Konser YOI ACOUSTIC, Mengelola Naluri di Ruang Kosong

Tiga serangkai Yuga Anggana, Wing Irawan dan Gde Agus Mega Saputra, bergabung dalam YOI ACOUSTIC,  sedang melakukan konser dari TITIK ke TITIK, layaknya tengah melakukan ‘anjangsana batin’. 

Si anjing putih, buduk//Ia belum makan//Si anjing putih, buduk//Ia belum minum

……………………

lombokjournal.com

“Di tiap tempat kami sedang mengelola naluri di ruang-ruang baru, ruang kosong yang belum kami kenal, naluri harus dilatih agar cepat menanggapi berbagai situasi,” kata Yuga Unggana, usai main musik, berdialog dengan aktivis, dan apresiator lainnya termasuk mahasiswa yang banyak bertanya justru di luar musik.

Yuga Anggana

Wing Irawan

Gde Agus Mega Saputra

 

 

 

 

 

 

 

Di halaman belakang sekretariat SOMASI (Solidaritas Masyarakat Transparansi), LSM anti korupsi, hari Kamis (23/2) sore itu, konser Yoi Acoustic itu sudah ke titik ke empat. Sebelumnya menyellesaikan konser satu di Long Stone, dua di Vee Navhan, dan tiga di Lombok Light Music dan Forges (LLMG).

Di tiap tempat itu, naluri mereka bekerja dalam situasi berbeda. Misalnya di Vee Navhan sungguh menantang, mereka harus bernyanyi tanpa penonton. Bahkan tuan rumah pun ikut bermain.  Bahkan ini tak mudah, karena mereka justru membayangkan bagaimana respon apresiatornya.

Konser tanpa penonton

Konsernya di titik ke empat di LLMG, ketiganya bermain di ruko di pinggir jalan raya yang bising. Namun pengalaman itu justru membuat ‘progres’ perjalanan konsernya. Gde Agus membuat catatan tentang ini ,”sensasi terror bunyi maupun suara eksternal jadi catatan penting dari petualangan tiitik ke titik,” tulis Gde dalam akun facebook-nya.

Situasi itu justru memberinya pemahaman baru yang menarik dan berkesan, saat keberagaman kompleksitas melebur dalam pertunjukan. Situasi itu menawarkan sensasi liar, kebisingan malah menjadi stimulus  memahami ruang fisik maupun imajiner. Naluri kejeliannyanya bekerja menebak kehadiran soundscape.

Di halaman belakang sekretariat SOMASI

Mereka bertiga, seperti diakui Yuga Anggana, tak muluk-muluk untuk dianggap sedang menggelar pertunjukan. “Lebih dari cukup untuk disebut sebagai pertunjukan musik,” kata Yuga. Cukuplah ada karpet sebagai panggung, kehadiran penonton, tubuh-tubuh pemusik dan tentu ada karya yang sedang dikomunikasikan.

Tapi apa yang sedang mereka komunikasikan pada khalayak?

Pertanyaan ini memang mestinya dijawab Wing Irawan, yang menulis syair dan mencipta lagu-lagunya.  Namun tak mudah bagi pesepeda yang sempat berkeliling hampir separuh nusantara, dan ke beberapa negara Asia Tenggara, untuk menjawab pertanyaan yang sederhana pun.

Seperti-syair-syair lagu Wing Irawan, juga seperti artikel-artikelnya yang dimuat di koran-koran. Bahasa baginya “bukan sekedar alat komunikasi dan membangun pengertian publik, tapi berlaku sebagai materi pencitraan diri yang sangat subyektif.”

Lagu-lagu hasil persenyawaan tiga serangkai itu memang menawan. Harus diingat Yuga dan Gde punya latar pendidikan musik yang baik, keduanya menyelesaikan studi S2nya di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta. Keduanya juga dosen musik di Jurusan Sendratasik Universitas NU di Mataram.  Sedang Wing Irawan, meski bermusik secara otodidak, tapi ia bermusik lebih separuh umurnya.

KONSER TITIK KE TITIK ini jadi menarik, mungkin bukan semata-mata karena musiknya. Ketiganya lebih dari sekedar bermusik ria. Itu berangkat seperti diungkapkan Gde Agus, tentang kegelisahan, kemanusiaan, bahkan terkait arsitektur komunikasi sosial. Dan seterusnya, bagaimana membangun titik menjadi garis, atau menjadi bidang, ruang dan penampakan kreatif lainnya.

Saya kira, Yoi Acoustic salah satu yang membuka harapan, bagaimana berproses mensublimkan “senimu” di jalan yang meyakinkan.

Ka-eS