Wayang Sasak Hybrid  Bisa Jadi Basis Pengembangan Karakter Dan Moral Generasi Millennial

Melalui pagelaran wayang ini HBK juga ingin menyampaikan pesan dan edukasi tentang pentingnya sektor pertanian untuk terus dikembangkan di Pulau Lombok, NTB

lombokjournal.com —

MATARAM  ;  Setelah sukses menggelar nonton bareng Wayang Kulit bersama dalang kondang H. Lalu Nasib di lapangan Tanjung, Kab. Lombok Utara akhir pekan lalu, kini H. Bambang Kristiono (HBK) akan menggelar nonton bareng serupa di lapangan Desa Dasan Tapen, Gerung, Kab. Lombok Barat pada hari Sabtu, 2 Maret 2019 mendatang.

Sejumlah pihak mengapresiasi upaya petinggi Partai Gerindra ini dalam mendorong semangat melestarikan budaya warisan nenek moyang terutama Wayang Kulit Sasak tersebut.

Sebab, banyak sekali kearifan lokal para leluhur Sasak di Pulau Lombok yang memiliki nilai-nilai sangat tinggi, terutama dalam seni dan atraksi budaya. Seperti juga pegelaran Wayang Kulit Sasak, yang belakangan eksistensinya terus tergerus kemajuan zaman.

Padahal, jika bisa terus dilestarikan Wayang Sasak bisa menjadi benteng yang kuat bagi generasi muda saat ini untuk tetap bersandar pada nilai-nilai baik, termasuk menjadi basis pengembangan karakter dan moral.

“Wayang Sasak dapat menjadi basis pembelajaran dan pengembangan karakter sebagai pertahanan moral generasi muda kita (saat ini)”, kata Sekjen Majelis Pemangku Adat Nusantara Raya (Mapan Raya), Lalu Pharmanegara, Kamis (28/2).

Lalu Pharma  mengatakan, aspek lainnya dari Wayang Sasak di era milenial ini adalah sebagai warisan pengetahuan tentang filsafat,  humaniora, psikologi dan daya budi.

Selain itu, Wayang Sasak juga dapat menjadi pustaka dan panduan moral bagi pola hubungan kemanusiaan yang baik, untuk dapat diproyeksikan di era milenial ini.

“Wayang Sasak adalah wajah keagungan kebudayaan Nusantara, yang dapat memadukan antara pewarisan nilai-nilai budaya, tuntutan keimanan, dan seni pertunjukan yang sangat menghibur”, katanya.

Ia menekankan, kekuatan Wayang Sasak sebenarnya terletak pada kontennya yang timeless, tak lekang oleh waktu maupun zaman.

Sebab, Wayang Sasak adalah wajah masa lalu yang tetap bisa hadir di masa kini, dengan tetap menjaga konsistensinya mengembangkan sumber daya imagologi, dalam bentuk bayangan (shadow), dan irama jiwa yang selaras dengan seni bertimbang khas gaya Sasak.

“Wayang ini memiliki kemampuannya yang luwes untuk memadukan falsafah India, falsafah Islam, dan Falsafah Nusantara dalam suatu sajian seni, dengan menampilkan penokohan lokal seperti Amaq Ocong dan lainnya, sebagai faktor kesadarannya tentang kehadiran (present awaraness), dan pola kesaksian pada perjalanan sejarah manusia”, ujarnya.

Lebih dari itu, papar Lalu Parma, Wayang Sasak adalah sekolah terbuka bagi masyarakat Lombok, untuk dapat memahami berbagai persoalan dalam masyarakatnya, sekaligus memberikan solusi sederhana dalam kehidupan sehari hari.

“Dalam pada itulah, Sang Dalang, bukanlah seni yang jauh kenyataan hidup, namun ia bisa sangat dekat, bahkan dapat merasakan detak kegelisahan yang sedang terjadi pada masyarakat penontonnya,” katanya, sembari mengatakan kepiawaian Dalang yang menjadi kunci keberhasilan sajian seni Wayang Sasak.

Eksistensi Wayang Hybrid

Sementara itu, pegiat seni budaya yang juga pengamat budaya Lombok, H.Ahmad JD menjelaskan untuk mempertahankan eksistensi Wayang Kulit di Pulau Lombok, di tengah kemajuan teknologi saat ini, maka para Dalang harus piawai menyelaraskan kisah pewayangan yang mereka bawa dengan kepentingan dan kebutuhan modern abad ini.

Hal ini membuat tumbuh pagelaran Wayang Hybrid, atau wayang kulit yang kisah pewayangannya sudah dicangkokan dan dikreasikan dengan kondisi dan situasi masyarakat kekinian.

“Wayang Hybrid di Lombok menggunakan cerita-cerita panji purwa yang sudah dipersingkat. Dalang mengembangkan wayang dalam bentukan hybrid, cangkokan atau rekayasa gen. Ini seni menyelaraskan pertumbuhan dunia saat ini dengan sikap dan rumusan dalang”, katanya.

Dijelaskan, eksistensi Wayang Kulit di Lombok masuk pada abad 14-15, dipengaruhi budaya Jawa. Wayang juga menjadi piranti dan sarana dakwah Islam mula-mula di Pulau Seribu Masjid ini.

Pagelaran wayang zaman dulu menjadi wahana efektif untuk bisa mengumpulkan masyarakat dalam jumlah banyak. Dakwah Islam, nilai-nilai keislaman, dan pesan moral membentuk karakter kemudian bisa diselipkan dalam kisah pewayangan.

“Selain untuk menjadi sarana pendidikan masyarakat, wayang dulu juga menjadi sarana pendidikan kepemimpinan. Selain itu eksistensinya yangbisa mengumpulkan banyak orang di tempat umum”, ungkapnya.

Ia menyampaikan sangat mengapresiasi jika ada yang berupaya turut melestarikan wayang ini. Apalagi dari sisi penerimaan masyarakat dan ketahanan wayang itu sendiri, dirasa masih perlu saat ini.

“Masih ada unsur achievment-nya, ketahanannya masih diperlukan, sebagai sarana yang efektif untuk edukasi, selain melestraikan budaya itu sendiri,” katanya.

Dengan genre hybrid tadi, pegelaran wayang dapat digunakan sebagai media penyampai pesan dan informasi, edukasi dan sosialisasi tentang banyak hal yang berkembang saat ini.

Potensi Wayang Kulit Sasak sebagai sarana edukasi dan sosialisasi ini yang membuat HBK  mengadakan seri nonton bareng Wayang Kulit Lalu Nasib.

Ketua Badan Pengawas dan Disiplin (BPD) Partai Gerindra ini berupaya melestarikan budaya ini, dan membangkitkan nostalgia akan wayang kulit. Ada enam  lokasi yang sejatinya menjadi sasaran pementasan di Pulau Lombok. Tak tanggung-tanggung, legenda hidup dalang dari Bumigora Lalu Nasib AR yang dipercaya mengemban misi ini.

“Nobar Wayang Kulit Lalu Nasib ini untuk menggali budaya leluhur yang telah diwariskan. Kearifan lokal yang diwariskan para orang tua tak boleh punah. Generasi kini harus ikut menjaga keberadaan Wayang Sasak ini,” kata HBK.

Selain itu, melalui pagelaran wayang ini HBK juga ingin menyampaikan pesan dan edukasi tentang pentingnya sektor pertanian untuk terus dikembangkan di Pulau Lombok, NTB. Dan yang pasti juga pesan tentang penyelenggaraan Pemilu 2019 yang damai dan bermartabat.

Me




Wayang Kulit Dusun Bisa, Lotim, Akan Tampil Dengan Dalang Baru

Masyarakat sangat antausias menonton latihan wayang kulit ini, baik dari golongan tua maupun muda, yang setia menontonnya hingga selesai

LOTIM.lombokjournal.com — Wayang kulit Munigarim asal Dusun Bisa, Desa Wanasaba Lauk, Lombok Timur (Lotim), akan dipertontonkan kembali kepada masyarakat setelah lama vakum beberapa tahun.

Wayang Munigarim

Salah satu tujuannya yaitu memperkenalkan dan melestarikan budaya kepada generasi muda yang hidup di zaman modern.

Hal itu dikatakan oleh Arpandi, salah satu anggota Wayang Munigarim setelah selesai latihan, di Wanasaba Lauk, Sabtu (15/12) malam, sekitar pukul 23.45 Wita.

“Wayang ini sempat vakum dan kini kita kembalikan lagi ke Dudun Bisa agar generasi muda tahu warisan orang tua,” ujarnya kepada lombokjournal.com.

Dijelaskannya, wayang kulit ini telah memiliki Dalang baru menggantikan dalang yang lama karena meninggal dunia. Itulah penyebab sehingga Wayang Munigarim ini sempat vakum di tengah-tengah masyarakat.

“Dalang yang semula telah meninggal. Jadi, sekitar dua tahun kita tidak main lagi. Namun kita ada dalang baru dari Masbagik, namanya Pak Supar,” tutur Arpandi.

.Untuk sementara ini pihaknya terus mengadakan latihan satu sekali seminggu atau setiap malam minggu.

Diketahui, personilnya masih hanya berjumlah  tujuh orang termasuk Dalang.

“Sebenarnya berjumlah belasan orang dan sekarang ini kita masih cari tukang (pemain) sulingnya,” terang Arpandi, orang yang berperan memainkan rencek.

Ditempat yang sama, Amaq Riski, salah seorang warga setempat mengaku telah lama tidak menonton Wayang Murigarim tersebut.

“Wayang asal Dusun Bisa ini sudah lama terkenal dan tidak asing lagi di telinga warga Wanasaba khususnya,” ujarnya.

Sebagai masyarakat yang suka Wayang, ungkapnya, sudah seharusnya diperkenalkan kepada generasi muda.

“Pemuda kita jangan hanya taunya film sinetron saja. Tapi juga harus tahu budaya dan karya zaman dahulu,” harapnya.

Pantauan di lapangan, masyarakat sangat antausias menonton latihan wayang kulit ini. Baik dari golongan tua maupun muda, yang setia menontonnya hingga selesai.

Razak




Tradisi Bebadak Pengkayak, Ungkapan Rasa Syukur Warga Desa Sapit 

Rasa  syukur kepada Sang Pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga masyarakat bisa menikmati hasil pertanian

LOMBOK TIMUR.lombokjiurnal.com — Warga Desa Sapit  di Lombok Timur hingga saat ini masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat dan budaya warisan leluhurnya, di tengah arus perubahan zaman yang semakin modern.

Budaya tersebut salah satunya adalah tradisi Bebadak Pengkayak dalam ritual Bebubus Batu. Tradisi ini dilakukan setiap tahun pasca panen hasil pertanian.

Tujuannya, yakni melaporkan hasil panen sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga masyarakat bisa menikmati hasil pertanian.

Acara tradisi Bebadak Pengkayak ini kembali digelar masyarakat, Rabu (03/10) pukul 14.00 Wita, di Dusun Batu Pandang Desa Sapit Kecamatan Suela, Lombok Timur.

Tradisi tersebut berlangsung di tempat khusus, yang dinamakan Kampu, begitu masyarakat menyebutnya.

Pantauan lombokjournal.com, ritual dipimpin oleh Pemangku, yang diiringi oleh Kiyai, Penghulu, tokoh masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat menggunakan pakaian khas Desa Sapit.

Di tempat itu sesaji pun mulai dijejerkan. Di antaranya, buah pisang dan jenis makanan tradisional lainnya.

Ada juga berupa dulang nare kayu, yakni wadah yang dihiasi beberapa jenis makanan. Kemudian warga dan tamu undangan menempati ruang kosong, duduk rapi mengelilingin sesaji.

Selain itu, dilakukan pemotongan sepasang ayam kampung oleh kiyai dan tokoh masyarakat setempat.

Selanjutnya sesaji tersebut disebar oleh pemuda setempat keempat titik yang sering disebut dengan sesampang.

“Sesampang di pasang di empat titik, yaitu di Batu pajeng, Pancoran, Batu Pangan dan di Kampu,” kata Jannatan, pemerhati budaya Desa Sapit, Rabu (03/10).

Pertama, sesampang atau sesaji ditaruh sekitar 200 meter dari kampu. Lokasi itu sering disebut dengan batu Pajeng atau Payung.

“Lokasi batu payung ini sebenarnya sejenis batu dolmen yang pada zaman megalitikum dijadikan tempat suci,” ungkap Jannatan, disela-sela acara.

Lokasi kedua ditaruh di tengah sawah, di tengah tanaman padi, sebagai bentuk simbol ritual keselamatan tanaman. Sementara sesampang terakhir, ditempatkan di depan kampu bebubus batu sebagai tugu kampung.

“Di kampu ini ada sebuah menhir, semacam tugu batu,” tuturnya.

Selang beberapa menit saat setelah sesaji disebar, diambil kembali dan kemudian disantap secara bersama-sama dari segala macam jenis makanan. Tentunya, dimulai dengan zikir yang dipimpin oleh seorang Kiyai.

Sebagai gambaran, sebelum menuju kampu, yang paling depan dan iringan langkah pertama kali dilakukan oleh pemangku adat sambil membawa bokor. Kemudian diikuti oleh barisan perempuan dan laki-laki dengan berjalan kaki.

Tak seorang pun yang boleh mendahului langkah pemangku adat sepanjang perjalanan, kecuali sesudah mencapai kampu.

Razak




Alunan Budaya Desa ke-4,  Fashion Show Kain Tenun Konsep out door Di Persawahan

Merupakan inovasi dari pemuda desa setempat, agardapat mempromosikan potensi kain tenun Pringgasela kepada masyarakat luas

SELONG.lombokjournal.com – Para pemuda di Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur akan menggelar event Alunan Budaya Desa. tahun ke empat, menyajikan fashion show khusus kain tenun

Menenun salah satu budaya yang masih lestari di Kecamatan Pringgasela. Dalam event ini menadikan fashion show khusus kain tenun ini sebagai tema besar.

”Tahun lalu kami menghadirkan setidaknya 1.350 penenun yang dapat disaksikan pada puncak acara. Tahun ini kami akan hadirkan fashion show dengan bahan utama kain tenun,” kata Panitia Alunan Budaya Desa ke empat 2018, Nifo Winona Algosyah S.Pt, Rabu (26/09).

Event ini akan diselenggarakan pada 27 Oktober hingga 3 November , dan untuk fashion show akan dilaksanakan pada 28-31 Oktober.

Ini menari, karena kali pertama fashion show akan diadakan dengan konsep out door di lahan persawahan dengan latar pemandangan Gunung Rinjani. Tema fashion show ini ialah Warna dan Irama Tenun dengan tagar An Elaborate Fashion Show Tenun.

”Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa kain tenun Pringgasela tidak hanya dibuat menjadi sarung, melainkan beragam barang jadi siap pakai. Seperti pakaian, sepatu, tas dll,” ujarnya.

Fashion show ini dapat diikuti oleh peserta dari mana saja. Dengan syarat, fashion yang akan dipertontonkan berbahan dasar tenun Pringgasela.

Ini akan dibuat seperti kompetisi kain tenun bagi desainer-desainer lokal yang berbakat. Melalui kompetisi ini peserta mampu berkreasi dan berinovasi untuk mendesain kain tenun Pringgasela tersebut menjadi sebuah karya (busana).

Sehingga tidak sebatas memiliki unsur keindahan dan komersil saja, namun juga memiliki nilai kearifan budaya lokal yang tinggi.

Ketua Panitia Alunan Budaya Desa ke empat tahun 2018  Azizan Zuhri S.P mengatakan , event ini merupakan kesempatan yang baik bagi siapa saja untuk menunjukkan kemampuannya dalam merancang desain busana berbahan kain tenun.

Kegiatan ini merupakan inovasi dari pemuda desa setempat, agardapat mempromosikan potensi kain tenun Pringgasela kepada masyarakat luas.

“Kami berharap semakin banyak yang tahu tentang Kain Tenun Pringgasela ini. Dengan demikian, budaya dan kesenian ini bisa terus lestari. Selain itu juga bisa mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain kerajinan tenun, Kecamatan Pringgasela memiliki banyak potensi destinasi wisata. Pendakian Rinjani melalui Jalur Timbanuh, arung jeram di Sungai Mencerit, Kolam Renang Putri Duyung, Air Terjun Mayung Polak, Wisata Pancor Datok dan banyak lainnya.

Meski demikian Alunan Budaya Desa ini tetap menonjolkan budaya asli masyarakat Pringgasela. Karena selain Fashion show, ada pula pagelaran musik, wayang dan tari tradisional.

Ia berharap kegiatan ini berjalan dengan baik dan mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat. Kearifan lokal tetap terjaga, anak muda semakin mencintai budayanya dan memererat tali silaturhami.

Selain itu, ia juga berharap tahun berikutnya Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Pemerintah Provinsi NTB hingga Kementerian dapat membantu mempromosikan kegiatan ini. Sehingga dapat diketahui oleh banyak orang dan wisatawan.

AYA (* ).




Pembahasan Draf Perda Hukum Adat Masih Alot

Dasar pemerintah mengusulkan Perda ini hanya mengacu pada kewenangan atribusi atau muatan lokal yang diberikan kepada daerah

Ardianto.(Foto Danu)

LOMBOKUTARA.lombokjournal.com – Pembahasan Draf Raperda Masyarakat Hukum Adat diperkirakan akan berlangsung alot. Penilaian  itu disampaikan Ketua Pansus Masyarakat Hukum Adat Lombok Utara, Ardianto.

“Ini akan berjalan alot, banyak hal yang harus dibahas. Pasalnya, tidak ada delegasi secara khusus untuk membentuk Perda masyarakat adat dari Undang-Undang yang lebih tinggi,” paparnya, dalam rapat Pansus bersama Pemerintah Daerah di ruang sidang DPRD, Senin (19/03).

Dalam Permendagri nomor 52 tahun 2014, lanjut Ardianto, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat hanya dimungkinkan melalui keputusan Bupati atau Perbub.

“Dasar pemerintah mengusulkan Perda ini hanya mengacu pada kewenangan atribusi atau muatan lokal yang diberikan kepada daerah. Meski begitu kita akan diskusikan lebih lanjut,” tegasnya.

Sementara untuk pedoman pegakuan hak-hak ulayat dalam rangka menentukan hak wilayah di daerah masing-masig, dimungkinkan melalui Perda, dasarnya Permen Agraria nomor 5 tahun 1999.

“Pasal hak ulayat yang juga tertuang dalam draf Raperda ini, tentu berbeda dengan Perda Masyarakat Hukum adat, dasarnya Permendagri Agraria itu. Ini hasil konsultasi Pansus dengan Kementrian Hukum dan Ham beberapa waktu lalu,” tukasnya.

Kepala DP2 KB-BPMD. H. Kholidi Halil, sebagai pihak peng-inisiasi Perda dalam kesempatan itu, mengatakan draf Raperda yang sudah disusulkan akan segera diuji publik.

“Terkait beberapa pasal yang dirasa tidak perlu, kita sepakat untuk dihapus,” jelas Kholidi, didampingi Kepala Dinas Pariwisata KLU, H. Muhammad, dan Kepala Bagian Hukum, Raden Eka Asmarahadi.

DNU




Diskusi Buku; Wetu Telu Maknanya Bukan ‘Tiga Waktu’ Dalam Pelaksanaan Sholat

Masih banyak yang menyangkal dan meragukan eksistensi komunitas masyarakat Adat Bayan di Lombok Utara dalam menjalankan nilai-nilai Islam

Yusuf Tantowi (kiri), Raden Sawinggih dan Masnun Tahrir

MATARAM.lombokjournal.com – Bedah buku ‘Masyarakat Adat Bayan Dalam Bingkai Islam Nusantara’ yang berlangsung di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Sabtu (30/09), menjadi dialog menarik antara akdemisi, tokoh-tokoh adat dan mahasiswa.

Dua pembicara masing-masing tokoh muda Adat Bayan, Raden Sawinggih, dan Wakil Rektor I UIN, DR Masnun Tahrir,  menjelaskan tentang kesalahpahaman dalam menilai Adat Bayan.  Sawinggih misalnya, menyinggung soal ‘Wetu Telu’ yang pemaknaannya terlanjur tergiring menjadi waktu pelaksanaan sholat dalam Islam, yang jelas bertentangan  dengan sholat lima waktu.

“Wetu Telu sering diidentikkan dengan pelaksanaan sholat orang Bayan yang hanya tiga waktu,” kata Sawinggih.

Kesalapahaman itu membuat generasi muda Bayan enggan menjalankan adat.  Sebab kesalahpahaman itu menimbulkan stigma, orang Bayan hanya menjalankan sholat tiga waktu. “Karena itu, adat wetu telu dianggap sebagai Islam sesat,” kata Sawinggih.

Menurut Koordinator Badan pekerja SOMASI NTB, Ahyar Supriyadi, pelabelan komunitas yang berbeda dalam menjalankan praktik ritual keagamaan, berawal dari tafsir yang salah. “Wetu Telu dimaknai sebagai Tiga Waktu. Tafsir itu tidak seirama dengan pemaknaan dari komunitas adat Bayan sendiri,” katanya saat menyampaikan sambutan sebelum diskusi.

Salah seorang tokoh adat Bayan, Itrawadi, yang hadir dalam bedah buku itu menjelaskan makna ‘wetu telu’.  Menurutnya, makna Wetu Telu itu merupakan pembagian wewenang atau urusan dalam sistem kemasyarakatan. Khususnnya dalam urusan agama, pemerintahan dan adat.

Ditegaskan Sawinggih, Wetu Telu itu berarti Datu Telu, yakni Datu Agama, Datu Pemerintah dan Datu Adat.

Islam Nusantara

Buku berjudul ‘Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif’, 216 hal, diterbitkan SOMASI NTB, September 2016,  ditulis oleh enam penulis secara keseluruhan merupakan ‘pembelaan’ terhadap eksistensi komunitas adat.  Secara khusus di Bayan, selama ini masih ada kalangan meragukan eksistensi mereka  dalammenjalankan nilai-nilai Islam.

Salah seorang penulis buku itu, Yusuf Tantowi mengatakan, praktik ritual adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebab penyebaran Islam di Lombok tak bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat adat.

Munculnya istilah Islam Nusantara hakekatnya memberi ruang bagi komunitas adat menyampaikan nilai dan praktik ritual keagamaan. “Istilah Islam Nusantara bukanlah istilah baru. Gus Dur pernah bicara tentang pribumisasi Islam,” kata Yusuf Tantowi yang bertindak jadi moderator dalam bedah buku tersebut.

DR Masnun Tahrir secara tegas mengungkapkan, nilai-nilai seperti dipraktikkan dalam ritual adat bisa dijadikan hukum. Sebab syariat/fiq Islam bisa didiskusikan dengan hukum yang berlaku dalam komunitas adat atau masyarakat lokal.

“Tidak ada alasan memarjinalkan adat. Sebab komunitas masyarakat adat bukanlah second class,” kata Masnun Tahrir.

KS

 

 

 

 




Merayakan Lebaran Topat, Jangan Lupa Pesan Orang Tua

Hanya mereka yang berpuasa, merasakan makna hari raya (lebaran) yakni mencapai kehidupan yang fitri. Sebulan puasa di bulan Ramadhan, akan merasakan makna Idhul Fitri. Setelah itu, sepekan berpuasa di bulan Syawal maka pada tanggal 8 Syawal kalender Hjriyah, akan menemukan kebahagiaan dalam perayaan Lebaran Topat, Minggu (2/7) mendatang.

Rame-rame bersantap ketupat di pantai (foto: IST)

MATARAM.lombokjournal.com –

Lebaran Topat mendapat tempat istimewa bagi masyarakat Sasak (Lombok). Mengapa demikian?  Masyarakat Sasak menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT (Orang tua Sasak menyebutnya Neneq Kaji Saq Kuasa).  Kemeriahan lebaran Topat hanya terjadi di Lombok.

Tentang simbol topat atau ketupat, menurut salah seorang tetua budaya Sasak, Lalu Anggawa Nuraksi,  konon para wali dulu saat berdakwah mensyiarkan agama di pelosok Lombok selalu berbekal ketupat.

Namun ada yang mengatakan, ketupat berbentuk segi empat sebagai menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal untuk mengingatkan asal muasal manusia. Ketupat segi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.

Di beberapa tempat di Lombok, orang tua atau sesepuh budaya atau adat menyebut Lebaran Idhul Fitri dan Lebaran Topat itu berpasangan. Idhul Fitri dikatakan sebagai  Lebaran Mame (laki-laki/pria), sedang Lebaran Topat disebut sebagai Lebaran Nine (wanita/perempuan).  Mungkin, yang terakir disebut lebaran Nine karena pada puasa bulan Syawal ini  para wanita berkesempatan membayar beberapa puasanya yang batal selama puasa wajib di bulan Ramadhan. Entahlah.

Mestinya, perayaan Lebaran Topat dilakukan mereka yang berpuasa Syawal, selama sepekan pascaIdhul Fitri.  Tapi tidak, semua bisa merayakannya, berkumpul bersama menyantap topat atau ketupat dengan menu khas Sasak seperti opor, urap-urap, dan panganan tradisional.

Dan secara tradisional, inti Lebaran Topat ungkapan rasa syukur yang dinyatakan dengan rasa hormatnya pada para wali penyebar Islam. Karena itu, ritual penting dalam lebaran ini adalah berziarah ke makam-makan keramat, atau kubur orang-orang suci yang berjasa mensyiarkan Islam sehingga masyarakat Lombok dikaruniahi keimanan dalam Islam.

Dan disitulah tampak nilai budaya atau kultural Lebaran Topat, sebagai ekspresi keislaman masyarakat Sasak. Di Kota Mataram, makam-makam yang biasa diziarahi masyarakat, yaitu Makam Bintaro di Ampenan, Makam Loang Baloq di Tanjung Karang, atau Makam Batu Layar (Lombok Barat).

Tiap Lebaran Ketupat, Makam Loang Baloq yang berseberangan jalan dengan Pantai Tanjung Karang, Mapak, sejak pagi penuh sesak oleh para peziarah dari berbagai tempat.  Para peziarah itu berdoa, berebutan mencuci muka dan kepala dengan air di atas makam yang dianggap keramat. Demikian pula yang terjadi di Makam Bintaro dan di Batu Layar.

Di tempat lain, seperti di Lombok Tengah, masyarakat merayakannya dengan berziarah ke makam-makam keramat, yakni peristirahatan terakhir para wali yang berjasa berdakwah dan mensyiarkan Islam.

Ritual Pariwisata

Aspek sosial perayaan Lebaran Topat adalah rekreasi bersama keluarga dan handai taulan ke tempat atau obyek wisata. Tempat favorit adalah pantai. Tak heran kalau saat Lebaran Topat, pantai tertentu menjadi ramai pengunjung. Mereka bergerombol membawa bekal ketupat dan penganan tradisional lainnya untuk bersantap bersama-sama.

Pantai Senggigi di Lombok Barat termasuk paling favorit didatangi muda mudi, baik yang datang serndiri maupun bersama pasangannya. Polisi akan sibuk mengatur lalu lintas kendaraan yang datang maupun meninggalkan Senggigi..

Selain itu, seiring gencarnya promosi Lombok sebagai destinasi wisata, maka Lebaran Topat pun dijadikan salah satu event wisata untuk menarik kunjungan wisatawan.  “Nuansa pariwisatanya lebih menonjol dari nuansa budaya maupun agamanya,” kata Anggawa.

Lebaran Topat sudah menjadi produk wisata. Pelaksanaan Lebaran Topat terkesan kehilangan roh budaya maupun religinya.

Tapi bagaimana pun, waktu terus berjalan dan berubah. Semula perayaan Lebaran Topat diisi dengan mengunjungi makam-makam para tokoh agama dan penyebar agama Islam di Lombok. Orang tua di Lombok dulu mengunjungi makam-makam para wali, tokoh penyebar agama Islam seperti makam Bintaro, makam Nyatuq, makam Selaparang dan lainnya.

Bolehlah muda mudi bergembira. Bolehlah pemerintah atau pelaku pariwisata mennjadikan Lebaran Topat sebagai produk wisata. Tapi ingat pesan orang tua, Lebaran Topat sesungguhnya momentum menumbuh suburkan syiar agama. Agama itu menyempurnakan tradisi. Bagi masyarakat sasak, tradisi mencerminkan nilai-nilai kebajikan agama.

Kata orang tua, Lebaran Topat dijadikan saat introspeksi mengenal kembali jati dirinya, seperti halnya seseorang yang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Dendek ipuh panthok gong (tak usah segan memukul/membunyikan gong),”  kata pepatah Sasak yang mengingatkan manusia agar mengoreksi diri.

Rr




“Gema Takbir Malam 1000 Cahaya”, Takbir Keliling Peserta Terbanyak di Indonesia

Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi, Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin dan Wali Kota Mataram Ahyar Abduh bersama-sama memukul gendang beleq dan mengumandangkan lantunan takbir,  setelah takbiran di Mataram tercatat rekor MURI sebagai takbir keliling dengan peserta terbanyak di Indonesia.

Wakil Gubernur NTB, H Muhammad Amin, Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi, Walikota Mataram, H Ahyar Abduh dan Kapolres Mataram jelang pawai takbiran di Kantor Gubernur NTB, Sabtu (24/6) malam. (foto: IST)

MATARAM.lombokjournal.com – Perwakilan Museum Rekor Indonesia (MURI), Awan Rahargo yang menyaksikan takbiran di Kota Mataram menaksir, lebih 29 ribu orang yang mengikuti takbir keliling Kota Mataram. Dengan peserta sebanyak itu, takbiran di mataram berhasil memecahkan rekor MURI.

“Gema Takbir Malam 1.000 Cahaya berhasil catatkan pemecahan rekor MURI,” jelas Awan saat pembukaan Gema Takbir Malam 1.000 Cahaya di depan Kantor Gubernur NTB, Sabtu (24/6) malam.

Dengan jumlah sebanyak itu, peserta takbiran keliling di Kota Mataram mencapai lebih dua kali dari target panitia sejumlah 13 ribu peserta. Sebelumnya, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Kota Mataram yang menjadi Panitia Takbiran Kota Mataram, menargetkan 13 ribu peserta untuk memecahkan rekor MURI.

Jumlah peserta itu berdasarkan taksiran, pawai takbiran 1 Syawal tahun 1438 Hijriah diikuti 65 kafilah, dengan target satu kafilah sekitar 200 orang.  Pesertanya berasal seluruh lingkungan dari 6 Kecamatan Kota Mataram.

Memang takbiran di Mataram tahun ini dengan tema ‘gema Takbir Malam 1.000 Cahaya’ lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya.  Malam takbiran yang dimasukkan rangkaian Pesona Khazanah Ramadan 2017 itu,  finish di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center NTB.  Peserta diterima Wakil Gubernur NTB bersama Wakil Wali Kota Mataram.

Penyelenggaraan takbiran tahun ini merupakan pawai bersama oleh Pemprov NTB dan Pemkot Mataram. Kalau sebelumnya, biasanya pelepasan pawai dilakukan di lapangan umum Sangkareang atau depan Pendopo Kantor Walikota Mataram, kini pelepasannya pindah di Kantor Gubernur NTB.

Selain takbiran bersama, Pemprov NTB juga menjadwalkan kegiatan salat Idul Fitri 1438 Hijriah bersama di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center. Tidak ada lagi salat Idul Fitri di halaman Kantor Gubernur, di Tugu Bumi Gora atau di Lombok Epicentrum Mall, tapi disatukan di Islamic Center.

Halaman Islamic Center NTB bisa menampung  sekitar 10.000 orang warga Mataram yang hendak menunaikan salat Idul Fitri.

Rr




Mujitahid, “Masyarakat Selain Memakmurkan Masjid Juga Dimakmurkan Masjid.”

Sangkep Beleq merupakan terobosan pemberdayaan Masyakat Adat Sasak (MAS) berbasis masjid. Diperlukan terobosan agar masjid juga menjadi pusat aktivitas ekonomi

LOMBOK TIMUR.lombokjournal.com — Pemucuk (sesepuh Majelis Adat Sasak) H.L Mujitahid mengatakan, Sangkep Beleq  mengharapkan, perlu inovasi agar masjid tidak semata-mata menjadi tempat iibadah.

“Perlu ada terobosan-terobosan inovatif untuk menjadikan masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat aktifitas ekonomi,” kata Mujitahid di tengah-tengah berlangsungnya Sangkep Beleq IV, Majelis Adat Sasak (MAS) di Sembalun, Lombok Timur, Jum’at (19/05) malam.

Mantan Bupati Lombok Barat itu berharap, masyarakat muslim selain memakmurkan masjid juga dimakmurkan masjid.

Sebelumnya, Ketua Harian MAS, L. Bayu Widia dalam laporannya mengatakan Sembalun dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Sangkep Beleq sebagai hadiah.

Dipilihnya Sembalun sebagai lokasi sangkep, karena dinilai mampu melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi kearifan lokal, sehingga berhasil meraih prestasi dunia sebagai the best honeymoon halal tourist destination.

Kegiatan Didalam forum Sangkep adat ini dibahas pandangan kearifan lokal mengatasi permasalah  berbagai isu pembangunan terkini.

Hadir dalam acara tersebut selain tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, budayawan juga pelaku usaha wisata dari luar NTB.

AYA




Keunikan “Tradisi Tarung” Peresean

Wagub NTB, Muh Amin menghimbau kepada para pepadu se-Pulau Lombok segera membentuk forum organisasi sebagai wadah mengekspresikan hobi menjadi petarung Peresean

MATARAM.lombokjournal.com – Peresean merupakan olahraga tradisi yang menjadi kebanggaan warga NTB, sehingga perlu dilestarikan. Masyarakat yang menjadi lini terdepan melestarikan budaya tersebut.

“Ketika masyarakat sudah tidak mau perduli lagi untuk menjaga kelestarian budaya, maka budaya itu akan tercabut dari akar rumput atau hilang dan tinggal sejarah saja,” ungkap Wakil Gubernur NTB, H. Muh. Amin,SH.M.Si saat membuka Tarung Pepadu se Nusa Tenggara Barat (NTB) di Desa Parampuan, Kabupaten Lombok Barat, Senin (17/4).

Tradisi Peresean bagian dari kekayaan budaya yang unik. NTB selain sumber daya alam yang mempesona, juga memiliki daya pikat seni budaya dan tradisi. Ragam kekayaan itu menambah sempurnanya keindahan dan  keragaman wisata di Pulau Seribu Masjid.

Wagub berharap, tradisi Peresean harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai budaya yang sudah dikenal sebagai olah raga tradisional khas suku Sasak ini tercabut dari akar rumput.

“Mari kita kenalkan kepada generasi muda, olah raga yang keras namun penuh dengan nilai persahabatan,” ujar pria kelahiran Sumbawa itu.

Wagub berharap melalui sebuah wadah yakni Federasi Olah Raga Rekreasi Masyarat Indonesia (FORMI), Kabupaten Lombok Barat mampu berkiprah dalam melestarikan olah raga di tengah-tengah masyarakat.

Ditegaskannya, pemerintah daerah mendukung penuh kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian budaya untuk kesejahteraan masyarakat.

Rr