“Hidup itu memang harus dari bawah. Karena hidup itu butuh proses,” kata Iman, mengawali perbincangan, Sabtu (04/02/23) malam.
Menjelang pergantian hari, Imam baru sampai di rumahnya di Kelurahan Dara, Kecamatan Rasana’E Barat, Kota Bima.
Di akhir pekan, Iman rupanya masih melakukan aktivitas yang padat. Menjawab dan membaca sejumlah pesan yang masuk di telepon genggamnya pun, secara seksama baru sempat dilakukannya saat itu.
“Kebetulan saya sedang membuka lini bisnis yang baru. Jadi butuh koordinasi intensif,” katanya.
Bekerja keras adalah habitat Imam. Sewaktu masih duduk di bangku SD pun, dia sudah terbiasa menukar waktu bermainnya, untuk memilih bekerja dan menghasilkan uang. Orang tuanya memang mendidiknya demikian.
“Saya memang dididik berbeda oleh almarhum ayah. Sejak waktu SD, saya kalau mau ada uang, maka saya harus bekerja,” kata Iman.
Pemuda 37 tahun ini, lahir dan besar di Kota Bima. Namun, ayahnya, Saripan, adalah perantau di Bima. Iman anak paling bontot dari tiga bersaudara. Saat kedua orang tuanya merantau ke Bima di era 1980-an, dua kakak Iman masih kecil-kecil.
Ayahnya tidak tamat sekolah dasar. Datang ke Bima pun untuk menjadi tukang tambal ban. Dari tambal ban, ayahnya membuka bengkel, melayani ganti dan tambah oli.
Lalu berkembang lagi dan membuka usaha vulkanisir ban, yakni usaha ban bekas yang dilapisi dengan kompon baru sehingga terlihat seperti ban baru.
Usaha yang diberi nama Ulet Jaya itu, melayani ban vulkanisir untuk truk dan kendaraan pick up.
Semenjak masih SD, Iman sudah membantu seluruh pekerjaan ayahnya. Mulai dari tambal ban, ganti dan tambah oli, hingga vulkanisir ban. Hal itu dilakukannya hingga duduk di bangku sekolah menengah atas.
Tangan dingin ayahnya, membuat Ulet Jaya semakin berkembang. Seiring perkembangan usaha itu, ekonomi keluarga Iman pun membaik. Tapi bukan berarti Imam boleh berleha-leha.
Iman ingat persis. Selepas pulang sekolah, dia sudah ada untuk bekerja di tempat usaha ayahnya, dan baru pulang pada pukul 17.00 Wita. Dia tak bermain bersama teman-temannya.
Padahal, tak berbilang, silih berganti teman sebayanya datang mengajak untuk sekadar main playstation, atau jalan-jalan naik sepeda motor berkeliling-keliling.
“Saya bahkan sampai dijauhi teman-teman. Tapi itu dulu ya, kalau sekarang tidak,” kata Iman tertawa mengenang masa itu.
Selepas menamatkan sekolah menengah, ImaN melanjutkan pendidikan tinggi di Universias Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya.
Imam mengambil jurusan ekonomi dengan konsentrasi pemasaran. Pada 2008, dia menamatkan studi, lalu kembali ke kampung halaman.
Iman lalu diberi tanggung jawab oleh ayahnya sevagai manajer di Ulet Jaya. Pelan dan pasti, usaha Ulet Jaya kian berkembang pesat. Usaha bengkel tersebut kian membesar.
Sudah ada pula usaha pengelasan dan mesin bubut. Sampai kemudian pada tahun 2014, sang ayahanda berpulang, dipanggil Yang Maha Kuasa, yang menjadikan Ulet Jaya sepenuhnya tanggung jawab Iman.
Di bawah kendali Iman, Ulet Jaya melakukan sejumlah ekspansi bisnis. Hingga kini, tercatat tak kurang dari 20 jenis lini bisnis yang dikelola Imam.
Ulet Jaya pun telah menjadi perseroan terbatas, dan menjadi perusahaan induk dari anak-anak usaha di bawahnya. Seluruh usaha itu berpusat di Kota Bima.
“Saya sudah terlalu cinta sama kampung halaman saya. Saya sudah terlalu cinta sama Kota Bima,” kata Iman soal lini bisnisnya yang seluruhnya berpusat di kota terbesar di timur NTB tersebut.
Akademi Futsal
Toh, meski memiliki pusat usaha di Kota Bima, bukan berarti Iman tak memiliki jejaring pengusaha di tingkat nasional. Usaha kacang mete milik Imam misalnya, sudah bermitra dengan pengusaha di Pulau Jawa untuk ekspor kacang mete ke berbagai negara.
Dalam waktu dekat, Imam juga akan mendirikan Akademi Futsal di Kota Bima. Akademi itu merupakan franchise V8, akademi futsal yang didirikan legenda fustal Indonesia, Vennard Hutabarat.
“Sebentar lagi sudah penandatanganan MoU,” ungkap Iman.
Baik Imam dan Vennard, keduanya adalah karib. Iman memang penggila sepakbola. Dia bahkan memiliki klub futsal dengan nama yang masyhur di Kota Bima. Klub futsal tersebut malang melintang dalam berbagai kompetisi di Bumi Gora.
Secara khusus, Imam juga membangun dua lapangan futsal di Kota Bima. Dan hingga saat ini, memasuki periode kedua, Imam masih mendapatkan kepercayaan memimpin Asosiasi Futsal Kota Bima.
Menjadi pemimpin perusahaan dan mapan di usia yang masih begitu muda, Iman mengaku semuanya tak lepas dari didikan orang tuanya. Imam mengaku, sedari kecil, ayahnya telah menanamkan kultur dan mindset entrepreneurship.
Dalam hal kultur, ayahnya mengajarkan pentingnya kerja keras, ulet, kerja cerdas, dan tuntas. Berani mengambil risiko dengan tiada henti menekankan, bahwa di balik risiko ada kesuksesan yang menunggu.
Pun begitu tentang mindset. Iman diajarkan tentang tanggung jawab. Pantang pulang sebelum masalah diselesaikan. Diajarkan cekatan, diajarkan tentang pentingnya etos kerja.
Tidak lupa salat dan ibadah dan terus berikhtiar dan mensyukuri apa yang didapat hari ini, dan besok berusaha lebih giat lagi.
Iman bahkan menuturkan, saat ayahnya masih hidup dan dirinya menjadi manajer di Ulet Jaya, ayah tiga putra ini tak ubahnya seperti karyawan pada umumnya. Bukan petantang petenteng. Imam bekerja dan mendapat gaji seperti karyawan lainnya.
Selain itu, Iman setiap satu kali dalam sepekan, diharuskan untuk menginap di mess para pekerja. Hidup membaur bersama mereka.
Mengetahui problem harian yang mereka hadapi. Menjadi orang pertama yang mengetahui dan membantu para pekerja ketika mereka sedang sakit.
Semua itu kata Iman, dilakukan ayahnya dalam mendidik dirinya, agar jika memimpin perusahaan, Imam sudah tahu apa yang akan dilakukan pada saat hendak mengambil keputusan. Tahu cara terbaik ketika hendak memberi perintah kepada karyawan.
Seluruh hal tersebut pun, hingga kini masih dipraktikkan Iman. Tentu ada modifikasi sejumlah hal. Mengingat perkembangan zaman yang sedemikian pesat, mengharuskan sejumlah hal di-update dan dilakukan dengan cara yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama.
Karena itu, sebagai owner PT Ulet Jaya, Iman yang memiliki 300 karyawan, kini selalu memastikan seluruh pekerjanya benar-benar bisa bekerja dengan suasana yang nyaman. Sehingga menjadikan mereka tetap produktif.
Bahkan kini, dua orang karyawannya, masih merupakan generasi pertama Ulet Jaya, yang bahu membahu bersama ayahanya membangun usaha.
Buat Iman, jika mereka kini masih nyaman bekerja di Ulet Jaya, bukan semata karena mereka karyawan yang loyal belaka. Namun, karena kultur kerja yang nyaman.
Dan mereka tahu, bahwa Ulet Jaya dipimpin oleh orang yang tepat, dan mampu menjadikan Ulet Jaya kian berkembang pesat.
Jumat Berkah
Sementara itu, dari seluruh hal yang ditanamkan ayahandanya, hal yang tak boleh ditawar-tawar kata Iman, adalah pentingnya berbagi kepada sesama. Begitulah cara terbaik untuk bersyukur kepada Sang Pencipta.
Itu sebabnya, Ulet Jaya kini memiliki program Jumat Berkah. Yakni sebuah program yang membantu sesama setiap hari Jumat. PT Ulet Jaya dan seluruh anak usahanya juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Misalnya berbagi sembako kepada warga yang membutuhkan. Iman juga menyiapkan bantuan untuk para penyandang disabilitas.
Bahkan, kini, Iman bekerja sama dengan
Satuan Lalu Lintas di Polres Bima Kota, menyiapkan dua lusin helm dengan standar SNI setiap dua bulan, untuk kemudian dibagi-bagikan kepada warga, sebagai kampanye pentingnya berkendara dengan aman dan nyaman serta tertib lalu lintas.
“Sudah menjadi komitmen Ulet Jaya, untuk terus melakukan kegiatan berbagi ini tanpa henti,” imbuh Iman.
Kini Iman menjadi buah bibir di Kota Bima, adalah buah dari kerja kerasnya. Pada Imam-lah, para generasi muda seharusnya menoleh. Sebab, usia muda bukanlah penghalang untuk berbuat besar bagi kemajuan daerah dan juga bagi masyarakat.***
Gubernur NTB Terima Penghargaan Tokoh Moderasi Beragama
Penanaman bunga Cempaka Harmony dilakukan Gubernur NTB, Bang Zul bersama masyarakat lintas agama
MATARAM.lombokjournal.com ~ Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi NTB memberikan penghargaan dan penobatan kepada Gubernur NTB, Zulkieflimansyah sebagai Tokoh Moderasi Beragama NTB.
Gubernur NTB mendapat penghargaan tersebut diberikan atas perhatian dan dukungannya baik moril maupun materil dalam segala bentuk kegiatan lintas agama di Nusa Tenggara Barat.
Penghargaan tersebut diberikan saat acara Gowes Harmony yang digelar FKUB NTB, Minggu (18/12/22).
Gowes yang yang dipimpin Bang Zul, juga dirangkaiakan dengan Penanaman Pohon Bunga Cempaka Harmony bersama semua lapisan masyarakat lintas agama.
Gowes sekaligus penanaman pohon tersebut dilakukam pada beberapa titik. Dimulai di Islamic Center Masjid Raya Hubbul Wathan, Gereja ST. Maria Immaculata, Pura Miru Mayura, dan Vihara Avalokitesvara.
Kegiatan tersebut diungkapkan Gubernur sebagai simbol beragamnya masyarakat dan agama yang ada di NTB.
Meski beragam, hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk hidup rukun saling mengasihi dan mencintai.
“Di NTB kita buktikan itu, toleransi dan harmoni bisa dan harus kita lakukan karena kita memang sejatinya sama dan bersaudara,” jelas Bang Zul.
Pohon bunga Cempaka Harmony sendiri ini memiliki makna ikatan yang sangat erat. Baik itu ikatan persahabatan maupun ikatan kekeluargaan.
Diharapkan dengan menanam ribuan pohon tersebut tak hanya dapat membuat Nusa Tenggara Barat semakin asri dan Lestari, tetapi juga masyarakatnya yang beragam dapat memiliki ikatan yang erat. ***
Tepuk Tangan untuk Sang Doktor Hj. Siti Maryam Salahuddin
Jika ada cahaya yang terus menyala sepanjang bumi berputar, ialah Matahari, dan DR. Hj. Siti Maryam Salahuddin salah satu matahari yang perlu disambut tepuk tangan gemuruh
lombokjournal.com ~ Kalimat ini saya dedikasikan untuk mengenang mendiang DR. Hj. Siti Maryam Salahuddin yang wafat pada 18 Maret 2017 dalam usia 90 tahun.
Ia memang telah pergi menghadap Sang Khalik, namun semangat dan dedikasinya yang tinggi bagi daerah dan bangsanya adalah spirit yang selamanya akan hidup dan menjadi teladan bagi generasi bangsa ini.
Sebab, nyaris seluruh usianya, merupakan pengabdian tanpa pamrih. Tangan, mata, telinga, hati dan pikiran Siti Maryam tak pernah berhenti. Ia terus bekerja, belajar, meneliti dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, hingga menjelang akhir hayatnya.
Saya merasa sangat beruntung bisa mendapat banyak kesempatan mengobrol dengannya semasa Siti Maryam hidup. Tidak kurang dari 11 tahun (2006-2017) waktu yang saya habiskan untuk mencatat segala pengalaman hidup dan pengabdian perempuan yang sangat disegani di Nusa Tenggara Barat ini, mengingat jasa-jasanya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Hari-harinya hanya berpacu dengan karya-karya yang berguna.
Tidak sedikit pun waktu yang terbuang percuma sepanjang hidupnya. Penghargaannya terhadap waktu luar biasa.. Demi Masa, waktu bagi Siti Maryam, saya kira, adalah hal yang paling istimewa baginya.
Usia sepuh dan kondisi fisiknya yang terus menua, tampaknya tidak mampu mengalahkan semangatnya dalam berkarya bagi negeri ini. Saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. DR. Moh. Mahfud MD yang berkesempatan menjadi pembicara dalam Seminar Nasional; Hukum dan Hukum Adat Dalam Ketatanegaraan RI, pada Februari 2010, menyampaikan apresiasi terhadap sosok Siti Maryam. Di hadapan peserta seminar tersebut, ia bercerita, bahwa suatu hari ia mendapat undangan dari Majelis Adat Dana Mbojo, untuk menjadi pembicara dalam seminar tersebut.
Setelah ia membaca undangan dan nama ketua majelis ini, ia pun menanyakan kepada staf MK, siapa gerangan orang yang bernama Hj. Siti Maryam Salahuddin tersebut. Dari staf MK inilah ia kemudian mendapat cerita tentang siapa dan bagaimana kiprah Siti Maryam selama ini.
”Sudah beberapa bulan terakhir, MK tidak lagi turun ke daerah di akhir pekan. Namun, karena yang mengundang Bu Maryam, maka saya pun ada di sini saat ini,” ujar Prof. Mahfud penuh empati.
Ia mengaku perlu memenuhi undangan ini, karena apresiasinya terhadap apa yang sudah dilakukan Siti Maryam bagi negeri ini meski usianya telah tua.
”Orang sesepuh Beliau masih mau memikirkan bangsa ini,” ungkapnya.
Siti Maryam Sultan Salahuddin adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara, puteri dari Sultan Muhammad Salahuddin dengan permaisuri kedua –permaisuri pertama wafat–, Siti Aisyah, yang merupakan puteri Sultan Dompu terakhir, Sultan Sirajuddin.
Dilahirkan sebagai seorang putri dari Kesultanan Bima, Siti Maryam menyimpan banyak kenangan masa kecilnya. Hidup di lingkungan istana jelas berbeda dengan rakyat biasa, namun puteri yang bergelar Ina Ka’u Mari ini tetap bersahaja.
Ia mewarisi kecintaan ayahandanya pada ilmu pengetahuan. Meski ia lahir dan hidup dalam lingkungan dan jaman yang membatasi kiprah perempuan, (dalam pembatasan yang ketat), paling sedikit ia berhasil memperjuangkan pendidikannya sendiri.
Di tengah situasi perang kemerdekaan dan kemudian terjadinya pergolakan politik yang tak menentu, sekolahnya sempat tertunda. Siti Maryam putus sekolah karena perang. Meski kecewa dengan situasi ini, semangat kebangsaan ia nyalakan.
Siti Maryam yang lahir pada tanggal 13 Juni 1927, tidak ingin berdiam diri. Sembari menanti saat yang tepat untuk bisa bersekolah kembali (menanti perang usai), ia mendirikan organisasi Rukun Wanita Bima pada tanggal 11 September 1947.
Inilah Organisasi Wanita pertama di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Organisasi ini memfasilitasi perempuan-perempuan Bima dalam bidang pendidikan agar tidak tertinggal.
Organisasi Rukun Wanita tidak hanya berada di pusat kekuasaan Bima, tapi melebarkan sayapnya dengan membentuk cabang-cabang.
Di desa-desa dibentuk pengurus ranting karena tujuan organisasi ini untuk kegiatan pemberdayaan perempuan. Harapannya untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan wanita di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rumah tangga. Respon positif pun terus mengalir termasuk dari para wanita Arab, Melayu dan Cina yang merespon baik organisasi Rukun Wanita.
Kegiatan Rukun Wanita memfokuskan kegiatannya pada peningkatan kapasitas dan kualitas perempuan Bima, misalnya bidang pendidikan/keterampilan dengan melakukan usaha Pemberantasan Buta Huruf (PBH) bagi ibu-ibu, sekaligus membuka kursus menyulam, menjahit dan memasak. Siti Maryam dan pengurus Rukun Wanita Bima mendirikan Taman Bacaan (Taman Pustaka) yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Taman bacaan dan perpustakaan ini akhirnya menjadi cikal-bakal berdirinya Taman Perpustakaan Tingkat B Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bima. Untuk menumbuhkan kepercayaan diri perempuan Bima serta memiliki wawasan yang luas, diberikan keterampilan berpidato dan berdiskusi bagi para remaja puteri.
Rukun Wanita sejak awal juga sangat memperhatikan kemajuan seni dan budaya Bima.
Selain itu, di masa yang sama, kepeduliannya pada kesehatan kaum perempuan terlihat ketika ia juga mendirikan Biro Konsultasi Kehamilan dan Klinik Bersalin di lingkungan Istana Kesultanan Bima di masa itu.
Ia menilai wanita Bima juga masih belum maju di bidang kesehatan. Tingkat kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi menjadi perhatiannya. Ia melihat belum adanya tenaga medis di Bima, menjadi salah satu penyebabnya.
Saat melahirkan, wanita Bima tidak dibantu oleh tenaga medis, melainkan melahirkan di dukun beranak yang sudah ada secara turun-temurun. Pola asuh dan kebersihan serta pengetahuan ibu-ibu hamil yang dinilainya masih sangat terbatas merupakan sebab lainnya. Kondisi ini membuatnya harus mengambil sikap untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak di Bima yang cukup memprihatinkan tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut, muncullah gagasan darinya untuk mendirikan Rumah Bersalin pada tahun 1948. Selain pendirian rumah bersalin ia juga mendirikan Biro Konsultasi Kehamilan yang ditangani langsung oleh seorang dokter. Wadah ini dimaksudkan untuk membantu ibu-ibu hamil agar dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Sehat baik secara fisik maupun sehat secara sosial kemasyarakatan.
Program ini juga sekaligus mendorong dan membimbing masyarakat untuk berperilaku sehat.
Berdirinya Biro Konsultasi Kehamilan ini berangkat dari keprihatinannya, karena umumnya kehamilan wanita yang tidak pernah diperiksakan bisa meningkatkan angka kematian bagi ibu dan bayi. Siti Maryam meminta kepada Sultan agar diberikan sebuah rumah kosong di belakang istana untuk dijadikan Rumah Bersalin dan Biro Konsultasi Kehamilan.
Dan ia bertindak sebagai salah seorang konsultannya. Dengan banyak bacaan dan referensi yang pernah dibacanya, ia tidak mengalami kesulitan untuk itu. Dan atas inisiatifnya, biro ini mendatangkan dokter, bidan dan mantri sebagai tenaga medis dan juga melatih beberapa wanita yang mau dan bisa menjalankan aktivitas Rumah Bersalin dan Biro Konsultasi Kehamilan.
Bekerjasama dengan Pemerintah Pulau Sumbawa, biro ini mendatangkan dokter pertama di Bima bernama Dokter Nurija dari Bali. Selama sekitar dua tahun dokter ini menjalankan tugasnya membantu ibu-ibu hamil bersama dengan Siti Maryam dan rekan-rekannya. Peningkatan kesehatan ibu hamil mulai tampak.
Wanita Bima mulai menunjukkan kepedulian lebih pada kehamilannya yang diperiksakan secara rutin. Biro Konsultasi Kehamilan banyak didatangi wanita hamil yang mendiskusikan masalah kehamilannya. Biro ini kelihatan sangat hidup. Rumah Bersalin juga mendapatkan pasien yang cukup banyak. Wanita Bima mulai menyadari arti pentingnya kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis untuk menghindari kematian ibu dan anak.
Meski hari-harinya dipenuhi banyak kesibukan, tak membuat Siti Maryam lupa akan sekolahnya. Malah kerap ia melamun, kapan gerangan kata ”setuju” itu diberikan padanya. Orang tuanya memang melarangnya pergi jauh karena khawatir dengan situasi yang belum menentu kala itu.
Ia berfikir, kalau saja ia terus di Bima, memang banyak yang bisa diperbuatnya setidaknya bagi para wanita, akan tetapi pengetahuannya tidak akan bertambah. Jika melanjutkan sekolah ia akan lebih mudah berhasil, dan makin banyak yang bisa diperbuatnya.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Restu dari orang tuanya untuk kembali melanjutkan sekolah itu akhirnya didapatnya atas kebaikan hati seorang presiden.
Ia mengingat dengan jelas, pada tahun 1949, Presiden RI, Soekarno, berkunjung ke Bima. Hiruk-pikuk penyambutan Sang Presiden masih jelas diingatnya. Rakyat Bima berkumpul di sepanjang jalan menyaksikan iring-iringan pasukan berkuda dan kendaraan lain yang mengantar presiden menuju Istana Kesultanan Bima. Pada kesempatan pertama Siti Maryam dan seluruh saudaranya berkumpul menyambut Bung Karno.
Obrolan santai antara Bung Karno dan keluarga Sultan rupanya menjadi pembuka jalan bagi Siti Maryam untuk mengutarakan keinginannya melanjutkan sekolah. Ia menanti betul saat-saat Sang Putera Sang Fajar ini mengalihkan pembicaraan pada masalah sekolah. Tunggu punya tunggu, akhirnya pertanyaan pertama Bung Karno pada keluarga Sultan adalah anugerah yang tengah dinanti Siti Maryam.
“Apakah anak-anak ini masih bersekolah?” tanya Bung Karno sambil menatap Siti Maryam dan pertanyaan itu sekaligus mengarah pada Ayahandanya. Pertanyaan ini membuatnya melonjak kegirangan dan ia sigap langsung menjawab.
“Tidak lagi,” jawabnya.
Presiden Soekarno kembali bertanya, ”Kenapa?”
Spontan Siti Maryam menjawab dengan lugas.
“Karena anak perempuan tidak boleh bersekolah lagi kalau sudah dewasa,” ujar Siti Maryam kepada Presiden.
“Siapa yang paling keras menentang agar kalian tidak bersekolah,” lanjut Bung Karno.
Siti Maryam pun berbisik.
“Ibu,” katanya. Waktu itu orang tuanya langsung diceramahi soal pentingnya sekolah oleh Bung Karno.
Siti Maryam tentu saja girang meski menerima kerlingan tidak menyenangkan dari ibunya. Pembicaraan setengah berbisik itu pun berlanjut. Antusiasme Siti Maryam pada pendidikan inilah yang tampaknya membuat Bung Karno memperhatikan Siti Maryam lebih dari yang lainnya. Sehingga Sang Presiden sempat berdialog khusus dengan Siti Maryam waktu itu.
“Nduk (panggilan anak perempuan dalam bahasa Jawa), nanti sore Bapak mau pidato di depan umum, Bapak sebaiknya ngomong apa?” tanya Bung Karno pada Siti Maryam.
“Anak-anak perempuan jangan dipingit, anak-anak perempuan jangan dilarang bersekolah,” jawab Siti Maryam mantap.
Alhasil, isi pidato Bung Karno sore itu antara lain adalah ”untuk mencapai kemajuan Bangsa, putera dan puteri Indonesia perlu berpendidikan tinggi, dan anak-anak perempuan jangan dipingit.”
Siti Maryam mengingat benar kalimat Bung Karno ini. Gemuruh bangga di dada Siti Maryam, karena bahagia. Jalan sekolah telah terbuka baginya.
Siti Maryam yang semula menggebu-gebu melanjutkan sekolah, tiba-tiba mendapat tawaran bekerja di Departemen Luar Negeri RI. Karena yang menawari Pak Pringgodigdo (Direktur Kabinet Presiden, waktu itu), ia pun coba mengikutinya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena sekolahlah tujuan utamanya datang ke ibukota negara itu.
Siti Maryam lalu mendaftarkan diri di SMAN Budi Utomo Jakarta. Tiga tahun bersekolah di sekolah ini, Siti Maryam pun lulus dengan cemerlang. Tahun 1953 ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Siti Maryam yang percaya diri dan berani ini, bahkan menjadi salah seorang pemimpin cabang organisasi mahasiswa di Universitas Indonesia. Masa-masa kuliah mendorongnya ikut ambil bagian dan aktif dalam gerakan mahasiswa yang bernama Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) di tahun 1953-1956. Ia menjadi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) sebagai Dewan Pertimbangan merangkap Ketua Cabang Kebayoran Baru. Bersama GMD, ia dan kawan-kawannya melakukan perbaikan terhadap sistim perpeloncoan yang konyol, setelah mendengar banyaknya keluhan dari mahasiswa baru.
GMD menginginkan jangan sampai mahasiswa baru jadi bulan-bulanan seniornya. Ia sendiri saat menjadi mahasiswa baru tidak mengalami perpeloncoan mengingat hubungannya dengan para senior yang cukup dekat.
Ia juga tetap aktif mengurus organisasi wanita dengan bergabung dalam PERWARI (Persatuan Wanita RI) Cabang Kebayoran Baru. Dan Rukun Wanita yang ia tinggalkan di Bima yang telah menjadi salah satu cabang Perwari tersebut tetap berjalan baik. Segala kegiatan yang dijalankan sambil kuliah ini, tidak mengganggu aktivitas perkuliahannya. Ia kemudian menyelesaikan sarjana mudanya pada tahun 1957.
Ketika meraih gelar Sarjana Muda tersebut, ia berstatus pegawai di Kementerian Luar Negeri RI Jakarta. Sembari bekerja, ia melanjutkan kuliahnya untuk meraih sarjana penuh. Dan pada tahun 1960, Siti Maryam resmi menyandang sarjana penuh dari Fakultas Hukum dan Ilmu Pendidikan Masyarakat Universitas Indonesia.
Kelulusan angkatan ini pun dirayakan dengan wisuda resmi dengan upacara kebesarannya untuk pertama kali yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia. Beberapa angkatan yang lulus sebelumnya, tidak melaksanakan acara wisuda resmi. Dan lagi-lagi Siti Maryam bertemu dengan Bung Karno yang mewisuda angkatan ini dengan resmi.
Siti Maryam adalah warga Nusa Tenggara Barat pertama yang menjadi sarjana, di tahun 1960. Ini penting menjadi catatan keberhasilan besar Nusa Tenggara Barat, bahwa sarjana pertama yang dimilikinya adalah seorang perempuan, bernama Siti Maryam Salahuddin. Resmi menyandang gelar Sarjana Hukum, di tahun yang sama ia diangkat menjadi staf ahli Menteri Koordinator Kehakiman RI. Keberhasilannya lulus sebagai wisudawan angkatan pertama Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini seakan menjadi titik tolak emansipasi perempuan NTB.
Di tahun 1964, Siti Maryam pulang kampung ke NTB untuk berlibur. Kepulangannya kali ini bukanlah kepulangan yang biasa. Karena dari sinilah, Siti Maryam diuji kecintaannya terhadap kampung halamannya. Siti Maryam menggunakan kesempatan melepas rindu pada kampung halamannya ini untuk bertemu dengan Gubernur NTB, yang akhirnya merubah jejak karir, pengabdian dan jalan hidupnya.
Dalam masa cuti kali ini –bersama Putera Kahir (kakaknya) yang waktu itu sebagai Bupati Bima– ia diajak singgah ke Kantor Gubernur NTB untuk berkenalan dengan Gubernur R.A.A. Ruslan Cakraningrat.
Seperti diketahui, NTB adalah provinsi muda yang baru terbentuk waktu itu. Oleh pihak Departemen (waktu itu Kementerian Dalam Negeri) ia memang sempat disarankan ikut membangun NTB. Kebetulan Menteri Dalam Negeri mengetahui bahwa Siti Maryam adalah orang asli NTB.
Perkenalan dengan Gubernur NTB berjalan hangat. Mengetahui Siti Maryam adalah sosok penting yang tengah berkarir di Jakarta, gubernur lalu menawarkannya untuk ikut membantunya menata Provinsi NTB yang baru saja lahir ini. Siti Maryam sempat terdiam manakala tawaran tersebut serius disampaikan gubernur kepadanya.
Ia sempat bimbang memutuskannya. Karir yang telah dijejakinya di Jakarta memberikan peluang besar untuk bisa lebih maju, mengingat kala itu belum banyak Sarjana Hukum di Kementerian Kehakiman. Kesempatan dan peluang untuk menjadi pejabat tinggi di kementerian ini terbuka lebar bagi para ahli.
Sementara tawaran Gubernur NTB, tak kalah penting baginya. Jika ia berkarir di NTB, maka yang ia bangun adalah daerahnya sendiri. Gubernur Ruslan bersikeras memintanya kembali ke NTB. Rayuan gubernur akhirnya membuat Siti Maryam luluh juga.
Tak butuh waktu panjang untuk mengurus administrasi dan proses kepindahannya ke NTB. Saat memutuskan untuk menata karir di NTB, Siti Maryam bertekad mengabdi sepenuhnya di daerah kelahirannya. Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai Sekretaris Panitia MPRS Daerah Nusa Tenggara Barat di tahun 1964.
Sejak itu berbagai jabatan dan penghargaan disematkan di pundaknya. Karir birokrasi yang ditapakinya selama tahun 1964 hingga tahun 1987 dengan jabatan berturut-turut; sebagai Sekretaris Panitia Tetap MPRS Provinsi NTB (1964-1966), Pejabat Sementara Bupati Bima (1966), Direktur P.D. Tri Busana (1968-1969), Kepala Biro DPRD GR Provinsi NTB (1966-1968), Kepala Biro Desentralisasi dan Tata Hukum Kantor Gubernur Provinsi NTB (1969-1973), Kepala Direktorat Pemerintahan Umum (1973-1974), Asisten Administrasi dan Umum Setwilda Provinsi NTB (Asisten III) (1974-1985), Asisten Pemerintahan (Asisten I) 1985-1987.
Siti Maryam juga merangkap jabatan sebagai Dosen Tidak Tetap pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Mataram (APDN) di samping sebagai Dewan Pembina (1967-1987), Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) (1978-1983), Dosen dan Ketua Jurusan Hukum Tata Usaha Negara pada Fakultas Hukum Universitas 45 Mataram (1987-1992).
Siti Maryam aktif mengabdikan dirinya sebagai Pengurus (Ketua) Organisasi Wanita Pertiwi, Dharma Wanita Provinsi NTB, BKKNI, Palang Merah Indonesia (PMI), Penasehat DPD I Himpunan Wanita Karya NTB, 1984-1993, Penasehat DPD I MKGR, 1984-1993, Dewan Penasehat Partai Golkar 1972. Sebagai salah seorang perintis pembangunan keolahragaan di NTB, Siti Maryam mengemban tugas-tugas penting seperti menjadi Tim Manajer Cabang Atletik kontingen KONI ke Pesta Sukan Merdeka di Brunei Darussalam tahun 1985, Ketua Umum Pengda PBSI, PERWOSI, Ketua Pengda PASI NTB sampai 1992.
Ketika menjadi Asisten Gubernur di tahun 1974, ia menjadi satu-satunya Asisten Gubernur perempuan dan yang pertama di Indonesia. Siti Maryam melesat jauh dari jamannya, meninggalkan kegundahan dan kepasrahan perempuan, membuktikan bahwa kemauan keras dan cita-citalah yang akan mengubah sejarah hidup seseorang.
Karya yang merupakan warisan dari dedikasinya dalam mengabdi tanpa pamrih, meninggalkan jejak-jejak yang hingga kini masih dirasakan. Atas prakarsanya, pada tahun 1966, bandara Sultan Muhammad Salahuddin yang sebelumnya terbengkalai, ia aktifkan kembali. Ia berjuang keras agar bandara ini bisa beroperasi kembali. Cerita bermula, ketika Siti Maryam pada tahun 1964 mulai bertugas di Mataram, sering bolak-balik Bima-Mataram untuk keperluan berbagai tugas dinas.
Ketika bertugas ke Bima dan Sumbawa ia selalu menumpang kapal kecil, dari Pelabuhan Haji Lombok Timur menuju Pelabuhan Alas Sumbawa dan itu memakan waktu yang lama. Dari Mataram menuju Bima, melalui jalan darat menempuh perjalanan lebih kurang 24 jam. Setelah tiba di pelabuhan Alas ia kembali harus naik bus.
Perjalanan panjang yang sambung menyambung melewati jalanan yang rusak parah. Naik turun bus-bus kecil dari Mataram-Labuhan Haji Lombok Timur, kemudian naik kapal menuju Pelabuhan Alas Sumbawa lalu naik bus lagi menuju Bima.
Belum lagi, sebelum mencapai kapal kecil penyeberangan Labuhan Haji Lombok Timur menuju Pelabuhan Alas, harus berjalan kaki di atas tanah becek berlumpur menuju perahu baru kemudian naik ke atas kapal.
Akses menuju ke Pulau Sumbawa sangat sulit kala itu. Satu-satunya akses transportasi hanya dengan naik kapal laut dan bus dari satu tempat ke tempat lainnya. Bus yang layak juga tidak banyak kala itu, hanya satu-dua saja. Selebihnya masyarakat lebih banyak menggunakan truk terbuka atau truk modifikasi layaknya bus, namun dengan kondisi penumpang yang duduk berdesakan dan bertumpuk-tumpuk tanpa bangku-bangku. Manusia dan hasil bumi serta hewan peliharaan tidak jarang diangkut bersamaan.
Untuk memenuhi kebutuhan transportasi dari Sumbawa menuju Dompu dan Bima, masyarakat juga masih ada yang menggunakan kuda.
Mobil-mobil angkutan yang jumlahnya tidak banyak juga harus melewati jalan-jalan yang rusak dan tidak terawat. Hatta itu jalan negara. Pembangunan infrastruktur jalan di pulau ini kala itu belum tersentuh dengan serius. Jalan raya yang ada adalah jalan peninggalan Belanda.
Sebagai provinsi berusia muda, Pemerintah Daerah NTB, belum mampu sepenuhnya membenahi kebutuhan transportasi ini. Konsentrasi pembangunan masih sebatas hal-hal yang bersifat prioritas saja. Jalan berliku dan tanjakan serta turunan yang tajam de-ngan kondisi jalan yang rusak parah berkerikil itu membuat Siti Maryam mesti mencari cara untuk memajukan daerahnya.
Keadaan ini sangat menghambat tugas-tugas dinasnya, karena itu menjadi pemikiran serius. Sebenarnya bukan hanya tugas kantor dan kenyamanannya sendiri yang dipikirkannya, ia juga berpikir perkembangan masyarakat di Pulau Sumbawa. Masyarakat di Pulau Sumbawa menjadi lambat berkembang bila akses transportasi masih sulit. Setelah memikirkan hal ini dengan cermat, Siti Maryam yang baru dua tahun bertugas di NTB (tahun 1966) mengusulkan kepada Gubernur R.A.A Ruslan Cakraningrat, agar mengusahakan Bandar Udara di Bima (yang sekarang bernama Bandara Sultan Muhammad Salahuddin) bisa diaktifkan kembali.
Usulan ini disampaikan karena ia telah membaca dan mengetahui bahwa dalam Rencana Pembangunan Semesta Berencana Republik Indonesia, Kalimantan akan segera diberikan empat buah pesawat perintis untuk membuka akses transportasi antardaerah.
Karena itu diusulkannya kepada gubernur, agar NTB bisa diberikan dua pesawat serupa untuk membuka akses transportasi ke Pulau Sumbawa. Usulan ini bukannya tanpa alasan mengingat di Bima telah ada lapangan udara.
Rupanya usulannya diterima baik oleh gubernur, yang kemudian membuat surat pengantar yang harus dibawanya ke Jakarta di Kantor Pusat Merpati yang saat itu baru beroperasi. Kebetulan saat itu ada pesawat yang mendarat di Mataram dan ia ikut penerbangan menuju Jakarta, membawa harapan melalui surat gubernur di genggamannya.
Pesawat yang ditumpanginya adalah pesawat kecil jenis capung yang isinya hanya tiga orang; Pilot, Co Pilot dan Siti Maryam.
“Untuk masuk ke dalam pesawat, melewati sayap karena tidak punya tangga,” ujarnya.
Sesampai di Kantor Merpati Airlines Jakarta, dengan percaya diri ia melangkahkan kaki menuju Kantor Besar Merpati.
Kebetulan salah seorang Direktur Merpati, yaitu Direktur Komersilnya adalah kawannya. Berbekal surat dari Gubernur NTB, dengan sigap ia pun melobi Merpati agar mau membuka akses NTB dengan satu atau dua pesawat.
Rupanya gayung bersambut, pihak Merpati bergerak sangat cepat dan langsung melakukan survey ke Bima NTB. Akhirnya Merpati menyetujui dengan memberikan dua pesawat jenis Porter Pilatus kecil berisi enam penumpang, rute Mataram-Bima pulang pergi.
Untuk itu, serta-merta lapangan udara harus disiapkan. Maka, Siti Maryam yang waktu itu masih bertugas di Bima mengerahkan 10.000 tenaga kerja masyarakat dari tiga Kecamatan sekitar bandara yakni Kecamatan Belo, Kecamatan Woha dan Kecamatan Monta untuk bergotong-royong membersihkan dan meratakan lapangan terbang bekas peninggalan Jepang yang dulu bernama Pali Belo (sekarang bernama Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin). Dalam waktu beberapa hari saja, lapangan terbang ini sudah bersih dan siap didarati.
Waktu itu Merpati belum mempunyai banyak pilot yang bisa ditugaskan di NTB. Karenanya pilotnya diambil dari Angkatan Laut yang bekerja secara sukarela. Pihak Merpati menitipkan pesan, agar melayani segala kebutuhan pilot tersebut dengan baik karena mereka bekerja sukarela.
“Senangkan hati mereka dan berikan fasilitas agar mereka mau terus terbang,” ujar pihak Merpati kala itu.
Dengan senang hati Siti Maryam pun memenuhi permintaan pihak Merpati. Baginya, tidak ada salahnya menyenangkan hati pilot tersebut, karena mereka berjasa bagi NTB.
Tugas Pemerintah Daerah terutama Pemerintah Kabupaten Bima adalah menjaga frekuensi dan fasilitas penerbangan. Sedangkan tugas Siti Maryam adalah menjaga konsistensi semangat kerja yang tinggi dan kerjasama yang tulus terutama dengan pilot yang bekerja sukarela ini.
Hubungan baik terus dijalinnya dengan pilot-pilot tersebut. Keakraban makin terasa di antara mereka. Sambutan baik dan hangat serta perlakuan yang bersahabat dari Siti Maryam rupanya meninggalkan kesan bagi tiga pilot yang secara bergantian terbang melayani rute penerbangan NTB tersebut.
Setelah beberapa lama, pesawat yang tadinya tak bernama itu kemudian memiliki nama yang membuatnya kaget. Suatu hari, ketika pesawat tersebut baru kembali dari Jakarta, ia menyaksikan di badan pesawat tertulis sebuah nama yang membuatnya terharu dan bertanya-tanya. Dan pesawat itu bernama “Puteri Mari”.
Puteri Mari adalah gelar bangsawan Siti Maryam. Entah siapa yang memberi nama, hingga akhir hayatnya ia tidak tahu. Sejak itulah terbuka akses transportasi udara Mataram-Sumbawa-Bima.
Sejak itu ia menapaki karirnya di birokrasi, dan di tahun 1974 menjadi satu-satunya Asisten Gubernur perempuan dan yang pertama di Indonesia. Siti Maryam melesat jauh dari jamannya, meninggalkan kegundahan dan kepasrahan perempuan, membuktikan bahwa kemauan keras dan cita-citalah yang akan mengubah sejarah hidup seseorang. Kemauannya dan jiwa yang keras untuk maju membuatnya mampu menjejak karir dengan mulus. Sebagai birokrat, ia banyak dipuji.
Siti Maryam adalah satu dari sedikit birokrat dan tokoh di NTB yang selalu terbiasa berpikir dengan konsep. Ia setia pada satu dinamika yang telah ia tekuni sejak usia mudanya dengan intelektualitas dan pikiran-pikirannya yang bernas.
Dalam beberapa hal menyangkut sosiologi budaya NTB, khususnya Bima, ia adalah ”kamus hidup” yang harus dieksplorasi. Konsep pemikiran yang fundamental darinya jangan sampai hilang begitu saja. Harus ada yang mengambil tongkat estafet darinya untuk melanjutkan.
”Cara pandangnya yang multidimensi yang menghormati multikulturalisme, haruslah ada yang mengembangkannya,” kata Adhar Hakim, mantan wartawan dan juga mantan Kepala Ombusman RI Perwakilan NTB.
Di mata Drs. HL. Serinata, mantan Gubernur NTB, Siti Maryam yang kala itu satu-satunya pejabat Pemerintah Daerah perempuan yang senior adalah birokrat yang istimewa. Selain karena ia sebagai seorang perempuan dengan langkah-langkahnya yang maju dalam menjalankan tugas sebagai pejabat daerah, Siti Maryam selalu mematuhi setiap aturan yang berlaku dengan mengedepankan sisi humanisme.
“Dalam menjalankan tugas birokrasinya, saya menilai beliau adalah sosok yang cekatan dan tegas yang berjalan pada koridor aturan yang berlaku. Saya mengenalnya sebagai pejabat yang rendah hati dan sederhana. Sikapnya terhadap bawahannya adalah sikap yang sewajarnya, sikap seorang biasa. Beliau tidak membawa asal usulnya sebagai anak Raja,” kata Serinata.
Tahun 1994, Presiden RI Soeharto, menganugerahkannya penghargaan sebagai Lanjut Usia Teladan. Pilihan ini tak berlebihan untuk dirinya. Penghargaan lain yang diterimanya juga dari Pemerintah RI adalah Anugerah Seni tahun 2003 atas jasa membina, melestarikan dan mengembangkan seni-budaya di NTB khususnya daerah Bima yang diterima pada Kongres Kebudayaan Nasional di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Selain sebagai pelaku sejarah, Siti Maryam, memiliki karir birokrasi yang cemerlang. Ia adalah Tokoh yang mumpuni dipandang dari sisi manapun. Ia juga memiliki kapasitas dan integritas serta intelektualitas yang sangat mengagumkan.
Aktivitas dan perjuangannya dalam banyak hal bagi kemajuan daerah ini, telah ia mulai sejak masa kepemimpinan Gubernur NTB yang pertama, R.A.A Ruslan Cakraningrat, menyusul Wasita Kusumah hingga H. Gatot Suherman, saat ia aktif sebagai birokrat. Aktivitas itu tidak berhenti manakala ia pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, melainkan berlanjut hingga daerah ini berganti Gubernur.
Nama dan berita tentang aktivitas positifnya, masih terus terdengar di masa daerah ini dipimpin oleh Gubernur Drs. Warsito, Drs. Harun Al-Rasyid, Drs. HL. Serinata hingga di masa kepemimpinan TGH. M. Zainul Majdi, MA., ia masih setia menyumbangkan pikiran dan tetap aktif dalam kegiatan, kebudayaan dan sosial kemasyarakatan sampai tutup usia. Karena itu pula, mantan Gubernur NTB, Drs. HL. Serinata menyebutnya sebagai ”sesuatu yang langka” yang dipunyai NTB.
“Tidak banyak sosok seperti beliau yang mau mendedikasikan dirinya bagi kepentingan orang banyak hingga usia tuanya,” ujarnya.
Mantan Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA., juga menyematkan apresiasi yang tinggi terhadap Siti Maryam.
“Sebagai perempuan, Beliau adalah tokoh yang patut diteladani oleh generasi sekarang dan masa depan. Beliau tidak sekedar birokrat belaka. Bukan PNS semata yang terjebak pada rutinitas administratif saja. Beliau berorganisasi. Beliau terjun dalam kegiatan sosial-budaya. Ia pun bertindak dan banyak menelorkan gagasan-gagasan untuk kemajuan NTB khususnya dan bahkan Indonesia. Boleh dibilang ia adalah salah satu tokoh perempuan di negeri ini yang berpikir maju dan mau bertindak,” Majdi.
Begitu pula dengan mantan Wakil Gubernur NTB, Ir. H. Badrul Munir, MM., yang juga mengungkapkan kekagumannya atas segala aktivitas yang dilakukan Siti Maryam dalam membangun Nusa Tenggara Barat.
Di matanya, selain sebagai pelaku sejarah, Siti Maryam, memiliki karir birokrasi yang cemerlang. Ia adalah Tokoh yang mumpuni dipandang dari sisi manapun. Ia juga memiliki kapasitas dan integritas serta intelektualitas yang sangat mengagumkan.
Perhatian Siti Maryam juga tertuju pada penyelamatan naskah-naskah kuno. Ketertarikan yang besar terhadap masalah kearsipan ini, terutama naskah-naskah kuno tampaknya merupakan warisan langsung leluhurnya, Sultan Abdul Hamid (Sultan ke VIII) yang pada awal abad ke 17 telah mentransliterasi naskah Nurul Mubin beraksara Arab ke aksara Latin. Demikian juga halnya dengan ayahandanya, Sultan Muhammad Salahuddin, yang memberi perhatian besar pada masalah dokumentasi Kerajaan Bima. Menurut Henri Chambert-Loir, seorang filolog asal Perancis, sepanjang penelitian yang pernah dilakukannya di Indonesia, Kerajaan Bima merupakan satu-satunya Kerajaan di Indonesia yang telah melakukan dokumentasi yang terbilang lengkap yang dapat dibaca lewat naskah-naskah peninggalannya.
Dalam hal dokumentasi, Kerajaan Bima tidak hanya tertuang mengenai urusan pemerintahan atau hal lainnya layaknya kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, melainkan mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi dalam wilayahnya. Baik itu peristiwa hukum, kejadian alam, hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan sebagainya dengan lengkap.
”Catatan-catatan yang dibuat oleh Kerajaan Bima masa lampau, bisa dikatakan seperti koran jaman sekarang, semacam sebuah pemberitaan,” kata Henri.
Dan naskah-naskah inilah yang akhirnya juga selamat dari kepunahan karena perhatian yang diberikan Siti Maryam. Dengan pertimbangan untuk menyelamatkan arsip-arsip Kesultanan Bima yang tidak terawat praktis sejak Sultan Muhammad Salahuddin wafat, sebagai pewaris Kesultanan Bima, dengan sukarela ia menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada tahun 1980.
Arsip-arsip yang diserahkannya adalah semua arsip Kesultanan Bima dari masa sebelum kemerdekaan yang merupakan arsip tentang pemerintahan dari masa Sultan Ibrahim hingga Sultan Muhammad Salahuddin.
Ketika menjadi Anggota DPR RI, tahun 1997, ia menghibahkan lima koleksinya kepada Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal Jakarta. Dua di antara peninggalan bersejarah ini adalah naskah Ilmu Fiqh beraksara Arab tulisan tangan yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun.
Juga sebuah Al Quran yang disebut La Lino, yang berusia lebih dari 200 tahun yang ditulis tangan oleh Syeh Subur, Imam Istana Bima pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Muhammad Syah (1731-1748).
Perhatiannya yang besar terhadap kearsipan ini membuatnya dekat dengan kalangan Badan Arsip Nasional. Di tengah belum apresiatifnya masyarakat terhadap kearsipan, justru perhatian itu tak pernah putus dari Siti Maryam hingga saat ini.
Kesehariannya adalah bicara tentang kearsipan. Hal inilah yang membuat Djoko Utomo, mantan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang mengenalnya dengan baik, kemudian menjulukinya dengan sebuah motto minuman ringan: ”kapan dan di mana saja” untuk perhatian tak terbatas Siti Maryam bagi kearsipan.
Di mana saja ia berada dan kapan pun itu, ia selalu bicara tentang kearsipan. Di mana-mana yang ia bicarakan adalah masalah arsip. Di seminar-seminar, di pertemuan-pertemuan bahkan di meja makan, ia bicara tentang naskah dan arsip. Bisa dikatakan, sangat sedikit yang sepertinya.
”Berdasarkan pengamatan dan pemantauan Badan Arsip Nasional secara intensif, semua pihak mengakui kepedulian besar Beliau di bidang kearsipan, baik sebagai pejabat maupun perorangan,” ujar Djoko.
Hal inilah yang membuat ia akhirnya menjadi salah seorang tokoh arsip perempuan Indonesia yang dianugerahi penghargaan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai ”Perempuan Indonesia Peduli Arsip”, pada tahun 2009.
Bersama 12 perempuan lainnya, Siti Maryam dinilai memiliki jasa, peran, komitmen, dedikasi dan integritas yang luar biasa dalam bidang kearsipan serta kontribusinya melalui aktualisasi nilai kearsipan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kecintaannya akan naskah kuno membuatnya bertindak cepat menyelamatkan naskah-naskah kuno berharga yang paling dicari oleh para filolog dengan mendirikan Museum Samparaja Bima yang merupakan museum pribadi. Museum ini menggambarkan betapa Siti Maryam telah menjadi penyelamat peninggalan-peninggalan sejarah kebudayaan Bima.
Kisah berdirinya Museum Kebudayaan Samparaja Bima ini, berawal dari ”rasa malu” Siti Maryam akibat teguran dari Pangeran Bernhard dari Negeri Belanda.
Suatu hari, di tahun 1984.
Nusa Tenggara Barat mendapat kabar akan kedatangan tamu penting dari Negeri Belanda, Pangeran Bernhard, suami dari Ratu Yuliana. Pangeran Bernhard tengah melakukan perjalanan keliling dunia dalam menjalankan misinya sebagai Ketua Organisasi Pelindung Satwa Dunia. Kedatangan pasangan orang penting Belanda itu ke NTB sebenarnya bagian dari kunjungannya ke Pulau Komodo.
Sebelum bertolak ke Pulau Komodo untuk menjalankan misi ini, mereka singgah di Mataram dan Bima. Sebelum menuju Pulau Komodo, Pangeran Bernhard singgah sesaat di Bima dan dari Bima bertolak menuju Pulau Komodo.
Karena Pangeran Bernhard akan singgah di Bima maka Gubernur NTB meminta Siti Maryam yang kala itu sebagai Asisten III Gubernur, untuk memamerkan benda-benda pusaka peninggalan Kesultanan Bima. Persiapan pun dilakukan dengan sebaik-baiknya. Namun ada yang terasa kurang. Dari banyak peninggalan Kesultanan Bima yang hendak dipamerkan, ada satu yang belum ditemukan yakni, Buku Besar Catatan-Catatan Kesultanan Bima yang disebut Bo’ Sangaji Kai. Bo’ Sangaji Kai merupakan kumpulan naskah yang dicatat oleh juru tulis istana Kesultanan Bima dari masa ke masa tentang segala peristiwa yang terjadi selama kurun waktu sejak abad 17 hingga abad 19, di pemerintahan turun temurun Kesultanan Bima.
Naskah berukuran 53,5 x 37cm ini boleh dikatakan merupakan naskah utama Kerajaan Bima yang memuat catatan-catatan peristiwa di Kerajaan Bima terutama kegiatan pemerintahan Adat yang mempunyai struktur dan tugas serta kebijakan-kebijakan terkait hubungan dengan kerajaan-kerajaan dan daerah lain.
Termasuk pengaturan kewargaan, persawahan, kelautan, serta hukum Adat yang berlandaskan Hukum Islam, dalam naskah catatan yang bertuliskan dalam huruf Arab dengan Bahasa Melayu. Dalam Bo’ juga tertulis urutan silsilah raja-raja yang pernah memerintah Bima sejak zaman pra Islam secara turun-temurun.
Bo’ Sangaji Kai yang merupakan peninggalan paling penting dan paling berharga itu tidak diketahui keberadaannya.
Begitulah. Maka ia pun harus menemukan Buku Besar tersebut. Setelah dilakukan pencarian dan membongkar semua arsip peninggalan Kesultanan Bima, catatan berharga itu akhirnya ditemukan di rumah salah seorang warga Bima dalam keadaan nyaris rusak.
”Saya menemukannya dalam keadaan yang compang-camping dan menyedihkan,” ujar Siti Maryam.
Penemuan buku itu sangat melegakan, karena akhirnya bisa melengkapi benda-benda berharga peninggalan Kesultanan Bimayang akan dipamerkan saat kunjungan Pangeran Bernhard.
Siti Maryam mengisahkan bahwa ketika Pangeran Bernhard menyaksikan pameran tersebut, ia sempat kaget dan terhenyak manakala sorot matanya tertuju pada sebuah buku besar yang disebut Bo’ Sangaji Kai. Pangeran Bernhard fokus membolak-balik naskah tersebut dan kebetulan sekali, Pangeran Benhard saat berkunjung ke Bima waktu itu didampingi oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia yang juga sejarawan, yang mampu membaca naskah tersebut dengan baik. Mendengar demikian berharganya isi Bo’ Sangaji Kai, Pangeran Bernhard langsung bertanya pada Siti Maryam, apakah Bo’ Sangaji Kai memiliki foto kopinya? Siti Maryam terdiam. Jangankan foto kopinya, naskahnya saja nyaris hilang dan diketemukan dalam keadaan yang tidak terpelihara. Diamnya Siti Maryam, telah mampu ditangkap artinya oleh Pangeran Bernhard.
”Jika naskah ini hilang, maka hilanglah sejarahmu,” ungkap Pangeran Bernhard kala itu.
Kalimat yang masih terus diingatnya ini menurut Siti Maryam, sangat memukulnya.
Ia sadar bahwa selama ini telah menyia-siakan sebuah warisan leluhurnya yang sangat berharga itu. Alangkah malunya Siti Maryam, menyadari dirinya dinilai tidak memperhatikan peninggalan berharga leluhurnya.
Untuk menutupi rasa malu dan perasaan tidak enak karena sebagai keturunan Kesultanan Bima ternyata ia tak bisa memelihara naskah-naskah tersebut. Ia dihujani banyak pertanyaan seputar hal ini. Beberapa pertanyaan diakuinya membuat ia kaget dan tersadar akan betapa pentingnya naskah-naskah peninggalan Kesultanan Bima tersebut. Sebuah pertanyaan kembali dilontarkan Pangeran Bernhard tentang bagaimana cara ia menyimpan naskah-naskah berharga tersebut.
”Di lemari,” kata Siti Maryam yang spontan menjawab.
Padahal katanya, waktu itu perlakuan terhadap naskah-naskah ini tidaklah demikian. Tapi ia mengaku jawaban yang diberikannya itu hanya ingin menyenangkan Pangeran Bernhard. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan padanya, dirasanya terus memojokkannya.
Namun ia merasa sangat beruntung, menerima teguran Pangeran Bernhard.
Karena inilah titik awal, akhirnya ia mulai serius mengurus peninggalan nenek moyangnya. Sejak itu, ia membuat foto kopi naskah Bo’ Sangaji Kai, naskah-naskah yang sudah kececeran di lemari-lemari, di laci-laci dan di loteng-loteng. Ternyata arsip dan naskah-naskah Kesultanan Bima masih tersimpan di berbagai tempat dalam keadaan carut-marut, sehingga ia terus mencari dan menemukannya.
Untuk dapat memelihara, menyelamatkan sekaligus merawat naskah-naskah dan peninggalan bersejarah Kesultanan Bima lainnya, Siti Maryam kemudian mendirikan Yayasan Museum Kebudayaan Samparaja Bima, sebagai cikal-bakal pendirian Museum Kebudayaan Samparaja Bima, museum pribadinya yang telah terdaftar dalam buku “Khasanah Naskah Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia World Guide To Indonesia Collection”.
Saat itu sebagai Asisten III Gubernur, ia juga tengah gencar melakukan pembenahan terhadap kearsipan daerah di Mataram. Naskah-naskah tersebut, ia bawa ke Mataram untuk dibersihkan satu per satu kemudian dibawanya ke Arsip Nasional RI untuk dilaminasi dan diawetkan agar terhindar dari kepunahan.
Di saat yang sama, ia kedatangan tamu dua filolog ternama di Indonesia, yang berkunjung ke rumahnya yakni DR. Eti Mulyadi dan Prof. DR. Akhadiati Ikram. Keduanya adalah dosen senior dan Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (waktu itu) yang mendengar bahwa tengah ada upaya penyelamatan naskah-naskah kuno Bima. Keduanya mendapat kabar bahwa satu-satunya yang menyimpan dan memiliki naskah kuno Bima adalah Siti Maryam.
Ketika diperlihatkan naskah-naskah kuno Bima yang tengah dibersihkan dan dipelajari itu, kedua filolog ini takjub bukan main, kata Siti Maryam. Bagi dunia filologi, naskah kuno adalah benda paling berharga. Suka cita dua filolog ini tidak dapat disembunyikan, lanjutnya, karena makin banyak fakta-fakta sejarah yang akan terungkap dari naskah-naskah peninggalan Kesultanan Bima.
Tentu dua filolog itu membayangkan akan bisa lebih luas lagi mengungkap sejarah kebudayaan dan peradaban, adat istiadat serta peristiwa yang terjadi di Bima masa lampau. Akan diketahui pula siapa saja yang pernah membuat hubungan diplomatik dengan Bima, negara mana yang pernah datang, pergolakan politik seperti apa yang pernah terjadi, peristiwa apa saja yang terjadi dan sebagainya. Saat itu juga, penemuan naskah kuno Bima yang terselamatkan itu menjadi perbincangan menarik di kalangan filolog. Karena sebelumnya, keberadaan naskah-naskah ini apalagi dalam jumlah yang banyak, tidak pernah diketahui.
“Eti Mulyadi segera mengirim surat kepada salah seorang filolog asal Perancis, Prof. Henri Chambert-Loir, yang mengabarkan temuan naskah tersebut,” cerita Siti Maryam.
Sambil berkelakar, kenang Siti Maryam, Eti berkata kalau Henri hanya melihat satu dua naskah kuno Bima, sedangkan mereka melihat dua peti naskah. Dan sekarang ada di hadapan mereka.
Naskah Bo’ inilah yang membuat Siti Maryam akhirnya diundang ke Belanda untuk mengikuti Simposium Internasional Bahasa Asia Tenggara di Leiden, 1986. Pulang dari Belanda ia lalu berkonsultasi dengan Dirjen Permuseuman Depdikbud RI di Jakarta untuk kelanjutan pemeliharaan naskah-naskah ini.
Hasilnya, ia disarankan mendirikan bukan hanya museum naskah kuno, tapi museum yang lengkap mengoleksi benda-benda budaya bersejarah miliknya.
”Barang ini sudah jadi milik Bangsa Indonesia, bukan hanya milik orang Bima,” ungkapnya.
Ia adalah sedikit dari pewaris kesultanan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi ilmuwan dan filolog untuk meneliti naskah-naskah kuno peninggalan Bima.
Di banyak tempat, para peneliti merasa kesulitan memperoleh naskah-naskah kuno yang asli sebagai bahan penelitiannya. Kesulitan tersebut bisa mencair manakala mereka membayar dengan sejumlah uang. Ini terjadi ketika naskah tersebut telah berada pada kolektor-kolektor yang tak begitu saja bersedia melepas naskah tersebut.
Ada juga sebagian pewaris kerajaan yang menyimpan naskah kuno dan menganggap bahwa pusaka tersebut harus dipelihara bahkan dikeramatkan, sehingga tak diperkenankan disentuh demi alasan menjaga bentuk fisiknya dari kepunahan. Tak mudah bagi para peneliti mendekati apalagi mempelajari peninggalan bersejarah.
Tapi Siti Maryam mempunyai pandangan lain, ia berpendapat bahwa sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah kuno milik Kesultanan Bima adalah sejarah yang harus diketahui orang banyak. Karena dalam sejarah itu terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan yang pernah dipelajari generasi bangsa Indonesia masa lampau.
Sejak memutuskan untuk memelihara dan mempelajari naskah-naskah kuno peninggalan Kesultanan Bima, Siti Maryam larut dalam kegiatan penyelamatan manuskrip-manuskrip bersejarah itu. Ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari dan mengumpulkan kembali potongan-potongan naskah tersebut di berbagai tempat.
Tangan dingin Siti Maryam membenahinya dengan sabar, tekun dan telaten. Ia kumpulkan lembaran, potongan, sobekan bahkan sisa-sisa naskah-naskah lusuh tersebut dari satu ruang ke ruang lain, dari satu sudut ke sudut lain Istana Kesultanan Bima yang kala itu tidak lagi berfungsi karena pemerintahan menjadi Swatantra bukan Swapraja lagi.
Ia menelusuri segala bentuk naskah yang masih bisa diselamatkan, mendatangi pihak-pihak yang kira-kira menyimpan naskah kuno untuk mendapatkan kepastian tentang cerita sejarah yang lebih lengkap. Usahanya tak sia-sia, salah satu naskah tersebut masih tersimpan di rumah salah seorang keturunan Gelarang Maria Kecamatan Wawo pada tahun 1989. Lembar demi lembar naskah yang kondisinya sudah memburuk itu dirawatnya. Ia juga merapikan naskah Al-Quran lama 30 juz yang belum diketahui tahun pembuatannya itu yang ditemukan dalam keadaan berantakan. Ia menyimpan naskah Al Quran yang kertasnya sudah sangat rapuh itu dan halamannya tidak beraturan dengan dibungkus kertas koran yang kemudian ia ikat dengan tali rafia. Naskah-naskah yang rusak dimakan usia itu salah satunya Al Quran tulisan tangan yang berusia 200-an tahun bernama La Lino. Ia menemukannya di tahun 1980 dengan susunan surat yang kacau-balau.
”Kalau saja tidak cepat diselamatkan, pastilah dalam waktu setahun kemudian La Lino akan hancur tak berbekas,” ujarnya.
Dari naskah Museum Kebudayaan Samparaja yang sudah dialihbahasa dalam Huruf Latin (karena naskah asli tertulis dalam aksara Arab berbahasa Melayu) telah diterbitkan pula satu buku berjudul Bo’ Sangaji Kai (Catatan-catatan Kerajaan Bima) setebal 642 halaman yang disusunnya bersama Prof. Henri Chambert-Loir, ahli Filologi Perancis dari Lembaga Kebudayaan Perancis EFEO (Ecole Française d’Extrême-Orient). Naskah yang telah dibukukan ini merupakan arsip terpenting dari sejarah Kerajaan Bima, di antara berbagai jenis ”BO” (catatan) yang lainnya. Buku ini merupakan naskah yang telah diakui oleh Pemerintah RI sebagai dokumen Nusantara seri XVIII. Kerjasama ini berlangsung selama lima tahun hingga akhirnya karya besar ini (Bo’ Sangaji Kai) diluncurkan pada 3 Februari 2000 di Perpustakaan Nasional RI Jakarta.
Peran Siti Maryam dalam proses pengungkapan dan penyusunan Bo’ Sangaji Kai, menurut Henri sangatlah penting. Karena meski tertulis dalam Bahasa Melayu, naskah-naskah ini sangat terpengaruh dengan Bahasa Mbojo (Bima).
”Dan Bu Maryamlah kunci yang bisa dengan detil mencernanya,” ujar Henri.
Termasuk juga dalam masa analisis nama, tempat, gelar dan jabatan dalam Kerajaan Bima, peran Siti Maryamlah yang dianggap besar untuk mengidentifikasi dengan tepat, mengingat Henri tidak menguasai hal ini dengan detil. Di mata Henri, selama mengenal Siti Maryam terutama dalam hubungan kerjasama sebagai peneliti, Siti Maryam adalah sosok yang tekun dan telaten. Masa lalunya sebagai keturunan Sultan Bima membuatnya mengerti banyak tentang adat istiadat Bima, dan inilah salah satu hal yang sangat membantu selama proses tersebut. Bima telah menjadi bagian dari dirinya.
Tanggung jawabnya itu telah mendorongnya belajar ilmu pernaskahan, sebab ia merasa makin tak bisa berbuat banyak kalau hanya berhenti mengotak-atik naskah-naskah kuno di rumah atau museum pribadinya. Di usia lanjutnya 80 tahun, yang seharusnya dimanfaatkan untuk menikmati masa pensiunnya, malah dimanfaatkannya untuk melanjutkan studi S3-nya ke Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 2008, dengan konsentrasi Ilmu Filologi.
Kegiatan ”kuliah senja” yang dilakukannya untuk mendalami ilmu filologi secara akademis, karena kecintaannya pada naskah-naskah kuno. Selain itu guna mempelajari lebih jauh ratusan naskah kuno peninggalan Kesultanan Bima yang hampir saja punah. Dan di tangan Siti Maryam, dokumen dan sejarah Kesultanan Bima akhirnya terselamatkan.
Menurut Suryadi, seorang Filolog dan dosen di Universitas Leiden, Belanda, Siti Maryam sangat educated, seperti cerminan nenek moyangnya, Sultan Abdul Hamid, salah seorang dari dinasti Kesultanan Bima yang sangat terpelajar dan berwawasan luas. Ini terbukti dari banyaknya naskah yang dihasilkan selama jaman pemerintahan Sultan Abdul Hamid (1773-1817).
Di Indonesia, lanjut Suryadi, perempuan (dan juga kebanyakan lelaki) seusia Siti Maryam umumnya sudah “menyerah” dalam hidup ini, dalam arti hanya merengek ke anak-anak, minta “balas” jasa kepada mereka. Tapi Siti Maryam semacam deviant (dalam artian positif) dari tradisi budaya seperti itu. Ia masih gigih menuntut ilmu, dan sepertinya tidak mau tinggal diam. Selalu ada yang ia pikirkan, selalu ada yang ingin ia perbuat.
“Beliau (Siti Maryam) seperti tak menyia-nyiakan waktu, walau sudah tua dan sepuh. Semangat Beliau sangat berkobar-kobar. Perhatiannya kepada bidang budaya dan sejarah sangat besar. Ini yang membuat beliau tetap punya pikiran baik, tidak pikun seperti dialami oleh banyak orang Indonesia seusia Beliau,” kesan Suryadi.
Waktu bertemu di Leiden tahun 2008, Suryadi masih menangkap semangat Siti Maryam tetap hidup. Saat itu, sambil membolak-balik buku di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde), walau udara masih dingin, Siti Maryam ingin berdiskusi terus dengannya dan pustakawan KITLV.
Daya pikirnya tak pernah berhenti bekerja. Berbagai hal yang menjadi tanggung jawabnya, jarang dilimpahkan kepada orang lain. Siti Maryam menjadi inspirator banyak orang. Henri Chambert Loir, pernah mengungkapkan kekagumannya akan sosoknya.
“Ia adalah kasus yang unik dalam berbagai hal, tekun dan telaten,” ujar Henri.
Keseriusan terhadap pelestarian manuskrip bersejarah, membuatnya kembali di bangku kuliah pada usia 80 tahun. Siti Maryam tidak main-main selama menjalani “kuliah senjanya” ini. Lebih kurang tiga tahun, ia bolak-balik Mataram-Bandung mengikuti perkuliahan dengan tekun. Tubuh tuanya masih terus memancarkan semangat, sorot matanya selalu berbinar manakala bicara tentang pendidikan. Semangat sekolah yang sejak kanak-kanak ada dalam dirinya masih terus menyala. Long Life Education, bukan slogan baginya, melainkan itulah dirinya. Seluruh waktu yang dimilikinya ia abdikan untuk hal-hal yang berguna sebesar-besarnya bagi dirinya dan orang lain. Ia menghargai seluruh proses kehidupannya.
“Selama masih mampu, kapan pun dan di mana pun, saya akan terus mengejar ilmu. Ilmu pengetahuan itu tidak terbatas, saya sungguh sangat menikmatinya,” katanya pada sejumlah wartawan usai mengikuti upacara wisuda.
Hari itu, Selasa, 23 November 2010, Gedung Graha Sanusi Hardjadinata, Kampus Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung, bergemuruh oleh tepuk tangan panjang seisi gedung. Begitu juga dengan seluruh Guru Besar Universitas Padjajaran yang hadir saat digelarnya prosesi Wisuda Unpad lulusan Gelombang I Tahun Akademik 2010/2011 untuk sesi I, memberi standing applaus bagi salah seorang wisudawannya.
Tepuk tangan meriah untuk Sang Doktor itu mengiringi langkah pelan Siti Maryam Salahuddin menaiki tangga menuju panggung wisuda.
Sang Rektor, Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA., telah siap memindahkan tali toga sekaligus menandakan nenek 83 tahun itu resmi menyandang gelar Doktor bidang Filologi pada Fakultas Sastra. Ucapan selamat sebagai wisudawan Doktor tertua (saat wisuda) dengan IPK 3,44, tak lupa disampaikan secara khusus oleh Rektor, saat memberi sambutan terbuka pada seluruh hadirin.
“Seluruh Civitas Akademika Universitas Padjajaran Bandung, memberikan apresiasi yang serius bagi Ibu Siti Maryam,” ujar Weny Widyowati, Kepala UPT Humas Universitas Padjajaran Bandung (waktu itu).
Penghargaan yang diberikan salah satu universitas terkemuka di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1957, ini ditujukan atas kegigihan dan tekad yang luar biasa dari perempuan penuh semangat ini dalam memperjuangkan pendidikannya hingga usia sepuh.
“Kami semua salut pada Beliau. Ini di luar kebiasaan orang-orang kita (Indonesia). Ini sangat membanggakan bagi kami,” tambah Weny.
Karena itulah, selama Siti Maryam mengikuti perkuliahan sekitar tiga tahun di universitas ini, Unpad memberikan perhatian yang lebih padanya. Begitu juga saat sidang promosi gelar Doktornya, Humas Unpad melakukan liputan khusus untuk website resmi universitas ini selama jalannya sidang tersebut.
Siti Maryam memang telah tiada. Namun karya dan semangatnya harus terus meregenerasi bangsa ini untuk melahirkan Siti Maryam-Siti Maryam lainnya, yang penuh semangat dan dedikasi yang tinggi bagi kemajuan bangsa ini khususnya perempuan Indonesia. Keseluruhan karyanya adalah inspirasi yang tak pernah usai. ***
Wisuda STIT Palapa Nusantara Lombok ke X
Hadiri wisuda ke X Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Rachmat Hidayat inginkan wisudawan STIT Palapa Nusantara bekali diri dengan visi menjangkau masa depan
LOTIM.lombokjournal.com ~ Politisi senior PDIP NTB. H. Rachmat Hidayat menyatakan, kebangkitan kepemimpinan Indonesia bagi dunia, memerlukan penggalian spirit kepemimpinan Indonesia seperti sudah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa.
Hal itu disampaikan anggota DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dapil Pulau Lombok, H Rachmat Hidayat, saat menghadiri wisuda ke X Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Palapa Nusantara Lombok – NTB, Kamis (24/11/22).
Civitas akademika STIT Palapa Nusantara dan ratusan wisudawan/wisudawati menyambut antusias kehadiran anggota Komisi VIII DPR RI yang didampingi Ketua DPC PDIP Lombok Timur Ahmad Sukro, Wakil Ketua II DPC PDIP Lombok Timur, Ahmad Amrullah.
Dalam sambutannya, Rachmat Hidayat mengatakan, syarat pertama adalah menggali kembali keseluruhan spirit tentang kepemimpinan Indonesia yang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa.
“Belajar dari kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta, ada korelasi antara ide/gagasan/imajinasi, spirit, tekad, dan tindakan strategis di dalam mencapai visi kepemimpinan Indonesia,” kata Ketua DPD PDIP NTB itu.
Di hadapan para wisudawan, Rachmat memaparkan panjang mengenai kepemimpinan Proklamator Ir Soekarno membangun Indonesia dan bagi dunia.
Soekarno membuktikan sebuah kepemimpinan stratejik yang visioner namun membumi. Dan itu lahir melalui kepemimpinan intelektual, yang menciptakan daya imajinasi tentang masa depan.
“Bung Karno memperkirakan pada tahun 1945, suatu saat Eropa dan Amerika Serikat akan mengalami krisis ekonomi bersamaan akibat bekerjanya kapitalisme. Kapitalisme menciptakan krisis, belum selesai krisis yang satu, muncul krisis lainnya, dengan dampak yang semakin berat dan kompleks. Pandangan ini terbukti pada tahun 2008,” urai Rachmat.
Tokoh yang dijuluki ‘Datu Lombok” lalu menjelaskan syarat kedua kebangkitan kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Yakni ideologi Pancasila dan UUD 1945 harus dipahami semangat dan konsepsinya di dalam membangun kepemimpinan Indonesia.
Syarat ketiga, adanya kepemimpinan strategis yang memadukan antara kepemimpinan ideologis yang memberikan arah, dengan kepemimpinan teknokratis yang menghadirkan kepemimpinan intelektual dalam agenda strategis guna membangun rasa percaya diri bangsa untuk percaya pada kekuatan sendiri.
Keempat, tersedia konsepsi pola pembangunan dalam perspektif jangka pendek, menengah, dan panjang. Konsep ini menjadi guideline policy dari seluruh penyelenggaran negara di dalam mewujudkan cita-cita nasionalnya.
Kelima, pendidikan dan kebudayaan ditempatkan sebagai lambang supremasi kemajuan. Di sini perguruan tinggi harus menjadi motor kemajuan.
Keenam, kata Rachmat adalah penguasaan ilmu-ilmu dasar seperti matematika, kimia, fisika, dan biologi dengan berbagai variannya.
“Ini bersifat wajib dan harus dipacu pengembangannya secara progresif,” katanya.
Ketujuh, adanya sinergi koneksitas antara pemerintah, perguruan tinggi, BUMN, dan Badan usaha miliki swasta.
Yakni dengan mendorong budaya berprestasi, merit system di dalam mempercepat kemajuan menjadi bangsa yang berdikari.
Namun di atas segalanya, Rachmat mengatakan ada syarat ke delapan. Bangsa Indonesia harus berani meletakkan nasib bangsa dan nasib tanah air di tangan bangsa sendiri.
Sebab hanya bangsa yang berani meletakkan nasib di tangan sendirilah yang dapat berdiri dengan kuatnya.
“Karena itulah, marila, dari STIT Palapa Nusantara ini kita gelorakan kemajuan Indonesiaraya dari kampus, dengan menggalakkan riset dan inovasi yang membumi, yang mempercepat jalan Indonesia berdikari,” tegasnya.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut, Bupati Lombok Timur Sukiman Azmy, Ketua STIT Palapa Nusantara Dr. H. L. Moh. Fahri., M.H., Pembina STIT Palapa Nusantara, Prof.Dr Sayyid Agil Ali Idrus, M.Si, Koordinator Kopertis Wilayah 14 Mataram, Dr. H Nazar Naamy, M.Si serta sejumlah pejabat lingkup Pemda Lombok Timur dan sejumlah anggota DPRD Lombok Timur.
Sanjungan Bupati Lombok Timur
Di tempat yang sama, Bupati Lombok Timur Sukiman Azmy dalam sambutannya secara eksplisit mengacungi jempol kiprah dan kepedulian Rachmat Hidayat terhadap pengembangan sumber daya manusia di NTB.
Sukiman melihat, dalam kacamatanya H Rachmat Hidayat merupakan figur yang amat memberikan atensi terhadap tokoh-tokoh NTB yang telah bergerak membangun masyarakat.
Sukiman pun mengungkapkan, salah satu bentuk sumbangsih nyata Rachmat Hidayat adalah dirinya merupakan inisiator awal pemberian gelar pahlawan nasional kepada TGKH Zainuddin Abdul Madjid.
“Saya ingat Almagfurllah TGKH Zainuddin Abdul Madjid pahlawan nasional kita, yang dulu diinisiasi pengusulan pahlawan nasionalnya adalah oleh Kanda H Rachmat Hidayat,” kata Sukiman yang sontak disambut tepuk tangan meriah dari hadirin yang hadir.
“Jadi sampai dengan bergelar pahlawan nasional, banyak usaha, ikhtiar banyak pihak yang terlibat, untuk menjadikan beliau pahlawan nasional. Dan saya masih ingat inisitaif pertama datang dari beliau (Rachmat Hidayat, red) baru disusul yang lain. Bukan untuk memuji di hadapan beliau tetapi itu faktanya, mungkin beliau bisa bercerita lebih panjang nanti,” jelas Bupati Lotim dua periode itu.
Lebih jauh, Sukiman mengaku siap bersinergi dengan Rachmat Hidayat dalam mengembangkan kualitas pendidikan. Salah satunya di STIT Palapa Nusantara Lombok.
“InsyaAllah pemda akan siap bersinergi, bersama Palapa Nusantara memajukan perguruan tinggi agar mendapat tempat di hati masyarakat. Di akhir masa jabatan saya nanti di 2023 saya bercita-cita untuk memberikan sumbangsih kepada Palapa Nusantara berupa perluasan lahan di sisi kanan, nanti kita lihat berapa kemampuan pemda. Dan di situlah Kanda Rachmat Hidayat membangun gedung yang megah. Ssbagai bentuk kolaborasi antara pemda dengan DPR RI,” beber Sukiman.
Sukiman pun mengajak agar mendidik mahasiswa atau siswa dengan jangkauan yang jauh ke depan. Bukan dengan alam kekerasan, tetapi dengan kebijaksanaan. Dengan penuh kedewasaan dan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, Rektor STIT Palapa Nusantara Dr. H. L. Moh. Fahri., M.H., dalam sambutannya berharap agar para wisudawan dan wisudawatu enantiasa diberikan taufik dan hidayah sehingga dapat kembangkan potensi dan kemampuan yang ada pada setiap diri mereka.
Sebab masih panjang perjuangan yang harus ditempuh sebagai sarjana. Sehingga akan dapat melaksanakan kiprahnya di tengah masyarakat dengan sebaik-baiknya.
“Pesan kepada wisudawan dan wisudawati yang saat ini telah meraih satu langkah final di mana wisuda merupakan satu momentum dan pertanda telah menyelesaikan program strata 1. Proses ini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Apabila maksimal apa yang digariskan dan apa yang tersirat akan mampu mengarungi bahtera kehidupan di manapun berkedudukan,” kelasnya.
Dirinya kemudian menukil empat jenis kecerdasan yang telah disampaikan Guru Besar UIN Mataram yang juga Sekjen PBNW Prof. Dr. TGH Fahrurrozi Dahlan, QH, MA.
Empat kecerdasan yang apabila maksimal dalam melaksanakan kecerdasan itu maka tidak akan pernah mendapatkan kerugian.
Pertama kecerdasan spiritual, yang merupakan pedoman dan langkah awal melakukan aktivitas apalagi berkaitan dengan pengkajian ilmu dan science.
Kedua kecerdasan sosial, manusia merupakan makhluk sosial, tanpa adanya manusia yang kain tidak ada artinya tanpa ada kolaborasi dan relasi
Kecerdasan ketiga yakni kecerdasan sosial – intelligence bahwa kehidupan manusia dalam tingkatan paripurna berempati sosial, melakukan komunikasi tidak hanya secara persoalan individual, tetapi diperlukan tingkat kebersamaan dengan individu dan manusia lainnya.
Keempat, kecerdasan emosional. Kecerdasan ini menghendaki manusia tanpa satu proses yang dipertajam melalui akan pikiran, perasaan, maka kegiatan itu tidak akan bisa menghasilkan sesuatu yang optimal.
“Oleh karena itu, kepada para wisudawan 4 hal pokok ini saya sampaikan agar terus mengambangkan dan menggali keilmuan, dengan teknologi yang begitu canggih, mencari dikuasai tentang permasalahan apapun yang anda hadapi. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing saudara,” bebernya.***
Petilasan dan Artefak di Batu Kumbung, Lombok Barat
Petilasan Ulama Pating Laga Denek Perwangse di Desa Batu Kumbung sedang ditelusuri tim ekspedisi.
LOBAR.lombokjournal.com ~Tim Ekspedisi Mistis PDIP NTB dan Mi6 kembali melakukan penelusuran dan mengeksplorasi situs jejak petilasan.
Kali ini, rombongan tim ekspedisi yang terus mengekspose ritus sejarah tersembuyi di Pulau Lombok itu, mengunjungi Pating Laga Denek Perwangse yang berada di Dusun Batu Kumbung, Desa Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, sepanjang akhir pekan lalu.
Penelusuran jejak ulama penyebaran agama Islam sekaligus penemu nama Batu Kumbung memiliki beberapa peninggalan atau warisan ikonik yang selama ini jarang diketahui publik.
Beberapa karya yang diduga kuat warisan Pating laga Denek Perwangse peninggalan adalah lain tempat beliau bermunajat ataupun berkhalwat. Berupa batu menhir, pancuran air, kumpulan tulisan beliau dalam bentuk tulisan arab di atas kulit onta yang berusia ratusan tahun.
Serta berbagai benda-benda kuno lain yang menggambarkan aktivitas Denek Perwangse selama tinggal di Batu Kumbung.
Menurut tokoh masyarakat Batu Kumbung , Haji Mundri (83), Pating Laga Denek Prawangsa memiliki nama Islam Sayed Abdullah Zen Alhamdy.
Sosok yang amat dikagumi masyarakat Batu Kumbung ini diketahui berasal dari Timur Tengah, tepatnya di negeri Yaman.
Kedatangan Denek Keramat (panggilan lain Pating Laga Denek Perwangse) ke Batu Kumbung jauh sebelum kedatangan Anak Agung Karang Asem melakukan Ekspansi Ke Lombok.
Awalnya, Denek Perwangse dikabarkan sempat singgah di Gresik Jawa Timur sebelum akhirnya ke Lombok.
“Denek Keramat diyakini masyarakat batu kumbung sebagai ulama menyebarkan syiar agama Islam yang pertama selaligus membuka hutan yang kemudian diberi nama Batu Kumbung. Bahkan di akhir ekspedisinya di pulau lombok, Denek Perwangse berpesan kepada warganya kala itu. Jika ingin menemuinya, datang kepetilasan yang dibuatnya dalam bentuk situs menyerupai batu menhir,” ungkap Haji Mundri.
Selain itu, untuk keperluan berwudhu dan mandi, dan lain-lain. Denek Perwangse juga membuat saluran air dari mata air yang tidak diketahui asal muasalnya.
Pancuran mata air itu hingga kini tetap mengalir meskipun sudah berusia berabad-abad.
“Denek Perwangse juga meninggalkan kumpulan kotbahnya dlm bentuk tulisan arab diatas gulungan kulit onta,” ujar Haji Mundri sembari memperlihatkan beberapa bukti artefak peninggalan Denek Keramat yang ia jaga hingga kini.
Dalam beberapa kesempatan, Denek Perwangse sering kali berusaha menujukkan sisi keramat miliknya.
Dirinya pernah berkali-kali dibakar atau membakar dirinya. Namun, api yang membakar dirinya tersebut seperti tak mempan. Masyarakat terhibur dengan tingkah Denek Perwangse.
Belakangan, setelah syariat Islam mulai dipahami, masyarakat mulai sadar bahwa yang dilakukan Denek Perwangse tersebut merupakan salah satu sisi ‘keramatnya’.
Kini, areal kawasan yang disebut menjadi tempat bertafakkur Denek Perwangse tersebut masih dirawat dan disebut memiliki nilai keramat oleh masyarakat setempat.
Tempat itu lazim digunakan sebagai lokasi roah adat pada momen-momen tertentu.
Tak hanya itu, lokasi tersebut juga ramai didatangi oleh para peziarah yang mengetahui kehebatan dan kekaromahan Denek Perwangse.
Para peziarah tersebut tak hanya berasal dari masyarakat Lombok, tetapi juga berasal dari luar daerah.
Sementara Ketua Tim Ekspedisi Mistis PDIP NTB dan Mi6, H. Ruslan Turmuzi didampingi Sekretaris Tim Ekspedisi Mistis, Ahmad Amrullah mengatakan akan melaporkan secara detail hasil penelusuran Petilasan Pating Laga Denek Perwangse kepada Dewan Pembina Tim Ekspedisi, H Rachmat Hidayat.
Agar bisa ditindak-lanjuti dengan kapasitas dan legacy yang dimiliki sebagai Anggota DPR RI Dapil Lombok.
Menurut Ruslan Turmuzi, cerita rakyat (folklore) tentang kisah Denek Keramat beserta jejak petilasan yang ditinggalkan membuktikan, nenek moyang Suku Bangsa Lombok memiliki karya cipta kebudayaan yang tinggi.
Hal tersebut mengindikasikan saat itu Lombo’ Mirah Adi sudah memiliki tatanan dan struktur kebudayaan yang menarik perhatian orang luar utk mendatangi dan mendiami wilayah Lombok dengan berbagai motif dan kepentingan.
“Jika benar denek keramat ini berasal dari Yaman, maka betapa kuatnya pesona budaya Gumi Sasak Mirah Adi dimata ulama Yaman sampai jauh-jauh melakukan ekspedisi ke Lombok untuk sebarkan syiar Islam,” ucap Ruslan Turmuzi.
Ruslan menggarisbawahi, Tim Ekspedisi Mistis sengaja memfokuskan untuk menggali dan menelusuri folklore ( cerita rakyat ) yang ada di dusun-dusun untuk diaktualisasikan guna menambah kazanah keberagaman mutu manikam kebudayaan Suku Bangsa Sasak yang terserak itu.
“Tim Ekspedisi Mistis akan membuka akses informasi terhadap semua artefak atau petilasan yang ditemukan agar stakeholder maupun publik agar tahu tentang sejarah suku bangsa sasak yang terserak tersebut,” ujar RT panggilan akrabnya.
Telusuri Jejak makanan Tradisional Sasak yang Punah
Sementara itu Sekretaris Tim Ekspedisi Mistis, Ahmad Amrullah menambahkan, pihaknya saat ini sedang mendalami dan memverifikasi informasi terkait makanan tradisional suku sasak yang hilang atau musnah.
Hilangnya jenis makanan tradisional Sasak sebab perkembangan jaman yang berimplikasi pada berubahnya gaya hidup, terlebih adanya serbuan produk-produk makanan modern yang serba instan.
Padahal dari sisi kesehatan, makanan Tradisional Sasak tempo dulu lebih familiar cita rasa lidah suku sasak, sehat dan bergizi. Karena diproses alami tanpa campuran pengawet ataupun bahan-bahan sintetis lainnya.
“Tim Ekspedisi Mistis akan mengeluarkan daftar makanan/kudapan tradisional sasak yang hilang maupun terancam musnah jika keberadaannya tidak dilindungi dan diproteksi,” kata Amrullah.
Sementara itu Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto menambahkan Pemerintah Daerah perlu turun tangan untuk melakukan revitalisasidan pembenahan di sekitar lokasi petilasan pating laga Denek Perwangse, agar mempermudah akses masysrakat mengunjungi.
“Penataan Kawasan diseputar petilasan Denek Kramat perlu dilakukan agar masyarakat batu kumbung mengapreasiasi karena nenek moyangnya dimanusiakan. Bila perlu jadikan cagar budaya lokasi petilasan tersebut agar ada kesinambungan perhatian oleh pemerintah,” ucap Lelaki yang akrab di sapa didu.
Untuk diketahui , Ekplorasi Tim Ekspedisi Mistis PDIP NTB dan Mi6 dipandu oleh Anggota DPRD Lombok Barat, Sardian didampingi Sekretaris DPC PDIP Lombok Tengah, Suhardiman.***
Kedekatan Bung Karno dengan Tokoh Islam, Ini Ceritanya
Bung Karno telah menujukkan kedekatan yang mesra dan kontruktif dengan tokoh-tokoh islam di masanya
LOTENG.lombokjournal.com ~ Anggota DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dapil Pulau Lombok H Rachmat Hidayat kembali menggelar sosialisasi 4 pilar kebangsaan MPR RI.
Kali ini, kegiatan sosialisasi menyasar milenial di Pondok Pesantrean Ar Rahmah Nahdatul Wathan (NW) Pringgarata, Lombok Tengah pada Selasa, (15/11/22).
Kegiatan tersebut dihadiri ratusan santri (milenial) Ponpes Arrahmah bersama dengan pengurus yayasan.
H Rachmat Hidayat menyampaikan pentingnya sosialisasi 4 pilar kebangsaan untuk kaum milenial, agar kelompok yang berjumlah hampir 68.662.815 jiwa itu tidak lupa akan jati diri bangsa.
Milenial, kata Rachmat perlu pemahaman yang benar tentang nilai yang terkandung dalam 4 pilar kebangsaan.
Tokoh kharismatik itu mendorong agar milenial terlibat aktif dalam mendistribusikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
“Saya ingin kalangan milinel paham jati diri bangsa. Dan bisa membantu melakukan sosialisasi lewat platform media sosial pribadi masing-masing. Anak muda harus lebih kreatif, supaya 4 pilar kebangsaan ini tidak dipahami secara kaku (leterlek). Bisa membuat konten sosialisasi sekaligus edukasi melalui medsos seperti facebook, instagram, atau tiktok,” jelas Rachmat.
Adapun hadir sebagai pemateri Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Budi Luhur Jakarta Hakam Ali Niazi. Diskusi dipandu oleh M Khairil, pengajar Ponpes Ar Rahmah NW Pringgarata.
Kandidat Doktor itu menyampaikan hubungan erat antar Sang Proklamator Bung Karno dengan sejumlah tokoh islam.
Dalam perjalanannya, Bapak Kandung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu telah menujukkan relasi mesra dan kontruktif dengan tokoh-tokoh islam di masanya.
Sebagai contoh, pada saat Bung Karno masih berusia remaja, beliau pernah berguru ke sejumlah tokoh islam seperti Haji Umar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Bahkan, Bung Karno juga pernah menjadi santri pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Tak hanya itu, Bung Karno juga pernah mendapat bintang kehormatan Muhammadiyah pada 10 April 1965.
Bintang yang dibuat dari bahan emas murni itu diberikan dalam rangka menghargai jasa Bung Karno kepada Muhammadiyah.
Tak hanya dengan tokoh islam di Nusantara, Bung Karno pun menunjukkan kemesraannya dengan tokoh besar islam dunia.
Akademisi Hakam Ali Niazi bercerita, nama Presiden Pertama Repubik Indonesia itu begitu sangat legendaris bagi masyarakat Uzbekistan, sebuah negara di Asia Tengah pecahan Uni Soviet yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Kepopuleran nama Presiden Soekarno berkaitan dengan kisah ditemukannya makam Imam Bukhari, seorang perawi nabi yang sangat termasyur di kalangan umat Islam.
Tidak banyak yang tahu, Soekarno lah orang yang meminta pemerintah komunis Soviet agar menemukan makam tersebut.
Berkat jasa Soekarno, saat ini kompleks makam Imam Bukhari yang terletak di Desa Hartang, sekitar 25 kilometer dari Samarkand, telah menjadi salah satu wisata umat Islam seluruh dunia.
Kebesaran nama Soekarno tidak hanya dikenal di seluruh penjuru Indonesia, namun menggema di seluruh dunia. Dia dikenal sebagai sosok pemimpin berani, tegas, kharismatik, dan tidak mudah diatur oleh bangsa mana pun.
Tidak hanya bagi bangsa Indonesia, kisah kepahlawanan Bung Karno juga dirasakan bagi umat Islam di dunia. Salah satunya di Uzbekistan.
Kisah tersebut bukan hanya cerita fiksi. Sejarah Soekarno dengan bangsa Uzbekistan dimulai setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Pemerintah Soviet mengundang Presiden Soekarno untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Moskow.
Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev mengundang Presiden Sukarno berkunjung ke negaranya. Atas undangan itu, Sukarno tak serta merta setuju.
Kala itu, Uni Soviet dan Amerika Serikat sedang berebut pengaruh. Sukarno merasa perlu berhati-hati. Sebagai penganut garis politik nonblok, ia tak ingin dicap berbelok ke kiri.
Sukarno membuat strategi dengan mengajukan syarat kepada Khrushchev: ia hanya akan memenuhi undangan jika pemimpin Soviet itu bisa “menemukan” kembali makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan. Khrushchev enggan, tapi Sukarno bersikeras.
Akhirnya, lokasi makam Imam Bukhari berhasil ditemukan lagi meski dalam keadaan terlantar. Untuk menyambut dan menyenangkan hati Sukarno, makam perawi hadis terkemuka itu direnovasi.
Ketika akhirnya Sukarno memenuhi undangan Khrushchev, ia menyempatkan diri berziarah ke makam tersebut.
Situasi itu yang oleh Soekarno disiasati dengan sangat cerdas dengan mengajukan syarat atas rencananya memenuhi undangan Pemerintah Soviet, dengan meminta dicarikan/ditemukan makam Imam Bukhari seorang perawi hadis Nabi Muhammad SAW yang amat termasyhur itu.
Kata Soekarno kepada Presiden Soviet, “Aku sangat ingin menziarahinya”.
Menjelang kedatangan Bung Karno pada tahun 1956, Presiden Uni Soviet kala itu kondisi makam tidak terawat dengan baik dan berada di semak belukar, hingga akhirnya pemerintah Soviet membersihkan dan memugar makam tersebut untuk menyambut kedatangan Soekarno.
Penghormatan Soekarno terhadap Imam Bukhari dilakukannya dengan cara melepas sepatu dan berjalan merangkak dari pintu depan menuju makam ketika turun dari mobil yang mengantarnya.
“Itu sebagian bukti kedekatan Bung Karno dengan tokoh islam. Ini penting kita sampaikan sebab selama ini Bung Karno dicap sebagai tokoh yang dicap terlibat komunis dan jauh dengan islam. Itu semua tidak benar,” paparnya yang didengar khidmat oleh ratusan peserta yang hadir.
Anasir keterlibatan Soekarno dengan PKI dijelaskan sebagai siasat politik penggulingan kekuasaan Orde Lama oleh Orde Baru.
Milenial Diminta Tak Lupakan Sejarah dan Sebarkan Nilai Luhur Pancasila Melalui Medsos
Pemahaman komprehensif terkait 4 pilar kebangsaan memiliki urgensi tentang pentingnya Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Khusus bagi para santri (milenial), di tengah arus gempuran disrupsi informasi dan arus modernisasi, internasilasi pemahaman 4 pilar kebangsaan menjadi makin penting.
Sebab, jika tidak secara konsisten dinarasikan, maka milenial akan menjadi eskponen yang rentan disusupi pemahaman radikalisme yang bisa merongrong disintegrasi bangsa.
Oleh karenanya, milenial diminta memanfaatkan perkembangan teknologi secara positif. Menggunakan teknologi saat ini untuk lebih memperkuat kecintaan dan pemahaman terhadap identitas bangsa.
“Milenial perlu terlibat aktif menyebarkan nilai-nilai luhur pancasila, tidak boleh pasif. Sosialisasi ini dilakukan sebagai ikhtiar mengokohkan pondasi tentang nilai luhur tersebut,” katanya.
Dalam penyampaiannya, Hakam juga memberikan apresiasi kepada peserta yang terlibat aktif dalam diskusi panel.
Ia memberikan sejumlah uang kepada peserta (baik santri maupun pengajar) yang aktif memberikan tanggapan maupun pertanyaans saat diskusi berlangsung.
Sementara itu, turut menjadi pembicara dalam sosialisasi ini, Dr Alfisahrin, yang merupakan Wakil Direktur III Politeknik Medica Farma Husada Mataram yang juga Dosen Fisipol dan Ilmu Komunikasi Universitas 45 Mataram.
Dalam paparannya, Dr Alfisahrin menyampaikan sejumlah urgensi dari sosialisasi 4 pilar kebangsaan.
Saat ini masyarakat Indonesia tengah berhadapan dengan kondisi atau tantangan global. Sosialisasi empat pilar kebangsaan, merupakan perintah dari Undang Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Setidaknya terdapat sejumlah alasan mengapa sosialisasi 4 pilar penting dilakukan.
Pertama karena masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman agama yang keliru dan sempit.
“Seperti munculnya radikalisme yang melahirkan terorisme. Ini harus diantisipasi agar jangan sampai ada anggota masyarakat yang terpapar radikalisme dan terorisme,” jelasnya.
Kedua masih adanya pengabaian terhadap kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan. Masih terjadi disparitas pembangunan pusat dan daerah.
“Ini menimbulkan fanatisme kedaerahan. Sehingga sempat muncul daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI,” ujarnya.
Ketiga kurang berkembangnya penghargaan terhadap kebhinnekaan dan kemajemukan yang melahirkan politik SARA. Oleh karena itu, perlu menghindari politik SARA.
Tetap harus waspada, mungkin saja yang melakukan hoax, fitnah, dan adu domba bukan dari calon presiden. Bisa jadi ada pihak ketiga yang mengadu domba sesama anak bangsa,” jelasnya.
Alasan keempat karena kurangnya keteladanan sebagian pemimpin sebagai tokoh bangsa. Hala tersebut juga selaras dengan ancaman disitegrasi bangsa.
“Seperti pengaruh internet dan gadget. Ini bisa mempengaruhi jati diri bangsa. Dulu kita punya nilai gotong royong tapi sekarang sudah mulai individualistik,” ucapnya.
Oleh karenanya, ia mengajak para santri untuk mengamalkan nilai-nilai pancasila melalui perilaku-perilaku sederhana. Seperti menghindari tawuran antar pelajar, bolos sekolah, tetap menghormati dan menghargai guru dan sebagainya.
Di tempat yang sama, Ketua Yayasan Ponpes Ar Rahmah NW Pringgarata Lalu Minhajjurrahman dalam sambutan menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga kepada tokoh kharismatik NTB. H Rachmat Hidayat.
“Ini pertama kali ada yang melakukan sosialisai 4 pilar di tempat kami. Kegiatan ini penting dalam rangka kita menumbuhkembangkan pemahaman tentang bangsa Indonesia,” katanya.
Ia juga menyampaikan takzim atas bantuan Ruang Kelas Baru (RKB) yang akan disalurkan oleh H Rachmat Hidayat untuk Ponpes Arrahmah NW Pringgarata.
Ia pun menobatkan H Rachmat Hidayat sebagai Datu Lombok. Pasalnya, kiprah politisi senior PDIP itu untuk Pulau Lombok tidak dapat diragukan lagi.
“Kita doakan semoga beliau (Rachmat Hidayat) senantiasa dianugerahi kesehatan sebagai pembela aspirasi wong cilik, dan pembela aspirasi masyarakat NTB. Kami akan nobatkan sebagai Datu Lombok,” katanya.
“Kami nanti harus membalas jasa beliau. Tentu kami akan membahas mekanismenya,” sambungnya.
Adapun Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ponpes Arrahmah NW Pringgarata telah berdiri sejak 1963 silam. Madrasah Tsanawiah berdiri tahun 1984 dan Madrasah Aliyah (MA) berdiri tahun 1989.***
Empat Tahun Zul-Rohmi, Ada Apel Pengkhidmatan dan Bazar Murah
Sekda NTB, Lalu Gita Ariadi memimpin apel pengkhidmatan empat tahun kepemimpinan Zul-Rohmi, diikuti oleh Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Lingkup Provinsi
MATARAM.lombokjournal.com ~ Apel pengkhidmatan sekaligus kegiatan Bazar Murah serta berbagi sembako sebagai bentuk peduli inflasi, menandai peringatan empat tahun kepemimpinan Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc. dan Wakil Gubernur, Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, yang berlangsung di Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB, hari Senin (19/09/22).
Peringatan itu dipimpin Sekertaris Daerah NTB, Lalu Gita Ariadi, dan diikuti oleh Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Lingkup Provinsi serta jajarannya.
Dalam kesempatan itu, Miq Gite mengungkapkan, momentum peringatan empat tahun Zul-Rohmi menjadi waktu yang tepat untuk mengapresiasi, mengevaluasi, dan antisipasi proyeksi masa kepemimpinan.
“Setidaknya dua makna, yang pertama adalah momentum untuk melakukan evaluasi sejauh mana empat tahun perjalanan kita mengawal 2018-2023 tertunaikan dengan sebaik baiknya. Kemudian momentum yang kedua, adalah momentum untuk melakukan antisipasi proyeksi setidaknya bagaimana paripurnakan pelaksanaannya,” tutur Miq Gite selaku pembina upacara.
Di tengah Inflasi yang terjadi, Provinsi NTB dikatakan Miq Gite, menjadi salah satu provinsi terbaik dalam mengendalikannya di kawasan Indonesia Timur.
Hal disebutkan Miq Gite merupakan hasil kerjasama semua belah pihak dan kinerja OPD di berbagai instansi yang sangat baik.
“NTB termasuk raih Provinsi terbaik pengendalian inflasi untuk kawasan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua,” tutur Miq Gite.
Selepas Upacara, Miq Gite kemudian berkeliling menyaksikan operasi pasar murah yang digelar di halaman Kantor Gubernur NTB.
Bazar murah tersebut menyediakan berbagai kebutuhan pokok, seperti beras, telur, bumbu dapur, minyak goreng dan berbagai lainnya.
Tak hanya itu, Miq Gite juga turut berbagi sembako kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bentuk peduli inflasi.
Selain Bazar, ada juga perpustakaan keliling, samsat keliling, dan Mobil NTB Care yang membuka pelayanan gratis kepada masyarakat. ***
Empat Tahun Kepemimpinan Zul-Rohmi, Mewujudkan NTB Gemilang (Empat)
Program 1000 cendekia selama empat tahun kepemimpinan Zul-Rohmi, menuai pujian masyarakat
MATARAM.lombokjournal.com ~Program 1000 Cendekia menjadi salah satu fokus NTB di bawah pemerintahan Gubernur Dr H Zulieflimansyah dan Wagub Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah.
Ratusan putra-putri NTB difasilitasi meraih pendidikan lebih tinggi di berbagai negara, Asia dan Eropa.
Kepemimpinan Zul-Rohmi menyadari bahwa peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus terus dilakukan sebagai investasi daerah yang tak ternilai.
Hal ini yang mendorong Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalokasikan dana khusus untuk beasiswa.
Program 1000 Cendekia NTB sempat menjadi polemik dan dikritisi di awal kepemimpinan Zul-Rohmi.
Toh, setahun dua berjalan, program ini banyak menuai pujian. Zul-Rohmi dinilai tepat mengarahkan fokus ke pembangunan SDM yang sejajar dengan fokus ke pembangunan infrastruktur dan ekonomi daerah.
Sejumlah testimoni baik tentang program ini disampaikan para awardee. Ratusan mahasiswa dan pelajar melihat dan belajar tentang masa depan, dari negeri orang, untuk kembali ke masa kini dan menceritakannya dengan kontribusi terbaik di daerah sendiri.
Salah seorang awardee, Mia Riskana mengakui bangga dan sangat mengapresiasi Program 1000 Cendekia NTB.
“Kalau nggak ada program beasiswa 1000 Cendekia, belum tentu saya bisa lanjut S2, apalagi di luar negeri. Saya sangat bangga dan mengapresiasi program Zul Rohmi ini,” kata Mia.
Gadis asal Mataram ini merupakan salah satu dari lima orang awardee penerima beasiswa S2 yang berangkat kuliah di Polandia tahun 2019 lalu.
Dua tahun menimba ilmu di University of Warsaw di Kota Warsawa, Polandia, Mia merupakan salah satu lulusan terbaik.
“Saya berangkat angkatan pertama, dan dua tahun kuliah di Polandia menyandang S2. Bahkan saya dianugerahi lulusan terbaik dari universitas,” katanya.
Mia berharap program beasiswa ini terus dilaksanakan untuk anak-anak NTB yang lain. Walaupun ia mengakui, investasi pendidikan tidak sekejap mendatangkan hasil.
Namun Ia meyakini makin banyak alumni beasiswa luar negeri akan mampu memberikan warna untuk masa depan NTB bahkan Indonesia.
“Karena investasi dipendidikan itu bukan seperti investasi di bisnis. Hasilnya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tapi bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas,” ujarnya.
Menurut Mia, program 1000 Cendekia yang mengirim putra-putri NTB menimba ilmu di sejumlah negara, sangat inovatif.
Sebab, di negara lain, bukan hanya ilmu akademik di bangku kuliah semata yang didapatkan. Tetapi juga pengalaman beradaptasi dan berinteraksi dengan banyak orang dari belahan dunia.
“Hal ini yang tidak mudah didapatkan. Program 1000 Cendekia NTB ini program luar biasa, semoga beasiswa ini terus diberikan kepada anak NTB,” katanya.
Awardee lainnya, Najmul Wathan juga menyatakan bangga bisa melanjutkan pendidikan S2 di negeri Jiran, Malaysia.
“Saya nggak pernah bermimpi bisa kuliah di luar negeri. Apalagi saya hanya anak kampung, jauh di pelosok di Dompu.Dan orang tua hanya petani,” ujar Najmul.
Selain mendapatkan ilmu di negeri orang, Najmul juga mengaku bisa lebih luas wawasannya dengan interaksi dan memahami pola pikir warga luar.
“Yang luar biasa pengalaman kuliah di sana, saya dapat menjadi relawan mengajar, bahkan dibayar oleh universitas dan diberikan fasilitas seperti mobil, rumah dan perabotannya lengkap,” akunya.
Sama seperti Mia, Najmul berharap program 1000 cendekia ini bisa terus berjalan dan lebih banyak pemuda dan pemudi NTB bisa merasakan manfaatnya.
Dalam beberapa kali wawancara terkait Program 1000 Cendekia, Gubernur NTB DR H Zulkieflimansyah menyampaikan optimisme bahwa jika anak-anak NTB diberikan kesempatan untuk berkompetisi, maka sebenarnya kemampuannya tidak akan kalah dengan yang lainnya.
“Bahkan ketika mereka harus bergaul dan berkompetisi di luar negeri,” ujar Gubernur Zul.
Ia menilai, pengalaman kuliah di luar negeri ini memberikan kepercayaan diri bagi anak-anak NTB untuk mengisi pembangunan. Baik pembangunan di daerah NTB maupun secara nasional di Indonesia, bahkan dunia.
“Anak-anak NTB ini tercatat jauh lebih hebat di tempat kuliah mereka di luar sana. Artinya, semangat mereka ini yang mahal dan harus terus didorong,” katanya.
Program 1000 Cendekia hanya satu dari tak kuang dari 65 program unggulan Provinsi NTB. Zul-Rohmi berfokus pada program-program ini untuk menafsirkan visi misi Gemilang atau negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Negeri yang makmur dan sejahtera ketika pemimpin dan rakyat memiliki kesamaan visi dan tujuan bersama.
Di tahun keempat kepemimpinan Zul-Rohmi di NTB, keberhasilan duet doktor ini juga terepresentasikan melalui event-event internasional yang mulai digelar berkesinambungan. Hal ini menandai ikhtiar kebangkitan ekonomi dari keterpurukan lokal dan global.
Event-event internasional juga membuka peluang pada pembangunan infrastruktur dan investasi di hampir seluruh daerah di NTB. MXGP di kawasan Samota Sumbawa, MotoGP, WSBK, Iron Man, Tambora Menyapa Dunia, konvensi G20 dan lain lain membentuk peluang ekonomi baru yang dimulai di tahun keempat maupun sebelumnya.
Tak berlebihan jika nanti di tahun kelima kelak, seluruh cetak biru kegiatan ekonomi masyarakat NTB akan berjalan lebih siap, lebih mandiri dan menghasilkan pendapatan untuk daerah.
Melengkapi keberhasilan tersebut, pengakuan atas pencapaian pemerintahan Zul Rohmi mendapatkan pengakuan nasional dan internasional. Banyak pula dari inovasi dan program pemerintah yang menjadi program strategis nasional dan direplika ke daerah lain.
Dengan demikian konfirmasi atas segala dinamika keberhasilan yang diraih menjadi prestasi yang harus dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Seluruh pencapaian pembangunan NTB di tahun ke empat kepemimpinan Zul Rohmi adalah buah kerjasama antara pemimpin dan masyarakat.
Dalam terminology point zero sebagai sebuah revolusi tindakan dan kebijakan. Ketahanan menghadapi tantangan nasional dan ancaman global harus dikuatkan dengan melibatkan society atau masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus pemeran utama dalam pembangunan.
Pemimpin yang telah memulai langkah pertama harus terus dikawal dengan loyalitas pada tujuan bersama. Agar daerah kita yang kecil tetap memilik mimpi-mimpi besar. ***
Didampingi Tuan Guru dan alim ulama, Hasto Kristiyanto resmikan Musala Tanzila Khadijah untuk memberi layanan beribadah pada masyarakat
MATARAM.lombokjournal.com ~ Didampingi para Tuan Guru dan alim ulama, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, meresmikan Musala Tanzila Khadijah di Kantor DPD PDIP NTB, Jumat (16/09/22).
Kehadiran musala ini diharapkan tidak hanya menghadirkan kesisiplinan dalam beribadah, tapi juga menjadi benteng moral seluruh kader dan umat Islam yang datang menunaikan salat sunah dan salat wajib.
Peresmian diawali dengan sambutan Sekretaris Umum Bamusi sekaligus Anggota Komisi VII DPR RI, Nasyirul Falah Amru atau karib disapa Gus Falah.
Putra KH Amru Al-Mu’tashim ini mengatakan, keberadaan musala Tanzila Khadijah tersebut sepenuhnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Politisi PDI Perjuangan yang juga merupakan salah seorang pengurus PBNU ini mengatakan, DPD PDIP NTB sebelumnya telah memiliki satu musala yang terdapat di area dalam kantor DPD.
Namun, demi memudahkan masyarakat yang hendak beribadah, DPD PDIP NTB kemudian memutuskan membangun kembali satu musala yang sangat representatif dan persis berada di bagian depan kantor PDIP NTB, yang berada di Jalan Dr Soejono.
Jalur ini merupakan salah satu jalan protokol di Kota Mataram, di mana kantor-kantor pemerintahan berdiri baik instansi Pemerintah Pusat, maupun instansi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Mataram.
Untuk masyarakat yang datang beribadah, pengurus Musala nantinya juga menyiapkan sajian makanan dan minuman yang dapat dinikmati setiap usai menjalankan ibadah Salat Fardu.
Dalam kesempatan tersebut, secara khusus Gus Falah menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Ketua DPD PDIP NTB yang juga merupakan koleganya sesama Anggota DPR RI, H Rachmat Hidayat, yang telah menginisiasi pembangunan musala hingga rampung.
Gus Falah mengatakan, balasan untuk mereka yang membangun tempat ibadah akan datang langsung dari Allah SWT.
“Mereka yang membangun tempat ibadah di dunia, sekecil apa pun, Allah akan menggantinya dengan membangunkannya istana di surga,” kata Gus Falah.
Bung Karno dan Islam
Prasasti peresmian Musala Tanzila Khadijah sendiri, sebelumnya telah ditandatangani langsung Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Hj Megawati Soekarnoputri.
Lantaran pada saat yang sama, Presiden ke-5 Republik Indonesia tersebut sedang berada di Korea Selatan untuk menjadi pembicara dalam forum perdamaian yang dihadiri tokoh-tokoh dunia, Ibu Mega tidak bisa hadir secara langsung dalam peresmian, sehingga diwakili Hasto Kristiyanto.
Dalam sambutannya, Hasto menyampaikan, peresmian musala ini adalah perwujudan nyata dari “Api Islamnya Bung Karno”, di mana Presiden Pertama RI tersebut menginginkan Islam menjadi agama yang maju, sehingga menjadikannya sebagai api sejarah peradaban.
Selain menjadi tempat beribadah dan bermunajah, musala ini kata Hasto dihajatkan menjadi tempat lahir dan tumbuhnya pemikiran Islam.
Tempat dilakukannya kajian-kajian fiqih. Tempat berdiskusi dan memperdalam ilmu agama, dan juga tempat kontemplasi.
“Kita akan menggunakan musala ini sebagai tempat memperkuat keimanan kita dan menjadi benteng moral kita. Dengan begitu, kerukunan yang menjadi prinsip Pancasila, akan dapat dijalankan umat dengan sebaik-baiknya,” kata Hasto.
Pada kesempatan yang sama, Hasto juga menyampaikan bagaimana kedekatan Bung Karno dengan Umat Islam. Tidak hanya di Indonesia namun juga umat Islam di dunia.
Dalam Konferensi Islam Asia Afrika tahun 1965, Bung Karno bahkan telah diberi gelar Pembebas Bangsa Bangsa Islam, karena andil besar Bung Karno atas kemerdekaan sejumlah negara-negara Islam seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair, dan Pakistan.
Di Pakistan dan negara-negara Afrika Utara tersebut, Bung Karno bahkan langsung mengerahkan armada kapal selam Whiskey milik Indonesia, untuk membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara tersebut.
Pada saat itu, Indonesia memang merupakan negara di belahan selatan dunia yang memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh. Indonesia bahkan memiliki 12 unit kapal selam jenis Whiskey yang merupakan kapal selam tercanggih pada masanya.
Bahkan di Aljazair, Bung Karno menyelundupkan senjata ke sana untuk membantu perjuangan kemerdekaan warga Aljazair melawan penjajah Prancis.
Langkah Bung Karno tersebut memantik beragam kekhawatiran. Hasto menceritakan, berdasarkan penuturan Guntur Soekarnoputra, yang kala itu sudah menempuh pendidikan sekolah menengah, Bung Karno diingatkan akan tindakannya yang bisa berimplikasi dengan datangnya sanksi dari Perserikatan Bangsa Bangsa.
Kepata Guntur, putra sulungnya, Soekarno menegaskan, apa yang dilakukannya adalah prinsip membumikan Pancasila. Bung Karno tidak takut kepada PBB.
Bung Karno hanya takut kepada Allah SWT. Karena itu, Bung Karno meminta putranya tenang-tenang saja.
“Kalau PBB macam-macam, nanti Bapak kentuti,” kata Hasto mengutip ucapan Bung Karno yang disampaikan kepada Guntur kala itu.
Kata Hasto, Bung Karno ingin Bangsa Indonesia bukan menjadi bangsa penakut. Bukan menjadi bangsa yang mudah ditekan.
Maka setelah negara-negara tersebut merdeka, nama Bung Karno diabadikan. Di Pakistan ada Bung Karno Square Khyber Bazar di Kota Pesawat.
Sementara di Aljazair juga ada monument Bung Karno di jantung Kota Aljir, ibu kota negara yang dijuluki “Negeri Seribu Syahid” tersebut.
Bung Karno bahkan ingin Pancasila menjadi Piagam PBB. Dalam pidatonya “Membangun Dunia Kembali” (To Build The World a New) di hadapan Sidang Umum PBB ke-15 tanggal 30 September 1960, Bung Karno telah menyampaikan usulan tersebut secara langsung. Bung Karno haqqulyakin, Pancasila mampu membangun peradaban dunia.
Sayangnya, dalam perjalanan bangsa Indonesia, kata Hasto, banyak sejarah yang kemudian ditutupi, difitnah, dan Bung Karno dijauhkan dengan Islam.
Padahal Bung Karno adalah santri sejati. Bung Karno misalnya digembleng langsung oleh tokoh masyhur Sarikat Islam HOS Tjokroaminoto.
Bung Karno juga belajar langsung tentang Islam bermemajuan, Islam yang membangun peradaban yang bersekutu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada KH Ahmad Dahlan, ulama besar tanah air, pahlawan nasional, dan pendiri Muhammadiyah. Bung Karno juga belajar langsung kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
“Tapi, biarlah kalau ada yang memfitnah. Kalau ada sejarah yang dibelokkan. Kita memperjuangkan politik kebenaran. PDIP ingin menjadi rumah kebangsaan untuk Indonesia Raya. Rumah bagi umat Islam,” kata Hasto.
Di bagian lain, Bung Karno bahkan adalah penyelamat Universitas Al Azhar, Kairo, sebuah perguruan tinggi Islam tertua di dunia yang namanya begitu masyhur hingga kini.
Pada 1959, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, sudah bersiap menandatangani Surat Keputusan penutupan Universitas Islam Al Azhar Kairo, dan akan diganti dengan suatu institusi pendidikan yang baru.
Namun, dalam kunjungan untuk menemui sahabatnya, Presiden Nasser, Bung Karno menyampaikan ketidaksetujuannya. Disebutnya, penutupan Universitas Al Azhar adalah sebuah kesalahan dan kekeliruan.
Nasihat Bung Karno sangat didengarkan Presiden Nasser, dan membuatnya membatalkan penutupan Universitas Al Azhar Kairo dan eksis sampai saat ini.
Ucapan Bung Karno saat mengunjungi Universitas Al Azhar Kairo pada 24 April 1960, kini menjadi prasasti yang diletakkan di dekat Musala Tanzila Khadijah di Kantor DPD PDIP NTB.
Dalam prasasti tersebut tertulis ucapan asli Bung Karno dalam ejaan Bahasa Indonesia lama, “Islam boekanlah sekedar sistem agama melainkan adalah seboeah adjaran jang lengkap oentoek Peradaban Rahmatan Lil Alamin”.
Pun juga, Bung Karno memelopori penghijauan di Padang Arafah, setelah merasakan langsung bagaimana tandusnya Padang Arafah saat menunaikan ibadah haji pada 1955. Bung Karno lalu mengajukan usulan penghijauan kepada Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz al Saud untuk menanam ribuan pohon yang rindang. Bung Karno kemudian mengirimkan ribuan bibit pohon mimba atau sejenis pohon mindi dari Indonesia untuk ditanam di Arafah.
Pohon-pohon itu kini dikenal dengan nama Pohon Sukarno, dan menjadi peneduh bagi jutaan jamaah haji saat menjalankan ibadah wukuf yang merupakan puncak rangkaian ibadah haji.
“Kalau untuk pembangunan tempat ibadah. Saya tidak bisa lagi merinci jumlah masjid, musala yang dibangun Bung Karno sebagai tempat ibadah bagi Umat Islam,” kata Hasto.
Tokoh kelahiran Jogjakarta ini kemudian mendaulat para tuan guru dan alim ulama yang hadir untuk menggunting pita sebagai tanda peresmian Musala Tanzila Khadijah.
Diawali doa yang dipimpin TGH Subki Sasaki, musala tersebut secara resmi dibuka dan dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin.
Senam Sicita
Sementara itu, sebelum agenda peresmian musala, Hasto mengikuti kegiatan senam Indonesia Cinta Tanah Air (Sicita) di Kantor DPD PDI Perjuangan. Hasto bersama sejumlah kader yang hadir melakukan sedikit pemanasan.
Lagu Sicita lalu diputar dan semua kader ikut bergerak mengikuti arahan instruktur. Ratusan kader yang menggunakan kaus merah begitu semangat mengikuti gerakan instruktur senam.
Senam Sicita tersebut dilaksanakan sebanyak tiga kali. Hasto memang memancing instruktur menambah repetisi senam. “Sekali lagi, sekali lagi,” kata Hasto ketika senam Sicita sesi kedua selesai.
Hasto menyampaikan senam Sicita ini mengandung semangat nasionalisme dan kekayaan Nusantara. Di dalamnya terdapat aransemen lagu nasional, daerah, dan slogan-slogan Indonesia.
Namun begitu, yang terpenting, lanjut Hasto, senam ini bisa membawa kesehatan dan semangat bagi kader PDIP.
“Menurut penelitian UNJ, satu kali senam Sicita rata-rata bisa membakar seribu kalori,” kata Hasto. Doktor Ilmu Pertahanan itu juga menyampaikan kepada para kader betapa pentingnya menjaga kesehatan. Terlebih ke depan tahapan pemilu 2024 sudah berjalan.
“Dengan senam Sicita ini kita sehat, tahapan pemilu dapat dilakukan sebaik-baiknya dengan semangat. Jadi, semangat diawali kesehatan kita,” kata Hasto sembari berharap para kader rutin melaksanakan senam Sicita ini di Kantor DPD PDIP NTB.
Sebelum bertolak kembali ke Jakarta, Hasto kemudian mengunjungi Desa Adat Sade di Lombok Tengah. Di sana, Hasto mengenakan pakaian adat Sasak lengkap dengan keris. Hasto juga berdiskusi banyak dengan para pelaku usaha dan jasa pariwisata di sana. Menyaksikan langsung atraksi peresean dan melihat dari dekat bagaimana rumah asli masyarakat Suku Sasak. ***
Gubernur NTB Hadiri Kuliah Umum Mantan Sejawatnya di Unram
Hasto Kristiyanto yang memberi kuliah umum di UNRAM, disebut Gubernur NTB sebagai mantan rekan sejawat saat di DPR RI san merupakan narasumber yang bisa bicara apa saja
MATARAM.lombokjournal.com ~ Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc. menyambut baik Kuliah Umum yang diberikan oleh Dr. Ir. Hasto Kristiyanto, MM, Doktor Ilmu Pertahanan Universitas Pertahanan Republik Indonesia kepada mahasiswa Universitas Mataram (Unram) di Ruang sidang Senat Rektorat Unram, Kamis (15/09/22).
Dalam kesempatan tersebut, Bang Zul sapaan Gubernur meminta kepada para mahasiswa yang hadir untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
Doktor Hasto yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), diceritakan Gubernur, tak hanya memiliki ilmu di bidang pertahanan, melainkan juga di dunia politik yang lebih luas.
“Jadi, adik-adik tidak hanya memiliki narasumber yang hanya expert di bidang pertahanan saja tetapi juga bisa bicara apa saja,” ungkap Bang Zul.
Dalam sambutannya, Bang Zul menceritakan Doktor Hasto merupakan rekan sejawatnya saat duduk di kursi DPR dan berada di komisi sama.
“Sosok aktivis mahasiswa yang menjadi salah satu bintang di Senayan saat itu,” kenang Gubernur.
Doktor Hasto sendiri membawakan materi kuliah bertajuk “Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya Terhadap Pertahanan Negeri”.
Kuliah Umum tersebut diikuti oleh para mahasiswa Unram dan berjalan dengan atraktif.
Rokyal Aeni, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Unram, yang menghadiri Kuliah Umum tersebut mengaku cukup antusias.
Ia berharap para expert berbagai bidangterus didatangkan di Universitas Mataram agar mahasiswa bisa semakin kaya akan ilmu pengetahuan.