Tuntut hak petani, juga meminta pemerintah menghentikan klaim Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) atas tanah milik kaum tani dan masyarakat Desa Bebidas Lombok Timur.
MATARAM.lombokjournal.com — Ratusan petani dari komite perjuangan kota Mataram, Frontal Perjuangan Rakyat (FPR) Nusa Tenggara Barat dan Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional (KPW STN) NTB, turun aksi pada momentum Hari Tani Nasional ke 57, di depan Kantor Gubernur NTB, Senin (25/09).
Para petani itu dari berbagai wilayah, baik petani jagung, tembakau termasuk petani yang hidup di wilayah hutan, menuntut hak para petani tidak diabaikan oleh pemerintah.
Menurut mereka saat ini bangsa Indonesia dinilai darurat agraria. Rampasan tanah petani makin dikuras oleh pemerintah.
Koordinator FPR NTB, Zuki Zuarman mengatakan, dari total luas daratan NTB 2.015.315 Hektare (Ha), seluas 75 persen atau sekitar 1.436.975,32 Ha, dikuasi tuan tanah berupa Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), Taman Nasional, Pertambangan, Perkebunan dan Pariwista.
Jumlah tersebut belum termasuk lahan pembangunan global hub di Lombok Utara yang direncanakan seluas 7.000 Ha. Selain itu, Pembangunan Bendungan Bintang Bank, Bendungan Tanju dan lain sebagainya.
Untuk KPH, mereka mempunyai kewenangan melakukan kerjasama dengan perusahaan perkebunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), agar bisa mengontrol kawasan hutan.
Untuk NTB HTI telah menguras hutan rakyat seluas 889.210 Ha dari luas hutan di NTB 1.071.722,83 Ha.
Kondisi seperti ini, membuat hutan tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat. “Yang hanya bisa menikmati mereka para tuan tanah, ” paparnya.
Dalam sektor pertambangan, menguasai lahan kedua setelah kehutanan. Sementara itu, Pemprov NTB, di tahun 2013 memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada tahun mencapai 252 izin usaha.
Selain itu izin dua kontrak karya atas nama PT. NNT atau PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) dan PT. Sumbawa Timur Mining (PT.STM). Untuk PT. STM menggarap luas wilayah mencapai 891.590 Ha.
“Begitu juga dengan PT. NNT di tahun 2016 berubah menjadi PT AMNT dengan wilayah konsesi mencapai 87.540 Ha, ” ungkapnya.
Berikut Perkebunan dan Pertanian, yang berhasil mereka data lahan terpakai seluas 133.427,35 Ha. Untuk kawasan pariwisata, lanjutnya penguasaan lahan mencapai 16.279,30 Ha dengan 17 kawasan yaitu 10 kawasan di pulau Lombok dan 7 kawasan di pulau Sumbawa.
“Kawasan yang di Lombok termasuk pembangunan KEK Mandalika dengan luas 1.250 Ha” ujarnya.
Berdasarkan data tersebut, FPR NTB menolak rencana Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial oleh Joko Widodo. Mereka menuntut agar Jokowi menghentikan perampasan dan monopoli tanah.
Selain itu mereka juga meminta Joko Widodo menghentikan segala bentuk dugaan intimidasi, teror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.
Sedangkan tuntutan khusus di NTB, mereka meminta pemerintah menghentikan klaim Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) atas tanah milik kaum tani dan masyarakat desa Bebidas Lombok Timur.
“Kami juga tolak klaim TNGR terhadap Tanah Adat Jurang Koak Lombok Timur, ” terang dia.
Para petani menuntut kepada Gubernur NTB mencabut Izin HTI PT Sadana Arief Nusa di Tanah Petani Sambelia.
Di kesempatan sama, pengurus STN, Wili Suharli mengungkakan, masyarakat Sambelia masih dihantui yakni sedang berhadapan dengan PT Sadana Arif Nusa ada, yang menggusur 178 rumah,.
“Saat ini lahan pertanian di NTB banyak dialih fungsikan, sudah jarang melihat padi dipinggir jalan. Mataram saja hanya satu dua petak,” ucapnya.
Lain halnya M Gozali, yang mempertanyakan soal Pupuk yang selalu langka. Ia malah bertanya kepada Dinas Pertanian siapa pemain pupu.
“Tolong putus rantai kelangkaan itu. Padahal, pemerintah anggarkan lebih dari 270 miliar untuk subsidi bagi petani, belum bicara soal Cukai tembakau,” tegas pengurus STN NTB itu.
Terkait hal itu, Kepala Biro Pemerintahan Setda NTB, H Wirajaya Kusuma yang mewakili Gubernur NTB menemui massa menyampaikan, apapun yang menjadi tuntutan, keluhan petani terlebih menyangkut konflik agraria, akan koordinasi dulu.
“Nanti saya sampaikan kepada Gubernur,” katanya.
AYA