Cerita Pendek MULUT RAMLI oleh Kongso Sukoco

Tiap Ramli mengucapkan sesuatu cerita, bahkan hanya satu kata pun, mulutnya bertambah melebar

lombokjournal.com ~
MARIKI mendengar teriakan kaget orang-orang kampung. Di gang kampung tempat tinggalnya yang padat penduduk itu terdengar suara riuh. Suara komentar-komentar bersautan tertangkap nadanya penuh khawatir. Pasti tengah terjadi peristiwa mengejutkan, pikir Mariki. Masih di pagi yang gelap saat Mariki meloncat dari tempat tidur dan mencaritahu apa yang tengah terjadi. Ia menyibak kerumunan tetangganya, mencoba mendekati Ramli.  Orang-orang di kampung itu terperangah, termasuk Mariki yang baru saja menyadari apa yang dilihatnya.
Ya, ini soal Ramli, Kepala Lingkungan atau Kaling di kampung kami Dasan Beleq. Sudah dua kali terpilih sebagai pejabat kampung, karena ia pandai memikat dengan beragam cerita, ia masih muda, bertubuh kecil namun lincah, bersemangat dan menggebu gebu meski sebenarnya suka membual. Ia dipilih penduduk dusun yang sebagian besar menempati rumah sempit tanpa halaman yang berdesak-desakan. Ramli dianggap bagian dari mereka, yang sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan. Ramli sendiri semula adalah peladen dari tukang bagunan yang kalau kerja biasanya mendapat imbalan 900 ribu sehari. Sejak dipilih sebagai Kepala Lingkungan, ia mulai banyak berubah. Bakatnya suka membuat cerita yang lebih banyak  membual tampak makin berkembang. Ramli makin suka menyampaikan cerita hal baru di luar pengetahuan orang-orang kampung, yang membuat orang kampung ingin tahu lebih jauh. Misalnya, menurutnya tiap hari ia bertemu dengan Lurah, Camat bahkan Walikota. Para pembesar kota itu konon selalu minta pendapatnya bagaimana membangun kampung miskin. Kabarnya ia selalu mendesak para pembesar kota agar memperhatikan Dusun Dasan Beleq. Memperjuangkan bantuan untuk orang tua renta yang tak bisa lagi bekerja, anak-anak muda pengangguran, perbaikan jalan kampoung yang kumuh. Bahkan rehab masjid pun ia perjuangkan. Walaupun nyatanya selama Ramli jadi Kadus, yang nyata kelihatan hanya petugas Posyandu saja yang tiap minggu rutin menyambangi kampung.
Tapi Ramli saat ini harus menahan diri untuk bicara. Tiap Ramli mengucapkan sesuatu, bahkan hanya satu kata pun, mulutnya bertambah melebar. Jangankan satu kata, asal mulutnya mengeluarkan suara, akibatnya sama. Tampak muka Ramli sangat menderita, tapi mengeluarkan suara tangis pun ia mencoba menahan. Sebab tiap suara yang keluar dari mulutnya, andai pun cuma suara desis, maka ukuran mulutnya makin bertambah.  Akhirnya ia memilih diam, berkali-kali membuka kedua tangan tanda pasrah. Mariki melihat raut muka Ramli memancarkan kesedihan yang tak terbayangkan.
Beberapa orang yang mengelilingi Ramli ingin menolong tapi tapi tak tahu harus berbuat bagaimana. Karena itu Mariki mengambil tindakan menjauhkan orang-orang yang mengelilingi Ramli. Sebab khawatir kalau orang-orang itu mendekat akan memancing Ramli bersuara. Jelas resikonya.
Mariki mendorong orang-orang itu agar menjauh.
“Jangan dekat-dekat, kasihan Ramli…,” ujar Mariki.
Waktu orang-orang didorong menjauh, justru Ramli hendak melangkah mendekat.
“Kamu tetap diam, Ramli!” suara Mariki setengah membentak.
”Kenapa? Kenapa mereka disuruh menjauh?” suara Ramli yang terdengar memelas tanpa sengaja meluncur dari mulutnya.
“Diam Ramli, jangan bicara!” bentak Mariki dengan cepat.
Sudah terlambat, Ramli tak bisa menahan diri untuk tidak mengeluh. Dan siapa pun tak mungkin mencegah, mulut Ramli bergerak melebar. Beberapa saat ia mencoba beradaptasi dengan perubahan itu. Walau semula mengalami rasa sakit, akhirnya Ramli bisa menyesuakan diri. Penyesuaian ini tidak mudah, sebab perubahan ukuran mulut itu juga mempengaruhi bentuk rahang dan gusi. Itu tidak mudah, dan tentu saja sakit.
Mariki mulai berpikir, apa yang tengah terjadi dan gejala apa sesunguhnya yang menimpa Ramli. Apakah Ramli mengalami gejala medis seperti spasme otot, yaitu kejang otot wajah. Mengalami kejang otot di sekitar rahang atau wajah. Ini menyebabkan mulut tampak melebar secara tiba-tiba. Ini bisa disebabkan oleh stres, kelelahan, atau gangguan saraf. Di benak Mariki juga sempat terlintas ucapan temannya yang mengajar di Fakultas Kedokteran tentang dislokasi rahang. Rahang keluar dari posisi normalnya. Ini disertai rasa sakit, sulit menutup mulut, jelas sulit bicara.
Sambil tetap mengontrol gerakan orang banyak dan Ramli sendiri, Mariki memutar otak untuk memahami kemungkinan lain. Dalam bahasan soal saraf juga dikenal kondisi neurologis yakni gangguan pada saraf wajah, seperti dystonia atau facial tics. Ini berpengaruh pada kontrol otot dan  menyebabkan ekspresi wajah yang tidak biasa, termasuk mulut yang tiba-tiba melebar. Ada juga yang disebut Sindrom Ehlers-Danlos atau Hipermobilitas Sendi. Orang yang berada pada kondisi ini, jaringan ikat di tubuh sangat lentur, sehingga memungkinkan gerakan ekstrem, termasuk pembukaan mulut yang sangat lebar.
Tapi di tengah ingatan gejala-gejala yang membuat mulut melebar, Mariki sejenak terhenyak. Jika pelebaran mulut ekstrem yang tak bisa dikontrol dijadikan cerita fiksi atau seni teater, dapat digunakan sebagai metafora atau efek dramatis. Mariki merasa telah menangkap sesuatu. Tapi ini terjadi dalam kehidupan nyata, karena itu yang harus segera dilakukan adalah berkonsultasi dengan profesional medis
Orang-orang kampung yang berkerumun itu sambil beringsut menjauh, mulai menafsir-nafsir kenapa nasib malang itu harus menimpa Kadus. Kenapa justru Kaling yang terpilih dan yang harus menjadi korban. Memang anak muda yang sebelumnya dikenal sebagai tukang bangunan itu bergaul wajar bersama orang kampung. Perilakunya tak banyak berubah setelah ia terpilih sebagai Kaling. Tapi ada yang berubah. Hanya rumahnya yang mulai lebih bagus karena sudah direnovasi. Baru-baru ini ia sudah mengendari kendaraan matic jenis Scoopy 110 cc. Ia sering bercerita panjang lebar motor barunya yang menurutnya bergaya retro  dengan desain stylish dan elegan. Kendaraan itu, kata Ramli, merupakan hadiah dari Walikota karena ia dinilai sukses memimpin kampungnya.
Samsul anak muda yang selama ini dikenal sebagai teman dekat Ramli, menerobos dari kerumunan dan berbisik pada Mariki.
. “Ki, saya teman dekat Ramli. Tau persis perangai Ramli…” kata Samsul setengah berbisik pada Mariki. “Ini hanyalah akibat….”
Mariki menoleh. Merasa diberi kesempatan, Samsul mulai nyerocos.
Ini yang dikatakan Samsul. “Untuk memahami keadaan ini, begini Ki…. Kalau nasib malang seseorang itu ditampakkan lewat mulut, berarti yang bersangkutan selama ini banyak salah memanfaatkan mulutnya.”
Samsul makin bersemangat menyampaikan cerita karena Mariki menunjukkan minatnya untuk mendengar
“Kalau mulut sering digunakan melempar cerita bohong atau mengelabuhi, maka musibah itu akan tampak di mulut itu juga. Jangan main-main dengan mulut. Bahaya besar. Mulut itu seperti pedang bermata dua, di mata yang satu mulut berguna untuk menyampaikan kebaikan, sedang di mata lainnya mulut bisa untuk berbohong, menyampaikan janji-janji palsu, menyembunyikan maksud-maksud busuk, mulut digunakan untuk mengelabuhi.”
“Ramli selama ini tidak bisa jaga mulutnya?” tanya Mariki.
“Kalau melihat Ramli datang,” kata Samsul, “dari jauh sudah kelihatan kalau ia sudah akan berbohong…Kalau ia bicara tiga kali, ia bisa berbohong lima kali…..”
Samsul memandang tajam Mariki. Ia ingin meyakinkan, kebohongan-kebohongan yang menumpuk itu membuat Ramli harus menghadapi kenyataan ini. Ia mengaku, kalau Kaling banyak menerima bantuan untuk orang kampung, tapi ditilep atau paling jauh dibagikan ke keluarganya. Bisa jadi prang banyak yang disakiti mendoakan hal buruk untuknya, dan doa itu menjadi nyata.
“Hukuman mulut yang melebar itu tanda-tanda…. Ramli sudah tidak punya kendali atas apa yang dulu ia peralat, yaitu kata-kata!” tegas Samsul
Mariki dakam hati membenarkan ucapan Samsul. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi diurungkan.
Karena tiba-tiba terdengar suara lenguhan yang sangat keras, ternyata keluar dari mulut Ramli. Keduanya spontan menengok ke arah Ramli. Seketika itu Mariki dan Samsul beringsut ke belakang dua langkah. Ternyata dalam waktu tak lama, tidak disangka kalau mulut dan kepala Ramli membesar dua kali lipat bahkan lebih dari sebelumnya. Benar-benar mengagetkan. Apalagi tatapan dari mata Ramli yang bentuknya jadi aneh itu tidak lagi bersahabat. Samsul menarik tangan Mariki agar lebih menjauh.
“Karena itu saya yakin….Ramli dipaksa Tuhan untuk tidak bicara dulu… supaya berhenti berbohong…” kata Samsul.
Makin lama orang-orang yang berkerumun dan mulai tidak berani mendekati Ramli itu makin paham bahwa kejadian aneh itu bukanlah cerita dalam mimpi. Kalau toh Ramli mampu menahan diri tidak berkata-kata atau akan mengutarakan sedikit cerita, tapi tak mungkin menahan isak tangisnya. Dan itu membuat orang-orang makin takjub. Bukan hanya mulut Ramli yang bertambah melebar dan membesar, termasuk gigi, juga ukuran kepalanya makin membengkak.
Meski pelahan, tapi ukuran kepala itu seperti balon ditiup. Pelan tapi pasti, terus membesar. Meski suaranya lirih, terdengar juga gemertak tulang yang membesar.  Ada yang mulai ngeri. Apakah mungkin kepala yang membesar mengikuti ukuran mulut itu akan meledak seperti balon, tak ada yang tahu.
Badan Ramli yang kecil itu tampak menderita menahan beban kepalanya. Orang-orang mulai menebak, tentu kepala yang membesar itu sekaligus merubah pikiran Ramli. Pikiran itu berubah tetap normal dan baik seperti sebelumnya atau sebaliknya. Dan apa yang kini sedang dipikirkan Ramli? Dan tiba-tiba, seperti baru tersadar, orang-orang serentak hendak membungkam mulut Ramli. Mereka pikir, setidaknya itu akan menghentikan laju pembesaran mulut Ramli.
Mariki menduga, kengerian dari perubahan mulut dan wajah itu, apalagi jika kondisinya jadi tidak berubah, dapat meningkatkan risiko depresi bagi Ramli. Apalagi jika perubahan wajah itu menyebabkan ekspresi yang permanen, seperti kesan berubah jadi monster, akan memperburuk perasaan negatif Ramli.
Selama ini Ramli sebagai orang yang mulutnya tak pernah henti berbicara. Kadang kata-katanya meluncur seperti air bah yang menenggelamkan tanpa ampun, atau senaliknya melukai tanpa ampun. Namun, hari itu berbeda. Saat mulutnya mulai menganga lebih lebar, Ramli merasakan sesuatu yang tidak biasa—bukan hanya fisiknya yang berubah, tetapi kata-katanya sendiri mulai memberontak. Kata-kata yang dulu membantunya berbohong dan menipu kini berbalik memberontak pada perintahnya. Kara-kata yang bisa terlontar hanya melenguh, mengeram atau berteriak di telinganya tanpa henti. Akhirnya, mulut itu tidak lagi menjadi alat menyampaikan maksud, tetapi rongga kosong yang akan memakan bahkan dirinya sendiri.
Tindakan pencegahan yang coba akan dilakukan orang-orang sudah terlambat. Sebab kini monster itu mulai bergerak, meski tertatih-tatih. Tubuh yang kecil itu menyanggah kepala yang terus membesar. Ketika orang-orang hendak mendekat, ia malah mengerang dan tampak marah. Ia kelihatan mulai lepas dari ketakutan dan kesedihan, sebaliknya kini  memilih berubah beringas. Mulutnya makin lebar, giginya makin besar, lidahnya menjulur-julur seperti komodo, Ramli terkesan selalu berhasrat memangsa.
“Awaaasssss…..!! Mundurrr……!!! Ramli jadi monster  buas!” teriak seseorang.
Orang-orang kampung benar-benar bersiap-siap, harus menghadapi kepala lingkungan yang kini berubah sebagai monster buas yang siap memangsa siapa saja.
Mariki, Samsul bersama orang kampung bergerak secepatnya menjauh. Mereka tak mampu lagi membaca air muka Ramli. Sebab air muka itu sudah tak bisa diraba karena ukurannya telah berubah mengerikan. Mulut itu terus mendesis, dan secara perlahan meneteskan gumpalan air liur.
“Aku lapaaaarrrrrrrr…….” Monster itu seperti merintih.
Tapi karena keluar dari kepala dan mulut yang besar, suara itu sangat memekakkan telinga. “Aku lapaaarrrrrr……………!!!!!”
Suara itu seperti suara monster.  Nadanya makin tak jelas, apakah minta dikasihani atau sedang mengancam. Orang-orang lari menyelamatkan diri. Waktu monster itu bergerak dengan lidah menjulur-julur keluar, orang-orang mulai kocar-kacir. Satu dua orang lari tergopoh-gopoh  melaporkan peristiwa ini ke Kantor Polisi terdekat. Sedang yang lainnya termasuk Mariki dan Samsul masih menguatkan nyali untuk menghadang, meski kehilangan nyali untuk mendekat. Sebab lidah monster itu menjulur seperti siap menyabet dan melahap apa pun.
Orang tua, perempuan, anak-anak, orang sakit, berhamburan keluar rumah. Tiap rumah terjadi kepanikan. Siapa sangka di kampung yang sebelumnya aman tentram, bahkan anak-anak muda yang hendak berbuat onar pun memilih ke luar kampung, tiba-tiba kedatangan monster pemangsa. Ramli memakan apa saja yang ada di dekatnya. Lidahnya menyabet ayam yang kebetulan berkeliaran di depannya, bahkan seekor kucing ikut dimangsa. Mulut monster itu belepotan darah.
“Raammmmlliiiiiiiii!!!!”
Sebelum menyadari siapa yang berteriak, orang-orang melihat sosok laki-laki menghadang. Laki-laki itu bertubuh kecil, mukanya tampak pucat, meskipun suaranya melengking. Namun kelihatan tak gentar menghadapi monster lamban tapi garang siap menjulurkan lidahnya. Ketika monster itu berdesis, laki-laki justru maju mendekat beberapa langkah.
“Ramli!” ia membentak. “Kamu memang pantas menjadi monster, sebab kamu memang monster yang hidup di kampung.”
“Kamu sekarang menjijikkan. Kamu hanya pengen lari dari kenyataan. Normal atau tidak normal kamu tetap tidak berharga. Karena apa? Karena mulutmu hanya untuk membual dan memperdaya orang-orang kampung. Mulutmu sering melenceng. Katanya memperjuangkan orang kampung tapi kalau ada bantuan untuk diri sendiri, paling jauh untuk keluargamu sendiri,” katanya.
Laki-laki itu mengangkat tangannya.
“Sekarang, tidak ada yang bisa kamu tutup-tutupi lagi. Bersuaralah lebih keras agar mulutmu makin membesar, dan kamu makin merasa lapar. Sebab kamu memang tidak pernah kenyang. Sebelumnya kamu tidak pernah malu dengan mulutmu. Justru kamu sering bangga. Padahal tiap kata-katamu berbau busuk. Seperti inilah wajahmu sebelumnya, monster yang siap membunuh siapa saja dengan mulut melencengmu. Mulut yang seharusnya menjadikan seseorang mulia, tapi kamu justru sebaliknya…………………….  “.
Laki-laki itu terus bicara, bahkan memaki monster Ramli. Anehnya, monster itu tiba-tiba kehilangan nyali. Kelihatan ia kecut dan mundur beberapa langkah. Berbalik dan pergi menjauh. Belakangan diketahui monster itu pergi jauh ke hutan, menyembunyikan rasa malu karena mulut dan wajahnya nerubah menyerupai monster.
Orang-orang mulai berani mendekat, dan ingin mengetahui siapakah laki-laki kecil itu sebenarnya. Seketika itu orang-orang terkesima. Ternyata laki-laki itu adalah Ramli.
Mariki hanya tersenyum membayangkan cerita tentang peristiwa yag menggegerkan kampung itu.
Oktober 2012