Menjadi Gelas Kosong Tapi Kritis

Sri Lela Fitri, mahasiswa Program Studi Administrsi Pulik, Universitas Muhammadiyah Mataram

 lombokjournal.com

Jika kita memiliki gelas kosong, maka kita dapat mengisinya dengan air jernih sampai gelas itu penuh. Namun jika gelas yang kita miliki sudah penuh, kita tidak dapat mengisinya lagi.

Jika dipaksakan, maka kita akan mendapai air yang bertumpahan. Begitupun jika gelas yang kita miliki hanya separuh isinya, maka air yang dapat kita isi hanyalah separuh sisanya.

Dan jika analogi ini kita lihat dari sudut pandang menuntut ilmu ataupun mencari nasihat, maka kita harus memposisikan diri kita sebagai gelas kosong. Yang siap diisi oleh ilmu, oleh nasehat, oleh kebaikan, ataupun oleh kebenaran. Sehingga apa-apa yang diberikan tak tumpah, melainkan selalu terserap. Jadilah gelas kosong sepanjang kehidukan berlangsung.

Tidak berarti kita menjadi orang yang apatis dan menerima segalanya, sehingga mudah disetir. Sama sekali bukan seperti itu. Pasanglah antivirus di dalam akal sehat kita, yang akan menyaring semua keabnormalan ide dan gagasan.

BACA JUGA: Orang Pintar Tapi Belum Tentu Terdidik

Melindungi akal sehat dan hati suci kita dari keburukan yang berbungkus rapi sehingga begitu menawan, yang disodorkan kepada kita terus-menerus. Jadilah kritis namun jangan pesimis. Setelah menerima apa yang ditawarkan, segeralah latih akal sehat untuk berfikir dan menggali maknanya. Tarik semua pembelajaran dan hikmahnya.

Jangan lupa menjadi orang penuh prasangka terhadap ide dan gagasan yang baru yang tidak familiar, terhadap nasehat-nasehat yang tidak diharapkan, atau kebenaran yang tidak menyenangkan. Sehingga walau gelas memang sudah kosong, tetapi air tidak bisa masuk, karena terhalang oleh sebuah “tutup gelas” yang tak terlihat walaupun gelasnya sudah dalam genggaman erat.

Kita bisa melihat orang-orang semacam itu di seminar, kelas, dan dalam pengajian. Ketika banyak orang-orang yang menjadi cerah wajahnya dengan ilmu yang baru diterima, mereka justru selalu saja dapat menentukan hal-hal negatif untuk dibicarakan.

Ketika orang-orang lain bersemangat untuk segera menerapkan ilmu baru, mereka justru merasa menyesal telah menghadirinya.

Banyangkan perbedaanya pada saat kita menjadi gelas kosong, gelas, separuh kosong dan gelas penuh. Itulah keberagaman jenis orang yang hadir di sebuah lingkaran ilmu. Sehingga pada akhirnya, ada orang-orang yang menjadi tercerahkan dan memahami hampir semua materi, ada orang yang separuh paham, namuan ada pula orang yang malah bingung dan sama sekali tidak mengerti.

Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, berapa kali kita menghadiri seminar, kelas dan pengajian, namun akhlak kita belum berubah?

Apa itu karena kita belum iklhlas menerima semua ilmu itu, sehingga kita tidak meluruskan niat dan benar-benar berusaha menjadi gelas kosong yang bisa menampung semua ilmu. Atau malah, kita memang sengaja tidak mengosongkan gelas dan malah memasang tutup, sehingga semua ilmu itu bertolak belakang.

BACA JUGA: Persoalan Dalam Pemelajaran Daring

Apakah di saat itu kita sedang sombong ? Karena yang  di maksud sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manuisa (HR. Muslim).

Mungkin tutup yang terpasang erat, adalah upaya kita untuk menolak melihat kebenaran yang dibawa oleh ilmu itu?

Mungkin juga, penolakan kita untuk mengosongkan gelas dan menampung semua ilmu yang akan datang adalah dari sikap kita yang meremehkan sang guru, meremehkan jenis ilmu yang di berikan, merehkan tempatnya, merehkan orang-orang yang berada di sekeliling kita.

Astagfirullahaladsim.

Padahal jika kita tidak sesombong itu, dan kita bersedia mengosongkan setidaknya sebagian dari gelas kita, untuk menampung kucuran air yang jernih, walau setengah bagian dari gelas kita saat itu hanya terisi oleh air yang keruh.

Namun Ketika kita sudah tidak sombong lagi, dan bersedia menerima ilmu. Maka, air jernih kan menguncur dan mengisi ruang gelas yang kosong hingga penuh. Bercampur dengan air keruh di dalam gelas, maka air di dalam kelas akan mulai meluap dan tumpah.

Dan tahukah, air seperti apa yang terbuang pada saat itu? Ya benar, air yang terbuang dari gelas kita adalah air keruh itu. Sehingga yang tertinggal di dalam gelas kita hanyalah air yang jernih.

Amin

Bangaiman jika kita menjadi orang yang membagi ilmu, menjadi orang yang menuangkan air, menjadi si pemberi nasehat, menjadi guru?

Orang-orang yang di kirimkan kepada kita yang membagi masalahnya kepada kita, ada yang datang hanya ingin bercerita tanpa berharap nasehat, dan ada pula yang berharap solusi.

Sehingga kita harus pandai-pandai melihat, apakah gelas yang yang kita hadapi tertutup, kosong, atau terisi sebagian.Karena dengan mengetahui keadaan orang yang bersangkutan, kita akan mampu mengatur tingkat pengharapan kita. Tingkat pengharapan; adanya respon positif terhadap nasehat kita, diterimanya nasehat kita, dijalankannya solusi-solusi yang kita berikan.

Memang jika orang yang tersebut adalah orang yang dekat dengan kita, yang kita sayangi, maka kita akan menjadi sangat subjektif. Kita akan berusaha sekuat mungkin untuk menolongnya. Tingkat pengharapan kita kepadanya akan sangat tinggi. Kita terus berharap agar orang yang bersangkutan akan berubah.

Dan ketika orang yang di harapkan untuk berubah, ternyata tetap melakukan hal yang sama atau bahkan lebih buruk, maka kita akan sangat kecewa. Hal itu karena harapan kita kepadanya sangatlah tinggi, sehingga sakit rasanya ketika jatuh.

Namun inilah tantangannya. Setiap dari kita memang wajib mengingatkan, wajib saling memberi nasehat, namun kita tidak akan di minta pertanggung jawabannya terhadap hasilnya kelak. Bahkan Rasulullah SWT pun hanya bertugas sebagai pemberi peringatan dan sebagai suri tauladan untuk umat.

Salah satu cara untuk memanage pengharapan kita, maka kita harus jeli melihat. Jika orang itu datang membawa gelas kosong dan kita bisa mengisi penuh gelas itu, maka kita dapat berharap lebih dari orang yang membawa gelas yang hanya setengah kosong. Dan jika orang itu membawa gelas yang terpasangi tutup, kita dapat menyadarinya dan terhindar dari kekecewaan.

Bukankah kita telah diajari, bahwa jika kita melihat ketidakbenaran terjadi; maka kita dapat merubahnya dengan tangan kita. Jika tidak bisa, maka kita dapat berusaha merubahnya dengan lisan kita, dan jika kita tidak mampu, maka kita dapat menolaknya dengan hati kita, walau itu adalah selemah-lemahnya iman.

Kita dapat merubah seseorang dan lingkungan dengan tangan kita, pada saat kita memiliki kewenangan dan kekuasaan terhadap mereka. Dimana kita dapat memberi konsekuensi terhadap keburukan yang terjadi, dan di harapkan dengan konsekuensi itu, orang dan lingkungan menjadi berubah.

Namun lebih seringnya, kita hanya mampu menasehati dengan lisan, ataupun hanya mampu untuk mendoakan di dalam hati. Dan karenanyalah kita harus mampu mengontrol tingkat pengharapan kita.

Karena ketidak mampuan mengontrol pengharapan kita, dapat berbuah menjadi rasa kecewa yang berlipat-lipat, dan dapat berakhir dengan rasa cuek terhadap apapun yang terjadi dengan orang yang bersangkutan. Kita menjadi apatis.

Berbeda ketika kita sudah mampu mengelola pengharapan kita. Kita akan ikhlas memberi ilmu, menasehati, menolong, tanpa berfikir tentang di terima dan dijalankannya nasehat-nasehat kita. Jika di jalankan, maka InsyaAllah kita akan terhindar dari sikap puas diri, dan kalaupun di tolak kita akan terhindar dari sikap berputus asa.

Pada saat itu kita bukanlah bersikap cuek kepada orang yang bersangkutan, namun kita bersikap tawakkal. Menyerahkan segala sesuatunya kembali kepada Allah SWT.

Namun jika orang yang bersangkutan, kelak menyadari semua kesalahannya, datang kembali meminta nasehat, meminta tolong agar di bantu, dan ber azzam ingin berubah. Maka saat itu kita wajib untuk kembali menasehati, kembali mengingatkan kepada kebaikan. Kembali berada di sisinya, sebagai saudara sesama muslim. Sebagai sebuah bangunan utuh. ***