Rupiah Anjlok, Bisa Pengaruhi Ekonomi NTB
Langkah yang harus diambil Pemerintah Provinsi NTB, tetap menjaga pasokan dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok, seperi beras dan sembako lainnya
MATARAM.lombokjournal.com – Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) sempat anjlok beberapa hari kemarin. Seperti diberitakan sejumlah media nasional, nilai tukar Rupiah melemah hingga ke level Rp.14.900 per Dollar AS. Bahkan mendekati angka Rp.15.000 per Dollar.
Anjloknya nilai tukar rupiah itu akan berdampak terhadap perekonomian suatu daerah di Indonesia. Tak terkecuali di wilayah Porovinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pengamat Ekonomi Universitas Mataram (Unram), Provinsi NTB, DR. M Firmansyah mengatakan, melemahnya nilai tukar Rupiah atas Dollar Paman Sam, Amerika Serikat, akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi di Mataram atau di daerah NTB.
“Iya sedikit banyak akan berpengaruh,” ucapnya, kepada Lombok Journal.com saat dihubungi via WhatsApp, di Mataram, Sabtu (08/09) siang.
Dikatakan Firmansyah, melemahnya nilai Rupiah terhadap Dollar AS mau tidak mau mendrong terjadinya inflasi, yakni terjadinya kenaikan harga sejumlah barang.
Terutama komoditi yang bahan bakunya berasal dari impor. Meskipun Itak disebutkan berapa angka persentase inflasi tersebut.
“Biasanya disumbangkan produk yg sumber produk atau bahan baku dari Impor. Tahu tempe salah satunya. Kedelai dari impor.” ujarnya.
Pengusaha atau pelaku ekonomi, menurut Firmansyah, mereka akan mengambil langkah-langkah agar tetap bertahan dan berproduksi saat ekonomi kurang stabil.
“Tapi kemungkinan pengusaha menyikapinya dengan 2 cara, yaitu menaikkan harga atau harga tetap namun kurangi bahan,” sebutnya.
Menurut Firmansyah, langkah yang harus diambil Pemerintah Provinsi NTB, harus tetap menjaga pasokan dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok, seperi beras dan sembako lainnya.
“Biarlah yang naik harganya itu produk sekunder bukan primer,” terang Firmansyah, dengan alas an kondisi sekarang cenderung tak bisa dikendalikan, namun tidak juga bisa diabaikan.
Selain itu, pria kelahiran Dompu, NTB ini, menambahkan, secara makro ekonomi masyarakat harus menggunakan atau membeli barang dalam negeri.
“Di ranah kebijakan makro itu wilayahnya otoritas moneter (Bank Indonesia). Kalau ranah mikro, ya kurangi penggunaan produk luar,” pungkas Firmansyah.
Razak