Monolog Aktor Lanang Surya dari Nusa Tenggara Barat
Dalam panggung prosenium yang dibentuk dengan layar hitam, pertunjukkan monolog terasa lebih dekat menonton pentas panggung
Catatan: Rudolf Puspa
JAKARTA.lombokjournal.com ~ Di hari ke 12 pentas monolog urutan ke 13 datang dari NusaTenggara Barat.
Bale Solah Agung menyutradarai aktor Lanang Surya memainkan karya Beny Yohanes berjudul BIN. Judul membawa kejutan karena mirip lembaga tinggi negara yang bertugas mengamati seluk beluk keamanan negara melalui kegiatan intelejen.
Namun tidak perlu berkelanjutan keterkejutan baca judul sebab memiliki arti dan maksud jauh dari arti yang umum sudah ketahui.
Salah satu daya kejut lewat judul termasuk cara penulis menarik perhatian.Tentu pertama kepada para pelaku teater Indonesia yang mendapat keyakinan akan banyak penonton ketika membaca poster baik yang ditempel di tempat-tempat umum atau lewat medsos yang lebih evisien masa kini.
Dalam hal ini aku selalu suka pada judul-judul drama karya Beny yang banyak sudah aku baca.
Pengamatan kepada kehidupan sosial politik sangat kental dan mampu menyampaikan dalam bahasa yang jelas dan cepat ditangkap. Istilah kerennya berbahasa yang baik dan benar. Tarji bilang bahasa yang baik dan benar itu yang mudah dipahami orang lain. Terima kasih bung Beny Yohanes.
Bung Bale Solah Agung menyiapkan monolog dalam panggung prosenium yang dibentuk dengan layar hitam. Sederhana dan menguntungkan ketika harus mengatur tata cahaya yang tak perlu warna warni. Kameramen sepertinya juga lebih banyak merekam dengan mempertahankan pentas teater panggungnya.
Maka penciptaan pertunjukkan monolog terasa lebih dekat menonton pentas panggung. Set prop kasur sprei hijau dan bantal serta selimut di ruang kanan atas dan meja kayu yang diatasnya ada cangkir, diktat, buku-buku, teko plastik di tengah kiri. Terkesan kamar kos mahasiswa yang rapi.
Mungkin tempat penyimpanan pakaian di ruang lain karena di ruang sempit ini tak ada almari pakaian. Jika mengikuti garis prosenium yang berbentuk trapesium dimana depan lebar dan belakang lebih kecil maka teorinya mengatakan kasur dan meja ditata agak miring.
Kasur menjadi ke arah diagonal ke pojok kiri depan dan meja kearah pojok kanan depan. Dengan demikian maka penonton dari kiri dan kanan panggung akan mendapat porsi yang kuat dalam melihat wajah aktor. Sebab otomatis ketika duduk di bangku dan kasur akan mengarah diagonal. Namun karena ini virtual maka barangkali sutradara punya konsep lain.
Istilah panggungnya posisi tiga perempat. Garis merah dibagian depan bisa dipahami adalah dinding dan ada satu pintu. Taktik yang pandai setidak2nya untuk menjaga agar pemain tidak melewati dinding yang abstrak. Garapan yang apik ini akan menjadil lebih “meledak” ketika ada klimaks yang mengejutkan bahwa BIN adalah nama seorang mahasiswa. Mahasiswa yang bicara tentang sejarah yang mengingatkan aku kepada teriakan Albert Camus melalui Caligula di akhir pertunjukkannya :”masuki sejarah”. Salam jabat sadar sejarah bung Bale Solah Agung.
Lanang Surya mahasiswa yang tampak tenang sehingga tidak memerlukan tenaga lebih untuk menjadi stress lalu meledak-ledak berbicara. Walau banyak sinisme tentang diktat, tentang joki ujian, foto copy skripsi teman, yang tentu semuanya adalah karakter keluarga korup dilingkungan kampus yang semestinya tempat pendidikan menjadi intelektual.
Barangkali juga termasuk aktivis yang punya kegiatan untuk melawan, memberontak terhadap hal-hal yang menurutnya beserta kelompoknya tidak seide di kampusnya. Memang kurang terasa apa si BIN ini aktivis atau bukan.
Yang terasa adalah ia akan menghadapi ujian dan harus siap walau kesal karena apa gunanya kerja keras menyiapkan ilmu sementara beli saja gampang? Potret lama yang sering sudah bukan rahasia umum lagi walau benakku bertanya apa masa kini masih berlangsung? Kadang perlu juga ada tanda2 tentang kapan kejadian ini berlangsung.
Ruang yang abstrak dengan pintu abstrak menantang sang aktor untuk menjadi teliti sehingga akan menguasai secara betul setinggi, lebar daun pintu, gagang pintu, seret atau tidak, pakai kunci atau tidak sehingga ketika acting membuka dan menutup aku bisa melihat pintu dan merasakan sedang menarik dan mendorong pintu.
Ada baiknya sering-serig ketika buka tutup pintu beneran disadari diperhatikan sehingga lama-lama akan hafal betul geraknya. Bisa juga belajar lewat pantomim dan tetap ingat tidak sedang bermain pantomim yang segala gerakkannya memang terkesan dilebihkan. Phrasing kalau dalam istilah dialog. Harus tetap dijaga wajar dan indah.
Percayalah segala bisa asal mau dan anda kuyakin punya kemauan untuk menciptakan seni akting yang wajar dan indah walau dilakukan secara abstrak. Terlalu sering ketika berdialog menengadah sehingga berakibat mata menjadi sipit. Mungkin tidak disadari karena barangkali sudah pembawaan sehari-hari? Hal ini perlu diingat dan diperhatikan karena mata sangat berarti sebagai alat penyampaian suasana emosi dibalik dialog yang diucapkan.
Akan membantu irama suara sang aktor dalam berdialog. Dalam menakar emosi anda cukup teliti sehingga lonjakan emosi dari awal hingga mencapai klimaks dapat terukur. Walau dijalan datar perlu dicari kerikil atau batu tajam yang membuat sang aktor menampilkan gerak yang tidak datar saja seolah2 tak terjadi apa2.
Penajaman emosi, diksi, phrasing, timing, tempo tentu akan menjadi pengikat hati yang tersentuh hingga ikut merasakan suasana yang sedang terjadi dihadapan kita yakni aktor yang sedang berperan.
“Sejarah” dalam imajinasi BIN yang merupakan klimaks dari apa yang dicita2kan perlu lebih merupakan ledakkan besar untuk menjawab kekecewaannya terhadap kampus lebih dahulu meledak. Cari terus kesempatan manggung dimanapun sehingga berada di panggung terasa “at home”.
Berada dirumah akan mengenal hingga sedetail2nya tata ruang seisinya sehingga berada di titik manapun tidak canggung atau kaku. Selamat berlayar mengarungi gelombang yang tak berkesudahan. Merdeka berkarya.
Di setiap catatan yang aku tulis tak henti-hentinya aku ingatkan, bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa, siapa, mengapa, kapan, dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan.
Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia.
Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat berkarya.
Jakarta 29 Agustus 2021.
Email: pusparudolf@gmail.com
On Stage 2021: Upaya ‘Insomnia Theater Movement’ Kuatkan Eksistensi Teater NTB di Masa Pandemi
Insomnia Theater Movement melalui On Stage 2021 dalam tema ‘Titik Kumpul’ memberi tanda dahwa di tengah masa sulit pandemi Covid-19, teater di Nusa Tenggara Barat tetap eksis
MATARAM.lombokjournal.com ~ Insomnia Theater Movement kembali mengadakan kegiatan teater tahunan yang jadi program rutin kelompok teater yang dimotori Indra Putra Lesmana.
Penyelenggaraan kegiatan di bulan Agustus ini, merupakan yang ketiga kalinya dengan tajuk On Stage. Dalam perhelatan panggung kali ini, Insomnia Theater Movement mengangkat tema ‘Titik Kumpul’.
Perhelatan ketiga Insomnia Theater Movement akan berlangsung selama tiga hari (23-26 Agustus 2021), dengan menghadirkan enam kelompok Teater yang salah satunya dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Titik Kumpul dihajatkan jadi ‘tanda’ teater NTB tetap eksis di masa sulit seperti sekarang,” jelas Indra.
Enam kelompok teater, masing-masing akan menampilkan pertunjukan pada pagi Pukul 09.00-selesai, dan sore Pukul 04.00-selesai selama empat hari. Dan diakhiri diskusi dengan tema Proses Kreatif di ujung kegiatan.
Kegiatan yang bekerjasama dengan Taman Budaya NTB ini akan dipusatkan di gedung Teater Tertutup Taman Budaya dengan protokol kesehatan ketat.
Selain pertunjukan dan diskusi, kegiatan juga dirangkai dengan Mural dari DPK art space.
Teater Himla NTT menampilkan pertunjukan berjudul Dopi, Sutradara Novrizal Hamza. Dijelaskan, pertunjukan berangkat dari hasanah tradisi masyarakat Adonara Kabupaten Flores Timur.
Teater Tastura Lombok Tengah akan menampilkan pertunjukan berjudul Koran karya Agung Widodo dengan sutradara Ilham Muchtar.
Teater 16 Lombok Timur menampilkan pertunjukan dengan judul Burung Firdaus, sebuah naskah adaptasi dari karya puisi penyair NTB Kiki Sulistyo dengan Sutradara Yusfianal Imtihan.
Kampung Baca Pelangi Lombok Barat menampilkan pertunjukan berjudul Maling karya Imam Safwan. Dan Teater Biru-09 Kota Bima tampil dengan pertunjukan Perang Ngali Sutradara Bangkit KN, pertunjukan yang berangkat dari hasanah lokal masyarakat Bima.
Satu-satunya kelompok Pantomim yang ikut terlibat pada kegiatan On Stage 2021 yakni Mime in Lombokakan tampil dengan judul pertunjukan Work from Home Sutradara Nash Jauna.
Work from Home menjadi sebuah kegelisahan yang hadir erhelantankarena pandemi Covid-19.
Selain bisa ditonton melalui siaran langsung via aplikasi YouTube, pengunjung juga diberi kesempatan hadir langsung ke Taman Budaya NTB dengan jumlah terbatas yakni 125, tentu dengan protokol kesehatan maksimum.
BERSIPONGANG anganku mengais kembali keping-keping artefak dari beberapa peristiwa kala bocah di kota kelahiranku. Telah kusaksikan terjadi dan kudengar Ayah Ibu membicarakannya dengan para tamu. Ketika itu belum dapat kumengerti sebab-musabab terjadinya. Kemudian ujungpangkal dan duduksoal kisahnya sudah tersibaklah oleh waktu. Namun impresi kebocahanku atas serpihan dari kejadian itu hingga selanjut ini usiaku tidak jua kunjung selesai mengusik.
Itulah yang membawaku kembali berkunjung ke kota ini.
1
DARI BANDARA seorang famili mengantarku menyusuri jalan datar berkelok. Mengikuti garis pantai di pesisir timur teluk. Panoramanya dulu memesona. Kini tak membuatku terpukau. Kami menuju sebuah perempatan di pusat kota. Dua ratus meter arah timurlaut istana kesultanan. Lalu lintas sedikit mobil dan sepeda motor bersilang arah di sekitar. Arman Jahar, yang mengantarku, menepikan mobilnya di depan pagar halaman rumah pada pojok tenggara dari perempatan. Bangunan rumah tampak sudah berbeda sama sekali. Halaman luas yang ditumbuhi aneka bunga dan pepohonan, tempatku berkemah dan berkuda, semua telah punah. Namun utuh dalam terawanganku. Terekam jelas bentuk lama rumah itu. Bahkan perabotnya, warna kayunya dan susunannya. Dari semuanya, meja makan lah yang mendominasi kenanganku.
Ya meja makan besar terbuat dari kayu hitam itu. Kolongnya cukup luas, bisa menampung kasur tidur untuk Ibu dan dua bocah. Di sanalah kami mengungsi tidur. Dalam remang, seringkali gelap. Setiap malam. Malam yang berulang-ulang. Malam- malam yang diberondong derap tapak banyak orang. Suara dentang pagar halaman yang dipukul dengan besi dan batang kayu. Dan pekik serombongan lelaki perempuan yang meneriakkan lagu entah apa.
Cercah cahaya sebatang lilin yang tegak di lantai tak kuasa mengenyahkan rasa tercekam itu. Listrik dipadamkan, kata Ibu, agar kami di dalam rumah tidak terlihat oleh gerombolan yang selalu berkeliling mengendus dan bernyanyi lantang. Mereka menyusuri jalan di komplek dengan meneriakan lagu yang selalu sama. Asing dalam pendengaranku. Tidak pernah diajarkan Ibu Sinaga, guru TK kami. Setiap mulai terdengar lagu dari barisan itu, Ibu meraih aku dan adik dalam pelukannya. Sekarang,
Saat ini, kurasakan pelukan dekapan Ibu laksana pendar cahaya paling terang pada gulita kala itu. Ketika malam terteror pekik nyanyian tak kukenal dan dentang pagar terhantam besi.
Cukup lama sesudahnya adalah hari-hari tatkala tiada lagi berondongan teriakan lagu dari gerombolan yang berkeliling. Jauh waktu kemudian aku tahu, saat itu adalah hari-hari menjelang ujung tahun 1965.
Pada sekitar waktu itu, kerap pada hari sudah berbungkus malam, Ayah pergi dengan jip hanya berdua dengan supir. Kata Ayah, harus ke hutan jati. Jauh di luar kota. Kami—ibu, aku dan adik—tinggal di rumah dijaga petugas.Namanya, Pak Kus. Mulai menjaga—dan tak pernah pergi—setelah tidak ada lagi rombongan yang berkeliling melantangkan nyanyiannya. Sejak itu ia menempati satu ruangan di luar rumah induk, di sisi garasi. Menyusul hadir dan tinggal di kamar di teras belakang adalah Yusuf. Berasal dari pedalaman, ia murid SMP di dekat rumah. Bersama kawan- kawannya sering berbaris dan berteriak di jalanan mencari-cari rombongan yang menyanyikan lagu tak kukenal.
Pernah terdengar olehku, Ayah menjelaskan pada Ibu, bersama banyak yang lain ia mendapat tugas harus ke hutan jati. “Hadir untuk lihat orang yang ditangkap,” kata Ayah. “Banyak orang sudah diringkus.”
Mengingat itu, aku tercenung. Masygul. Terpaku menepi di sisi pagar halaman rumah. Rumah masa silam di pojok tenggara perempatan. Aku diam termangu.
2
TATAPANKU kemudian beralih ke sebentang jalan lebar di depan rumah. Di jalan ini pada satu siang melintas beriringan banyak truk. Hari itu, tak berapa lama setelah Pak Kus mulai menjaga rumah kami. Dalam iringan truk terbuka yang melintas terlihat orang-orang dan berbagai barang menumpuk. Mereka, orang-orang yang sering kujumpai di toko tempatnya berdagang, melayani pembeli. Kukenal raut mereka. Dua kali dalam seminggu aku dan adik diajak Ayah jalan-jalan ke kawasan pertokoan di sebelah barat istana kesultanan. Mampir belanja di toko pakaian dan toko kue. Atau makan cap cay enak dan mie kuah sedap di restoran. Juga ke pembuat sepatu yang selalu bercelana pendek. Sepatu dan sandalku dibuat oleh tangannya. Aku menyapa mereka, ‘Om Sepatu’, ‘Om Restoran’, atau ‘Om Toko Baju’—sesuai jenis usahanya.
Siang itu, om-om bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya—sebagian temanku di TK. Mereka duduk di atas tumpukan barang dalam truk yang bergerak perlahan. Sebagian berdiri menempel di dinding tepi bak truk. Ada Om yang cuma mengenakan singlet. Tante yang berdaster. Tak ada yang melambai. Hanya menatap.
Mereka berjejal dengan barang-barang. Kain warna warni serta kelambu putih berkibar melambai diterpa angin keluar dari tumpukannya.
Orang-orang dari rumah di sepanjang tepi jalan berhamburan keluar mendengar deru iring-iringanan truk yg melintas. Mereka meruyak, hiruk pikuk. Serupa tatkala menonton pawai perayaan kemerdekaan.
Karnaval. Aku merengek pada Ibu, mengapa aku tak ikut bersama temen- temenku seTK di atas truk? Mengapa ayah ibu mereka, Om dan Tante, turut dalam karnaval? Mana hiasan kertas warna? Mana benderanya?
Setiap peringatan hari kemerdekaan, selalu melewati depan rumah: karnaval anak, gerak jalan, drum band, juga parade segala jenis kendaraan hias dari truk sampai dokar. Semuanya meriah dalam balutan aneka warna kertas maupun ragam busana. Dan pasti banyak bendera kertas.
“Bukan, Nak. Ini bukan karnaval,” ujar Ibu membungkuk ke arahku. Lalu pandangannya kembali ke arah iring-iringan truk.
Tetapi, deru mesin banyak kendaraan itu. Hiruk pikuk orang di tepi jalan. Suasana meriah itu. Aku sedang menonton karnaval. Warna-warni kain diterpa angin. Dan kelambu yang melambai itu.
Aku sudah menjadi murid klas 2 SD di utara istana kesultanan ketika Pak Ali Jahja, kepala sekolah, mengantar masuk ke klas beberapa murid baru. Dan semuanya kukenal. Ada Ang, Kae, Ing, Fung, Cucing, Yong, Cae, dan Sing. Mereka sebelumnya adalah teman-temanku di TK. Pada saat istirahat aku melihat ternyata ada adik Ang di klas 1. Juga dua kakak perempuan Fung jadi murid baru di klas 3.
Teman-temanku kembali. Namun sebagian lainnya teman satu TK tak lagi pernah bertemu denganku. Entah ke mana sejak pergi dalam iring-iringan truk berkelambu melambai itu. Tak pernah kutanyakan itu pada para sahabatku. Tidak ada pula yang membicarakannya.
Hari ke hari kami belajar di klas. Bermain bola. Dan membolos, pergi menonton pacuan kuda. Aku kadang sebangku dengan Ang. Tubuhnya tinggi, kupikir hampir satu setengah kali badanku. Dia sering membantu untuk pelajaran berhitung. Kerap pula aku sebangku dengan Fung. Kami sama bertubuh mungil. Seringkali dia mengajari menggambar.
“Tanganmu jangan kaku. Lenturkan jarimu,” katanya agak dongkol ketika menggurui aku menggambar lengkung pelepah dan detail daun kelapa. Dia terampil menggambar. Bola mata dan manyun bibirnya otomatis bergerak searah gerakan pensil di tangannya. Tak pernah kualami keadaan seperti itu apapun yang coba kugambar.
Kadang Ang dan Fung minta tolong untuk jawaban dalam pelajaran bahasa, sejarah dan pengetahuan umum. Menjelang ulangan kami belajar bersama di rumah Jamil. Rumahnya gedung yang luas. Ayahnya pedagang kain. Di rumah itu sering terdengar musik kasidah dari piringanhitam. Rumah tokonya bersebelahan dengan toko
ayah Ang. Di sekolah, Jamil sebangku dengan Cucing. Syaiful dengan Ing. Dan Rais kadang dengan Yong. Rais lah yang kerapkali membentuk tim 2 x 6 orang untuk laga sepakbola di halaman depan deretan klas. Waktu istirahat, kami bertanding. Mayong, Kae, Rudin dan Rais adalah jagoan pencetak gol. Dua kakak perempuan Fung dan kakak perempuan Rais selalu menjadi supporter adiknya. Fung dan dua kakaknya— kurasa mereka berdua adalah perempuan paling cantik di sekolah kami—adalah anak Om Restoran. Ang kerap menggoda salah seorang kakak Fung. Jamil kepincut pada kakak Rais.
Serapat itu pertemanan kami, tak terdengar ada yang saling membicarakan karnaval truk berkibaran kelambu. Tidak juga ada yang bertanya, misalnya di mana anak-anak Om Sepatu dan anak-anak Om Baju kemudian bersekolah. Mereka teman kami satu TK, sebagian yang tak pernah bertemu lagi denganku setelah karnaval truk berkibaran kelambu.
Dari sisi pagar tempatku berdiri, kelambu tampak masih di pelupuk mata, melambai-lambai. Ranjang di kamar di manakah mereka dulu lalu merangkai kembali kelambu itu?
3
MASIH BERDIRI di sisi pagar, sesaat aku terkesiap. Seketika ingatanku mengapungkan kembali sepenggal cerita yang sempat kudengar saat klas 2 SD. Tentang komandan yang berkuasa memerintahkan penangkapan orang-orang, termasuk yang dibawa ke hutan jati. Belakangan, setelah pindah ke ibukota provinsi, justru komandan ini yang ikut ditangkap. Dipecat. Ditahan. Tidak lama sebelumnya, adik ipar komandan telah juga ditahan di Jawa.
Istri komandan dan adiknya adalah kerabat Ibuku. Anak-anak komandan tentu familiku. Kudengar Ibu dan Ayah bicara, sudah terima kabar bahwa anak-anak serta istri komandan dalam keadaan aman. Dan mereka dipindahkan dari rumah komandan ke rumah yang lebih kecil.
Sedikit yang kudengar mengenai adik istri komandan, dia ikut bersama kakaknya sejak SMP sampai SMA. Berpindah-pindah kota karena pindah tugas suami kakaknya. Selulus SMA, memisah dari kakaknya, ia ke Jawa untuk belajar melukis.
4 AKU MASIH di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan. Kulihat Arman agak menjauh, duduk di atas dinding riol. Kakinya menjuntai di saluran tak berair itu.
“Arman,” kataku mencelahi kebisuan. “Dulu, di halaman rumah kami ini,” aku menunjuk pekarangan di belakang punggungnya, “terpancang empat, mungkin lima, papan kampanye satu partai.”
“Partai apa?” tanya Arman menatapku.
“Tegak berdiri cuma dua hari,” sahutku tak hirau pertanyaannya. “Tiang dan papan kampanye partai itu dicabut, diangkat dari tanahpancangnya. Kemudian dilempar ke atas truk.”
Kelumit ingatanku tentang diringkusnya papan kampanye ini sungguh masih segar belaka. Saat itu aku sudah klas 5 SD. Setelah truk berlalu membawa papan kampanye, kusaksikan beberapa tetangga dan banyak orang tak kukenal datang bergegas. Lantas gerutuan marah bersahutan. Entah kepada siapa dituju. Makian, umpatan dan cacian berkelebatan saling tubruk pada suasana kerumunan.
Tidak berselang lama, muncul seorang yang semua dalam kerumunan mengenalnya. Ia Pak Abu Bedon, pedagang hasil bumi dan ternak. Ayah Rais, temanku seklas. Terkaya dari enam orang kaya di kabupaten ini—lima lainnya pun adalah adik kandung dan para sepupunya. Dari mobilnya, menurutku itu mobil terbaik di kota kami—bahkan lebih baik dari mobil bupati, ia turun dengan mata yg tampak merah. Air mukanya muram sangat. Lilitan sarungnya pun tidak kencang dan tak beraturan hingga ujung bawah lingkar sarungnya tinggi dan rendah. Tampak ia datang dengan terburu-buru.
“Datupa rawi lako doho re… La nga’i danta mena ba ina na.” Dari bibirnya yang dower terlontar umpatan murka sekasar yang bisa memuaskannya.
Kepada siapa orang-orang tua itu melontarkan serapahnya? Yang bisa kuduga ialah kepada para peringkus papan kampanye. Tetapi aku sungguh tak bisa menebak siapa para peringkus. Dan untuk apa mereka melenyapkan papan kampanye. Aku juga tidak tahu kelanjutan setelah amarah yang memuncak itu. Kerumunan itu beranjak bubar oleh gema azan maghrib.
Di pojok baratdaya dari perempatan adalah masjid raya kota ini.Menempati satu blok seluas dua kali lapangan bola. Ketika azan senja itu menggema, kerumunan orang dengan amarah tadi beriringan menuju masjid.
Di masjid itukah amarah melanjut? Atau mereda?
5 PADA SUATU Jumat, satu atau mungkin dua pekan setelah peristiwa diberangusnya papan kampanye. Seperti biasa, di masjid ramai orang yang akan beribadah Jumat.. Meluber sampai ke koridor timur masjid raya.
Khutbah sedang berjalan tatkala insiden itu mendadak muncul. Aku terpana. Beberapa orang beseragam lengkap dengan sepatunya merangsek masuk dari koridor timur. Melangkahi dengan kasar jamaah yang sedang bersila menyimak khutbah. Aku sempat bereaksi ingin tahu. Kutegakan tubuhku dengan menumpukan dua dengkul di lantai bersajadah. Secepat itu pula reaksi tangan Ayah menyentak lenganku. Menggamitku agar bersila kembali.
Sampai di depan mimbar, para penyerbu dadakan mengurung khatib yg seketika itu lalu menghentikan khutbah. Berlangsung ringkas dan cepat, khatib disorong keluar melalui pintu darurat sempit di belakang mimbar. Entah ke mana mereka membawa khatib. Empat orang berseragam berlompatan menyusul keluar melalui beberapa jendela pada dinding barat masjid, di depan saf pertama.
Ibadah Jumat terganggu hanya sekejap. Sekejap saja. Begitu khatib ditarik turun dari mimbar, muazim langsung sigap berdiri dan melantunkan bacaan standar penanda jeda antara selesainya inti khotbah dengan penutup. Sesudahnya muazim itu juga yang sekaligus membacakan penutup khutbah.
Seakan tak terjadi gangguan apapun, ibadah Jumat hari itu berlanjut dengan azan. Kemudian Om Imam memimpin salat Jumat dua raka’at.
Keriuhan terjadi usai salat. Orang-orang tidak langsung pulang. Mereka bergerombol menjadi banyak kelompok di dalam masjid. Ada yang berdiri, lebih banyak lagi yang belum beranjak. Mereka bersila, juga berselonjor di lantai.
Suara kata-kata yang berlompatan dari banyak kumpulan orang itu menggema di dalam masjid. Menimbulkan dengung di seantero ruang yang ditangkupi kubah utama, persis di bagian tengah atap masjid.
Itu atap bergenting tebal. Pernah kudaki bersama tetanggaku si pendiam Ainul dan Zulkifli yang gemar bicara. Beberapa kali selepas zuhur kami mendakinya sampai pelataran sempit persis di kaki kubah. Hanya untuk pamer cerita pada teman-teman di sekolah.
“Sudah kulihat semua atap rumah sekeliling kota ini sampai ujung teluk di kaki langit,” kata Zul sembari merangkak mundur menuruni atap.
Ainul menyeringai. “Selamat dulu sampai teras lantai dua, baru bicara selangit,” ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
Di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan, terasa bibirku membuka dan agak tertarik melebar. Mengingat itu, aku tersenyum. Baru terpikir olehku, dengung menggema usai Jumat kemelut 50 tahun silam itu mungkin merayap jauh lebih tinggi dibanding tiga pendaki genting.
Kubayangkan, dengung itu berkelindan dalam perut kubah. Lalu menyeruak keluar melalui celah kaki-kaki penyangga mahkota kubah. Di pucuk ketinggian, dengung itu merayapi mahkota, yaitu bintang dan bulan sabit—mengantar semua doa dan kata-kata meraih langit.
6 TIGA ATAU EMPAT HARI sesudah Jumat kemelut sekejap itu. Kakek datang.
Biasa. Mampir dua kali seminggu. Tengok cucu. Ibuku anak tunggalnya.
Kakek seorang yang tertib dan necis. Pakaiannya tersetrika licin. Ujung atas pantalonnya melingkar di atas pusar, diikat ban pinggang. Ujung bawahnya jatuh tepat seinci di atas sepatu yang tersemir mengkilap.Seringkali duduk dengan kaki bersilang. Mengobrol dengan siapapun, dengan Pangeran—adik kandung Sultan—pun, tetap bersilang kaki. Ujung sepatu Kakek kadang nyaris menyentuh ujung sepatu Pangeran yang sama bersilang kaki. Anak perempuan mereka bersahabat dekat. Dua dari sedikit perempuan masa itu yang dikirim sekolah ke Jawa.
Kakek pembaca yang bukan saja rakus. Pada buku-bukunya bisa ditemukan garis tinta merah, biru, hijau, atau hitam di bawah teks yang dianggapnya menarik. Di ruang kosong teks, di tepi kanan atau kiri pada halaman dengan teks yang menarik perhatiannya, Kakek menulis—kadang dalam bahasa Belanda—catatan atau pertanyaan dengan tinta merah.
Kepada tamu, siapapun, yang mampir di rumahnya, Kakek selalu membacakan kutipan teks buku yang telah digarisbawahi. Sekaligus catatan atau pertanyaannya. Tidak perduli tamunya suka atau tak suka. Aku kerap tertawa, geli melihatnya seperti berdeklamasi tatkala membacakan teks untuk tamunya.
Di rumahnya banyak buku. Beberapa rak. Di atas rak yg paling lebar diletakkan bingkai foto—persis foto di dinding rumahku—pria berkacamata, kemeja putih lengan pendek dan berkopiah. “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar,” ujar Kakek menatap foto.
Siang itu aku sedang menemani Kakek di meja makan hitam besar. Membaca koran dan majalah. Aku cuma membolak-balik, membaca judul-judul, melihat foto-foto pada setumpuk publikasi langganan Ayah. Harian Abadi dari Jakarta; Petugas Pos
datang membawanya sekali seminggu, sekaligus 6 edisi; Pesawat terbang jenis DC-3 bekas perang Korea yang diubah jadi pesawat penumpang terjadwal sekali seminggu ke kota ini. Ada juga Majalah Panjimas, Jakarta; Buletin Adil, Solo; Majalah Berita Sketmasa, Surabaya; Ada yg seronok, majalah hiburan Varia.
Ketika itulah masuk Yusuf dari teras belakang memapah Om Tasrif sampai di ruang tengah. Dibaringkan di sofà. Tampak rautnya menahan kesakitan. Siang itu, tajam sorot matanya tampak tak berkilat.
Om Tasrif berkulit gelap. Rahangnya menonjol. Bekerja sebagai pegawai negeri pada satu kantor pemerintah. Ia berasal dari kecamatan dengan tradisi berani untuk tidak takluk. Di sana lelaki bertarung bebas satu lawan satu sebagai perayaan tiap selesai panen. Leluhurnya menolak patuh pada perintah sultan karena perintah sultan harus membayar bea kepada Hindia Belanda. Pembangkangan itu akhirnya mereka tempuh dengan perang. Melawan bedil dan sangkur, tentu kalah dan banyak yang gugur. Anak cucunya bangga, setiap tahun merayakan sikap dan tindakan pendahulunya. Dari komunitas itulah ia berasal. Tak aneh bila cap pemberani lekat padanya.
Dia keponakan Kakek. Sering datang mengobrol dengan Ayah Ibu. Kepadaku dia selalu tersenyum. Kerap membawakan untukku buah srikaya gunung, kadang mangga atau tebu.
Tetapi sekali ini datang tanpa buah di tangannya. Tak tampak senyum. Dia muncul dengan wajah lebam, bonyok, luka. Suaranya terdengar merintih. Tangannya menangkup di bagian perut. Langkahnya tertatih. Tidak lagi tegap.
Dari meja makan dan setumpuk majalah aku beranjak memberitahu Ayah. Kakek tak bereaksi, tetap membaca. Ayah bergegas keluar kamar hanya dengan sarung dan kaos oblong, mendelik ke arah Om Tasrif.
“Tiga hari saya disekap di markas. Begini jadinya,” keluh om Tasrif. Spontan Kakek berdiri.
“Verdomme..Stop sedu merintih itu,” Kakek membentak.
“Komandan yang dulu menangkap musuh, ternyata segolongan dengan yang ditangkapnya. Komandan yang sekarang, saya kira segolongan kita, ternyata menahan dan kejam menyiksa,” jawab Om Tasrif meradang.
“Hei Tasrif, saya disiksa dan dipenjara oleh dua penguasa berbeda sebelum zaman ini,” kata Kakek. Kepal tangannya berkacak di pinggang. “Ketahuilah, Nak. Orang-orang berkuasa datang dan pergi. Seperti musim, ganti berganti. Tetapi yang mereka genggam adalah zat kekuasaan yang sama.”
Kukira Kakek akan diam mendengar Om Tasrif masih meratap. Ternyata tetap bicara. “Orang berkuasa memihak kepentingannya sendiri. Selalu demikian. Di luar itu adalah korban. Bergiliran. Pada saatnya mereka juga adalah korban. Begitulah selalu yang terjadi.”
Tak hirau percakapan itu, Ayah menuju meja kecil di sudut ruang tengah. Diputarnya engkol telepon hitam, lalu berbicara kepada operator sentral telepon minta disambungkan ke telepon rumah dokter Hasan.
Belum lama menikahi sepupu ibuku. Ia paman dari temanku Sing. Dokter satu- satunya di kota ini, bahkan di sekabupaten ini. Baru dua tahun lulus dari Universitas Airlangga sudah langsung diangkat sebagai kepala rumah sakit kabupaten. Rumah dinasnya hanya berjarak empat rumah di sebelah barat masjid raya. Sedangkan rumah kami, diselingi seruas jalan, berada di timur masjid.
Dokter datang dengan tas hitam. Berkacamata tebal. Dan senyum yang tak pernah tanggal dari pipinya yang tembem. Laksana melekat pada wajahnya. Menatap parasnya serasa seisi dunia ini damai belaka. Dokter tidak bertanya yang terjadi pada pasiennya. Hanya menyentuh perlahan dan memeriksa menyeluruh pada permukaan tubuh.
Dengan stateskop tergantung di leher, dan airmuka yang senantiasa memberi senyum itu, ia laksana dewa penyelamat.
7 TUJUH BULAN setelah pemilu 1971 kami sekeluarga pindah ke kota provinsi. Ikut Ayah pindah tugas. Bertemulah aku dengan anak-anak bekas komandan yang ditahan itu. Kami sekolah di tempat yang sama. SMP dan SMA. Ibu mereka kupanggil Uwak. Itu aturan dari Ibuku. “Uwakmu enam tahun lebih tua dari Ibu.”
Aku sering mampir main di rumah kecil Uwak lantaran Anom, teman sebangku di SMP, kerap memintaku untuk menemaninya. Dia menaksir Lala, anak Uwak yang seumur aku. Lincah bergaul. Berlaku dan bertutur manis pada semua orang. Belia ini pandai pula menulis surat. Banyak teman terpesona. Mereka menganggapnya serupa Yessy Gusman, bintang film remaja kondang kala itu. Menurutku, Yessy lah yang mirip Lala karena anak perempuan Uwak lah yang lebih dulu lahir. Berbeda dengan kakak maupun adiknya, Lala tak tampak inferior di tengah pergaulan murid sekolah favorit.
Uwak bekerja apapun yang mungkin demi hidup dan sekolah enam anaknya. Acapkali kutemui sedang menyulam, menjahit atau membuat kue. Juga memasak pesanan tetangga dan kenalan. Kenduri di rumah keluarga jarang tanpa sentuhan
tangannya di dapur.”Yang penting anak-anak sehat, Uwak cukupkan kebutuhannya, dan bisa sekolah,” ujarnya.
Aku cuma mengangguk.
“Kamu tahu, nak…Uwak ibarat setir mobil tanpa kaca spion. Mobil khusus, telah Uwak copot persneling mundurnya. Lantas untuk apa kaca spion? Jangankan penumpangnya, sedangkan Uwak yang nyetir pun sudah tak perlu lihat samping dan belakang lagi.”
Kembali aku mengangguk. Dan mengucap, “Iya Uwak.”
Kuperhatikan tubuh Uwak makin lama kian ringkih. Tampak bagiku kepedihan menderanya. Betapapun ia terlihat berusaha selalu senyum. Sembari menyulam kadang turut mengobrol dan tertawa riang bersama teman-teman anaknya. Baju hangat tebal di badannya, kulihat seperti kukuhnya ketabahan membungkus lara dan perih.
Suami berpangkat overste mendadak sontak tidak lagi bisa bersama oleh sebab yang tak pernah Uwak tahu sebelumnya. Hidup berkecukupan sebagai anak istri komandan seketika terenggut, yang tak pernah Uwak duga akan mengalaminya. Anak bungsu terombang-ambing antara cap tak pernah tumbuh dewasa dengan stigma berkelainan mental, yang tidur berpindah-pindah dari satu rumah kerabat ke kerabat lainnya.
Dengan segala daya upaya Uwak dapat menyelesaikan lima anaknya sampai tamat sekolah menengah atas. Setiap ada anaknya lulus, segera ia berupaya mendapatkan pekerjaan. Hanya seorang yang dapat menjadi pegawai negeri. Itupun dengan akrobat memohon dengan air mata kepada istri jenderal yang menjabat gubernur—bekas atasan suami Uwak.
Adalah keajaiban Uwak dapat bertahan menghidupi sekeluarga. “Martabat dan kehormatan, kalau itu masih penting, kita sendiri yang menentukannya, yaitu oleh yang kita lakukan dalam menjalani hidup ke depan. Kalau ada cibir dan cemooh, biarkan saja. Itu pasti terhadap masa lalu dan keadaan kita saat ini. Kalian anak-anakku, ingat ya, bangunan masa lalu kita sudah rubuh. Telah melakukan apa Papamu dan Om kalian, dua laki-laki itu, Mama pun tak tahu. Apalagi kalian. Jangan pernah menoleh ke belakang. Mulai sekarang Mama yang pimpin ini keluarga. Kita susun bata demi bata bangunan masa depan kita. Apapun yang kita capai, yang lebih penting adalah kita sudah berusaha sebaik-baiknya usaha. Kelak waktu yang membuktikan.”
Begitulah Lala menulis kepadaku dalam salah satu suratnya mengisahkan tentang sikap dan pendirian Mamanya—Uwakku.
Aku merasa, Uwak adalah pejuang. Pahlawan berani hidup. Dengan keteguhan luar biasa, ia bertahan atas beban yang mengepungnya. Juga menghindar dan melawan kepedihan yang hari ke hari mengiris dan mencabiknya. Bukan saja suami dan adik lelaki telah diringkus darinya. Tetapi nyaris kehidupan di tubir jurang itu menggilas dan mengkremusnya.
Adik Uwak, kukenal sebagai Om Ima Hamanda. Begitu ia meminta namanya harus dieja. Bukan cuma Ima Haman. Itu kata seorang ponakannya, anak Uwak.
Haman, nama ayahnya. Tak jelas sebab ia menambah dua huruf pada nama ayahnya, yang ia terakan sebagai nama belakang dirinya. Mungkin—aku sekadar menduga, lantaran keyakinan ayahnya yang seringkali dipertanyakan dan didebat oleh Om Ima.
Pak Haman seorang guru sekolah menengah negeri. Ia menikah dengan sepupu Kakek. Sama dengan Kakek, Pak Guru Haman adalah pengagum seorang berkemeja putih lengan pendek, berkacamata dan berkopiah, yang pernah disebut Kakek sebagai “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar” itu.
Belakangan aku tahu Om Ima adalah seorang pelukis alumnus ASRI Yogyakarta, satu dari lima orang pada awal 1960an mendirikan sanggar seni lukis berpengaruh—bahkan hingga saat ini. Ia ditahan, kemudian dimulailah, yang belakangan setelah bebas disebutnya, “hewan dari penjara ke penjara—tempat kemanusiaan telah hendak coba dipunahkan.”
Dibebaskan 1977 dari tempat tahanan terakhir, jauh di sebuah pulau kecil, terbawa pulang bersamanya: TBC kronis. Jalan pun sudah tak mampu. Ia ditandu.
Berselang setahun atau hampir dua tahun sesudah Om Ima, bebas pula kakak iparnya, sang bekas komandan eksekusi di hutan jati. Pada sekitar saat pembebasan itu, Lala lulus SMA dan berkeras melanjutkan belajar ke universitas di Jawa. Bersikukuh pada kehendaknya, sekukuh Uwak membesarkannya. Dengan bantuan famili, akhirnya Uwak dapat biaya untuk berangkatkan Lala.
Om Ima sudah tampak cukup sehat ketika kebetulan bertemu saat aku mengunjungi Uwak dalam kesempatan mudik liburan kuliah. Tak banyak bicara, Om Ima cuma bergumam, “Di penjara, dari penjara ke penjara, Om diperlakukan jadi hewan. Kemanusiaan dinistakan.” Kemudian menyingkir, berjalan tertatih menuju kamar tidur. Ia tak menanti tanggapan atas ucapannya.
Kabar yang menggembirakan Uwak dan suami—yang terbaring sakit—serta anak-anaknya, akhirnya datang. Lala diwisuda sebagai sarjana.
“Yang ini melebihi cantik ibunya waktu muda,” dengan airmata tertahan begitulah Ibuku memuji Lala ketika datang sowan setelah wisuda sarjana.
Pada awal 1990an di teras Wisma Seni TIM, Cikini, Jakarta, aku berpapasan dengan Om Ima.
“Ehhh, Om Ima… Sehat yaa,” seruku spontan—tak menduga bertemu dengannya pada sebuah pagi berkilau cerlang mentari.
Kami ternyata sama menginap di wisma yang bertarif 50 ribu perak per orang per malam itu.
“Iya… Beginilah. Lumayan,” jawabnya. Senyumnya tampak hanya segaris.
Kami berpelukan. Terasa olehku tipis tubuhnya. Dan bergetar. Kupikir tinggal semangat yang membuatnya kuat bertahan. Kulihat itu pada sorot matanya.
“Kembali melukis, Om?”
“Itulah enerji hidup ini. Tapi begini ya… Sudah belasan tahun di luar penjara. Memang bebas… Tapi terasa masih… masih digantung … terutama lantaran … apa itu
…kehormatan yang belum pulih,” ujarnya patah-patah.
Aku jadi merasa canggung. Kehilangan kata-kata untuk merespon Om Ima.
“Ayo Om, kita pulang kampung,” ujarku sekenanya. “Mungkin di kampung bisa ..”
“Om memang ingin pulang,” sahutnya menyambar kalimatku yang masih diawang-awang. “Tapi…Semua membenci. Tak seorang pun keluarga dan kerabat di sana yang mau terima Om pulang.”
“Eh Om, lahir di sana ‘kan tidak mesti mati dan bermakam di sana,” ujarku. Dia terkekeh. Terdengar getir.
8
AKU MENGINGAT momen di TIM Jakarta itu dari tepi pagar halaman rumah di pojok tenggara perempatan. Rumah masa lampau. Kemudian kuajak Arman berkendara keliling kota ini, ke area seputaran tempat kelahiran Uwak dan Om Ima. Sekaligus mampir makan enak di warung peninggalan Om Madura, ayah temanku Gatot.
Masakan kambing dengan resep Om Madura yang terkenal lezat ini lebih mirip tengkleng ketimbang soto—sebagaimana dikenal sejak mula kisah tatkala dijual keliling dengan gerobak dorong. Kuahnya berbumbu aneka rempah. Dagingnya disajikan lengkap dengan tulang. Tidak pakai santan, maka bukan soto apalagi gulai. Tidak pula bening, maka bukan sop.
Sebelum aku lahir puluhan keluarga Madura sudah bercampur baur saling silang kawin mawin dengan warga setempat. Temanku Gatot lahir sebagai generasi kedua, mungkin ketiga, peranakan Madura di kota ini. Saat kukunjungi warung peninggalan ayahnya ternyata sudah di tangan generasi anak dan ponakan dari Gatot. Bahkan siap- siap dioper ke generasi cucunya.
Lokasi warung ini tak pernah pindah, masih di tempat yang sama sejak aku TK 55 tahun silam. Di dalam kawasan kampung tempat Om Ima lahir. Sembari kunikmati daging dan kuah berbumbu rempah itu, Gatot bermata bulat besar itu masih tertawa- tawa menyerap ceritaku. Bahwa pernah kejadian dalam hidupku, tak mampu menemukan masakan seperti yang sedang kukunyah ini setelah 3 hari 2 malam mengubek-ubek dari Bangkalan, Pemekasan sampai Sumenep. Bahkan dalam rute sebaliknya pun masih kucari dengan penasaran.
“Namanya memang Soto Madura. Tapi ndak mungkin ada di Madura … Ha ha ha
… Ndak ada….. Ini menu racikan orang Madura di sini .. Kakek Nenek kami Madura di sini… ini formula yang sudah disesuaikan dengan selera lidah orang sini,” Gatot berkisah tentang moyangnya, perantau awal yang menetap atas ijin sultan.
Tampaknya makanan pun, di mana dimasak di situ selera dijunjung.
Menikmati formula bumbu moyangnya Gatot, aku ingat cerita Ibuku tentang perkembangan Lala tahun-tahun berikutnya selepas wisuda. Bekerja swasta. Menikah. Tinggal di Jakarta. Membangun usaha dagang scrap alias besi tua dengan suaminya. Beberapa tahun sudah bisa membeli tiga rumah besar. Berlimpah kekayaan materi. Dan diberkahi empat anak.
Suatu hari sesudah 2010 aku mencoba menemui Lala. Tak dapat kujangkau. “Gak pernah bisa sama kesempatan kita yang lowong acara,” kata Lala mendahului bicara ketika kutelepon.
“Banyak acara bisnis dan banyak pengajian,” lanjutnya.
“Orang kaya sibuk Ya sudah, kita ngomong di telepon saja,” sahutku.
Kudengar Lala tertawa mengikik.
“Aku cuma ingin Lala bantu Om Ima ”
“Ah, Om Ima udah beda, dia pindah jadi .ituu….” Lala memotong cepat kalimatku yang belum selesai.
“Lala ngomong apaan sich? Apanya yang beda? Pindah dari jadi apa ke jadi apaa?”
“Pokoknya beda … Dia beda dengan kita sekeluarga.”
“Dari kita belum lahir sampe kita tua, Om Ima juga udah beda dengan kita. Tapi kan tetap om kita.”
“iiihhh … Bukan itu. Dia udah menganut agama tapi beda dengan kita.”
“Ohh itu….. Soal keyakinan… Itu wilayah bebas merdeka tiap-tiap orang untuk berbeda pilihan yang diyakininya. Toh kita semua sama-sama mengabdi pada Zat Tuhan yang Satu, yang sama. Aku bukan mau bahas itu… Tapi mau minta Lala bantu Om Ima Saling bantu saling tolong, jangan pilih-pilih berdasar keyakinan.”
“Udah sering kubantu. Kirim-kirim semampuku.”
“Yeee …Bukan uang. Menghina dia memberinya uang belas kasihan. Dia gak butuh uangmu. Jadi OKB jangan sombong, Lala.”
“Apaan sich? Terus aku mesti bantu apaa?”
“Lala lakukan sesuatu, yakinkan, bujuk, keluarga besar di kampung agar mau terima Om Ima pulang dan menjalani sisa umurnya di sana. Sudah lebih 70 tahun, sakit-sakitan pula. Itu angannya, kerinduannya. Mungkin dia mau menunggu saat pergi dengan tenang nyaman di tengah keluarga di kampung.”
“Waduh, itu beraat. Berat. Justru enggak bisa tenang. Bisa dikucil dan dikata-dikatain di sana. Semua sudah bilang menolak.”
“Lala sering menyumbang keluarga di kampung. Mereka pasti berubah kalau Lala yang minta,” aku agak mendesak.
“Gak ada celah. Aku gak bisa. Gak mampu bantu alirkan kerinduan yang ini. Angkat tangan. Dan mohon maaf. Kita hormati pilihan keyakinan Om Ima. Harusnya kita hormati juga sikap berbeda yang diambil keluarga di kampung.”
“Tega banget tuh orang-orang, menolak kehendak seseorang, keluarga pula, menetap kembali di kampung tempat kelahirannya, untuk mencoba nyaman pada sisa umurnya,” sungutku mulai kesal.
“Buat apa juga pusing dengan tempat hidup dan mati. Sendiri dan tersisih tak bisa dijawab dengan melarikan diri ke dalam tempurung. Om Ima mestinya terus aktif saja melukis lagi. Siapa tahu ada kolektor gila kelak menggilai karyanya. Tuh temannya sesanggar, yang melukis celeng adalah tiran, ‘kan sama dulu juga dari penjara ke penjara. Sekarang jadi hebat. Dihormati orang. Lukisannya mahal. Kehormatan harus diperjuangkan. Aku belajar dari Mama. Mestinya dia kuat seperti Mama. Om Ima terlalu banyak lihat kaca spion sich. Mandeg daya kreasinya karena selalu meratapi masa lalu……”
“Hei Lala, cerewet. Stop ceramah. Om Ima ‘kan tetap melukis. Ada kolektor yang tampung lukisannya. Bukan perihal itu aku meneleponmu. Intinya, mau apa tidak bantu Om Ima diterima pulang tinggal di kampung? Dia mau kerja melukis di kampung.”
“Gak bisa. Berat. Pokoknya Om Ima jangan cengeng deh.” Kemudian ‘jeb’—Lala menutup telepon.
Buntu. Mentok sudah. Nasib Om Ima. Sendiri. Dan tersisih.
Setelah perjumpaan di TIM itu, dan percakapan telepon dengan Lala, lama tidak terdengar kabar berkenaan dengan Om Ima, Uwak maupun tentang suami Uwak. Sampai seorang teman menelepon. Temanku SMP dan SMA, tetangga beberapa rumah dari rumah Uwak. Dan ia seorang dokter. Sang dokter berkisah mengenai Lala yang membeli rumah besar milik tetangga Uwak. Lalu tembok pemisah dirubuhkan. Lantas rumah kecil Uwak dan rumah besar baru dibeli itu sama-sama direnovasi dan digabung jadi satu menjadi rumah dengan banyak ruang yang jembar. Halamannya pun jadi lebih lapang.
“Memangnya kenapa, Pak Dokter? Bagus dong Si Lala. Mencoba meraih kembali masa kecil riang berkecukupan yang dulu seketika terenggut. Inisiatif anak berusaha bikin suasana hidup nyaman agar Mama Papanya jadi sehat dan berbahagia,” ujarku merespon cerita sang dokter.
“Iya, bagus. Orangtua Lala kelihatan memang happy sekarang. Tadinya aku mengincer rumah itu. Eh keduluan Lala,” sahut dokter.
“Tuan ini dokter atau pedagang jual beli properti?” Kudengar dia tertawa berderai sambil memaki.
“Pak dokter mestinya sesekali bantu periksa kesehatan beliau berdua. Kan sudah pada uzur tuh,” kataku.
Berkeliling seputaran kota ini telah mengapungkan hampir semua halaman- waktuku kala bocah dan belia. Perkisahan ini sekadar sepuing dua-puing yang dapat kuceritakan. Ada sepercik luka dan perih. Mungkin setangkup kegetiran. Ada secercah elan dan harapan. Barangkali setangkup optimisme. Semua itu—lazimnya kehidupan— adalah latar yang melengkapi kesementaraan.
9 BEBERAPA TAHUN setelah nyaman berbahagia—sering dalam sakit—di rumah yang jembar itu, sang bekas komandan, suami Uwak, wafat.
“Semua keluarga tabah menerima,” kata Ibu mengabariku melalui telepon.
Ihwal duka dan belasungkawa lah yang kian sering saling dikabari di antara teman-teman seiring makin tua usia kami. Daniel, temanku membolos, memberi kabar bahwa Jamil tewas dalam kecelakaan sepeda motor. Joewel, saudara kembar Daniel, meninggal menyusul Johanes kakak mereka. Zulkifli, yang kemudian menjadi arsitek spesialis masjid, mengabari adiknya wafat.
Tujuh tahun setelah suaminya berpulang, lalu Uwak menyusul mangkat dengan tenang di tengah semua anak dan mantu serta para cucu yang menungguinya di rumah sakit.
Ang juga mengirim pesan bahwa Fung sekeluarga sedang berduka. Dalam ingatanku, sekeluarga Fung pindah ke Jawa setelah semua tiga kakak-adik ini lulus SD. Belum genap 10 tahun menetap di Jawa santer kudengar mereka menjadi satu keluarga dari 5 Terkaya Indonesia. Posisi yang kemudian selama puluhan tahun hingga kini tetap bertahan. Dan selalu menjadi berita media massa mainstream maupun media sosial.
“Papanya Fung meninggal dunia karena sakit,” Ang menulis pesan.
Kubayangkan Ang—yang memilih nyaman di kampung dan meneruskan toko ayahnya
—mungkin masih memendam hasrat masa bocah SD.
“Sekeluarga Fung datang ke kampung dengan jet pribadi membawa abu jasad mendiang.” Begitulah Ang menutup pesannya.
Belakangan Fung sendiri mengirimiku kabar, abu jasad papanya (di masa lalu biasa kusapa ‘Om Restoran’ itu) telah ditabur oleh anak cucu di tengah perairan teluk tepi barat kota ini . “Itu pesan Papaku ketika sakit. Abunya harus ditabur di teluk di kampung halaman,” tulisnya.
Pesan dari Fung tadi, sungguh kuingat dengan pasti, ketika itu tak urung telah memaksaku membacanya berulang-ulang. Teringat lagi olehku bocah temen-temen TK dan orangtua mereka yang tak pernah kembali setelah karnaval truk berkelambu melambai itu. Lalu kuketik jawaban untuk Fung. “Pada zaman ini, kita tidak tahu pentingnya seseorang masih memiliki kampung halaman. Tapi, Papamu ada benarnya. Mau di mana lagi kampung halaman kita—tanah tempat pulang, tempat kita merasa berakar dan bertaut dengan puak maupun leluhur, sedangkan luka dan gembira masa silam kita, juga kakek nenek kita lahir, hidup, mati dan dikuburkan di sana.”
Memiliki tempat untuk kembali, tanah terakhir yang dikehendaki—sebelum akhir……………
Hasrat dan kerinduan Om Ima yang tak pernah sanggup ia raih hingga kemarin, ketika virus maut itu merenggutnya. Misa Requim pun urung mengiringi perjalanan terakhirnya.●
#Bima – LabuanBajo, Medio 2020
Sulis LIDA 2021, Harumkan Nama NTB di Kancah Nasional
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), H. Zulkieflimansyah, ajak para influencer untuk mendukung Sulis LIDA, lewat media siber, yang sedang berjuang di 12 besar Liga Dangdut Indonesia 2021.
MATARAM.lombokjournal.com ~ Ajakan Gubernur NTB, ini, disampaikan oleh Kepala Dinas Komunikasi Informastika dan Statistik (Diskominfotik) NTB, Najamuddin Amy, saat audiensi bersama para Influencer NTB di ruang kerjanya, Kamis (17/6/2021).
Menurut Gubernur, putra-putri daerah yang berprestasi dan sedang mengharumkan nama NTB di kancah nasional ataupun internasional perlu dukungan kuat dari semua masyarakat, khususnya dari generasi milenial.
Najamudin Amy
Lewat sarana media yang ada, para influencer diharapkan dapat meningkatkan sekaligus mempromosikan manfaat program pemerintah, seperti industrialisasi, zero Waste, NTB Care, termasuk membantu Sulis yang tengah berjuang di 12 Liga Dangdut Indonesia (LIDA) 2021.
“Sehingga masyarakat NTB yang mungkin sudah mengenal Sulis namun belum tergerak hatinya untuk mendukung, bisa ikut mendukung secara nyata,” ujar Najamudin Amy.
Sementara itu, Influencer muda, Yogi, menyatakan mendukung penuh ikhtiar Pemprov NTB dalam mengembangkan kolaborasi dengan penggiat media.
“Kedepannya banyak program yang bisa disinergikan, kami mendukung” jelas Yogi.
Begitu pula, perwakilan dari Telkomsel NTB, Syaiful Rahman, menyampaikan pihaknya tetap konsisten mendukung Sulis LIDA 2021.
“Telkomsel sudah mendukung Sulis dengan mengajak masyarakat melalui sms blast dan door prize kepada masyarakat. InsyaAllah kami dukung Pemerintah Provinsi NTB untuk mengajak masyarakat agar tergerak membantu perjuangan Sulis” tuturnya.
Wakil Bupati Sumbawa, Dewi Noviani, S.Pd., M.Pd., mengumumkan para pemenang sekaligus menyerahkan hadiah Lomba Cipta Desain Cover Buku “Dari Sumbawa Menggapai Puncak Eiffel” Rekam Jejak Mr. H. L. Mala Sjarifuddin, DESS., Ph.D. Doktor Pertama di Provinsi NTB, di Aula H. L. Madilaoe ADT. Lantai III, Kantor Bupati Sumbawa.
“Alhamdulillah, siang ini Dewan Juri telah mengumumkan para pemenang sekaligus menyerahkan hadiah Lomba,” kata Dewi Noviani.
Keputusan Dewan Juri, yang terdiri dari; Drs. H. Adi Pranajaya, Zubair Bontobahari, S.Pd., dan Drs. H. Rudi Hidayat, menyatakan bahwa pemenang pertama adalah Zainal Abidin, pemenang Ke-2 Imam Khoirul Arifin, dan pemenang ke-3 Alimin Samawa.
Sedangkan 4 peserta yang dinyatakan sebagai pemenang favorit adalah Andi Ryan Hidayat, Hairul Fikriawan, Erni Sulastri & Mauro Nicolas Scabuzzo.
Wakil Bupati juga mengapresiasi dan dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemkab Sumbawa, Bupati dan keluarga besar Mr. H. L. Mala Sjarifuddin, DESS., Ph.D., Johan Rosihan Peduli, para penyumbang buku sebagai souvenir seperti; H. Fahri Hamzah, H. Badrul Munir, Agus Saputra, H. Adi Pranajaya Ratsu, Tim Penyusun Buku Pasatotang, panitia, rekan wartawan dan seluruh peserta lomba atas partisipasi dan kerjasamanya.
“Harapannya ke depan buku kisah hidup Mr. H. L. Mala Sjarifuddin, DESS., Ph.D, Doktor pertama di NTB, menjadi inspirasi bagi generasi muda di NTB,” ujar Dewi Noviani.
Edy@diskominfotik
LASQI NTB akan Selenggarakan Lomba Qasidah Kolaborasi
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Lembaga Seni dan Qasidah Indonesia (DPW-LASQI) NTB, Hj. Niken Saptarini Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc berencana menggelar Lomba Qasidah Kolaborasi se-NTB. Lomba kesenian bernuansa Islami, ini, dihajatkan sebagai proses regenerasi para seniman Qasidah se-NTB.
“Kita akan menyelenggarakan lomba qasidah kolaborasi, tidak hanya qasidah klasik tapi juga dikolaborasikan dengan seni modern seperti; hadrah, qasidah dan marawis” jelas Bunda Niken saat melantik Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Seni dan Qasidah Indonesia (DPD-LASQI) kabupaten Sumbawa Masa Bakti 2021-2025, Sabtu (22/5) di Kantor Bupati Sumbawa.
Hj. Niken Saptarini Zulkieflimansyah, S.E, saat melantik pengurus DPD-LASQI Sumbawa
Bunda Niken berharap dengan diselenggarakannya lomba Qasidah bergengsi tersebut, akan muncul bibit-bibit baru dan talenta-talenta berbakat, khususnya kesenian bernuansa Islami di NTB.
“Butuh kerjasama semua pengurus LASQI beserta seniman Islam, dan pengurus dapat mencari bibit baru yang ada di kecamatan hingga desa”, ujar bunda Niken
Menurut Bunda Niken, melestarikan seni musik Islami di era saat ini membutuhkan kolaborasi, khususnya dengan anak-anak muda dalam mengembangkan bakat. LASQI sebagai lembaga seni dan qasidah adalah wadah alternatif untuk pengembangan bakat generasi muda.
Menutup sambutannya, bunda Niken memberi selamat dan semangat, khususnya kepada pengurus DPD LASQI Sumbawa yang yang baru saja dilantik.
“DPD LASQI Sumbawa memiliki banyak prestasi, jangan sampai prestasi ini hilang, dan juga pada semua DPD LASQI kabupaten/kota se-NTB. Selamat bekerja pengurus LASQI Sumbawa, teruslah membangun kegiatan”, ujarnya.
Sementara itu, ketua DPD LASQI Sumbawa, Sofia Noviantri Mahmud Abdullah, SE, dalam sambutannya meminta dukungan semua pihak, termasuk pemerintah, organisasi perempuan, organisasi seni lainnya, terlebih kementrian agama agar seni musik qasidah Islam dapat dikenal dan dilestarikan oleh masyarakat.
Sofia Noviantri meminta kepada pengurus yang baru saja dilantik agar berkomitmen untuk sama-sama membesarkan organisasi sebagai ikhtiar membangun masyarakat.
“Kami harapkan pengurus mengemban Visi LASQI yakni; dengan seni qasidah kita bentuk anak bangsa yang bermoral, terpuji dan berakhlak mulia, guna membangun masyarakat bangsa yang berakhlakul karimah”, pungkasnya.
Kegiatan Pelantikan Pengurus DPD-LASQI Kabupaten Sumbawa turut dihadiri oleh Bupati Sumbawa beserta Wakilnya, Sekda, forkopimda dan berbagai organisasi Wanita se-kabupaten Sumbawa Barat.
alif_aff@diskominfotikntb
Warige dan Jangger Sasak Jangan Dilupakan
Mi6 dan Publik Institut NTB khawatir, budaya seni Sasak masuki fase punah
Budaya Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat mulai seni tari, pewayangan, alat musik tradisional hingga sistem penanggalan atau kalender, dikhawatirkan memasuki fase kepunahan.
Lalu Athari, Hendra Kesumah, Bambang Mei dan Ahmad SH
Sebab beragamnya budaya Sasak tapi tidak diimbangi literasi khusus kebudayaan Sasak, maupun mempromosikan secara aktif jenis-jenis kesenian tradisional tersebut.
Ancaman kepunahan pun menjadi semakin nyata seiring perubahan zaman. Milenial semakin melupakan kebudayaan asal.
Era teknologi menyeret khazanah Sasak tergerus di ambang pintu kepunahan.
Lembaga Kajian Sosial dan Politik, Mi6 dan Publik Institut NTB , menyoroti tanggalan Sasak Warige yang sudah hampir tidak dikenal. Padahal, sistem penanggalan leluhur tersebut cukup berjaya tempo dulu.
Sistem kalender Sasak Warige merupakan penanggalan yang berdasarkan pengamatan peredaran bintang. Identik dengan bintang pleiades atau dalam bahasa Sasak disebut Bintang Rowot.
Bintang Pleiades atau Gugus Kartika adalah sebuah gugus bintang terbuka di rasi bintang Taurus. Gugus bintang tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang karena dekat dengan bumi.
Warige adalah penanggalan oleh masyarakat Sasak digunakan untuk menentukan hari baik dan buruk. Sehingga, untuk beraktivitas bertani, melaut maupun kegiatan kebudayaan dan keagamaan mengacu pada Warige.
Hal itu menjadi sorotan Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto didampingi Sekretaris Mi6, Lalu Athari Fathulah, Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kesumah dan Direktur Publik Institut NTB, Ahmad SH
“Warige itu menjadi rujukan oleh masyarakat Sasak dalam menentukan waktu yang baik atau waktu yang tidak baik,” ujar pria yang akrab disapa Didu, Sabtu (15/05/21) dini hari di Mataram.
Didu mengatakan, zaman dulu tiap aktivitas masyarakat Sasak berpaku pada penanggalan Warige. Mulai dari bertani, melaut, acara budaya, acara hajatan atau yang berkaitan dengan keagamaan.
“Itu dulu. Tapi sekarang justru Warige mulai terlupakan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan akan punah,” tuturnya.
Sekretaris Mi6, Lalu Athari menambahkan, tanggalan Warige saat ini justru hanya digunakan pada acara Bau Nyale. Itu karena sudah banyak orang mulai lupa dan tidak mengetahui menggunakan Warige.
“Dari generasi ke generasi, kebudayaan Sasak mulai dilupakan. Warige salah satunya,” ujarnya.
NTB sebagai daerah pariwisata membutuhkan kesenian dan budaya sebagai bagian dari atraksi pariwisata. Untuk itu, campur tangan pemerintah diharapkan mampu mempertahankan budaya dan kesenian Sasak.
“Jika pemerintah hanya fokus pada pariwisata semata, tanpa merawat penunjang pariwisata yang menjadi bagian atraksi seperti seni dan budaya, itu sama aja bohong,” tandas Lalu Athari.
Baik Mi6 maupun Publik Institut NTB melihat Seni tari Jangger Sasak juga mulai terlupakan.
Padahal, seni tari tersebut pada masanya selalu ramai digunakan saat acara hajatan baik pernikahan maupun sunatan.
Namun era saat ini, Jangger sudah mulai sepi peminat. Padahal, banyak nyawa bergantung hidup pada seni tari tersebut.
Direktur Publik Institut NTB, Ahmad SH menuturkan, saat ini generasi milenial yang tidak paham arti sesungguhnya Jangger.
Banyak orang yang hanya melihat Jangger adalah sebuah hiburan erotis yang menampilkan perempuan dengan lekuk tubuh seksi menari di hadapan banyak pria.
“Padahal tarian Jangger Sasak ini memiliki filosofis yang justru sebagai bukti perempuan Sasak mempertahankan kehormatan mereka,” tambahnya.
Setiap gerakan Jangger memiliki filosofis yang menandakan perjuangan perempuan menjaga kehormatannya.
Biasanya, saat perempuan menari, akan datang seorang laki-laki yang ikut menari. Terkadang tangan nakal lelaki itu berusaha menjamah tubuh si penari perempuan.
Dari sanalah Jangger akan mengeluarkan gerak tari mempertahankan kehormatannya. Dia memiliki gerakan menangkis tangan nakal lelaki.
Baju penari juga cukup tebal untuk melindungi dirinya. Sementara di kepala si penari terdapat perhiasan yang berbentuk tajam, yang akan mengarahkan kepada si penyawer pria saat posisi si Jangger tertekan.
Gerakan Jangger seperti silat yang bersiap menangkis serangan. Di tangannya juga memiliki kipas yang akan menghalau penyawer nakal.
“Bahkan, gerakan kaki si penari berbentuk kuda-kuda dalam posisi siap siaga. Itu semua memiliki filosofis bentuk perlawanan perempuan menjaga kehormatan,” tambah Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kesumah.
Mi6 menyadari seni tari Jangger sudah mulai memasuki fase kepunahan. Itu karena peran pemerintah dinilai masih minim untuk terus mempertahankan budaya-budaya Sasak ini.
“Pemerintah kadang lupa, era modern yang membawa banyak teknologi dan industrialisasi, konsekuensinya tentu ada yang akan terlupakan. Yaitu seni-budaya tradisional kita. Itu juga akan tenggelam bersama kemajuan zaman jika tak terurus,” urai Hendra Kesumah.
Terkait adanya perubahan penari yang kerapkali berpenampilan seksi dalam seni tari tradisional maupun kontemporer Sasak, Ahmad SH melihat itu hanya soal kedewasaan masyarakat dalam menikmati seni.
“Tidak perlu dikaitkan dengan religi. Seni itu murni ekspresi, bicara soal estetika. Religi itu ranah etik, sementara seni ranah estetik dan tidak berurusan dengan moral,” jelasnya.
Kesenian memang bukan kitab suci yang akan kekal sepanjang masa. Sudah menjadi hukum alam bahwa seni punya hak untuk lahir, berkembang dan mati.
Namun, menjadi kewajiban kehadiran pemerintah untuk mempertahankan seni dan budaya tetap terus hidup.
“Jadi jangan hanya dibuat mabuk dengan modernisasi dan industrialisasi, tapi seni budaya sendiri dilakukan. Itu ibarat anak kota yang tak tahu kampung asal jika seni dan budaya dilupakan,” tutur Ahmad SH yang juga aktivis Lingkungan dan mantan pengurus teras di Walhi Nasional Jakarta.
Jika Anda telah membuka WODEROPOLIS beberapa waktu, Anda mungkin pernah membaca tentang beberapa artis terkenal. Mungkin Anda tahu semua tentang Frida Kahlo, Maya Angelou, atau Leonardo da Vinci.
Kali ini dikenalkan ‘keajaiban’ dalam dunia seni tentang nama lain yang mungkin Anda kenali — Rembrandt!
Siapa Rembrandt? Seniman terkenal ini lahir di Belanda pada tahun 1606. Nama lengkapnya adalah Rembrandt van Rijn, tetapi kita sering mengenalnya dan mengingatnya dengan nama depannya.
Self-Portrait -REMBRANDT Van Rijn (1606-1669).
Sebagai seorang anak, Rembrandt bersekolah di Sekolah Latin di kampung halamannya di Leiden. Kemudian, ia mulai di Universitas Leiden pada usia 14 tahun. Namun, keinginannya untuk menciptakan seni akhirnya membawanya ke jalan yang berbeda.
Rembrandt meninggalkan universitas untuk belajar melukis. Dia pertama kali belajar dengan Jacob Isaacsz van Swanenburgh di Leiden dan kemudian dengan Pieter Lastman di Amsterdam.
Segera, Rembrandt membangun reputasi yang kokoh sebagai pelukis berbakat. Dia menjadi paling terkenal karena lukisan tentang potret dirinyanya (self portrait).
Kemudian, dia mulai bekerja dengan pedagang seni, Hendrick van Uylenburgh. Dia menikah dengan sepupu Uylenburgh, Saskia.
Apa yang membuat seni Rembrandt istimewa?
Banyak yang menganggapnya ahli cahaya dan bayangan. Ini membantunya menghasilkan potret seperti aslinya yang tak tertandingi oleh sebagian besar seniman lain pada masanya. Selain lukisan, Rembrandt juga menghasilkan etsa dan sketsa yang mengesankan.
Pada 1630-an, Rembrandt mencapai banyak kesuksesan. Dia menjual banyak lukisan dan juga menerima murid-muridnya. Dia dan Saskia pindah ke sebuah rumah besar di daerah kaya di Amsterdam. Mereka memiliki empat anak, tetapi hanya satu — Titus — yang hidup sampai dewasa.
Tahun-tahun terakhir Rembrandt menjadi sulit. Saskia meninggal pada tahun 1642, dan Rembrandt segera mengalami kesulitan keuangan.
Dia menyatakan bangkrut pada 1656 tetapi terus melukis dan menjual karya seninya. Dia juga memiliki anak lagi, Cornelia, dengan pasangan jangka panjangnya, Hendrickje Stoffels. Rembrandt meninggal pada tahun 1669 dan dimakamkan di kuburan tak bertanda.
Saat ini, Rembrandt masih menjadi raksasa di dunia seni. Karya-karyanya digantung di museum seperti National Gallery of Art, The Met, dan Louvre. Potongan juga digantung di The Rembrandt House Museum, yang dulunya adalah rumah yang dibelinya bersama istrinya, Saskia. Banyak dari lukisannya yang paling terkenal adalah potret diri.
Karya terkenal lainnya dari Rembrandt termasuk “The Night Watch“, “The Anatomy Lesson of Dr. Tulp,” dan “The Sampling Officials.” Lukisan terkenal lainnya, “Badai di Laut Galilea,” telah hilang sejak 1990. Lukisan itu dicuri dari Museum Isabella Stewart Gardner.
Pernahkah Anda melihat lukisan Rembrandt? Dia memiliki gayanya sendiri. Apa bentuk seni lain yang Anda kagumi? Dunia ini penuh dengan seniman luar biasa — Anda bahkan bisa menjadi salah satunya!
Nasib kesenian tradisional saat pandemi Covid-19 terbilang memperihatinkan.
Pelarangan berkerumun dan pembatasan aktivitas sosial membuat para pelaku seni tradisi alami dilema, mempertahankan eksistensi berkesenian atau menaati protokol kesehatan.
Pilihan membatasi kegiatan berkesenian sepertinya jadi opsi sementara yang musti segera menemukan solusi.
Itu terjadi pada sanggar Gendang Beleq ‘Erat Emas’ di Desa Pendua Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Meski mengaku belum ada tawaran mengisi acara, sanggar Erat Emas memilih tetap aktif melakukan latihan dengan protokol kesehatan ketat.
Abdianto, Ketua Gendang Beleq Erat Emas mengungkapkan, pandemi Covid-19 harusnya tak menghalangi pelestarian seni tradisi.
Dikatakan, kendati sulit sebenarya masih ada beberapa opsi yang bisa dilakukan. Hal tersebut sekaligus menjaga semangat tetap produktif para pelaku kesenian di masa pandemi.
“Alhamdulillah kami tetap aktif latihan, tapi kita kurangi jadwal latihan dan mengikuti protokol kesehatan. Jadwal latihan yang sempit itu berdampak pada komunikasi atau shering dengan setiap anggota juga menjadi terbatas, terlebih lagi job menjadi kurang karena tidak diizinkannya acara yang mengundang kerumunan,” Kata Abdianto yang juga akrab disapa Uken, saat ditemui lombokjournal.com di kediamannya. Jumat (07/05/21).
Lebih jauh, Uken berharap ada upaya pemerintah memberikan ruang bagi pelaku seni tradisi eksis di sektor pariwisata KLU.
Tak seperti yang dialami selama ini, kesenian tradisi hanya untuk upacara adat atau uapara ritual.
Selain membuat kesenian tradisi tetap eksis, sinergi tersebut sebagai upaya memberi peran kesenian tradisional KLU untuk dunia pariwisata.
“Kami berharap, Gendang Beleq tidak hanya untuk acara adat saja. Tapi kami juga ingin Gendang Beleq ini sebagai daya tarik untuk mendorong kemajuan pariwisata alam yang ada di KLU ini,” ungkapnya.
“Kelompok Gendang Beleq ini kami pertahankan juga sebagai wujud kepedulian kami selaku pemuda dalam melestarikan budaya local. Selain itu kami juga berharap bahwa setiap generasi di KLU ini tetap semangat dalam melestarikan kesenian tradisional kita,” harapnya.
Pria paruh baya menggunakan kemeja putih itu, menggenggam wayang kulit putihan. Wayang yang belum jadi dan belum dicat sesuai bentuknya.
Amaq Darwilis namanya. Dia adalah penatah atau pengrajin wayang kulit Sasak asal Gunung Malang, Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat.
Di balik keindahan wayang miliknya, menyimpan masalah cukup pelik. Dia mulai krisis generasi penerus yang dapat mempertahankan budaya dari leluhur ini.
Pria berkumis berusia 65 tahun itu begitu semangat saat didatangi Lembaga Kajian Sosial Politik, Mi6.
Dengan semangat dia memperkenalkan wayang Sasak pada Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto dan Kepala Divisi Litbang Mi6, M. Zainul Fahmi, Jumat sore, 7 Mei 2021.
Dengan suara serak, Amaq Darwilis bercerita kekhawatiran akan punahnya wayang Sasak. Dia tidak memiliki generasi penerus di saat umurnya sudah cukup tua.
“Dulu bapak saya jadi penatah. Kakak saya dalang. Sekarang tersisa saya, bahkan anak saya kerja di kantoran jadi tidak bisa fokus,” katanya.
Amaq Darwilis ingin sekali mengajar orang-orang untuk membuat wayang Sasak, namun generasi saat ini belum ada yang tertarik terhadap wayang Sasak.
Bahkan, bantuan dari pemerintah tidak pernah didapat. Padahal, NTB adalah daerah pariwisata, sementara wayang adalah bentuk atraksi pariwisata yang menarik bagi wisatawan.
“Bantuan tidak ada. Pemerintah belum pernah datang ke sini,” imbuhnya.
Tidak mudah untuk membuat wayang kulit Sasak. Apalagi dia bekerja seorang diri. Butuh waktu seminggu hanya untuk membuat satu wayang dengan melalui sejumlah proses.
“Ada beberapa proses pembuatan, mulai dari ngencang, dijemur, direndam, dikerik,” ujar Darwilis.
Ngencang adalah proses membentang kulit sapi mentah di alat pembentang yang berupa bingkai dari bambu atau kayu. Sisa daging pada kulit akan dibersihkan.
Kemudian masuk ke proses jemur agar kulit itu kering dan kuat. Proses jemur cukup lama, yaitu 15 hari agar kulit sapi semakin kuat.
Setelah dijemur, kulit akan direndam selama satu hari dalam air. Baru setelah itu memasuki proses amplas (dikerik) sehingga bulu pada kulit hilang dan bersih.
Setelah itu wayang akan dibentuk dan dipahat. Itu membutuhkan ketelitian yang serius agar wayang dapat rapi dan indah.
Amaq Darwilis menjelaskan, wayang Sasak terdiri dari bagian yaitu wayang kiri dan kanan. Wayang kiri identik dengan tokoh jahat (antagonis), sementara wayang kanan identitas dengan tokoh baik (protagonis).
Namun lebih sulit untuk membuat wayang kiri, karena tokoh antagonis pada wayang memiliki banyak corak dan warna. Berbeda dengan tokoh protagonis yang digambarkan pada wayang kanan, cukup sederhana.
“Tapi kalau orang luar negeri akan membeli wayang kiri, karena lebih banyak corak dan warna,” ujarnya.
Dia mengatakan, dahulunya beberapa wisatawan mancanegara ke Lombok akan membeli wayang miliknya. Para turis ini lebih tertarik dengan wayang kiri yang memiliki corak yang ramai dan aneka warna.
“Wayang kiri karena banyak mahkota. Kalau wayang kanan itu biasa tidak, banyak aksesoris,” katanya.
Amaq Darwilis kini terancam tidak dapat membuat wayang. Selain karena tidak adanya generasi penerus yang membantu, dia juga kekurangan dana untuk membeli bahan kulit. Padahal momentum idul fitri nanti adalah waktu yang mudah menemukan kulit sapi.
Dia mengatakan, sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Amaq Darwilis sangat diapresiasi di luar daerah. Dia mendapatkan penghargaan Jakarta dan Bali.
Tapi justru tak digubris di daerah asalnya. Dia hanya mempertahan budaya leluhur yang menjadi harta berharga masyarakat Sasak.
“Saya dapat penghargaan dari Bali dan dari Museum Wayang Jakarta. Kalau di NTB belum ada bantuan,” ujarnya.
Padahal, Amaq Darwilis sejak tahun 1968 sudah menjadi penatah wayang kulit Sasak. Bahkan, dalang tersohor Lalu Nasib selalu membeli wayang miliknya.
Butuh Perhatian Pemerintah
Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto yang kerap disapa Didu, mengatakan pemerintah harus lebih serius memperhatikan para penatah yang menjadi penjaga budaya Sasak.
NTB, kata Didu adalah daerah wisata, sehingga peran penatah wayang Sasak tidak terlepas dari bagian atraksi budaya.
Didu merasa khawatir, jika para penatah wayang kulit Sasak telah tiada, maka salah satu budaya leluhur Sasak tersohor ini akan sirna bersama mereka.
“Jangan sampai kita menyesal ketika wayang kulit Sasak akan punah seiring habisnya para penatah yang menjadi penjaga kebudayaan Sasak ini,” katanya.
Keping demi keping kebudayaan Sasak harus direkat dengan benang penyekat. Benang itu adalah bantuan pemerintah yang terus membuat wayang Sasak bereksistensi.
“Maka bantuan pemerintah yang dapat menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan. Mulai berikan permodalan bagi para penatah dan mulai memperkenalkan wayang Sasak pada generasi,” imbuhnya.
Setali tiga uang dengan Mi6, Ketua DPD Sahabat Pariwisata Nusantara (SAPANA) NTB, Lalu Puguh Mulawarman, mengatakan keprihatinannya terhadap kesenian tradisional yang mulai tidak mendapatkan tempat di hati generasi.
“Kami merasa prihatin karena kesenian tradisional terkesan semakin dijauhi oleh kalangan anak muda. Cobalah kita liat kondisi Amaq Darwilis yang merasa risau karena tidak punya generasi penerus,” imbuhnya.
Generasi masa kini katanya, telah larut terhadap perkembangan teknologi dan gawai, sehingga “para penjaga budaya” mulai sirna seiring zaman.
“Mari kita liat saja kenyataan bahwa anak anak lebih mengenal tokoh kartun asing ketimbang tokoh dalam budaya sendiri, Bahkan, ada beberapa anak yang tidak mengenal sama sekali kesenian tradisional. Ini kemungkinan terjadi akibat kurangnya informasi dan pengajaran terkait kesenian tradisional khususnya pewayangan,” ujarnya.
Dia meminta semua stakeholder berperan untuk menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan akibat tidak adanya generasi penerus.
“Untuk itu, kami mengharapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang ada di Pulau Lombok , pegiat pariwisata, budayawan, akademisi besatu padu dan semua unsur terkait untuk bersatubpadu meningkatkan dan mengembangkan inovasi guna memperkenalkan kesenian wayang Sasak kepada kalangan milenial sehingga rasa cinta dan bangga bisa tumbuh di hati mereka,” imbaunya.
Dia berharap, pembuat kebijakan agar kesenian wayang ini dapat diperkenalkan secara formal melalui sekolah sekolah dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler, sehingga kesenian wayang Sasak khususnya yang terkait dengan proses produksi wayang Sasak ini tidak punah.
“Kita sangat khawatir apabila tidak ada upaya nyata pemerintah dan masyarakat maka wayang sasak menjadi hilang, terlupakan dan tergerus zaman,” katanya.
“Padahal, kesenian dan alat-alat tradisional mempunyai nilai-nilai filosofis yang syarat akan makna dan pendidikan bagi pemuda dan juga masyarakat secara luas,” ucapnya.