Kontroversi Bob Dylan, Tapi Ia ‘Mengubah’ Dunia

lombokjournal.com

Minggu ini Bob Dylan dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra. Musisi paling berpengaruh era 1960-an itu dinilai telah “menciptakan bentuk baru ekspresi puitis” dalam penulisan lagu. Tentang ini  tidak diragukan telah dilakukannya.  Hampir seorang diri Dylan membawa musik populer ke perspektif baru, mengeksplorasi intelektualitas pengalaman manusia.

Saat John Lennon usai mendengar lirik Freewheelin ‘Di Bulan Juni’, Dylan adalah musisi yang membuat musik pop berkembang menggairahkan,  Bob kecil tumbuh menjadi dewasa muda yang menarik. Untuk itu dia layak memperoleh penghargaan?

Bob Dylan; membuat musik pop menjadi menggairahkan

Namun, kita tidak bisa berpura-pura bahwa keputusan Akademi Swedia (The Swedish Academy) menuai kontroversi. Apakah kisah-kisah dalam lirik lagu Dylan sebagus Steinbeck? Tidak. Apakah keahliannya sebagai ahli menyamai TS Eliot? Tidak.  Jauh dari itu, sebenarnya.

Tapi Bob Dylan mengubah dunia.   Dylan merupakan sosok paling berpengaruh yang pernah memenangkan penghargaan sastra paling terhormat. Pertanyaannya kemudian, apakah Dylan benar-benar menampilkan daya tarik kuat dalam karya-karyanya? Mungkin soal ini masih layak diperdebatkan. Dylan, bagaimana pun telah menulis tiga karya ‘omong kosong masuk akal’ yang terbesar di abad ke-20, dengan Bringing It All Back Home (1965), Highway 61 Revisited (1965), dan Blonde on Blonde (1966). Ini omong kosong yang bernilai?

Ya, Ini tentang bagaimana mengajar suatu generasi mengekspresikan diri. Dan lagu-lagunya pernah begitu lama mengisi acara radio, dan tentang ini Dylan mengatakan, “Saya dibayar karena kata.” Jadi, dengan demikian Dylan dianggap orang paling tepat menerima penghargaan Nobel Sastra?  Ya, Dylan mungkin dinilai paling layak dari siapa pun dalam sejarah hadiah Nobel. Dan itu memang suatu kontradiksi.

Tapi, sementara banyak orang terus berdebat tentang penganugerahan itu — apakah benar Dylan memang layak menjadi pemenang Hadiah Nobel —  ada playlist favorit khusus dari Dylan untuk mengendapkan saling silang argumen (kita tahu Dylan tidak menulis “Baby, Let Me Follow You Down”).

Rayne Qu

(Sumber : WALESARTS Review)




Nobel Sastra 2016, Banyak Yang Meragukan Bob Dylan

lombokjournal.com

Bob Dylan menjadi yang pertama kalinya, seseorang yang lebih dikenal sebagai musisi mendapat penghargaan Nobel. The Swedish Academy (Akademi Swedia) mengumumkan keputusannya hari Kamis (13/10), mengakhiri musim Nobel 2016. Mengapa Bob Dylan Layak Memenangkan Nobel Sastra?

Tak sedikit kalangan yang  meragukan hak Dylan meraih hadiah Nobel sastra. Yang lainnya menimpali, seharusnya Bob Dylan layak mendapat pernghargaan Nobel khusus tapi karena keberadaannya sebagai ikon (maksudnya bukan Nobel sastra).

Dylan, bersama dengan peraih Nobel lainnya, akan menerima penghargaan pada 10 Desember [File: EPA]
Dylan, bersama dengan peraih Nobel lainnya, akan menerima penghargaan pada 10 Desember [File: EPA]
Tapi bagaimana pun, Bob Dylan telah diputusnya menjadi anggota “Rock and Roll Hall of Fame” untuk memenangkan hadiah Nobel sastra. Beberapa orang menentang penghargaan Nobel untuk Dylan, dan menyarankan bbahwa musisi yang juga pernah menulis novel pada tahun 1960 itu hanya layak mendapat “Nobel khusus”.

Namun pihak Akademi Swedia (The Swedish Academy) menilai musisi Amerika itu layak menerima penghargaan bergengsi itu karena “telah menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu yang bagus Amerika”. Penulis dan penyanyi Amerika itu “telah menciptakan ekspresi puitis baru yang bernilai dalam tradisi lagu Amerika”.

Pada dasarnya, dalam karya Bob Dylan, kata dan musiknya tidak dapat dipisahkan.  Frase kata Dylan begitu sempurna,  keutuhan maknanya disampaikan dengan gamblang dan gemanya mendalam. Penyanyi yang kini berusia 76 yahun  yang sempat dijuluki ‘penyanyi protes’ itu, oleh anggota Akademi Swedia, Per Wastberg dikatakan, “Dia mungkin penyair terbesar yang masih hidup.”

Akhir “sempurna” Dylan – orang yang telah menyatu dengan yang dipelajari dari Woody Guthrie penyair simbolis dengan energi rock’n’roll, yang mengejek dunia dari balik nuansa tak tertembus. Dalam lagu-lagu seperti Tangled Up in Blue (1975), Blind Willie McTell (1983) dan Cross Green Mountain (2002) ia menjelajahi cara permainan dengan waktu, suara dan perspektif.

Lagu-lagu lainnya seperti Blowin ‘in the Wind, Masters of War, A Hard Rain a-Akan Fall, The Times They Are a-Changin, Subterranean Homesick Blues dan Seperti Rolling Stone menangkap semangat pemberontakan, perbedaan pendapat dan kemerdekaan.

Dylan masih menulis lagu dan sering tur. Ia dianggap oleh banyak orang sebagai ikon dari generasinya, yang  pengaruh musik dan lirik dari sangat kuat pada tahun 1960-an dan seterusnya. “Dylan memiliki status ikon. Pengaruhnya pada musik kontemporer sangat mendalam,” kata Swedish Academy, yang menganugerahinya penghargaan $ 930.000.

Tahun ini, hadiah sastra terakhir diumumkan dari enam Nobel lainnya, yaitu untuk kedokteran, fisika, kimia, perdamaian dan ekonomi. Enam penghargaan akan diserahkan pada 10 Desember, hari ulang tahun kematian pendiri hadiah Alfred Nobel pada tahun 1896.

Akademi Swedia yang berbasis di Swedia, telah menganugerahi hadiah sastra sejak 1901, terdaftar sekitar 220 nominasi,  yang kemudian tinggal lima orang dinominasikan.

Pada 2015, akademi ini menganugerahi Nobel sastra untuk penulis Belarusia, Svetlana Alexievich, mengutip tulisan-tulisannya tentang peristiwa penting yang mempengaruhi Belarus selama dan setelah era Soviet, termasuk bencana nuklir Chernobyl, Perang Soviet-Afganistan dan jatuhnya Uni Soviet.

RAYNE QU
(Sumber: Al Jazeera/The Guardian)

 




Parade Teater Kampus, Meramaikan Panggung Teater Mataram

MATARAM – lombokjournal.com

P_20160902_212644

Seni Teater tetap berkobar di lingkungan kampus. Tiga kelompok yang dikenal bersemangat menggeluti teater, membuat parade pentas berturut-turut di Teater Tertutup Taman Budaya NTB, 6 – 8 September 2016.

Ketiganya adalah Teater Putih (FKIP Universitas Mataram) mementaskan “Pinangan” karya Anto P Chekov, BKSM Saksi (IAIN Mataram) dengan lakon Pantomim “Dicari Manusia Jujur” karya Nash Ja’una, dan Sasentra Universitas Muhammadiyah Mataram, menggarap karya Wiliam Butler Yeats berjudul “Arwah-Arwah”

Diskusi menjelang pentas, Jum’at (2/9) lalu, setidaknya diperlukan untuk persiapan mengapresiasi pertunjukan yang susah payah disiapkan ketiga kelompok teater kampus tersebut.

  • Pantomim-nya BKSM SAKSI (IAIN Mataran) sutradara Nash Jauna;

pantomima

Pengaruh (struktur) drama dalam pengadeganan pantomime, bukan hal baru dalam pertunjukan pantomime di Indonesia. BKSM SAKSI melakukan itu dalam nomor “Dicari Manusia Jujur”. Sketsa nomor pantomim yang dipandu Nash, merupakan ekspresi keprihatinan manusia modern. Masihkah ada kejujuran itu?

Pantomim dengan aktor lebih berjumlah 7 orang, bahkan hingga puluhan orang, pernah dilakukan kelompok ‘Seno Didi Mime’. Misalnya, pertunjukan yang menggambarkan makna demokrasi, aktor-aktornya beraksi mengusung bongkahan-bongkahan karet-karet ban ke atas panggung. Sejumlah pemain berwajah boneka melakukan gerakan-gerakan ‘pembobolan dinding’. Mereka mengendong tubuh-tubuh manusia telanjang tanpa busana. Dialog-dialog yang muncul dari aktornya dikemas sebagai irama, bukan kosa kata untuk mengantar pengertian.

Memang pantomim tidak selalu muncul dengan kritik sosial, namun kejenakaan yang menyertai kritik sosial menjadi elemen yang menjadi daya tarik pantomim. Simbol-simbol pantomim bisa memikat bila cepat berasosiasi dengan pengalaman keseharian penonton.

Para aktor dari BKSM Saksi memang penuh bakat, namun pantomim (yang memang) tidak dikerjakan berdasarkan naskah tapi langsung dipraktikkan itu, disarankan bisa fokus menyambungkan benang merah sketsa menjadi keutuhan yang tampak dalam pertunjukan. Apakah simbol-simbolya sampai ke penonton? Apakah aktor-aktornya berhasil mengungkapkan perasaan manusia, dan menggambarkan situasinya?

Ada perbandingan dari pertunjukan pantomim yang memberi pilihan agar bisa memikat. Misalnya, apakah pertunjukan lebih menonjolkan aspek keaktoran dalam penyampaian simbol atau membangun imaji dramatik.

Bengkel Mime Theatre Jogja; kostum dan properti dari perkakas rumah tangga
Bengkel Mime Theatre Jogja; kostum dan properti dari perkakas rumah tangga

Selain itu, seperti pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ oleh Bengkel Mime Theatre Jogja, menawarkan daya tarik visual artistik dengan set panggung, pencahayaan, properti dan kostum.  Dalam nomor ini penonton diajak larut ke dalam ruang imaji yang penuh fantasi. Mereka mengenakan kostum dan properti dari perkakas rumah tangga seperti wajan, panci, sendok, garpu, baskom, ember, kursi, meja, drum, mangkok, botol bekas air mineral, tempat sampah, hanger, tali jemuran, taplak dan lain-lain.

Aktor-aktor dan sutradara dari BKSM Saksi yang menjadi harapan tumbuhnya pertunjukan pantomim di Mataram itu, mungkin punya pilihan lain.  Atau sedang berproses menemukan pilihan yang tepat untuk berinteraksi dengan penontonnya.

  • “Pinangan’-nya Anton P Chekov oleh Teater Putih

'Pinangan'-nya Teater Putih

Teater Putih-nya FKIP (Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan) Unram merupakan kelompok teater kampus paling produktif dan konsisten membuat pertunjukan drama.  Ini didukung lingkungan di FKIP Unram yang kondusif, dengan mata kuliah teater atau drama yang memungkinkan mahasiswanya mempunyai bekal teori membuat pertunjukan teater.

Naskah “Pinangan” meski ditulis Anton P Chekov yang lahir tahun 1860 di pedesaan Taganrog, Rusia, tapi tetap relevan menjadi tontonan saat ini. Kelompok teater yang masih menganut prinsip-prinsip akting Stanilavsky – teater sebagai seni vokal dan seni akting – menyukai karya-karya penuh sindiran dan ledekan karya Chekov (atau Nikolai Gogol). Naskah Pinangan paling sering dimainkan termasuk oleh mahasiswa-mahasiswa teater.

pinangan1

Teaterawan dari Bandung yang legendaris, Suyatna Anirun, menyadurnya ke dalam situasi lokalitas  Jawa Barat. Tokoh-tokohnya bukan hanya bernama lokal, tapi cara berpikirnya pun tipikal lokal, yang masuk dalam ‘komedi situasi’ khas lokal.  Jadilah perseteruan lucu seseorang yang datang melamar anak gadis, malah terjebak perseteruan dengan orang tua gadis perkara memperebutkan sebidang tanah dan mempermasalahkan hewan peliharaan masing-masing.

Teater Putih memainkan naskah Pinangan tanpa mengadaptasinya ke dalam situasi lokal. Nama-nama tokoh dalam drama itu tetap asli nama Rusia.  Memang tanpa adaptasi apa pun (kecuali bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia) tak mengurangi nilai suatu pertunjukan naskah asing. Namun sering menimbulkan kerumitan, misalnya, kalau memainkan tokoh ‘Ivanovic’ (nama Rusia) tentu berbeda saat masuk dalam karakter ‘Khlolil’ (nama Jawa Barat). Ini lebih lanjut akan bersinggungan dengan elemen produksi lainnya.

Meski demikian, bagi aktor yang mempelajari metode dan konsep Stanislavsky yang memanfaatkan ingatan emosi sebagai pijakan pemeranan yang digerakan kondisi jiwa dan mood tokoh di tiap suasana (pengolahan intuisi kreatif-nya Chekov), akan membangun tontonan yang menghibur.  Drama Chekov  tidak menyarankan titik kulminasi atau puncak konflik, tiap situasi merupakan peristiwa istimewa.

Cara pengungkapan emosi tiga orang aktor Teater Putih telah mendekati pencapaian itu. Termasuk konsep atau teknik Farce dalam pemeranan memang tepat untuk mendekati naskah Chekov.

  • ‘Arwah-arwah’ karya William Butler Yeats (WB Yeats) oleh SASENTRA (Sanggar Seni dan Sastra) Universitas Muhammadiyah Mataram

Arwah-arwah-nya SASENTRA
Arwah-arwah-nya SASENTRA

Drama ‘Arwah-arwah’ mewakili alam pikiran penyair dan penulis drama kelahiran Dublin, Irlandia tahun 1865. WB Yeats yang disebut sebagai salah satu penyair berbahasa Inggris terbesar pada abad ke-20 dan penerima Nobel Sastra tahun 1923 — penyair romantik terakhir dan penganut aliran modern pertama —  kerap menampilkan sosok hantu dalam puisi-puisinya. Ia percaya, ketika seseorang berbicara tentang orang mati, akan membangkitkan hantunya.

Yeats disebut memiliki bakat khusus berhubungan dengan hantu-hantu. Dan telah melakukan ribuan percakapan dengan orang-orang yang mengklaim mampu berhubungan dengan hantu.

Seorang penulis, Alice Miller, yang sempat menyusuri jejak Yeat di Dublin menulis, Yeat pernah menyatakan bahwa setelah kematian menjemput, kita menghidupkan kembali kenangan penuh gairah yang terus berulang, mencintai jiwa-jiwa yang sama, membakar rumah-rumah yang sama dan memerankan peran kasus pembunuhan yang sama.

arwah-arwah
Arwa-arwah karya mahasiswa ISI di Sumatra

Latar belakang ini penting untuk memahami naskah ‘Arwah-arwah’, yang mengisahkan pengembara tua dan putranya di antara reruntuhan rumah dan pohon tua.  Peristiwa masa lalu yang mengganggu orang tua itu karena berisi kenangan kisah tragis.  Ia membunuh ayahnya sendiri karena ayahnya menyiksa ibunya. Ketakutan membayangi pikirannya, kemungkinan putranya membalas dendam atau ‘melanjutkan keonaran’. Akhirnya ia memutuskan membunuh putranya sendiri.

Asta Bajang yang menyutradarai ‘Arwah-Arwah’ itu berusaha memahami karya drama dari penyair yang menerima Nobel karena puisi-puisinya yang menginspirasi dan memberi semangat bangsa Irlandia. Namun dialog-dialog penuh metafora, ungkapan puitis Yeats,  yang membangkitkan kenangan orang tua atas ‘puing-puing rumah dan pohon tua’ bisa menjebak pemainnya dalam ucapan bertele-tele.

Memang, ‘Arwah-arwah’ yang diterjemahkan Suyatna Anirun bukan hanya membutuhkan pendalaman pemahaman untuk menangkap metafora dalam dialog tokoh-tokohnya.  Pemahaman plot, intensitas diskusi aktor-sutradara, sekaligus pembahasan elemen desain produksi (cahaya, kostum, properti dan lainnya), juga penting mendekati drama psikologi Yeats. Kedua aktor yang bersemangat dari Sasentra yang bermain dalam ‘Arwah-arwah’ harus lebih banyak diskusi dengan sutradara.

Pertunjukan teater adalah persentuhan organisme hidup antara aktor dan penonton selama teater itu ‘hidup’. Teater itu ‘mati’ ketika lampu panggung dan gedung pertunjukan menyala. Seni teater bukanlah artefak yang bisa diapresiasi dengan nilai sama seperti saat pertunjukan berlangsung.

Karena itu, nilai pertunjukan teater ditentukan berlangsungnya ‘peristiwa teater’ yang memberi kesadaran baru tentang sesuatu.Mari menonton teater.

Suk




Seni Instalasi Dengan Bumbu Performance Art

Tanpa menguasai medium yang mengantar gagasan, nyaris sama dengan tak punya gagasan apa pun.  Kalau seni instalasi tak bisa mengantarkan ‘penemuan kembali’ persepsi audiensnya dengan ruang atau lingkungan dari penciptaan pengalaman unik seniman, apakah sudah gagal menyampaikan gagasannya?

instalasi, seni13

R. Eko Wahono

Pertanyaan itu muncul setelah menyaksikan karya intalasi seniman Mataram, Sabtu (27/8), di halaman luar Taman Budaya NTB. Ini jarang terjadi, pameran instalasi dilakukan ramai-ramai, ada Sembilan karya instalasi beberapa di antaranya karya dari seniman Bandung dan Bali.  Dan beberapa di antaranya karya instalasi itu ‘dibumbui’ performing art. Tentang yang terakhir, saya  menganggapnya inheren sebagai seni instalasi. Jadilah sebuah seni instalasi hidup (live). Audiens pun berharap, di sebuah ruang ‘pemasangan’ ilusi multidimensi, baik seniman dan penonton bisa berkontribusi pada proses penciptaan dan penemuan seniman.

instalasi, seni15

Zaeni Muhammad

Bisa dimengerti pameran ramai-ramai itu berlangsung karena Dinas Budpar NTB, pada bulan Agustus ini sedang menjalankan program Bulan Budaya Lombok Sumbawa (BBLS). Sebenarnya bukan masalah berkarya dengan orderan dalam event apa pun. Tentu jadi pertanyaan, kalau semua berlangsung mendadak, sehingga beresiko munculnya karya-karya dadakan yang semata-mata hanya ‘bernostalgia’.

Sembilan orang yang membuat karya instalasi itu adalah Zaini Muhammad, REko Wahono, Syamsul Fajri Nurawat, Hadi Kru, Justihan Imtihan (Bali), Farhan Adytiasmara (Bali), Muhammad Sibawaihi, Setia Wibowo (Bandung), dan Jante Prabamandala (Bandung). Tidak diperoleh penjelasan, kenapa beberapa perupa tidak ikut serta, seperti Mantra Ardhana, Lalu Syaukani,  Lingsartha Partha atau beberapa lainnya yang biasa membuat seni instalasi.

Mungkin Lingsartha seharusnya ikut terlibat, sebab perupa yang kini justru banyak menghasilkan karya musik ini sering mengkritisi karya-karya yang menyatukan dan mengkontruksi sejumlah benda melahirkan persepsi yang bisa merujuk suatu konteks kesadaran makna tertentu.

“Tapi soal gagasan yang hendak disampaikan harus sepadan dengan penguasaan teknik penyampaian konsep seni instalasi. Saya lihat seniman yang pameran belum sampai kesana,” ujar Ligsartha. Saya lihat, sebagian seperti menganggap seni innstaasinya sebagai set pertunjukan fragmen.

Gagasan yang tak sampai itu hanya akan berhenti sebagai inspirasi, belum sampai sebagai gagasan yang berwujud sebagai karya seni. Seni instalasi seharusnya bisa mengajak pengunjung masuk dan bergerak di sekitar ruang atau berinteraksi dengan beberapa elemen. Seharusnya menawarkan ‘bentuk’ pengalaman berbeda dari (katakanlah) karya lukisan atau patung yang biasanya dilihat dari sudut referensi tunggal .

Pemirsa bisa terlibat, mungkin sentuhan, suara atau sekedar bau. Juga visi seniman dalam mengangkat tema social, hubungan ketergantungan tubuh dengan alam sekitar atau persoalan-persoalan sosial politik

Instalasi,seni11

Tubuh dan Ruang Maya – Hafizah hamzah

 

“Ruang makan bukan lagi ruang sosial, tapi benar-benar individual saat kita intens bergaul di dunia maya,” kata aktor Hafizah Hamzah (Opik).

Opik tidak ikut memamerkan karya instalasinya tapi membuat performance art.  Banyak yang menilai, ia berhasil menyampaikan gagasannya.

Suk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




Jazz & World Music Festival; Bukan Sekedar Tuan Rumah

SENGGIGI – lombokjournal.com

Musisi juga perlu mendapat suntikan vitamin.  Kehadiran musisi kaliber dunia yang tampil dalam event “Pesona Senggigi Jazz & World Music Festival 2016” ibarat vitamin yang memberi gairah musisi Lombok. “Event Jazz & World Music ini penting dan sangat diperlukan untuk merangsang kreativitas musisi kita,” kata Ari Juliant, di tengah semaraknya hari kedua performing Jazz & World Music di Senggigi, Minggu (22/8) malam.

Sampai hari kedua, semua musisi dari mancanegara, seperti Log Sanskrit feat Banu (India), Cellomano (Venezuela), Danne The Riddim (Jepang) sudah mewarnai irama pantai Senggigi. Hanya Mark Heyward (Australia) yang urung datang. Tak ada penjelasan mengenai alasan ketidakhadirannya.

jazsenggigi,21Agustus2

IVAN NESTORMAN

 

Namun ketidakhadiran Heyward tak mengurangi kerennya hajadan berkumpulnya musisi kelas dunia di pantai Senggigi. Malam itu, sebut saja Bonita & The Hus Band –yang albumnya berjudul ‘Small Miracle’ tahun 2014 masuk dalam jajaran album terbaik versi majalah Rolling Stone – dengan powerfull suaranya mengusik energy positif penonton yang sebagian besar duduk di pasir pantai.

Waktu ia mengakhiri penampilannya dengan lagu nostalgik, penonton bertepuk tangan sambil berdiri. Penonton yang mengapresiasi performance putri dari Koes Hendratmo (artis dan presenter fenomenal yang hingga kini masih berpenampilan segar) itu sebagian besar adalah wisatawan bule.

Dan yang tak terlupakan, penampilan Ivan Nestorman, musisi di Flores-Nusa Tenggara Timur yang malam itu seperti biasa memadukan unsur (berbagai alat musik) etnik dalam irama Jazz yang dimainkannya. Misalnya malam itu, ditampilkan pemain musik warga Senegal yang piawai dengan instrumen tradisi Afrika. Ada juga instrumen angklung yang dimainkan dengan dinamis.

Memang banyak di antara penonton yang belum tahu siapa Ivan Nestorman. Padahal ia pernah menulis lagu yang kemudian dipopulerkan penyanyi Chrisye (alm).  Ia juga menggarap aransemen dan lirik untuk penyanyi seperti Glenn Fredly, Edo Kondologit, Franky Sahilatua, Black Sweet, Andre Hehanusa, dan banyak penyanyi lainnya.

Karyanya Nera  merupakan hasil kolaborasinya dengan penabuh drum kondang, Gilang Ramadhan. Bersama Dwiki Darmawan dan Dira Yulianti, menghasilkan karya world peace orchestra. Di antara musisi yang tampil hari kedua, hanya Ivan dengan irama Jazznya bisa mengajak sebagian besar penonton malam itu ‘bergoyang’.

Para alumni ISI (Institut Seni Indonesia) Jogja malam itu dengan projek musik Subkultur Artificial (didirikan tahun 2013) membawa konsep bermusik yang unik. Seluruh pemainnya masing-masing membawakan alat musik tradisional dari daerah masing-masing.  Namun instrument tradisi itu dikawinkan dengan unsur musik. ‘dunia’.

Jadilah ramuan musik yang dibarengi pemikiran sosiologis.  Eksperimentasi musik yang dilakukan Enriko Gultom dan kawan-kawannya jebolan ISI itu, tidak menganggap musik berhenti sebagai musik.  Seperti seni lainnya, musik juga merepresentasikan masyarakatnya.

Karena itu mereka menganggap pertunjukannya sebagai dialektika desa-kota, lokal-internasional, dan tentu saja juga terjadi dialog Timur-Barat. Namun pertunjukan malam itu mendapat sambutan meriah dari penonton yang meskipun terasa agak ‘aneh’ tapi bisa menikmati musik eksperimentasi itu. Mereka melengkapi musisi nasional lainnya yang rata-rata tampil ciamik.

Bukan SekedarTuan Rumah

Untuk musisi luar negeri yang tampil dalam ‘Jazz & World Musik Festival’ itu tentu tak diragukan lagi mendapat apresiasi besar penontonnya. Tapi bagaimana dengan musisi Lombok(NTB), seperti Dipa & Friends, The Datu Band, Novee Nhavan, Keroncong Bandini, Pipiet Tripitaka & The Jazz Kidding dam lainnya termasuk yang tampil di hari pertama?

“Lombok tak kekurangan musisi berbakat. Mereka siap disandingkan dengan musisi nasional,” kata Ari Juliant mengomentari performance rekan-rekannya..

Seperti halnya hari pertama, pada pertunjukan hari kedua musisi tuan rumah juga tak kalah dengan musisi dari luar. Adanya event ‘Jazz & World Music Festival’ merupakan bagian menciptakan iklim dan atmosfer kreativitas musik di Lombok.

Musisi Lombok memang bisa belajar dari mana pun, tapi mereka juga mempunyai potensi dan bakat yang layak mendapat kesempatan tampil. Karena itu, menurut Ari, harus ada dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah, agar event semacam bisa berkelanjutan.

Imam Sofian
Imam Sofian

Imam Sofian, owner dari Bandini Koffee yang menjadi salah satu penggagas event ini, sependapat untuk menciptakan iklim lebih menggairahkan kreatifitas musisi, secara khusus musisi Jazz. “Event seperti ini untuk memperkuat komunitas Jazz NTB, dan harus berkelanjutan tiap tahun,” katanya.

Sebab ‘Jazz Pantai’ yang baru berlangsung tahun 2016, tentu akan menambah daya tarik Senggigi sebagai destinasi wisata. Karenanya diperlukan persiapan lebih matang, sehingga akan meningkatkan kualitas event.

“Baik sosal-soal teknis maupun materinya yang akan ditampilkan musisi Lombok juga harus disiapkan matang. Even seperti ini menjadi ajang peningkatan kualitas,” kata Iman.

Jadi ada dua tujuan sekaligus. Pertama, menguatkan destinasi wisata, itu berarti menjadikan even itu sebagai ikon yang jadi daya taris wisatawan. Dan kedua, dengan adanya even ini mendorong musisi Lombok tertantang meningkatkan kualitasnya.

“Kita tidak ingin sekedar jadi tuan rumah,” kata Imam.

Suk

 

 

 

 

 




Pesona Jazz Festival Memikat Wisatawan

SENGGIGI – lombokjournal.com

Lombok jadi ajang kiprah musisi Jazz dunia. Itulah sasaran yang dituju event “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival 2016” yang mulai digelar hari Sabtu (20/8) sore sekitar pukul 17.00 wita hingga malam hari. Selain membuka kesempatan musisi lokal berbakat bermain satu panggung dengan musisi jazz internasional, event yang berlanjut hingga hari Minggu (sore sampai malam) itu diharapkan jadi pemikat wisatawan. “Ingat jazz, ingat Senggigi,” kata Ais M. Mashoud, project manager di event musik jazz itu.

P_20160820_173109

TOMSTONE

 

Jalan menuju pantai Senggigi yang sejalur jalan menuju Hotel Senggigi Beach, Sabtu sore sempat macet. Sepanjang jalan yang tak terlalu lebar itu dipenuhi deretan mobil yang diparkir, termasuk mobil Bupati Lombok Barat, H Fauzan Khalid. Mulai jalan besar hingga mendekati pantai dipenuh mobil dan sepeda motor.

aismashoud
Ais M Mashoud

Ramainya kendaraan yang diparkir, tak lazim seperti hari-hari sebelumnya. Memang tak ada areal  parkir khusus bagi peminat musik jazz yang tampil di tiga stage yang disiapkan. Dua stage besar ada di pinggir pantai, yang satu di depan villa Senggigi.

Dua stage di pantai itu, sejak pembukaan langsung mencuri perhatian penonton. Di stage satu yang mengawali tampil adalah TOMSTONE. Talent lokal ini bisa dibilang terbaik yang ada di Lombok, sangat populer di kalangan ‘blues community’. Dan sore itu, Tomstone bisa berinteraksi dengan penonton yang sebagian besar wisatawan bule.

Juga Ari Juliant yang tampil di stage lainnya dengan “Bajigur Bluegress’-nya, tak perlu disangsikan kemampuan dan semangatnya berinteraksi. Musisi balada ini selalu menghibur audiennya, meski lirik lagu-lagunya banyak menyampaikan kritik sosial atau lingkungan. Itulah kesenian, menyentil tanpa menyakiti. “Ari hidup di daerah tapi bukan kelas lokal,” kata seorang wartawan.

Memang, kalau Ari Juliant tentu bukan – seperti yang dimaksud panitia — sebagai talenta lokal yang kurang mendapatkan kesempatan tampil di panggung nasional.  Ari dikenal sebagai ‘musisi gerilya’ yang sudah banyak menjelajah ke berbagai tempat. Bahkan ia pernah tampil di pelosok pedesaan di Austria dan Belanda.

ari2

BAJIGUR BLUEGRESS

 

Ari merupakan salah satu musisi yang konsisten menolak masuk dalam dunia industri. Panitia memang berharap event ini bisa menambah skill dan kepercayaan diri talent lokal,  yang akan berdampak pada industri musik lokal, tentu bukan dimaksudkan untuk Ari Juliant.

Meski berlabel ‘Jazz Festival’ namun hari pertama penyelenggara cukup jeli dengan menampilkan grup berakar tradisi tapi kreatif dari Rumah Budaya Paer Lenek (Lombok Timur). Selain itu juga tampil Bandini Koffe Jazzz Projet, Nissant Fortz, Rian Rusliansyah & Friend, Dipa & friends, Log Sanskrit dan Yura.

Waktu penyelenggaraan yang dimulai sore hari cukup menarik. Sebab menikmati musik di pantai sampai menjelang sunset juga memberi daya tersendiri.

Menurut Ais, menampilkan beberapa kelompok musik itu juga mempunyai motivasi menyatukan seniman yang selama ini sering bergerak sendiri-sendiri. “Mengajak seniman untuk bersinergi, itu juga sangat penting,” kata Ais.

Pilot Project

Ais Mashoud mengatakan, konsep event “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival 2016” yang didukung Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan pertama digelar di Lombok ini, dianggap sebagai pilot project untuk penyelenggaraan event berikutnya.  Apa yang sudah dikerjakan hari ini akan menjadi evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan berikutnya.

Sebagai daerah wisata, NTB khususnya Lombok masih belum mempunyai event musik berskala internasional. Di berbagai tempat sudah lama berlangsung hajatan musik jaz, seperti Prambanan Jazz Festival, Dieng Jazz Festival, Ijen Jazz Festival atau Ubud Jazz Festival. “Mulai tahun 2016, di Senggigi mulai menggelar festival jazz dunia. Ini akan disusul tahun berikutnya, dan seterusnya,” ujar Ais.

Tekadnya itu bukan tanpa alasan kuat. Menurut Ais, Lombok mempunyai keindahan alam tidak kalah dengan daerah lain. Karena itu penyelenggaraan event ini makin menguatkan daya tarik Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan keyakinan akan kuatnya daya tarik Lombok, meski umumnnya penyelenggaraan festival jazz di berbagai tempat itu berlangsung bulan Agustus, di Lombok tetap berlangsung juga pada bulan Agustus tanpa khawatir kalah bersaing.

“Kita cari moment peak sesason, karena itu tahun berikkutnya tetap diselenggarakan bulan Agustus. Apa pun yang terjadi. The show must go on.. Tiap wisatawan akan mengenang event ini,” kata Ais. Ternyata pertunjukan hari pertama itu dibanjiri penonton, dan itu menjawab pesimisme orang sebelumnya, tambahnya

Bagaimana pun “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival” tak lepas dari promosi Pesona Indonesia atau Wonderful Indonesia. Seperti diketahui, branding Pariwisata Indonesia untuk mencapai target 20 juta wisatawan tahun 2019 adalah pesona Indonesia atau “wonderful Indonesia”.

Kata  “Wonderful” atau “Pesona” merupakan janji tentang Indonesia yang selalu menakjubkan. Senggigi memiliki pesona yang luar biasa dari segi keindahan alamnya dan keramahan penduduknya, dengan event ini diharapkan makin meningkatkan pesona Senggigi untuk memikat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

“Ingat jazz, ingat Semggigi,” tegas Ais.

Suk




Seni Dari Kolaborasi Sosial

Dari Workshop Kelas WAH – Pasir Putih

LOMBOK UTARA – lombokjournal.com

 Kolaborasi antar seniman dan masyarakat dalam proses kreatif, menjadi topik workshop kelas WAH yang diselenggarakan komunitas Pasir Putih di Pemenang Lombok Utara,  7 – 9 Juli lalu. Empat orang ‘seniman-aktivis desainer sosial’ dari Polandia, berdiskusi dengan seniman dan pegiat seni di Lombok. “Seniman harus membuka diri, dan mampu menjawab tantangan kreatifnya,” kata Marriana Dobskowska.

Polandia, workshop1polandia,workshop6

Selain Marriana Dobskowska, seorang kurator untuk program-program residensi, proyek-proyek seni dan pameran, ada empat orang lainnya juga dari Polandia. Mereka adalah Iza Rutkowka, seniman, desainer dan aktivis sosial, dan Krzysztof Lukomski, dosen dengan gelar PhD di University 0f Art, Poznan Polandia, dan art director  di ShortWave Film Festival.

Kemudian Alicia Rogalska, seniman fotografi yang lahir di Polandia tapi saat ini berbasis kerja di London, yang menekuni  proyek-proyek seni yang melibatkan partisipasi dan kerjasama masyarakat. Ada lagi Maciej Siuda, arsitek yang meraih sarjana Cum Laude dari Universitas Teknologi Wroclaw.

Bulan Juni lalu, kelima orang itu mengambil bagian dalam kegiatan ‘Pameran dan Program Publik’ di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, serta di beberapa lokasi di sekitar Galeri nasional, yang dikuratori Marriana Dobskoska. Pameran itu dalam proyek ‘Desain Sosial Bagi Kehidupan Sosial’.  Maciej Siuda, yang tahun 2015 pernah berkolaborasi dengan Jatiwangi Art Factory (JAF), dalam pameran itu memberi workshop ‘kekuatan berbagi sebagai alat evolusi’.

Kehadiran lima orang dari Polandia di komunitas Pasir Putih di Pemenang itu membuka kesempatan berbagi pengetahuan dan pengalaman, baik bagi tamu dari Polandia itu sendiri maupun seniman-seniman Lombok, termasuk warga setempat.  Selama tiga hari, mulai Kamis, 7 Juli 2016, sampai Sabtu, 9 Juli 2016, berlangsung mulai pukul 2 siang hingga pukul 5 sore (diskusi sering hingga larut malam). Diskusi intens terbagi menjadi tiga kelas, yaitu ‘Kelas Ruang Publik’ dengan pemateri Iza Rutkowka dan Kris Lukomski, ‘Kelas Photografi’ oleh Alicia Rogalska dan ‘Kelas Ruang dan Teater’ oleh Mariana Dobkowska dan Maciej Siuda.

Mengingat pengalaman dan latar belakang para seniman dari Polandia itu, sebenarnya bisa menjadi kawan diskusi intens bagi para seniman atau pengiat seni di Lombok.  Tapi memang sayang, mungkin waktunya yang dekat  lebaran Idhul Fitri, kegiatan itu ramai diikuti pada awal kemudian pesertanya menyusut di hari berikutnya.  Apalagi  seniman-seniman Lombok (di luar Lombok Utara) yang telah banyak bekerja dengan masyarakat,  tidak tampak terlibat.

polandia,workshop4

Kehadiran seniman Polandia untuk mengisi kegiatan ‘KelasWah’ yang berlangsung tiap bulan dari komunitas Pasir Putih ini memang penting untuk berbagi (sharing), khususnya konteks seni kontemporer yang peduli sosial yang tak mengabaikan konteks historis dan pemahaman kenyataan kemasyarakatan. Diskusi yang intens akan menghasilkan gagasan yang bisa menjadi pijakan atau dasar proses kreatif dan berkarya.

Maciej Siuda, yang punya pengalaman memberi konsultasi arsitek untuk publik, memandang kekuatan ‘berbagi’ (sharing) menjadi alternatif positif dari trend global yang memandang kompetisi semata-mata sebagai bahan bakar kemajuan. Filsuf Polandia, Zygmunt Bauman, pernah memandingkan, bila dia memberi seseorang satu dolar dan sebaliknya orang itu memberinya satu dolar, masing-masing hanya memiliki satu dolar. “Jika saya memberimu ide dan kamu memberikan idemu, maka kita masing-masing akan memiliki dua ide,” kata Zygmunt Bauman yang dikutip Maciej Siuda.

Marriana Dobskowska, dalam percakapan di akhir workshop menambahkan tentang pentingnya seniman membangun kolaborasi dengan masyarakat untuk menumbuhkan kepekaan sosial. “Hubungan dengan kehidupan sosial menjadi bagian kreativitas seni,” katanya.

Menurutnya, seni kontemporer tak membatasi ruang kreativitasnya, semata-mata di media kanvas, galeri, studio atau panggung. Berdedikasi untuk kesenian, berarti harus selalu mengerjakan praktis sosial. Dengan membuka diri, seniman akan makin terbuka wawasan pengetahuannya.

Marriana Dobskowska dan Muhammad Sibawaihi
Marriana Dobskowska dan Muhammad Sibawaihi

“Seniman seharusnya tak berhenti di zona aman. Seniman harus menjawab tantangan kreativitasnya,” kata Marriana.

Ka-eS.

 

 

 

 




Peluncuran Antologi Puisi, Meneruskan Tradisi Sastra Bima

BIMA – lombokjournal.com

Inilah yang membanggakan penyair Husain Laodet. Meski di Bima dianggap ‘daerah konflik’, kerap terjadi kekerasan antar kampung hanya sebab soal sepele, namun seperti dikatakan Husain Laodet, Bima memiliki karakter sastra yang dibanggakan.

laodet20Juni2laodet20Juni1

Itu dikatakannya di tengah acara launching kumpulan puisi ‘Mihrab Kaki Terbang’, berlangsung di Museum Asi Mbojo, Sabtu (18/6) petang.  Pecinta sastra, seniman, pelajar dan tokoh tokoh budaya di Bima meramaikan bangunan Istana Kesultanan Bimamenjadi tempat yang representatif bagi kegitan seni budaya sekaligus laboratorium kebudayaan Bima.

Kata Husain, dalam ungkapanterkait proses kreatif sastra, sampai hari ini sebuah tradisi sastra terus menggeliat di Bima. Ini bagian dari bukti – melalui puisi tersirat pesan — sejarah peradaban kesusastraan di Bima telah menempuh perjalanan panjang.

“Bima memiliki aksara, dan memiliki kitab BO, selain tulisan bernilai sastra  juga merupakan catatan sejarah terlengkap di Nusantara,” katanya.

Dalam acara peluncuran buku antologi puisi ‘Mihrab Kaki Terbang’ itu dihadiri sekitar 170 orang dari berbagai kalangan; mahasiswa, pelajar, pendidik, seniman, tokoh politik, budayawan novelis N. Marewo, pemerhati budaya H.Ridwan Tayeb,. Bahkan hadir pula Ketua Komisi A DPRD Kota Bima, Kepala Imigrasi Bima Aji Irham, Dikbudpar kota Bima, Dikpora Kab. Bima.

laodet20Juni4

Meski accara launching buku antologi puisi termasuk tak lazim dilakukan penulis dan penerbit, namun acara itu menyedot perhatian publik di Bima. Tentu yang menarik, bukan hanya terbatas kalangan seniman atau sastrawan. Meski acara itu bersahaja, tapi jadi performance menarik waktu maestro violin Rudi Biola berkolaborasi dengan para penyair yang membacakan puisi puisi yang terangkum dalam antologi Mihrab Kaki Terbang.

Pihak penerbit Genta Press Jogjakarta, Nasrullah Ompubana, saat memberi pengantar mengatakan bahwa dunia literasi bukan hanya budaya mencintai buku. Tapi yang tak kalah pentingnya  adalah memberi ruang dan rangsangan pada penulis melalui kegiatan sastra.

“Sastra memiliki makna tersendiri dalam membentuk karakter bangsa. Karena sastra yang berkualitas tentu mengandung nilai, menyentuh langsung wilayah jiwa,” kata Nasrullah. Sastra harus menjadi medium penting muara energi energi positif generasi khususnya di Bima,

Setidaknya, buku antologi pusi Husain Laodet jadi bukti otentik, budaya literasi di Bima yang hidup sejak pada abad ke 14, terus bernafas. Husain sendiri berharap, bagaimana hari ini generasi muda Bima melihat realitas sejarah itu sebagai pijakan berproses kreatif dalam menggali kekayaan sastra di daerah.

Hal

 

 

 

 

 

 




Berlindung Dalam Fiksi Dystopian *)

ALEXANDRA ALTER – New York Times

Basma Abdel Aziz berjalan di pusat kota Kairo suatu pagi, dan ia melihat orang-orang yang berbaris memanjang di depan sebuah gedung pemerintah yang tertutup. Saat kembali beberapa jam kemudian, Ms. Abdel Aziz, seorang psikiater pendamping korban penyiksaan, melewati orang-orang yang sama masih menunggu lesu – seorang wanita muda dan seorang pria tua, seorang ibu memegang bayinya. Gedung itu tetap tertutup.

Sampai di rumah, ia mulai menulis tentang orang-orang berbaris selama 11 jam itu. Kisah antrian panjang itu mewujudkan novel surealis **) perdananya.  Novel ANTREAN berkisah situasi sosial setelah revolusi gagal di sebuah kota Timur Tengah (tidak disebutkan namanya). Cerita yang mengungkapkan penantian warga sipil lebih dari 140 hari ‘di garis tak berujung’ untuk mengajukan petisi pada penguasa bayangan yang disebut ‘gerbang’ terbukanya layanan dasar.

Ms Basma Abdel Aziz di Brooklyn. Novelnya “The Queue” merepresentasikan gelombang fiksi dystopian dari Timur tengah (Richard Perry/The New York Times)
Ms Basma Abdel Aziz di Brooklyn. Novelnya “The Queue” merepresentasikan gelombang fiksi dystopian dari Timur tengah (Richard Perry/The New York Times)

“Fiksi memberi saya ruang sangat luas kemungkinan mengatakan apa yang ingin saya katakan tentang penguasa totaliter,” kata Ms Abdel Aziz dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Novel ANTREAN yang baru diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Melville House, nyaris disejajarkan dengan klasik Barat seperti karya George Orwell’s “1984” and “The Trial” karya Franz Kafka. Ini merupakan gelombang baru distopian dan fiksi surealis dari penulis Timur Tengah yang bergulat dengan kekacauan dan sengatan kekecewaan dari ‘Musim Semi Arab’.

Lima tahun setelah pemberontakan yang terkenal di Mesir, Tunisia, Libya dan di tempat lainnya, situasi makin suram. Beban nasib malang sastra pasca-revolusioner telah berakar di wilayah tersebut. Beberapa penulis menggunakan fiksi ilmiah dan kiasan fantasi untuk menggambarkan kesuraman realitas politik. Penulis lainnya menggarap subyek kontroversial, seperti seksualitas dan atheisme. Atau mengorek kegetiran episode sejarah yang sebelumnya terlarang.

Dalam budaya sastra di mana puisi sudah lama menjadi media yang populer, penulis bereksperimen dengan berbagai genre dan gaya, termasuk komik dan novel grafis, novel horor halusinasi dan karya alegoris fiksi ilmiah.

“Ada peralihan dari realisme, yang mendominasi sastra Arab,” kata novelis Kuwait kelahiran Saleem Haddad, buku barunya GUAPA mengisahkan pemuda Arab gay yang temannya dipenjarakan setelah pemberontakan politik, “Apa yang muncul ke permukaan saat ini lebih gelap.”

Fiksi ilmiah dan surealisme telah lama menjadi katup pelarian bagi penulis yang hidup di rezim penindas. Di Amerika Latin, beberapa dekade fasisme dan perang saudara menginspirasi karya realisme magis dari penulis seperti Gabriel García Márquez dan Isabel Allende. Di Rusia, novelis postmodern Vladimir Sorokin menerbitkan novel futuristik yang kontroversial, mengusik dan diam-diam menusuk pemerintah represif negara itu.

Tema ‘dystopian’ tak sepenuhnya baru dalam fiksi Arab. Namun, seperti diakui penerbit dan penerjemah, menjadi sangat menonjol dalam beberapa tahun terakhir.  Genre ini menjamur karena rasa putus asa yang ditangkap sebagian besar penulis. Mereka  mengatakan menghadapi pusaran kekerasan dan represi. Pada saat yang sama, latar futuristik dapat mengeksplorasi ide-ide bermuatan politik tanpa membuat penulis dicap sebagai pembangkang.

“Cerita-cerita futuristik semuanya tentang hilangnya utopia,” kata Layla al-Zubaidi, co-editor koleksi karya pasca-Musim Semi Arab yang berjudul ‘Catatan Harian Revolusi yang Belum Selesai.’ “Orang-orang bisa membayangkan masa depan yang lebih baik. Sekarang (semuanya) hampir lebih buruk daripada sebelumnya. ”

Pada bulan-bulan bergolak setelah pemberontakan, ketika janji demokrasi dan kebebasan sosial lebih besar tetap sulit dipahami, beberapa novelis menyalurkan frustrasi dan ketakutan mereka ke kisah malapetaka yang muram.

Dalam novel berani Mohammed Rabie ini OTARED yang akan diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun ini oleh American University di Kairo; mantan perwira polisi Mesir bergabung dengan pertarungan melawan penguasa pendudukan misterius yang memerintah negara itu tahun 2025.

Mr. Rabie mengatakan, ia menulis novel menanggapi “kekalahan beruntun” para pendukung demokrasi yang dihadapi setelah demonstrasi 2011 yang mengakiri 30 tahun pemerintahan Presiden Hosni Mubarak. Meskipun ada paralel untuk menyajikan-hari masyarakat Mesir masa kini, cerita tentang masa depan memungkinkannya menulis lebih bebas, tanpa menarik perhatian eksplisit penguasa Mesir saat ini. Hal itu dikatakannya dalam sebuah wawancara email yang diterjemahkan oleh penerbit Arab-nya

Nael Eltoulkhy, yang menyindir muramnya 2013 dalam Novel ‘Perempuan dari Karantina’ sebagian berlangsung di Alexandria yang penuh kejahatan di tahun 2064. Ia mengatakan bahwa lelucon futuristik adalah cara terbaik untuk mencerminkan suasana hati yang lelah di Mesir saat ini.

“Di Mesir, terutama setelah revolusi, semuanya mengerikan, tetapi semuanya juga lucu,” katanya dalam sebuah wawancara. “Sekarang, saya pikir itu lebih buruk dari saat Mubarak.”

Cerita futuristik yang suram terbukti digemari pembaca, dan beberapa novel ini mendapat apresiasi para kritisi dan laku di pasaran. OTARED adalah finalis untuk Prize International bergengsi tahun ini kategori fiksi Arab.

Tubuh baru sastra pasca-revolusioner ini menunjukkan pergeseran nada tajam dari curahan gembira setelah Musim Semi Arab, saat banyak penulis kehabisan nafas menerbitkan memoar atau menggali naskah kuno mereka yang disembunyikan selama bertahun-tahun.

Perayaan novelis Mesir seperti Ahdaf Soueif dan Mona Pangeran menulis protes 2011 di Tahrir Square. Novelis Suriah Samar Yazbek menerbitkan buku hariannya selama pemberontakan Suriah. Sebuah generasi baru penulis mendapat inspirasi dari adegan menakjubkan dari warga yang bersama-sama melawan kediktatoran yang lamaberkuasa.

“Ada sesuatu tentang pengalaman revolusi, di mana tiba-tiba Anda memiliki suara, dan suara Anda memiliki bobot dan makna,” kata Yasmine el-Rashidi, seorang wartawan Mesir yang menulis novel pertama Novel ‘Chronicle dari Musim Panas Terakhir’ tentang kebangkitan politik seorang wanita muda di Kairo selama dan setelah Mubarak. Novel ini akan diterbitkan di Amerika Serikat bulan depan.

Tahun-tahun sejak revolusi, optimisme itu sudah kering, dan pihak berwenang di kawasan ini menindak tegas ekspresi kreatif. Di Arab Saudi, penyair Ashraf Fayadh dijatuhi hukuman mati tahun lalu oleh otoritas keagamaan yang menudingnya telah menghujat ayat-ayat Allah. Setelah kecaman internasional, hukumannya dikurangi menjadi delapan tahun penjara dan 800 cambukan.

Di Mesir, di bawah pemerintahan yang ketat dari Presiden Abdel Fattah el-Sisi, pemerintah menutup galeri seni, menggerebek penerbit dan menyita salinan buku yang dinilai kontroversial. Tahun lalu, petugas bea cukai menyita 400 salinan “Walls of Freedom,” tentang seni jalanan politik Mesir, dan menuduh bahwa buku itu “menghasut pemberontakan.”

“Kami prihatin sekarang dengan apa yang kami publikasikan,” kata Sherif-Joseph Rizk, direktur Dar al-Tanweer Mesir, sebuah rumah penerbitan Arab. Jika ada sesuatu yang dilarang, memang bukan berarti menimbulkan masalah komersial

Meskipun perlindungan eksplisit untuk kebebasan berbicara di Mesir 2014 dijamin Konstitusi, pemerintah memiliki target terhadap penulis individu dan seniman. Novelis Ahmed Naji menjalani dua tahun hukuman penjara karena melanggar ‘kesopanan publik’ dengan ayat-ayat eksplisit secara seksual dalam novel eksperimental “The Use of Life.” Banyak yang khawatir bahwa penahanan itu menyebabkan lebih banyak penyensoran diri.

“Musim Semi Arab dan revolusi, ketakutan masyarakat memberi mereka inisiatif untuk mengekspresikan diri,” kata Ms Abdel Aziz, yang novelnya ANTREAN diterbitkan dalam bahasa Arab pada 2013. “Sekarang kita kembali ke penindasan,” tegasnya.

Ms. Abdel Aziz, 39, meraih gelar master dalam neuropsychiatry pada tahun 2005 dan sekarang bekerja paruh waktu di sebuah pusat di Kairo yang mendampingi korban penyiksaan dan kekerasan. Ia menerbitkan dua koleksi cerita pendek dan beberapa buku nonfiksi tentang subyek sensitif, seperti penyiksaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan Mesir.

Tapi setelah jatuh Mubarak, bukanlah cara yang tepat menulis kisah faktual untuk menangkap pengalaman nyata dari Mesir yang biasa hidup melalui pemberontakan dan penumpasan terus menerus, kata Ms Abdel azis.  Ia bermaksud menulis cerita universal, yang mencerminkan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya namun melampaui geografi dan kejadian terkini.

Dia mulai menulis ANTREAN (The Antrian) pada September 2012. Novel ini dengan penokohan salesman muda, Yehya, yang ditembak selama pemberontakan yang gagal. Perawat medis menolak Yehya, dan terpaksa menunggu di garis tak berujung untuk mendapat izin menjalani operasi.

Ms. Abdel Aziz menggunakan bahasa kode untuk memuat istilah politik di novelnya yang diterjemahkan oleh Elisabeth Jaquette. Pemberontakan tahun 2011 terhadap Mubarak disebut ‘Storm Pertama.’ Pemberontakan sipil kemudian yang berakhir pada pertumpahan darah disebut sebagai “Peristiwa Memalukan.”

Ms. Abdel Aziz menyesalkan adanya pengawasan terhadap penulis dan aktivis Mesir. Sekitar selusin teman-temannya berada di penjara. Ia pernah ditangkap tiga kali saat mengambil bagian dalam demonstrasi dan protes.

Tapi ia menegaskan, hidup dalam ketakutan adalah sia-sia.

“Aku tidak takut lagi,” katanya. “Saya tidak akan berhenti menulis.

Rayne Qu (Sumber: New York Times)

*) Dystopias kadang-kadang ditemukan dalam novel fiksi dan cerita ilmiah. Tidak ada satu definisi, sebagai istilah biasanya digunakan untuk merujuk sesuatu yang jauh lebih spesifik   dari sekedar sebuah dunia mimpi buruk atau masa depan yang tidak menyenangkan. Dystopian kadang dihubungkan dengan istilah post-apocalyptic novel atau cerita fiksi ilmiah tentang penguasa totaliter (Wikipedia)

**) Surealisme adalah gerakan budaya yang dimulai pada awal 1920-an, dan terkenal karena karya-karya seni dan tulisan visual. Tujuannya adalah untuk “menyelesaikan kondisi sebelumnya bertentangan dari mimpi dan kenyataan” (Wikipedia)




Mantra Ardhana ‘Seniman Paling berpengaruh’ di NTB

MATARAM – lombokjournal

Perupa Mantra Ardhana, yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk kesenian, dinilai sebagai ‘seniman paling berpengaruh’ di Nusa Tenggara Barat (NTB) versi TV swasta.  “Selain dedikasinya, konsep Mantra tentang karya seni sangat kuat dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Hamdani, koresponden NET TV Jakarta, saat pengambilan gambar proses kreatif Mantra di rumah yang sekaligus menjadi studionya di Cakranegara, Sabtu (21/5).

mantra21mei3mantra21mei5

Pilihan figur ‘paling berpengaruh’ yang dilakukan NET TV Jakarta di tiap provinsi memang tidak terbatas di kalangan seniman.  Dari 27  provinsi se Indonesia (tidak seluruh provinsi) pilihan figur yang paling berpengaruh itu mulai dari kepala daerah, pengusaha maupun tokoh masyarakat lainnya. Selain berkontribusi bagi masyarakatnya sesuai bidang masing-masing, pilihan itu juga menyasar figur yang mempunyai ‘keunikan’ .

Sebagai perupa, Mantra memang sangat menonjol di NTB.  Ia telah mendapat pengakuan nasional bahkan internasional. Bulan April lalu, pameran Mantra di Kalkuta, India, mendapat perhatian luas dari publik seni rupa serta kalangan kritisi.  Di India ia disebut sebagai “salah satu seniman kontemporer Indonesia paling menarik”. Mantra yang juga ‘melukis dengan bunyi’ itu, kini sedang menyiapkan pamerannya yang kedua di Kalkuta.

 

mantra21mei4

Karya-karya Mantra  —  yang menyelesaikan studi seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja — termasuk musiknya, merefleksikan identitas etnik Lombok. Namun ia sekaligus membenamkan identitas itu ke dalam aksen kegelisahan kontemporer dari kehidupan modern, seperti kemajuan teknologi dan multikulturalisme. Lukisan-lukisannya mernghadirkan psikis manusia neo-postmodern.

Nina Saxer, yang menjadi kurator karya-karya Mantra  di Kalkuta mengatakan, Mantra adalah seniman yang berdedikasi dan bersemangat. “Mantra telah bekerja sangat keras untuk mengasah keterampilan, gaya dan konsep Organic Mind yang sudah diendapkannya sejak tahun 2010,” katanya.

Tentang konsep Organic Mind, Nina menjelaskan, melalui karya visual kontemporernya Mantra hendak mengungkapkan bahwa sebagai manusia tak mesti meninggalkan akal alamiah kita. Kemudian tenggelam dalam konsumerisme dan terpengaruh media. “Mantra menyampaikan pesan, agar kita untuk tidak melupakan keterampilan organik kita, termasuk pikiran dan perasaan yang organic,” katanya. Ini sisi keunikan Mantra

Di rumah yang merangkap studio Mantra itu kerap menjadi tempat berkumpul para seniman. Karena Mantra dikenal mempunyai kepedulian memajukan kehidupan seni, dan  mudah berkolaborasi dengan seniman lainnya. “Saya ingin lebih banyak berkolaborasi dengan seniman lain,” kata Mantra.

Profil Mantra akan ditayangkan bersama figur paling berpengaruh dari seluruh Indonesia di NET TV, pada ulang tahun ke 3 TV swasta tersebut, tanggal 29 Mei mendatang.

Suk