Rumus Pitagoras Dipahami Tukang di Kampung, Tapi Seorang Sarjana Tak Paham teorema Pitagoras
Pytagoras bergumam “Sisi miring, sisi terpanjang dalam segitiga siku-siku sama dengan kuadrat sisi-sisi lainnya.”
lombokjournal.com —
Ada peristiwa menarik pada pagi menjelang siang di hari Sabtu (04/06/20) di halaman depan rumah penulis. Peristiwa menarik itu adalah diskusi tentang rumus yang diciptakan matematikawan Yunani kuno, Pytagoras, yang di Indonesia ditulis dengan ‘Pitagoras’.
Dalam rumus Pitagoras atau teorema Pitagoras, dijelaskan bagaimana cara menghitung sisi segitiga siku-siku dengan sisi miring, atau sisi terpanjang dari segitiga siku-siku sama dengan kuadrat sisi-sisi lainnya.
Pagi menjelang siang itu, Bahri, tukang kampung itu meminta sahabatku Vino, seorang sarjana pendidikan seni, untuk mencari sisi miring dari siku-siku saat memasang benang untuk penanda pondasi bangunan kandang ayam.
Vino yang diminta menemukan ukuran sisi miring dari siku-siku itu kebingungan, matanya dipalingkan pada seseorang yang berdiri tak jauh darinya meminta bantuan.
Seseorang yang diharapkan mampu menjawab juga tak kunjung memberi respon sampai Bahri, tukang kampung yang juga alumni teknik mesin Sekolah Kejuruan itu mengambil alih dengan menemukan sendiri jawabannya.
“Tekadu teori lain (kita pakai teori yang lain). Teori empak (ikan) goras,” katanya menyindir.
Ia pelesetkan nama teori Pitagoras itu menjadi teori ‘empakgoras’. Jika diartikan secara harfiah, “empak” dalam bahasa Sasak bisa diterjemahkan menjadi ikan dalam bahasa Indonesia.
“Sisi tinggi 80, sisi datar 60. 60×60=3600, 80×80=6.400, dijumlahkan menjadi 6.400+3600=10.000, akar dari 10.000 adalah 100. 100×100=10.000. maka jumlah sisi miring menjadi 100. Atau semeter,” ujar Bahri menjelaskan ke Vino. Vino yang mendengar itu hanya manggut-manggut.
“Laek jak hafal (dulu sih hafal) waktu masih SD,” kilah Vino yang dijawab Bahri dengan mengatakan bahwa ia pun pada masa sekolahnya menganggap teori Pitagoras tidak penting karena tidak bisa diaplikasikan di dunia nyata.
Saya yang mendengar diskusi itu dari jarak yang tidak terlalu jauh berimajinasi dengan membayangkan bagaimana pada zaman dulu, pada masa 530 SM, sang filsuf Yunani kuno Pytagoras yang konon mempengaruhi Plato dan Aristoteles itu hidup.
Saya membayangkan sang filsuf dikelilingi beberapa orang anggota kelompoknya sedang membangun sebuah bangunan utama untuk pertemuan khusus kelompoknya. Pada saat memasang benang untuk menandai pondasi bangunan, Pytagoras kemudian bertanya kepada semua orang di sana bagaimana menemukan sisi miring bangunan itu.
Semua yang ditanya tak kunjung mampu menjawab dengan tepat. Ada yang menyuruh menjumlahkan panjang semua sisi, ada yang menyuruh menjumlahkan sisi tinggi dan datar, bahkan yang terbodoh dari mereka meminta sang guru untuk menggunakan intuisinya saja.
Pytagoras yang kesal karena semua tak kunjung memberi jawaban tepat lalu pergi, dengan rona wajah gusar, ia meninggalkan mereka menuju ke dalam kamar rumahnya di kawasan Magna Graecia. Ia mendekam di sana selama berbulan-bulan dan hanya ke luar satu kali dalam sehari hanya untuk makan sekedarnya.
Selama bertahanus di kamarnya itu, ia hanya bicara pada diri sendiri, nyaris tak pernah mengeluarkan sepatah kata pada siapa pun. Hal tersebut berlaku sampai pada suatu senja yang sejuk, sekitar pukul 18.00. Dalam keadaan mata terpejam dan tangan menengadah ke atas, beberapa huruf dan angka-angka datang padanya.
Sang filsuf lantas bergumam “Sisi miring, sisi terpanjang dalam segitiga siku-siku sama dengan kuadrat sisi-sisi lainnya.”
Meski bahagia telah berhasil memecahkan masalah yang berbulan-bulan mendekam di batok kepalanya, Pytagoras tak lantas lupa diri dengan berlari keliling desa untuk sekedar berteriak “eureka” seperti filsuf Yunani lain.
Ia hanya keluar kamar dan berdiri di teras rumahnya, memanggil salah seorang murid kesayangannya untuk mengambilkan sedikit anggur.
Setelah kejadian itu, Pytagoras yang marah dan muak pada para pengikutnya memilih pindah dengan satu murid kesayangannya ke sebuah tempat yang damai di daerah Kroton, di pesisir Italia.
Di sana, ia mendirikan sebuah perkumpulan baru dengan keanggotaan khusus: mereka yang ingin bergabung harus diinisiasi terlebih dahulu, karena perkumpulan itu menjalani gaya hidup bersama dan ‘bertarak’, aturannya hanya boleh memakan sayuran. Perkumpulan baru itu diberi nama Pytagoranisme.
Imajinasi saya tentang Pytagoras terhenti ketika Bahri memanggil. Ia mengatakan pemasangan benang telah selesai dan akan dilanjutkan dengan penggalian pondasi untuk pemasangan batu pertama.
Sementara Bahri sedang bahagia karena selesai memasang benang dengan rumus Pitagoras, Vino memilih asyik mendengarkan lagu India melalui gawai pintarnya.
“Ho gaya hai tujhko to pyar sajna
Laakh kar le tu inakaar sajna
Ho gaya hai tujhko to pyar sajna
Laakh kar le tu inakaar sajna
Diladaar sajna
Hai yeh pyaar sajna
Aa.aa.ho.aa…” Saya melihat senandung India itu begitu dinikmati Vino.
Begitulah. Akhirnya, teori Pitagoras dan lagu India pun bersenyawa.
Ast