bagai magma yang menggelegak aliran larva. Namun mengalir lugas, jujur, dan natural, dalam mengabarkan dan menggambarkan keadaan dan kondisi yang kita rasakan bersama (hal. viii).
Beberapa di antaranya:
—–
Inilah negeriku
Negeri tempat dimana para pengoplos berpesta
Mereka mabuk oplosan
Tertawa teroplos-oplos
Berjoget oplosan berjingkrak-jingkrak
Menghitung untung dari oplosan
Kita ditipu barang oplosan
Dicekoki dan diracuni oplosan
Dari selingkuh kongkalikong para pengoplos
Lahirkan aturan dan kebijakan oplosan
BACA JUGA ; Pejabat Fungsional Penting Jaga Huugan Baik dann Komunikasi
(Negeri Para Pengoplos: Mataram-Lombok, 10-03-2025, hal. 1)
—–
Pantai bulan Desember
Adalah gelung gelombang yang berkejaran
Melumat letih yang panjang
Ke pantaimu jua rindu ku hempas
(Pantai Bulan Desember – “Kepada kekasih hati belahan jiwa, Nurwahidah”: Tanjung Bira-Bontobahari Bulukumba, 23-12-2020, hal. 43)
Kepada Ocha
Adakah yang lebih menyakitkan
Dari terenggutnya kekasih hati
Adakah yang lebih menyesakkan
Dari terhempasnya asa
Adakah yang lebih memilukan
Dari karamnya cinta
Adakah yang lebih perih
Dari terampasnya belahan jiwa
Adakah yang lebih menyanyat
Dari sirnanya sebuah harapan
Kekasih hatiku…
Kami rindu, kami cinta dan sangat sayang padamu
Namun nyatanya,
Dia Yang Maha, jauh lebih rindu
Dia Yang Maha, jauh lebih cinta
Dia Yang Maha, jauh lebih sayang padamu
Belahan jiwaku…
Duka dan perih ini
Bukanlah pertanda kami tak ikhlas melepasmu
Ia hanya bagian dari sayang dan cinta
Doa terbaik untukmu
Tunggu kami di pintu surga-Nya
Sumbawa Besar, 22-01-2019
(1 Tahun kepergian Ocha, hal. 95)
Tapi begitulah, NR dengan lantang menorehnya sebagai maklumat (hal. xvi), berikut ini:
“Maaf, Tulisan dalam buku ini bukan puisi, dan aku bukan penyair. Ini cuma goresan pena, tentang “Senandika”. Sebuah monolog terhadap diri sendiri. Sekedar menjaga resonansi kepekaan. Memelihara arus kesadaran pikiran dan akal sehat. Merawat keyakinan katahati, matahari, dan cinta. Yang terkadang aus tergerus pragmatisme kehidupan.”
Oleh karena itu, soal kelantangan NR, bukanlah hal baru bagi saya. Dia sudah memupuknya sejak awal. Hal ini semakin terasah ketika dia membentuk Mataram Forum dan meminta saya menjadi anggotanya, sekitar tahun 1993/1994. Selepas kami menjadi Alumni Universitas Mataram. NR dari Fakultas Hukum dan saya “jebolan” Fakultas Ekonomi. Selain kami pernah “berkubang” bersama di Koran Kampus “Media” Unram.
#Akuair-Ampenan, 26-06-2025