Mujitahid, “Masyarakat Selain Memakmurkan Masjid Juga Dimakmurkan Masjid.”
Sangkep Beleq merupakan terobosan pemberdayaan Masyakat Adat Sasak (MAS) berbasis masjid. Diperlukan terobosan agar masjid juga menjadi pusat aktivitas ekonomi
LOMBOK TIMUR.lombokjournal.com — Pemucuk (sesepuh Majelis Adat Sasak) H.L Mujitahid mengatakan, Sangkep Beleq mengharapkan, perlu inovasi agar masjid tidak semata-mata menjadi tempat iibadah.
“Perlu ada terobosan-terobosan inovatif untuk menjadikan masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat aktifitas ekonomi,” kata Mujitahid di tengah-tengah berlangsungnya Sangkep Beleq IV, Majelis Adat Sasak (MAS) di Sembalun, Lombok Timur, Jum’at (19/05) malam.
Mantan Bupati Lombok Barat itu berharap, masyarakat muslim selain memakmurkan masjid juga dimakmurkan masjid.
Sebelumnya, Ketua Harian MAS, L. Bayu Widia dalam laporannya mengatakan Sembalun dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Sangkep Beleq sebagai hadiah.
Dipilihnya Sembalun sebagai lokasi sangkep, karena dinilai mampu melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi kearifan lokal, sehingga berhasil meraih prestasi dunia sebagai the best honeymoon halal tourist destination.
Kegiatan Didalam forum Sangkep adat ini dibahas pandangan kearifan lokal mengatasi permasalah berbagai isu pembangunan terkini.
Hadir dalam acara tersebut selain tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, budayawan juga pelaku usaha wisata dari luar NTB.
AYA
Keunikan “Tradisi Tarung” Peresean
Wagub NTB, Muh Amin menghimbau kepada para pepadu se-Pulau Lombok segera membentuk forum organisasi sebagai wadah mengekspresikan hobi menjadi petarung Peresean
MATARAM.lombokjournal.com – Peresean merupakan olahraga tradisi yang menjadi kebanggaan warga NTB, sehingga perlu dilestarikan. Masyarakat yang menjadi lini terdepan melestarikan budaya tersebut.
“Ketika masyarakat sudah tidak mau perduli lagi untuk menjaga kelestarian budaya, maka budaya itu akan tercabut dari akar rumput atau hilang dan tinggal sejarah saja,” ungkap Wakil Gubernur NTB, H. Muh. Amin,SH.M.Si saat membuka Tarung Pepadu se Nusa Tenggara Barat (NTB) di Desa Parampuan, Kabupaten Lombok Barat, Senin (17/4).
Tradisi Peresean bagian dari kekayaan budaya yang unik. NTB selain sumber daya alam yang mempesona, juga memiliki daya pikat seni budaya dan tradisi. Ragam kekayaan itu menambah sempurnanya keindahan dan keragaman wisata di Pulau Seribu Masjid.
Wagub berharap, tradisi Peresean harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai budaya yang sudah dikenal sebagai olah raga tradisional khas suku Sasak ini tercabut dari akar rumput.
“Mari kita kenalkan kepada generasi muda, olah raga yang keras namun penuh dengan nilai persahabatan,” ujar pria kelahiran Sumbawa itu.
Wagub berharap melalui sebuah wadah yakni Federasi Olah Raga Rekreasi Masyarat Indonesia (FORMI), Kabupaten Lombok Barat mampu berkiprah dalam melestarikan olah raga di tengah-tengah masyarakat.
Ditegaskannya, pemerintah daerah mendukung penuh kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian budaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Rr
Pawai Ogoh-Ogoh Dilepas Walikota Mataram
Walikota Mataram, TGH Ahyar Abduh, melepas pawai ogoh-ogoh dalam parade ogoh-ogoh, Senin siang (27/3) di Kota Mataram.
MATARAM.lombokjournal.com — Selain memperkuat silahturahmi antar umat beragama di Kota Mataram, pawai ogoh-ogoh yang sudah rutin terselenggara sejak belasan tahun lalu, saat ini juga menjadi daya tarik wisata tersendiri.
“Ini menjadi ajang silahturahmi masyarakat Kota Mataram, dan NTB secara umum, apapun latar belakang agamanya. Toleransi dan
semangat kebersamaan ini membuktikan bahwa warga Kota Mataram yang heterogen bisa saling menghargai dan hidup rukun berdampingan antar agama, antar etnis,” kata Ahyar Abduh, saat membuka pawai ogoh-ogoh.
Ahyar mengatakan, seperti tahun sebelumnya, perayaan hari raya Nyepi dan tahun baru Saka 1939, yang jatuh pada Selasa (28/3) di Kota Mataram diharapkan berjalan dengan penuh kedamaian.
“Bagi umat hindu selamat merayakan Nyepi, dan umat lainnya marilah kita ikut menghargai. Sebab sejak dulu pemerintah Kota Mataram sangat mendukung dan respek terhadap perayaan dan hari-hari besar setiap agama,”katanya.
Seremoni pelepasan ogoh-ogoh, Senin (27/3) dilakukan di depan kantor Lurah Cakranegara, Kota Mataram, dihadiri Ketua Pengurus Krama Pura Meru Cakranegara, jajaran PHDI NTB, dan sejumlah pejabat Kota Mataram.
Ratusan ogoh-ogoh melintasi jalur sepanjang 4 Km di jalan Pejanggik hingga jalan Selaparang, yang juga merupakan jalur utama pusat pertokoan di Kota Mataram.
Ribuan penonton memadati sepanjang jalur itu. Para penonton datang dari Kota Mataram, Lombok Tengah dan Lombok Barat, dan juga ada wisatawan domestik dan mancanegara.
Ketua Panitia Ogoh-Ogoh Mataram, Anak Agung Made Jelantik mengatakan, sedikitnya 150 ogoh-ogoh ikut tampil dalam pawai tahun ini. Ini meningkat dibangding tahun lalu yang hanya 125 ogoh-ogoh.
“Dari segi jumlah dan bentuknya, ada peningkatan tahun ini. Kita lihat penonton dan wisatawan yang melihat juga lebih banyak,” kata Anak Agung.
Menurut dia, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, konsep bahan membuat ogoh-ogoh mulai tahun ini juga menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan.
Sementara itu, Ketua Majelis Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Provinsi NTB, I Gede Mandra menjelaskan, pawai ogoh-ogoh merupakan rangkaian kegiatan umat Hindu dalam menyembut hari raya Nyepi dan Tahun Baru 1939 Saka.
“Ogoh-ogoh ini merupakan bagian upacaraTawur Kesanga, untuk menyelaraskan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan yang maha kuasa,” katanya.
Dijelaskan, ogoh-ogoh dengan bentuk raksasa atau merupakan simbol “Buta Kala” yang melambangkan ketidakselarasan antara makro kosmos atau alam dengan mikro kosmos atau manusia dan mahluk hidup lainnya. Setelah diarak dalam pawai, ogoh-ogoh akan dimusnahkan di masing-masing pura lingkungan di Kota Mataram.
“Ketidakselarasan ini yang harus kembali diseimbangkan. Ogoh-ogoh yang
melambangkan sifat buruk manusia, selanjutnya akan dilebur dalam upacara Tawur Agung sebelum pelaksaan Nyepi. Ini sebagai bentuk kesyukuran umat pada Tuhan, bahwasanya kita masih diberi kesempatan memperbaiki diri,”katanya.
Ia menjelaskan, pada Selasa (28/3) atau puncak hari raya Nyepi, umat Hindu akan melaksanakan Catur Brata yakni Amati Geni (Tidak Menyalakan Api), Amati Karya (Tidak bekerja), Amati Lelungan (Tidak Bepergian),dan Amati Lelanguan (Tidak bersenang-senang).
“Pada saat Nyepi, umat bisa melakukan introspeksi dengan bermeditasi agar ke depan menjadi lebih baik lagi,”katanya.
GRA
Festival Rakyat Bangsal Menggawe, 11 Seniman Berkarya Bersama Masyarakat
BANGSAL MENGGAWE, salah satu program utama Komunitas Pasir Putih (Yayasan Pasir Putih) yang digagas sebagai acara tahunan sejak tahun 2016, menjadi sarana warga masyarakat di Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, menyalurkan ekspresi kulturalnya dalam bentuk Pesta Rakyat.
LOMBOK UTARA — lombokjournal.com
Bangsal Menggawe tahun 2017 akan di selenggarakan di Pelabuhan Bangsal, tanggal 2 April, di Pelabuhan Bangsal mengangkat tema Siq-Siq O Bungkuk. Tema ini di angkat untuk meningkatkan toleransi dan kebersamaan antar warga Pemenang yang memiliki 3 kepercayaan; Islam, Hindu dan Budha.
Dalam siaran pers Yayasan Pasir Putih yang diterima Lombok Journaldijelaskan, Pelabuhan Bangsal dipilih sebagai latar kegiatan karena pelabuhan tersebut menghubungkan narasi dan memori kolektif warga tentang kultur kehidupanya di Pemenang.
Ada banyak kegiatan dari komunitas-komunitas lokal yang masih hidup hingga sekarang di Pemenang, dan semuanya bermula di Pelabuhan Bangsal. Meskipun digagas oleh Komunitas Pasir Putih, namun Bangsal Menggawe atau Pesta Rakyat Bangsal Menggawe merupakan milik seluruh warga dan penduduk yang ada di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Komunitas Pasir Putih bekerjasama dengan berbagai komunitas lokal lainnya yang ada di Pemenang, serta dengan berbagai lembaga pemerintahan daerah, menjadi fasilitator demi terselenggaranya pesta rakyat tahunan tersebut.
Bangsal Menggawe tahun ini mengundang 11 seniman untuk residensi selama 1 bulan. YakniHaji Muzahar (pelukis), Zakaria (PenariRudat), Ryan Riyadia ka The Popo (senimanjalanan/street artist), Serrum (perupa), Hamdani (Seniman Video), NiaAgustina (Penari), Fatih Kudus Jaelani (Penulis), Irawita (Aktor), Daniel Emet (Street Artist), Citra Sasmita (Pelukis).
11 seniman tersebut akan berkolaborasi membuat karya seni dengan warga Pemenang.
Semua seniman dengan warga sudah mulai menggarap karya mereka seperti Irawita menggali potensi perempuan lewat teater pemberdayaan, citra Sasmita meningkatkan peran perempuan dalam masyarakat dengan membuka kelas kursus bahasa inggris dan karya wayang Kasunda.
Ada yang menarik bagi wisatawan, yaitu Daniel Emet. Ia menyedot perhatian wisatawan menggunakan cidomo melalui lomba cidomoh hias. Sedang penyair muda Fatih Kudus Jaelani, melakukan deklarasi Persatuan Pemuda Pemenang melalui buku pemuda Pemenang dan instalasi bola harapan. Tak ketinggalan tokoh seniman Pemenang, Zakaria dengan Tari Rudat masal bersama warga Pemenang.
Demikian pula Hamdani memetakkan potensi warga Pemenang dengan Karyanya 30 hari Pemenang di dalam bingkai kamera. Seorang penari, Nia Agustina melakukan kolaborasi tarian tiga agama. Haji Muzahar dengan lukisan yang mengilustrasikan Siq-Siq o Bungkuk sebagai rasa toleransi dan kebersamaan masyarakat Pemenang. Ryan Ryadi dengan street art bersama warga dan Serrum dengan projek pasar Ilmu melalui FGD (Focus Group Discussion).
Karya seni tersebut akan dipertunjukkan/dipamerkan pada hari puncak Bangsal Menggawe tahun ini.
Ka-eS
Montong Gedeng (Gunung Kayangan) Dulu Tempat Pemujaan Adat
LOMBOK UTARA — lombokjurnal.com
Kabupaten Lombok Utara memiliki tradisi lama yang kuat dipegang masyarakatnnya hingga kini. Sebut saja Montong Gedeng, Desa Sesait Kecamatan Kayangan, dulu jadi lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh masyarakat. Meski kini keadaannya hanya bukit yang sepi dan ditumbuhi tanaman liar yang mongering, pernah jadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat di sekitar Kayangan.
Nilai-nilai peninggalan nenek moyang berupa ritual adat, hingga kini masih dijalani masyarakat Lombok Utara. Seperti ritual ‘buka tanah’ yaitu sebelum mulai membuka areal tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet (baca: gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Menjelang musim tanam masyarakat Wet Sesait selalu menggelar perayaan adat yang jatuh pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara turun-temurun oleh masyarakat adat Wet Sesait dan dikenal dengan Perayaan Adat Taiq Daya dan Taiq Lauq.
Taiq Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan ritualnya.
Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.
Dikatakan, kebiasaan para sesepuh Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu dimulainya musim pola tanam.
Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.
Djekat menambahkan, kegiatan ritual adat yang digelar setiap bulan lima tiap tahun tersebut adalah sebagai bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1966 ritual adat ini hilang atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu terjadi perombakan ajaran Islam dari ‘wettu telu’ ke ajaran Islam waktu lima.
Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 50 tahun silam ritual Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,” jelasnya.
Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun sebelum tahun 1965, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.
Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya (terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”) itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq (para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15 grup.
Praktis sejak tahun 1966 acara pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan nama Desa Kayangan saat ini.