PUASA DAN NARASI TENTANG KESETIAAN

 Drs Cukup Wibowo MMPd Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Kesetian untuk mengabdi pada kebaikan memang tak mudah, bila mengingat kecurangan itu juga bisa bermula dari diri sendiri. Puasalah yang bisa membuat kita tetap jujur dan tak berkhianat

Migrasi burung pada caranya melintasi waktu dalam pergantian musim yang berkepastian. bukanlah pengandaian untuk menggambarkan ketekunan yang berulang. Pergerakan burung dari satu wilayah ke wilayah lainnya itu adalah potret dari sebuah realitas di antara begitu banyak peristiwa yang sejenis.

Migrasi, sebagaimana siklus pergantian musim, adalah cara alam menetapkan ketentuannya. Seluruh penghuni bumi berada di dalam ketentuaan yang sama dimana kehidupan berproses sejak mula hingga akhirnya.

Dalam kesetiaan menjalani ketentuan itu selalu terselip harapan yang menjadi alasan utama kenapa semua proses itu berlangsung.
Kehidupan dan kematian adalah ketentuan yang tak bisa dielakkan oleh makhluk hidup dalam wujud apapun dirinya.

Manusia, hewan, tumbuhan, dan patikel hidup lainnya berada dalam siklus yang sama, yakni dari ada menjadi tiada. Kehidupan menjadi ruang pengabdian sebelum kematian menjemput dengan seluruh harapan yang disediakan usai kematian terjadi. Para pemilik keyakinan mempercayai bahwa ada janji kehidupan yang lebih abadi seusai kematian disediakan Yang Maha Kuasa atas dedikasi keimanan hamba-Nya semasa hidup.

Bila demikian, betapa singkatnya waktu yang harus ditempuh oleh manusia untuk seluruh pengabdian hidupnya sebelum apa yang dilakukannya usai. Hidup tak ubahnya berhenti dalam kesejenakan dengan ragam anjuran dan godaan yang datang silih berganti. Pilihannya hanya satu, bermanfaat atau sia-sia.

Godaan-godaan yang begitu memukau panca indera tak hanya sekedar melintas, lebih dari itu dengan pesonanya yang melenakan bisa membuat diri tak berkutik. Di tengah kesementaraan waktu yang memiliki batas yang amat singkat, godaan itu seperti hendak melucuti kesetiaan dan dedikasi keimanan kita.

Untuk apa hidup bila tak menikmati apa yang ditawarkannya? Bukankah tubuh memiliki hak untuk merasakan seluruh nikmat yang diinginkannya? Kenapa harus menunggu kematian bila tubuh kemudian jadi bangkai yang terbujur tanpa memiliki kesanggupan untuk menginginkan sesuatu yang paling remeh sekalipun?

Kesetian untuk mengabdi pada kebaikan memang tak mudah bila mengingat kecurangan itu juga bisa bermula dari diri sendiri. Hawa nafsulah yang jadi pemicu kecurangan, yang dengan lihainya mengubah keyakinan dengan penyesatan logika tentang waktu. Alih-alih menggunakan waktu untuk kebaikan, yang terjadi justru bagaimana waktu diposisikan untuk bisa memfasilitasi hasrat duniawi.

Puasa adalah contoh kesetiaan nyata pada kebaikan yang harus terus dijaga hingga pada waktunya. Godaan dan tekanan apapun tak boleh membuat kita lemah dan kalah, yang hanya membuat kita kehilangan kehormatan diri

Semoga di puasa keduapuluh tiga ini kita bisa merawat pikiran-pikiran baik tanpa ternodai oleh godaan apapun yang menjadi larangan.***