Kawasan Wisata Senggigi Sepi Wisatawan, Pengusaha Hotel Dan Tempat Hiburan Menjerit

Sejauh ini pemerintah daerah Lombok Barat dinilai belum bersikap untuk menormalkan kondisi ini

LOMBOK BARAT.lombokjournal.com —  Dampak gempa bumi 2018 masih dirasakan para pelaku pariwisata.

Selain isu gempa yang kerap beredar di tengah masyarakat, disusul harga tiket pesawat yang mahal membuat kondisi Senggigi semakin terpuruk.

Situasi kawasan Senggigi misalnya, salah satu primadona pariwisata Lombok, masih muram hingga kini. Tamu atau wisatawan sedang sepi dan di jalan-jalan terkesan lengang.

Bukan hanya kalangan pengusaha hotel yang mengeluh, tapi sejumlah pengusaha tempat hiburan pun juga mengaku sedang paceklik.

Hal ini diperparah dengan kondisi infrastruktur penunjang yang belum maksimal, misalnya lampu penerang jalan yang gelap.

Assosiasi Pengusaha Hiburan (APH) Senggigi mengaku, dampak buruk ini sudah dirasakan dan semakin parah belakangan ini.

“Kami jelas semakin terpuruk. Sudah dilanda gempa bumi 2018 yang dampaknya masih terasa sekarang, ditambah isu gempa dan banyak masalah lain yang semakin membuat sepi. Ibaratnya wajah pariwisata Senggigi saat ini suram,” kata Ketua APH Senggigi, Suhermanto, Kamis (18/7/2019) di Senggigi, Lombok Barat.

Untuk menormalkan kondisi ini para pengusaha tak mamppu berbuat banyak. Mereka berharap perhatian dan good will pemerintah.

Suhermanto menegaskan, sejumlah pengusaha hiburan di Senggigi saat ini benar-benar menjerit. Apalagi sejauh ini pemerintah daerah Lombok Barat dinilai belum bersikap atas kondisi ini.

Pendapatan rata-rata usaha hiburan di Senggigi menurun drastis. Dari yang biasanya bisa mengantungi omzet puluhan juga per hari, kini untuk menembus Rp5 juta per hari pun terasa sangat sulit.

Padahal, mereka harus menanggung biaya operasional, gaji karyawan, dan juga pajak yang harus dibayar ke Pemda setempat.

Kondisi ini, papar Suhermanto, semakin diperparah dengan menjamurnya kafe-kafe liar di sejumlah kawasan di Lombok Barat termasuk di Suranadi, Kecamatan Narmada.

“Keberadaan cafe-cafe liar atau illegal di kawasan Narmada dan sekitarnya, itu menambah susah kondisi kami. Padahal kami ini legal dan bayar pajak, sementara mereka kebanyakan tidak membayar pajak ke Pemda,” katanya.

Suhermanto berharap, Pemda Lombok Barat bisa mencarikan solusi untuk masalah ini.

Setidaknya, upaya penertiban cafe-cafe liar dan illegal di Lombok Barat harus mulai dilakukan, sebab, pertumbuhan mereka sangat masif.

Sekjen APH Senggigi Ketut Mahajaya menambahkan, selain permasalan tersebut, kondisi infrasruktur penunjang pariwisata di kawasan Senggigi juga perlu diperhatikan oleh Pemda Lombok Barat.

“Salah satu contohnya lampu penerangan jalan. Sekarang kondisi Senggigi ini gelap gulita. Bayangkan seandainya tidak ada penerangan dari tempat hiburan malam, mungkin semakin gelap Senggigi ini,” cetus Mahajaya.

Selain lampu penerangan jalan, Mahajaya juga menyoroti fasilitas umum lainnya seperti ketersediaan toilet umum dan juga tempat sampah di kawasan Senggigi.

Padahal, NTB saat ini tengah mengusung program unggulan NTB Zero Waste.

“Ini kan sangat disayangkan, bagaimana bisa Zero Waste sementara tempat sampah saja tidak tersedia di kawasan wisata. Bule seringkali harus mengantungi sampah untuk mencari tempat sampah.Ini kan ironis,” katanya.

Terkait sejumlah masalah tersebut, jajaran APH Senggigi yang terdiri dari belasan anggota pengusaha hiburan di Senggigi, akan melayangkan surat kepada Bupati Lombok Barat, H Fauzan Khalid agar sejumlah permasalahan di kawasan Senggigi ini menjadi perhatian Pemda setempat.

“Kita jelas akan bersurat dalam waktu dekat. Bukan untuk kepentinngan pengusaha saja, tetapi agar wajah pariwisata Senggigi ini bisa lebih berbenah,” tegas Mahajaya.

AYA