Matinya Nalar Kritis Berdemokrasi
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahamatullahi wabarakaatuh
Untuk para pejuang, nasionalis, aktivis-aktivis, dimana pun berada, sedikit coretan yang lahir dari analisis terhadap pemandangan politik akhir-akhir ini. Dalam perpolitikan hal yang sering dipersoalkan adalah sentimen emosional dari pejabat-pejabat publik, politikus-politikus demi mempertahankan kualitas dan kapabilitas serta demi menaikkan elektabilitas dari masing-masing figur politik.
BACA JUGA: Dampak Puasa Bagi Kesehatan
Dengan saling melemparkan slogan-slogan yang malah menjatuhkan elektabilitas dari masing-masing itu sendiri, bukan hanya figur politik namun masyarakat yang belum paham tentang politik ikut serta dalam persoalan sentimen emosional akibat dari kontaminasi pertarungan politik.
Absennya Nalar Kritis
Hakikat demokrasi adalah individualisme, yang berarti posisi setiap orang begitu kuat dan independen dalam partisipasi politik. Demokrasi lahir dari sebuah penghargaan atas kemerdekaan individu.
Setiap orang dianggap mampu menentukan pilihan, tidak hanya politik, tapi bahkan banyak pilihan dalam kehidupan.
Sayangnya demokrasi yang dipertontonkan saat ini di Indonesia tidak menunjukkan hal itu. Yang terjadi justru pergeseran hakikat demokrasi yang signifikan ke arah penistaan terhadap kemerdekaan akal pikiran individu.
Penggiringan opini publik terjadi dengan sangat sistematis dan masif, yang menyebabkan matinya nalar kritis publik. Hal ini semakin diperparah dengan politisasi segala hal demi menumbuhkan sentimen emosional. Sehingga akal yang dikaruniai untuk menalar kebenaran akhirnya benar-benar tidak dapat berfungsi lagi.
Harus jujur diakui, itulah potret demokrasi kita saat ini. Demokrasi hanya dipandang sebagai ajang pertarungan jumlah manusia. Yang mampu mengumpulkan manusia paling banyak, maka itulah yang dianggap sebuah kebenaran.
Tanpa adanya perhatian atas kemerdekaan nalar dan pilihan dari setiap individu. Demokrasi saat ini menjadikan nalar individu yang sejatinya merdeka tersandera oleh emosi publik. Orang dipaksa untuk menentukan pilihan, bukan diberikan pilihan untuk memilih.
Saya sempat berpikir bahwa praktik demokrasi saat ini harus diimbangi dengan peningkatan literasi publik. Tapi, sekarang saya berpikir hal itu tidak cukup. Literasi yang tinggi belum tentu melahirkan nalar kritis. Informasi yang diterima secara linier dalam jumlah yang tinggi justru hanya akan melahirkan doktrinasi. Doktrinasi tentu akan mematikan nalar kritis.
Sekarang saya juga berpikir bahwa pers dalam bentuk media massa maupun media sosial tidak lagi cukup disebut sebagai pilar demokrasi. Sebab saat ini independensi mereka sungguh dipertanyakan secara serius.
Yang tersisa hanyalah independensi semu. Akhirnya tidak ada lagi yang diharapkan dapat benar-benar independen selain akal sehat yang kita miliki.
Maka menurut hemat saya, kebutuhan yang paling urgen bagi praktik demokrasi saat ini bukanlah peningkatan literasi publik atau media yang independen.
Yang paling urgen adalah menghadirkan filsafat kritis yang akan memproduksi nalar kritis dalam berdemokrasi. Sekali lagi perlu ditekankan, demokrasi secara filosofis adalah soal kemerdekaan individu dan penghargaan atas kebebasan berpikir untuk menentukan pilihan.
BACA JUGA:
Marilah kita lepaskan diri dari belenggu sentimen emosional yang hanya akan menimbulkan perpecahan dan konflik di masyarakat. Mari kita kedepankan akal sehat dan nalar kritis dalam berdemokrasi.
Dengan tumbuhnya filsafat kritis, berarti juga menumbuhkan iklim kebebasan pendapat setiap individu, termasuk di dalamnya perbedaan pendapat dan pilihan politik. Perbedaan pendapat dan pilihan akan dilihat sebagai sebuah keniscayaan, oleh karenanya harus disikapi dengan kepala dingin dan toleransi.
Berfilsafat kritis dalam berdemokrasi berarti mempraktikkan demokrasi berdasarkan rasionalitas, bukan berlandaskan hawa nafsu. Demokrasi yang rasional akan melahirkan pemilih yang rasional. Sedangkan demokrasi yang berlandaskan hawa nafsu hanya akan melahirkan pemilih yang emosional.***