Pemikat Empati atau Pemantik Konflik?

Para Juru Kampanye Pemilihan Kepala Desa di Lombok Utara yang mestinya jadi pemikat empati pemilih, justru bisa menegasikan pilkades yang rasional, damai, demokratis, dan kaya gagasan

Para Jurkam Pilkades diharapkan jadi pemikat empati
SARJONO; Penulis adalah Mahasiswa Magister KPI Pascasarjana UIN Mataram

MATARAM.lombokjournal.com ~ Gurindam kompetisi pemilihan Kepala Desa (pilkades) serentak pada tiga belas desa 2021 di Lombok Utara, resmi ditabuh panitia pemilihan.

Riuh gemanya terdengar nyaring di antero zona elektoral desa bersangkutan. Musababnya, lelampahan para juru kampanye (jurkam), kerap memantik kontroversi.

Sontak, ragam cuitan pun kerap muncul dan tak jarang menuai pro kontra antar pendukung bakal calon. Kadang acap kontra produktif dengan realitas sosial keseharian masyarakat.

Tidak cukup berhenti di situ, saling sindir antar tim sukses bakal calon pun tak terelakkan terjadi dalam sirkuit memikat empati masyarakat. Misalnya sindiran dengan kalimat tanya “Bagaimana kabar rombongan sirkus?”

BACA JUGA: Posyandu Keluarga Berkualitas, Ukuran Status Kesehatan Baik

Pemilihan diksi ini seolah memantik konfirmasi dengan pesan kerap digelindingkan oleh pihak lain pada kesempatan yang berbeda.

Polemik tampaknya berlangsung tanpa bertepi, isu sampiran datang silih berganti, mengisi ruang-ruang publik bukan hanya tanpa narasi melainkan miskin visi misi, mirip “tong kosong nyaring bunyinya”.

Sikap para jurkam seperti ini berarti sedang menegasikan terwujudnya pilkades yang rasional, damai, demokratis, dan kaya gagasan.

Jika model kampanye seperti ini terus terorganisir, bukan tidak mungkin program-program unggulan yang ditawarkan oleh para calon akan tertutup awan pekat atraksi. Pada akhirnya, pemilih hanya mengingat sensasi, bukan substansinya.

Penulis merasa prihatin atas keadaan yang timbul sehingga perlu mengulasnya, sebab jika tidak ada aral melintang publik desa akan menempuh paparan pesan kampanye hampir 3 bulan lamanya. Waktu yang singkat bagi para calon, tetapi sangat menjemukan bagi para pemilih jika isinya hanya hujatan dan “recehan” keblinger.

Menurut Lilleker dan Negrine, 2000 (Firmanzah, 2008: 271), kampanye merupakan periode yang diberikan oleh panitia kepada semua kontestan, baik para suksesor maupun para calon. Tujuannya memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pemilihan.

BACA JUGA: Eco Office Akan Diterapkan di Seluruh OPD Pemerintah Provinsi NTB

Jika merujuk kepada tahapan kampanye calon, setidaknya kurang dari tiga bulan waktu yang tersedia. Saat kampanye merupakan kesempatan bagi kontestan untuk menanamkan pengaruh dan simpati pemilih agar dapat meraup suara sebanyak-banyaknya.

Kesuksesan suatu calon dalam pilkades acapkali ditentukan oleh cara dan strategi yang ditempuh dalam memainkan isu-isu yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Kampanye adalah bagian kecil dari kampanye politik elektoral, maka kampanye Pilkades merupakan seluruh aktivitas politik yang fokus menggiring pemilih ke tempat-tempat pencoblosan. Adapun kampanye yang bersifat jangka panjang berikut dilakukan secara terus menerus untuk membangun image politik.

Bahasa Persuasif

Sebagaimana biasa, sebelum proses pemungutan suara tentu akan dilakukan kampanye-kampanye. Ketika masa kampanye tiba, para jurkam maupun calon itu sendiri akan menggunakan berbagai cara untuk menarik massa.

Salah satunya dengan kekuatan bahasa, maka saat itu pula peran bahasa penting untuk berkomunikasi.

Fungsi bahasa pada masa kampanye biasanya alat menyatakan ekspresi diri yang menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran seorang jurkam. Unsur pendorong ekspresi diri demi menarik perhatian orang lain, masyarakat yang hadir pada prinsipnya juga sedang berkampanye.

Akibat lebih jauh dari ekspresi diri, adalah munculnya komunikasi. Komunikasi tidak akan sempurna jika ekspresi diri seseorang tidak diterima atau dipahami orang ataupun massa yang hadir.

Dalam lokus fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa sebagai kanalisasi perumusan ide-ide atau maksud para jurkam atau calon itu sendiri. Bahasa juga akan dimanfaatkan oleh mereka (calon) sebagai alat kontrol sosial untuk mempengaruhi tingkah laku atau tindak-tanduk orang lain.

Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt) atau tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi. Pun tingkah laku yang bersifat tertutup (covert) atau tingkah laku yang tak dapat diamati. Seorang calon pemimpin akan kehilangan wibawanya, jika bahasa yang dipergunakan saat berkampanye adalah bahasa yang kacau, tidak teratur dan tidak sistematis.

Untuk itu, para jurkam atau calon yang berkampanye hendaknya memiliki kemahiran berbahasa, baik dalam penggunaan bahasa lisan maupun secara tertulis, agar mereka yang mendengar atau diajak bicara dengan mudah memahami pesan yang disampaikan.

Bahasa atau teks yang dipergunakan hendaknya bahasa yang umum dipakai, tidak menyalahi norma-norma yang umum berlaku, serta bersifat persuasif atau mempengaruhi (persuadee).

Inti kampanye adalah membujuk dan mempengaruhi supaya mau bertindak, berbuat sesuai yang diinginkan oleh para jurkam atau calon yang berkampanye. Bahasa (teks persuasif) menjadi suatu hal yang mutlak dipersiapkan oleh tim pemenangan para calon yang akan berkampanye pada waktu yang ditentukan.

Mempengaruhi pendengar, materi kampanye perlu dilengkapi dengan fakta-fakta, data-data yang bersifat kuat, bukti-bukti yang meyakinkan pendengar, menghindari konflik agar kepercayaan pendengar tidak tergerus realitas. Maka, perlu menulis bahasa (persuasi) dengan bahasa yang sangat menarik.

Pada masa kampanye, masyarakat kerap mendengar suguhan bahasa yang menggunakan kata ajakan atau memberi saran rekomendasi seperti “ayo”, “pilihlah”, “sebaiknya”, “mari” dan lain-lain, sebagai ciri bahasa persuasif.

Penggunaan bahasa persuasif saja tidak menjamin seorang calon bisa memenangkan kontestasi pilkades di desa masing-masing ?

Banyak faktor yang turut menentukan, semisal: visi-misi calon, latar belakang kehidupan calon, karisma calon, kinerja tim sukses, dan amunisi (nisbi). Namun di lain sisi, diksi dan penggunaan bahasa secara cermat dan tepat, seturut pula menentukan kemenangan calon-calon yang bertarung di pilkades serentak mendatang.

Magnit bahasa (persuasif) andil mempengaruhi psikologi massa pemilih yang menjadi sasaran kontestan. Bisa dibayangkan jika calon tidak sanggup berbicara, atau bahasa pesannya hanya bersifat naratif dan normatif, maka massa yang hadir tidak akan banyak tersentuh dan terpengaruh.

Semoga para jurkam maupun kandidat yang bertarung mampu mengemas diksi kampanye yang memikat publik (pemilih). Sejarah akan membuktikan. ***