Mega Planning Model; “Dunia Seperti Apa Kamu Inginkan”
Inilah model berpikir Mega Planning yang dimulai dengan menjangkau dunia, “yang kamu inginkan untuk anak-anakmu dan cucu-cucumu kelak?“
lombokjournal.com ~ Adalah Roger Kaufman, seorang pakar Strategic Management, Profesor Emeritus di Florida State University dan Distinguished Professor di Sonora Institute of Technology yang telah membuat model untuk berpikir Mega (Mega Planning Model).
Kaufman berpendapat, perencanaan perusahaan seharusnya tidak dimulai dan diakhiri dengan indikator internal atau kinerja perusahaan semata. Akan tetapi harus mempertimbangkan nilai-nilai apa yang diberikan kepada community (society).
BACA JUGA : BCG Matrix, Mengelola Portofolio Bisnis yang Efisien dan Efektif
Mega Planning dimulai dengan pertanyaan : “Dunia seperti apa yang kamu inginkan untuk anak-anakmu dan cucu-cucumu kelak?“.
Mega planning ini disebut juga “Mother’s Rule” karena serupa dengan apa yang dipikirkan oleh seorang ibu yang membayangkan dunia seperti apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Mother’s rule tidak bicara tentang means (credentials of teachers, money spent) tetapi lebih kepada survival, kesehatan, dan kebahagiaan untuk anak-anaknya. (Wikipedia)
Menurut Kaufman, cara berpikir dan bertindak yang benar adalah : berpikirlah mulai dari level Mega, kemudian Makro, dan terakhir Mikro.
Begitulah seharusnya orang berpikir. Sedangkan dalam bertindak, mulailah dari level Company, kemudian Customer, dan terakhir Community (Arief Yahya, Paradox Marketing: April 2013, hal. 205-208 > Buku “Paradox Marketing” tersebut dilandaskan pola berpikir Mega).
Adapun tingkatan-tingkatan berpikirnya adalah :
Pertama, berpikir Mega. Artinya berpikir untuk level societal needs (kebutuhan masyarakat/community) yang akan memberikan outcomes, berpikir untuk kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia, atau bahkan berpikir bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin). Untuk berpikir mega ini memerlukan pemikiran yang strategic.
Kedua, berpikir Makro. Artinya berpikir untuk level industrial needs (customer) yang akan mendapatkan outputs dan untuk ini memerlukan perencanaan tactical.
Ketiga, berpikir Mikro. Artinya berpikir untuk level professional needs (company) yang akan menghasilkan product dan memerlukan perencanaan yang sifatnya operasional.
BACA JUGA : Perubahan Radikal dalam Bisnis
Jika kita berpikir Makro, maka level Mikro dan level Makro akan kita peroleh. Contohnya jika kita berpikir untuk customer, maka kita akan mendapatkan kedua-duanya. Customer kita akan terpuaskan dan loyal, sekaligus company kita akan dapat menikmati keuntungan dari customer tersebut.
Dan jika kita berpikir Mega, maka level Mikro, level Makro dan level Mega akan kita peroleh semuanya. Contohnya adalah Google, Facebook, dan juga i-pad. Para pembuatnya kemungkinan besar memikirkan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
Steve Wozniak (co-founder Apple bersama Steve Jobs dan Ronald Wayne) menyampaikan bahwa i-pad dibuat dengan pemikiran agar umat manusia bisa lebih memanfaatkan panca indera yang dimilikinya. Dalam hal ini adalah indra peraba.
Terbukti dengan cara berfikir Mega seperti itu, Apple bisa mendapatkan semuanya: company, customer dan community.
Untuk dapat berpikir Mega, kita harus memiliki spirit of giving. Melalui cara berpikir Mega berarti pula kita menerapkan konsep The More You Give, The More You Get. Seperti cara berpikir dan bertindak seorang ibu.
Mengapa kita harus berpikir Mega? Menurut Kaufman setidaknya ada dua alasan. Pertama, sustainability. Perusahaan yang ingin memiliki masa depan, harus berpikir melampaui dirinya sendiri yaitu memikirkan masyarakat, bahkan dunia.
Kedua, Engagement. Karyawan yang mengetahui mereka bekerja untuk perusahaan yang berkomitmen untuk melakukan hal-hal baik terhadap masyarakat, akan bekerja lebih antusias dan memiliki keterikatan yang lebih baik terhadap perusahaan.
Pun demikian, dalam hal kemungkinan perusahaan dalam posisi terancam, maka kemampuan leadership dipertanyakan. Oleh karena itu, Arief Yahya (dalam Marketeers, 22 April 2020) mengedepankan konsep leadership berbasis pemikiran yang strategis (strategic thinking). Yang terdiri dari Mikro, Makro dan Mega.
BACA JUGA : Perguruan Tunggi, From Passenger to Be Drivers
Seorang pemimpin dengan strategic thinking di level mikro hanya berpikir mengenai perusahaan dan produk. Pemikirannya hanya mengacu kepada “apa”, bukan mengenai “bagaimana” dan “mengapa”.
Sementara, seorang pemimpin dengan pemikiran makro, memiliki orientasi kepada customer (output). Secara sederhana, pola kerja mereka mengacu pada pemikiran “who wins the customer, wins the game”. Pemimpin dengan pemikiran makro cenderung mengedepankan customer, tanpa memikirkan perusahaan.
Seorang leader yang baik, menurut Arief Yahya harus memiliki kemampuan strategic thinking di level mega. Pasalnya, pemimpin di level ini, bukan lagi sekadar memikirkan perusahaan maupun customer, melainkan komunitas.
Ketika Facebook dibuat, Mark Zuckerberg tidak memikirkan diri sendiri atau pun perusahaan yang ia bangun. Lebih dari itu, ia berpikir ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik dan mudah bagi setiap orang ketika Facebook hadir.
Google pun demikian. Mereka bisa sebesar ini karena orientasi mereka untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.
BACA JUGA : Kemah Bisnis dan Outbond untuk Apresiasi Kinerja ASN
“Mega thinking merupakan aspek yang harus dimiliki seorang leader. Mega thinking berdasarkan pada konsep spiritual, dan roh yang berbicara. Roh yang konon diciptakan dari cahaya selalu membawa kita ke arah yang tinggi sehingga mereka yang berpikir mega akan menciptakan sesuatu yang besar. Konsepnya, the more you give, the more you get,” jelas Arief Yahya. ***
#AKUAIR-Perumnas Ampenan, 02-12-2024