Konser YOI ACOUSTIC, Mengelola Naluri di Ruang Kosong
Tiga serangkai Yuga Anggana, Wing Irawan dan Gde Agus Mega Saputra, bergabung dalam YOI ACOUSTIC, sedang melakukan konser dari TITIK ke TITIK, layaknya tengah melakukan ‘anjangsana batin’.
Si anjing putih, buduk//Ia belum makan//Si anjing putih, buduk//Ia belum minum
……………………
lombokjournal.com
“Di tiap tempat kami sedang mengelola naluri di ruang-ruang baru, ruang kosong yang belum kami kenal, naluri harus dilatih agar cepat menanggapi berbagai situasi,” kata Yuga Unggana, usai main musik, berdialog dengan aktivis, dan apresiator lainnya termasuk mahasiswa yang banyak bertanya justru di luar musik.
Di halaman belakang sekretariat SOMASI (Solidaritas Masyarakat Transparansi), LSM anti korupsi, hari Kamis (23/2) sore itu, konser Yoi Acoustic itu sudah ke titik ke empat. Sebelumnya menyellesaikan konser satu di Long Stone, dua di Vee Navhan, dan tiga di Lombok Light Music dan Forges (LLMG).
Di tiap tempat itu, naluri mereka bekerja dalam situasi berbeda. Misalnya di Vee Navhan sungguh menantang, mereka harus bernyanyi tanpa penonton. Bahkan tuan rumah pun ikut bermain. Bahkan ini tak mudah, karena mereka justru membayangkan bagaimana respon apresiatornya.
Konsernya di titik ke empat di LLMG, ketiganya bermain di ruko di pinggir jalan raya yang bising. Namun pengalaman itu justru membuat ‘progres’ perjalanan konsernya. Gde Agus membuat catatan tentang ini ,”sensasi terror bunyi maupun suara eksternal jadi catatan penting dari petualangan tiitik ke titik,” tulis Gde dalam akun facebook-nya.
Situasi itu justru memberinya pemahaman baru yang menarik dan berkesan, saat keberagaman kompleksitas melebur dalam pertunjukan. Situasi itu menawarkan sensasi liar, kebisingan malah menjadi stimulus memahami ruang fisik maupun imajiner. Naluri kejeliannyanya bekerja menebak kehadiran soundscape.
Mereka bertiga, seperti diakui Yuga Anggana, tak muluk-muluk untuk dianggap sedang menggelar pertunjukan. “Lebih dari cukup untuk disebut sebagai pertunjukan musik,” kata Yuga. Cukuplah ada karpet sebagai panggung, kehadiran penonton, tubuh-tubuh pemusik dan tentu ada karya yang sedang dikomunikasikan.
Tapi apa yang sedang mereka komunikasikan pada khalayak?
Pertanyaan ini memang mestinya dijawab Wing Irawan, yang menulis syair dan mencipta lagu-lagunya. Namun tak mudah bagi pesepeda yang sempat berkeliling hampir separuh nusantara, dan ke beberapa negara Asia Tenggara, untuk menjawab pertanyaan yang sederhana pun.
Seperti-syair-syair lagu Wing Irawan, juga seperti artikel-artikelnya yang dimuat di koran-koran. Bahasa baginya “bukan sekedar alat komunikasi dan membangun pengertian publik, tapi berlaku sebagai materi pencitraan diri yang sangat subyektif.”
Lagu-lagu hasil persenyawaan tiga serangkai itu memang menawan. Harus diingat Yuga dan Gde punya latar pendidikan musik yang baik, keduanya menyelesaikan studi S2nya di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta. Keduanya juga dosen musik di Jurusan Sendratasik Universitas NU di Mataram. Sedang Wing Irawan, meski bermusik secara otodidak, tapi ia bermusik lebih separuh umurnya.
KONSER TITIK KE TITIK ini jadi menarik, mungkin bukan semata-mata karena musiknya. Ketiganya lebih dari sekedar bermusik ria. Itu berangkat seperti diungkapkan Gde Agus, tentang kegelisahan, kemanusiaan, bahkan terkait arsitektur komunikasi sosial. Dan seterusnya, bagaimana membangun titik menjadi garis, atau menjadi bidang, ruang dan penampakan kreatif lainnya.
Saya kira, Yoi Acoustic salah satu yang membuka harapan, bagaimana berproses mensublimkan “senimu” di jalan yang meyakinkan.
Ka-eS
Pertunjukan “Energi Bangun Pagi Bahagia”; Ocehan Politik Dan Lain-lain
MATARAM – lombokjournal.com
Ibu dan ayah kami mempunyai tanah, air dan udara/Rumah untuk kita semua. Rumah untuk merdeka/Apakah kita akan bahagia di
(Siapa yang Mengajarimu Bahagia?)
Kutipan puisi yang berjudul ‘Siapa Yang Mengajarimu Bahagia”? (Kumpulan Puisi “Energi Bangun Pagi Bahagia”, Andy Sri Wahyudi, 2016) seperti pertanyaan dari pertunjukan teater sekitar 60 menit, yang berlangsung di lapangan rumput, Taman Budaya NTB, Selasa (10/1) malam. Naskah pertunjukan itu — sama dengan judul buku kumpulan puisi yang diluncurkan sehari sebelumnya — disutradarai oleh penulisnya, Andi Sri Wahyudi
Pertunjukan itu pelakunya tiga remaja jalanan, Bas (Andy Sri Wahyudi, Frank (Dinarto Ayub Marandhi a.k.a Odon, Bob (Yudhi Becak), ditambah Gadis Pembaca Puisi (Jovanka Edwina Dameria Ametaprima).
Ini impresi dari dunia dari jalanan. Tentang momen penting jaman ‘pancaroba’ saat Soeharto, yang biasa meninabobokan rakyatnya untuk membanggakan tanah airnya, dilengserkan rakyat yang menuntut reformasi. Seperti sketsa sebuah narasi besar tentang perubahan dari bangsa besar, yang disampaikan melalui celotehan remaja jalanan.
Apakah momen kejatuhan penguasa yang mengangkangi kekuasaannya lebih dari 30 tahun itu penting? Bagi anak-anak jalanan, yang sibuk membangun dunia kecilnya sendiri, peristiwa “reformasi” tak lebih sebuah album foto. “Seperti acara ulang tahun atau pesta kebun yang menjadi sebuah kenangan berdebu dalam album foto,” jelas Andy tentang pertunjukannya.
Mereka berceloteh tentang politik, gerakan mahasiswa, tokoh-tokoh reformasi yang cakar-cakaran setelah berhasil menyingkirkan penguasa lama, atau pemimpin yang satu persatu disindirnya. Misalnya, ada pemimpin di republik ini, “yang selama 10 tahun memimpin hanya plonga-plongo seperti kerbau,” celoteh Frank.
Dunia jalanan yang memandang hidup penuh ketidaksengajaan itu, membicarakan politik tidak lebih penting dengan obrolan dengan seorang gadis yang mengaku kehilangan miliknya. Yang penting, “lain kali jangan kehilangan harga dirimu,” celetuk tokoh Bas.
Seperti puisi-puisinya, Andy menuliskan naskah drama dan menyuguhan pertunjukannya dengan ringan dan segar. Mungkin itu dunia batin Andy, meski berkeluh kesah dan menyampaikan sumpah serapah menanggapi situasi sekelilingnya, tetap dengan semangat menyampaikan pesan bahagia.
Hidup penuh ketidaksengajaan, termasuk meraih bahagia seperti dalam pandangan orang- orang jalanan, mungkin bernada absurditas. Karena itu, meski ringan dan segar, Andy mengaku tak terpengaruh Gandrik-nya Butet Kertarajasa.
“Dalam menulis naskah, saya justru lebih dekat dengan (Samuel) Becket,” kata Andy yang menulis dramanya awal 2016.
Drama “Energi Bangun Pagi Bahagia” sudah dipentaskan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Jogja, Solo, Surabaya, dan Malang. Mataram merupakan kota ke 10 yang disinggahinya, bekerjasama dengan Komunitas Akar Pohon dan SFN Lab. Biasanya Andy membuat pertunjukan setelah meluncurkan buku kumpulan puisinya. Perjalanan kelilingnya merupakan proses berkesenianya, yang intens dan berlangsung terus menerus.
Di Mataram mestinya Andy bisa membuat pertunjukan di Gedung Tertutup Taman Budaya, tapi akhirnya ia memilih lapangan terbuka. Di mana pun bukan soal, sebab di beberapa kota lainnya yang kondisinya berbeda, teaternya bisa pentas di aula atau halaman sekolah.
“Saya terbiasa menghadapi kondisi yang berbeda di tiap tempat,” kata Andy yang mengaku menyiapkan pertunjukannya sekitar 8 bulan.
Ka-eS
Diskusi Puisi, Kesederhanaan “Energy Bangun Pagi Bahagia”
Sekitar 55 puisi karya Andy Sri Wahyudi yang terkumpul dalam buku “Energy Bangun Pagi Bahagia” menjadi perbincangan menarik kalangan komunitas sastra di Mataram, hari Senin (9/1) di ruang seni rupa Taman Budaya NTB.
MATARAM – lombokjurnal.com
Andy Sri Wahyudi, penyair asal Jogja yang juga dikenal sebagai pantomimer itu mengatakan, ia bermain pantomime karena tak mempercayai kata-kata. Tapi akhirnya, kata berbalik menggugatnya.
“Waktu bermain pantomime, saya menyadari tenyata ada yang hanya bisa saya ungkapkan dengan kata,” kata Andy dalam diskusi yang mendapat tanggapan serius dari sekitar 100 pecinta sastra, sebagian besar kalangan mahasiswa, di Mataram.
Puisi-puisi Andy (ditulis kurun 2014-2015), seperti dikatakan Itsna Hadi Septiawan yang mengulas sore itu, diksinya sederhana. Pilihan kata-katanya dengan mudah dipahami dalam bacaan pertama. Andy berusaha konsisten dengan diksi sederhana, karena itu pengucapan sajak-sajaknya ringan dan tidak dibebani tumpukan majas.
Dalam bahasa berbeda, Afrizal Malna yang menulis pengantar kumpulan puisi itu, menikmati puisi-puisi Andy yang disebutnya membebaskan diri dari teritori makna. Dalam puisi Andy terkuak motif “anti dunia orang dewasa” yang tegang.
“Medan narasi seperti ini (imajinasi yang terungkap dalam puisi-pusi Andy, pen) terasa segar,” tulis Afrizal.
Diskusi buku puisi yang diprakarsai komunitas Akar Pohon itu jadi ramai, karena peserta tak sulit memahami maksud sajak-sajaknya. Apalagi Andy yang terkesan “renyah dan gaul” itu mengapresiasi tiap tanggapan peserta. Ia telaten menjawab dengan penjelasan sederhana seperti kata-kata dalam sajak-sajaknya.
Beberapa peserta diskusi mengaku, tiga tulisan yang dimuat dalam buku itu dari Kiki Sulistyo (penyair), Latief Noor Rahman (Redaktur Budaya Minggu Pagi), dan Andri Nur Latif (Tukang Soreng Manten), bisa membantu lebih memahami puisi Andy Sri Wahyudi.
Andi Sri Wahyudi lahir di Jogjakarta tahun akhir 1980, selain menulis puisi dan artikel ia juga dikenal sebagai aktor yang aktif di Bengkel Mime Theater (BMT). Bersama BMT aktif menyelenggaraan pementasan pantomime, diskusi dan wokshop di berbagai kota, termasuk di luar negeri seperti Singapura dan Timor Leste.
Mataram merupakan kota ke 17 yang dikunjunginya untuk mengenalkan keseniannya. Selain menyelenggarakan workshop, hari Selasa (10/1), bersama beberapa temannya dari Jogja ia mementaskan karya teaternya di Teater tertutup Taman Budaya NTB.
“Saya selalu intens dengan pekerjaan saya. Melakukan terus menerus,” kata Andy.
Ka-eS
Kontroversi Bob Dylan, Tapi Ia ‘Mengubah’ Dunia
lombokjournal.com
Minggu ini Bob Dylan dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra. Musisi paling berpengaruh era 1960-an itu dinilai telah “menciptakan bentuk baru ekspresi puitis” dalam penulisan lagu. Tentang ini tidak diragukan telah dilakukannya. Hampir seorang diri Dylan membawa musik populer ke perspektif baru, mengeksplorasi intelektualitas pengalaman manusia.
Saat John Lennon usai mendengar lirik Freewheelin ‘Di Bulan Juni’, Dylan adalah musisi yang membuat musik pop berkembang menggairahkan, Bob kecil tumbuh menjadi dewasa muda yang menarik. Untuk itu dia layak memperoleh penghargaan?
Namun, kita tidak bisa berpura-pura bahwa keputusan Akademi Swedia (The Swedish Academy) menuai kontroversi. Apakah kisah-kisah dalam lirik lagu Dylan sebagus Steinbeck? Tidak. Apakah keahliannya sebagai ahli menyamai TS Eliot? Tidak. Jauh dari itu, sebenarnya.
Tapi Bob Dylan mengubah dunia. Dylan merupakan sosok paling berpengaruh yang pernah memenangkan penghargaan sastra paling terhormat. Pertanyaannya kemudian, apakah Dylan benar-benar menampilkan daya tarik kuat dalam karya-karyanya? Mungkin soal ini masih layak diperdebatkan. Dylan, bagaimana pun telah menulis tiga karya ‘omong kosong masuk akal’ yang terbesar di abad ke-20, dengan Bringing It All Back Home (1965), Highway 61 Revisited (1965), dan Blonde on Blonde (1966). Ini omong kosong yang bernilai?
Ya, Ini tentang bagaimana mengajar suatu generasi mengekspresikan diri. Dan lagu-lagunya pernah begitu lama mengisi acara radio, dan tentang ini Dylan mengatakan, “Saya dibayar karena kata.” Jadi, dengan demikian Dylan dianggap orang paling tepat menerima penghargaan Nobel Sastra? Ya, Dylan mungkin dinilai paling layak dari siapa pun dalam sejarah hadiah Nobel. Dan itu memang suatu kontradiksi.
Tapi, sementara banyak orang terus berdebat tentang penganugerahan itu — apakah benar Dylan memang layak menjadi pemenang Hadiah Nobel — ada playlist favorit khusus dari Dylan untuk mengendapkan saling silang argumen (kita tahu Dylan tidak menulis “Baby, Let Me Follow You Down”).
Rayne Qu
(Sumber : WALESARTS Review)
Nobel Sastra 2016, Banyak Yang Meragukan Bob Dylan
lombokjournal.com
Bob Dylanmenjadi yang pertama kalinya, seseorang yang lebih dikenal sebagai musisi mendapat penghargaan Nobel.The Swedish Academy (Akademi Swedia) mengumumkan keputusannya hari Kamis (13/10), mengakhiri musim Nobel 2016.Mengapa Bob Dylan Layak Memenangkan Nobel Sastra?
Tak sedikit kalangan yang meragukan hak Dylan meraih hadiah Nobel sastra. Yang lainnya menimpali, seharusnya Bob Dylan layak mendapat pernghargaan Nobel khusus tapi karena keberadaannya sebagai ikon (maksudnya bukan Nobel sastra).
Tapi bagaimana pun, Bob Dylan telah diputusnya menjadi anggota “Rock and Roll Hall of Fame” untuk memenangkan hadiah Nobel sastra. Beberapa orang menentang penghargaan Nobel untuk Dylan, dan menyarankan bbahwa musisi yang juga pernah menulis novel pada tahun 1960 itu hanya layak mendapat “Nobel khusus”.
Namun pihak Akademi Swedia (The Swedish Academy) menilai musisi Amerika itu layak menerima penghargaan bergengsi itu karena “telah menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu yang bagus Amerika”. Penulis dan penyanyi Amerika itu “telah menciptakan ekspresi puitis baru yang bernilai dalam tradisi lagu Amerika”.
Pada dasarnya, dalam karya Bob Dylan, kata dan musiknya tidak dapat dipisahkan. Frase kata Dylan begitu sempurna, keutuhan maknanya disampaikan dengan gamblang dan gemanya mendalam. Penyanyi yang kini berusia 76 yahun yang sempat dijuluki ‘penyanyi protes’ itu, oleh anggota Akademi Swedia, Per Wastberg dikatakan, “Dia mungkin penyair terbesar yang masih hidup.”
Akhir “sempurna” Dylan – orang yang telah menyatu dengan yang dipelajari dari Woody Guthrie penyair simbolis dengan energi rock’n’roll, yang mengejek dunia dari balik nuansa tak tertembus. Dalam lagu-lagu seperti Tangled Up in Blue (1975), Blind Willie McTell (1983) dan Cross Green Mountain (2002) ia menjelajahi cara permainan dengan waktu, suara dan perspektif.
Lagu-lagu lainnya seperti Blowin ‘in the Wind, Masters of War, A Hard Rain a-Akan Fall, The Times They Are a-Changin, Subterranean Homesick Blues dan Seperti Rolling Stone menangkap semangat pemberontakan, perbedaan pendapat dan kemerdekaan.
Dylan masih menulis lagu dan sering tur. Ia dianggap oleh banyak orang sebagai ikon dari generasinya, yang pengaruh musik dan lirik dari sangat kuat pada tahun 1960-an dan seterusnya. “Dylan memiliki status ikon. Pengaruhnya pada musik kontemporer sangat mendalam,” kata Swedish Academy, yang menganugerahinya penghargaan $ 930.000.
Tahun ini, hadiah sastra terakhir diumumkan dari enam Nobel lainnya, yaitu untuk kedokteran, fisika, kimia, perdamaian dan ekonomi. Enam penghargaan akan diserahkan pada 10 Desember, hari ulang tahun kematian pendiri hadiah Alfred Nobel pada tahun 1896.
Akademi Swedia yang berbasis di Swedia, telah menganugerahi hadiah sastra sejak 1901, terdaftar sekitar 220 nominasi, yang kemudian tinggal lima orang dinominasikan.
Pada 2015, akademi ini menganugerahi Nobel sastra untuk penulis Belarusia, Svetlana Alexievich, mengutip tulisan-tulisannya tentang peristiwa penting yang mempengaruhi Belarus selama dan setelah era Soviet, termasuk bencana nuklir Chernobyl, Perang Soviet-Afganistan dan jatuhnya Uni Soviet.
RAYNE QU (Sumber: Al Jazeera/The Guardian)
Parade Teater Kampus, Meramaikan Panggung Teater Mataram
MATARAM – lombokjournal.com
Seni Teater tetap berkobar di lingkungan kampus. Tiga kelompok yang dikenal bersemangat menggeluti teater, membuat parade pentas berturut-turut di Teater Tertutup Taman Budaya NTB, 6 – 8 September 2016.
Ketiganya adalah Teater Putih (FKIP Universitas Mataram) mementaskan “Pinangan” karya Anto P Chekov, BKSM Saksi (IAIN Mataram) dengan lakon Pantomim “Dicari Manusia Jujur” karya Nash Ja’una, dan Sasentra Universitas Muhammadiyah Mataram, menggarap karya Wiliam Butler Yeats berjudul “Arwah-Arwah”
Diskusi menjelang pentas, Jum’at (2/9) lalu, setidaknya diperlukan untuk persiapan mengapresiasi pertunjukan yang susah payah disiapkan ketiga kelompok teater kampus tersebut.
Pantomim-nya BKSM SAKSI (IAIN Mataran) sutradara Nash Jauna;
Pengaruh (struktur) drama dalam pengadeganan pantomime, bukan hal baru dalam pertunjukan pantomime di Indonesia. BKSM SAKSI melakukan itu dalam nomor “Dicari Manusia Jujur”. Sketsa nomor pantomim yang dipandu Nash, merupakan ekspresi keprihatinan manusia modern. Masihkah ada kejujuran itu?
Pantomim dengan aktor lebih berjumlah 7 orang, bahkan hingga puluhan orang, pernah dilakukan kelompok ‘Seno Didi Mime’. Misalnya, pertunjukan yang menggambarkan makna demokrasi, aktor-aktornya beraksi mengusung bongkahan-bongkahan karet-karet ban ke atas panggung. Sejumlah pemain berwajah boneka melakukan gerakan-gerakan ‘pembobolan dinding’. Mereka mengendong tubuh-tubuh manusia telanjang tanpa busana. Dialog-dialog yang muncul dari aktornya dikemas sebagai irama, bukan kosa kata untuk mengantar pengertian.
Memang pantomim tidak selalu muncul dengan kritik sosial, namun kejenakaan yang menyertai kritik sosial menjadi elemen yang menjadi daya tarik pantomim. Simbol-simbol pantomim bisa memikat bila cepat berasosiasi dengan pengalaman keseharian penonton.
Para aktor dari BKSM Saksi memang penuh bakat, namun pantomim (yang memang) tidak dikerjakan berdasarkan naskah tapi langsung dipraktikkan itu, disarankan bisa fokus menyambungkan benang merah sketsa menjadi keutuhan yang tampak dalam pertunjukan. Apakah simbol-simbolya sampai ke penonton? Apakah aktor-aktornya berhasil mengungkapkan perasaan manusia, dan menggambarkan situasinya?
Ada perbandingan dari pertunjukan pantomim yang memberi pilihan agar bisa memikat. Misalnya, apakah pertunjukan lebih menonjolkan aspek keaktoran dalam penyampaian simbol atau membangun imaji dramatik.
Selain itu, seperti pertunjukan ‘Putri Embun dan pangeran Bintang’ oleh Bengkel Mime Theatre Jogja, menawarkan daya tarik visual artistik dengan set panggung, pencahayaan, properti dan kostum. Dalam nomor ini penonton diajak larut ke dalam ruang imaji yang penuh fantasi. Mereka mengenakan kostum dan properti dari perkakas rumah tangga seperti wajan, panci, sendok, garpu, baskom, ember, kursi, meja, drum, mangkok, botol bekas air mineral, tempat sampah, hanger, tali jemuran, taplak dan lain-lain.
Aktor-aktor dan sutradara dari BKSM Saksi yang menjadi harapan tumbuhnya pertunjukan pantomim di Mataram itu, mungkin punya pilihan lain. Atau sedang berproses menemukan pilihan yang tepat untuk berinteraksi dengan penontonnya.
“Pinangan’-nya Anton P Chekov oleh Teater Putih
Teater Putih-nya FKIP (Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan) Unram merupakan kelompok teater kampus paling produktif dan konsisten membuat pertunjukan drama. Ini didukung lingkungan di FKIP Unram yang kondusif, dengan mata kuliah teater atau drama yang memungkinkan mahasiswanya mempunyai bekal teori membuat pertunjukan teater.
Naskah “Pinangan” meski ditulis Anton P Chekov yang lahir tahun 1860 di pedesaan Taganrog, Rusia, tapi tetap relevan menjadi tontonan saat ini. Kelompok teater yang masih menganut prinsip-prinsip akting Stanilavsky – teater sebagai seni vokal dan seni akting – menyukai karya-karya penuh sindiran dan ledekan karya Chekov (atau Nikolai Gogol). Naskah Pinangan paling sering dimainkan termasuk oleh mahasiswa-mahasiswa teater.
Teaterawan dari Bandung yang legendaris, Suyatna Anirun, menyadurnya ke dalam situasi lokalitas Jawa Barat. Tokoh-tokohnya bukan hanya bernama lokal, tapi cara berpikirnya pun tipikal lokal, yang masuk dalam ‘komedi situasi’ khas lokal. Jadilah perseteruan lucu seseorang yang datang melamar anak gadis, malah terjebak perseteruan dengan orang tua gadis perkara memperebutkan sebidang tanah dan mempermasalahkan hewan peliharaan masing-masing.
Teater Putih memainkan naskah Pinangan tanpa mengadaptasinya ke dalam situasi lokal. Nama-nama tokoh dalam drama itu tetap asli nama Rusia. Memang tanpa adaptasi apa pun (kecuali bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia) tak mengurangi nilai suatu pertunjukan naskah asing. Namun sering menimbulkan kerumitan, misalnya, kalau memainkan tokoh ‘Ivanovic’ (nama Rusia) tentu berbeda saat masuk dalam karakter ‘Khlolil’ (nama Jawa Barat). Ini lebih lanjut akan bersinggungan dengan elemen produksi lainnya.
Meski demikian, bagi aktor yang mempelajari metode dan konsep Stanislavsky yang memanfaatkan ingatan emosi sebagai pijakan pemeranan yang digerakan kondisi jiwa dan mood tokoh di tiap suasana (pengolahan intuisi kreatif-nya Chekov), akan membangun tontonan yang menghibur. Drama Chekov tidak menyarankan titik kulminasi atau puncak konflik, tiap situasi merupakan peristiwa istimewa.
Cara pengungkapan emosi tiga orang aktor Teater Putih telah mendekati pencapaian itu. Termasuk konsep atau teknik Farce dalam pemeranan memang tepat untuk mendekati naskah Chekov.
‘Arwah-arwah’ karya William Butler Yeats (WB Yeats) oleh SASENTRA (Sanggar Seni dan Sastra) Universitas Muhammadiyah Mataram
Drama ‘Arwah-arwah’ mewakili alam pikiran penyair dan penulis drama kelahiran Dublin, Irlandia tahun 1865. WB Yeats yang disebut sebagai salah satu penyair berbahasa Inggris terbesar pada abad ke-20 dan penerima Nobel Sastra tahun 1923 — penyair romantik terakhir dan penganut aliran modern pertama — kerap menampilkan sosok hantu dalam puisi-puisinya. Ia percaya, ketika seseorang berbicara tentang orang mati, akan membangkitkan hantunya.
Yeats disebut memiliki bakat khusus berhubungan dengan hantu-hantu. Dan telah melakukan ribuan percakapan dengan orang-orang yang mengklaim mampu berhubungan dengan hantu.
Seorang penulis, Alice Miller, yang sempat menyusuri jejak Yeat di Dublin menulis, Yeat pernah menyatakan bahwa setelah kematian menjemput, kita menghidupkan kembali kenangan penuh gairah yang terus berulang, mencintai jiwa-jiwa yang sama, membakar rumah-rumah yang sama dan memerankan peran kasus pembunuhan yang sama.
Latar belakang ini penting untuk memahami naskah ‘Arwah-arwah’, yang mengisahkan pengembara tua dan putranya di antara reruntuhan rumah dan pohon tua. Peristiwa masa lalu yang mengganggu orang tua itu karena berisi kenangan kisah tragis. Ia membunuh ayahnya sendiri karena ayahnya menyiksa ibunya. Ketakutan membayangi pikirannya, kemungkinan putranya membalas dendam atau ‘melanjutkan keonaran’. Akhirnya ia memutuskan membunuh putranya sendiri.
Asta Bajang yang menyutradarai ‘Arwah-Arwah’ itu berusaha memahami karya drama dari penyair yang menerima Nobel karena puisi-puisinya yang menginspirasi dan memberi semangat bangsa Irlandia. Namun dialog-dialog penuh metafora, ungkapan puitis Yeats, yang membangkitkan kenangan orang tua atas ‘puing-puing rumah dan pohon tua’ bisa menjebak pemainnya dalam ucapan bertele-tele.
Memang, ‘Arwah-arwah’ yang diterjemahkan Suyatna Anirun bukan hanya membutuhkan pendalaman pemahaman untuk menangkap metafora dalam dialog tokoh-tokohnya. Pemahaman plot, intensitas diskusi aktor-sutradara, sekaligus pembahasan elemen desain produksi (cahaya, kostum, properti dan lainnya), juga penting mendekati drama psikologi Yeats. Kedua aktor yang bersemangat dari Sasentra yang bermain dalam ‘Arwah-arwah’ harus lebih banyak diskusi dengan sutradara.
Pertunjukan teater adalah persentuhan organisme hidup antara aktor dan penonton selama teater itu ‘hidup’. Teater itu ‘mati’ ketika lampu panggung dan gedung pertunjukan menyala. Seni teater bukanlah artefak yang bisa diapresiasi dengan nilai sama seperti saat pertunjukan berlangsung.
Karena itu, nilai pertunjukan teater ditentukan berlangsungnya ‘peristiwa teater’ yang memberi kesadaran baru tentang sesuatu.Mari menonton teater.
Suk
Seni Instalasi Dengan Bumbu Performance Art
Tanpa menguasai medium yang mengantar gagasan, nyaris sama dengan tak punya gagasan apa pun. Kalau seni instalasi tak bisa mengantarkan ‘penemuan kembali’ persepsi audiensnya dengan ruang atau lingkungan dari penciptaan pengalaman unik seniman, apakah sudah gagal menyampaikan gagasannya?
R. Eko Wahono
Pertanyaan itu muncul setelah menyaksikan karya intalasi seniman Mataram, Sabtu (27/8), di halaman luar Taman Budaya NTB. Ini jarang terjadi, pameran instalasi dilakukan ramai-ramai, ada Sembilan karya instalasi beberapa di antaranya karya dari seniman Bandung dan Bali. Dan beberapa di antaranya karya instalasi itu ‘dibumbui’ performing art. Tentang yang terakhir, saya menganggapnya inheren sebagai seni instalasi. Jadilah sebuah seni instalasi hidup (live). Audiens pun berharap, di sebuah ruang ‘pemasangan’ ilusi multidimensi, baik seniman dan penonton bisa berkontribusi pada proses penciptaan dan penemuan seniman.
Zaeni Muhammad
Bisa dimengerti pameran ramai-ramai itu berlangsung karena Dinas Budpar NTB, pada bulan Agustus ini sedang menjalankan program Bulan Budaya Lombok Sumbawa (BBLS). Sebenarnya bukan masalah berkarya dengan orderan dalam event apa pun. Tentu jadi pertanyaan, kalau semua berlangsung mendadak, sehingga beresiko munculnya karya-karya dadakan yang semata-mata hanya ‘bernostalgia’.
Sembilan orang yang membuat karya instalasi itu adalah Zaini Muhammad, REko Wahono, Syamsul Fajri Nurawat, Hadi Kru, Justihan Imtihan (Bali), Farhan Adytiasmara (Bali), Muhammad Sibawaihi, Setia Wibowo (Bandung), dan Jante Prabamandala (Bandung). Tidak diperoleh penjelasan, kenapa beberapa perupa tidak ikut serta, seperti Mantra Ardhana, Lalu Syaukani, Lingsartha Partha atau beberapa lainnya yang biasa membuat seni instalasi.
Mungkin Lingsartha seharusnya ikut terlibat, sebab perupa yang kini justru banyak menghasilkan karya musik ini sering mengkritisi karya-karya yang menyatukan dan mengkontruksi sejumlah benda melahirkan persepsi yang bisa merujuk suatu konteks kesadaran makna tertentu.
“Tapi soal gagasan yang hendak disampaikan harus sepadan dengan penguasaan teknik penyampaian konsep seni instalasi. Saya lihat seniman yang pameran belum sampai kesana,” ujar Ligsartha. Saya lihat, sebagian seperti menganggap seni innstaasinya sebagai set pertunjukan fragmen.
Gagasan yang tak sampai itu hanya akan berhenti sebagai inspirasi, belum sampai sebagai gagasan yang berwujud sebagai karya seni. Seni instalasi seharusnya bisa mengajak pengunjung masuk dan bergerak di sekitar ruang atau berinteraksi dengan beberapa elemen. Seharusnya menawarkan ‘bentuk’ pengalaman berbeda dari (katakanlah) karya lukisan atau patung yang biasanya dilihat dari sudut referensi tunggal .
Pemirsa bisa terlibat, mungkin sentuhan, suara atau sekedar bau. Juga visi seniman dalam mengangkat tema social, hubungan ketergantungan tubuh dengan alam sekitar atau persoalan-persoalan sosial politik
Tubuh dan Ruang Maya – Hafizah hamzah
“Ruang makan bukan lagi ruang sosial, tapi benar-benar individual saat kita intens bergaul di dunia maya,” kata aktor Hafizah Hamzah (Opik).
Opik tidak ikut memamerkan karya instalasinya tapi membuat performance art. Banyak yang menilai, ia berhasil menyampaikan gagasannya.
Suk
Jazz & World Music Festival; Bukan Sekedar Tuan Rumah
SENGGIGI – lombokjournal.com
Musisi juga perlu mendapat suntikan vitamin. Kehadiran musisi kaliber dunia yang tampil dalam event “Pesona Senggigi Jazz & World Music Festival 2016” ibarat vitamin yang memberi gairah musisi Lombok. “Event Jazz & World Music ini penting dan sangat diperlukan untuk merangsang kreativitas musisi kita,” kata Ari Juliant, di tengah semaraknya hari kedua performing Jazz & World Music di Senggigi, Minggu (22/8) malam.
Sampai hari kedua, semua musisi dari mancanegara, seperti Log Sanskrit feat Banu (India), Cellomano (Venezuela), Danne The Riddim (Jepang) sudah mewarnai irama pantai Senggigi. Hanya Mark Heyward (Australia) yang urung datang. Tak ada penjelasan mengenai alasan ketidakhadirannya.
IVAN NESTORMAN
Namun ketidakhadiran Heyward tak mengurangi kerennya hajadan berkumpulnya musisi kelas dunia di pantai Senggigi. Malam itu, sebut saja Bonita & The Hus Band –yang albumnya berjudul ‘Small Miracle’ tahun 2014 masuk dalam jajaran album terbaik versi majalah Rolling Stone – dengan powerfull suaranya mengusik energy positif penonton yang sebagian besar duduk di pasir pantai.
Waktu ia mengakhiri penampilannya dengan lagu nostalgik, penonton bertepuk tangan sambil berdiri. Penonton yang mengapresiasi performance putri dari Koes Hendratmo (artis dan presenter fenomenal yang hingga kini masih berpenampilan segar) itu sebagian besar adalah wisatawan bule.
Dan yang tak terlupakan, penampilan Ivan Nestorman, musisi di Flores-Nusa Tenggara Timur yang malam itu seperti biasa memadukan unsur (berbagai alat musik) etnik dalam irama Jazz yang dimainkannya. Misalnya malam itu, ditampilkan pemain musik warga Senegal yang piawai dengan instrumen tradisi Afrika. Ada juga instrumen angklung yang dimainkan dengan dinamis.
Memang banyak di antara penonton yang belum tahu siapa Ivan Nestorman. Padahal ia pernah menulis lagu yang kemudian dipopulerkan penyanyi Chrisye (alm). Ia juga menggarap aransemen dan lirik untuk penyanyi seperti Glenn Fredly, Edo Kondologit, Franky Sahilatua, Black Sweet, Andre Hehanusa, dan banyak penyanyi lainnya.
Karyanya Nera merupakan hasil kolaborasinya dengan penabuh drum kondang, Gilang Ramadhan. Bersama Dwiki Darmawan dan Dira Yulianti, menghasilkan karya world peace orchestra. Di antara musisi yang tampil hari kedua, hanya Ivan dengan irama Jazznya bisa mengajak sebagian besar penonton malam itu ‘bergoyang’.
Para alumni ISI (Institut Seni Indonesia) Jogja malam itu dengan projek musik Subkultur Artificial (didirikan tahun 2013) membawa konsep bermusik yang unik. Seluruh pemainnya masing-masing membawakan alat musik tradisional dari daerah masing-masing. Namun instrument tradisi itu dikawinkan dengan unsur musik. ‘dunia’.
Jadilah ramuan musik yang dibarengi pemikiran sosiologis. Eksperimentasi musik yang dilakukan Enriko Gultom dan kawan-kawannya jebolan ISI itu, tidak menganggap musik berhenti sebagai musik. Seperti seni lainnya, musik juga merepresentasikan masyarakatnya.
Karena itu mereka menganggap pertunjukannya sebagai dialektika desa-kota, lokal-internasional, dan tentu saja juga terjadi dialog Timur-Barat. Namun pertunjukan malam itu mendapat sambutan meriah dari penonton yang meskipun terasa agak ‘aneh’ tapi bisa menikmati musik eksperimentasi itu. Mereka melengkapi musisi nasional lainnya yang rata-rata tampil ciamik.
Bukan SekedarTuan Rumah
Untuk musisi luar negeri yang tampil dalam ‘Jazz & World Musik Festival’ itu tentu tak diragukan lagi mendapat apresiasi besar penontonnya. Tapi bagaimana dengan musisi Lombok(NTB), seperti Dipa & Friends, The Datu Band, Novee Nhavan, Keroncong Bandini, Pipiet Tripitaka & The Jazz Kidding dam lainnya termasuk yang tampil di hari pertama?
“Lombok tak kekurangan musisi berbakat. Mereka siap disandingkan dengan musisi nasional,” kata Ari Juliant mengomentari performance rekan-rekannya..
Seperti halnya hari pertama, pada pertunjukan hari kedua musisi tuan rumah juga tak kalah dengan musisi dari luar. Adanya event ‘Jazz & World Music Festival’ merupakan bagian menciptakan iklim dan atmosfer kreativitas musik di Lombok.
Musisi Lombok memang bisa belajar dari mana pun, tapi mereka juga mempunyai potensi dan bakat yang layak mendapat kesempatan tampil. Karena itu, menurut Ari, harus ada dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah, agar event semacam bisa berkelanjutan.
Imam Sofian, owner dari Bandini Koffee yang menjadi salah satu penggagas event ini, sependapat untuk menciptakan iklim lebih menggairahkan kreatifitas musisi, secara khusus musisi Jazz. “Event seperti ini untuk memperkuat komunitas Jazz NTB, dan harus berkelanjutan tiap tahun,” katanya.
Sebab ‘Jazz Pantai’ yang baru berlangsung tahun 2016, tentu akan menambah daya tarik Senggigi sebagai destinasi wisata. Karenanya diperlukan persiapan lebih matang, sehingga akan meningkatkan kualitas event.
“Baik sosal-soal teknis maupun materinya yang akan ditampilkan musisi Lombok juga harus disiapkan matang. Even seperti ini menjadi ajang peningkatan kualitas,” kata Iman.
Jadi ada dua tujuan sekaligus. Pertama, menguatkan destinasi wisata, itu berarti menjadikan even itu sebagai ikon yang jadi daya taris wisatawan. Dan kedua, dengan adanya even ini mendorong musisi Lombok tertantang meningkatkan kualitasnya.
“Kita tidak ingin sekedar jadi tuan rumah,” kata Imam.
Suk
Pesona Jazz Festival Memikat Wisatawan
SENGGIGI – lombokjournal.com
Lombok jadi ajang kiprah musisi Jazz dunia. Itulah sasaran yang dituju event “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival 2016” yang mulai digelar hari Sabtu (20/8) sore sekitar pukul 17.00 wita hingga malam hari. Selain membuka kesempatan musisi lokal berbakat bermain satu panggung dengan musisi jazz internasional, event yang berlanjut hingga hari Minggu (sore sampai malam) itu diharapkan jadi pemikat wisatawan. “Ingat jazz, ingat Senggigi,” kata Ais M. Mashoud, project manager di event musik jazz itu.
TOMSTONE
Jalan menuju pantai Senggigi yang sejalur jalan menuju Hotel Senggigi Beach, Sabtu sore sempat macet. Sepanjang jalan yang tak terlalu lebar itu dipenuhi deretan mobil yang diparkir, termasuk mobil Bupati Lombok Barat, H Fauzan Khalid. Mulai jalan besar hingga mendekati pantai dipenuh mobil dan sepeda motor.
Ramainya kendaraan yang diparkir, tak lazim seperti hari-hari sebelumnya. Memang tak ada areal parkir khusus bagi peminat musik jazz yang tampil di tiga stage yang disiapkan. Dua stage besar ada di pinggir pantai, yang satu di depan villa Senggigi.
Dua stage di pantai itu, sejak pembukaan langsung mencuri perhatian penonton. Di stage satu yang mengawali tampil adalah TOMSTONE. Talent lokal ini bisa dibilang terbaik yang ada di Lombok, sangat populer di kalangan ‘blues community’. Dan sore itu, Tomstone bisa berinteraksi dengan penonton yang sebagian besar wisatawan bule.
Juga Ari Juliant yang tampil di stage lainnya dengan “Bajigur Bluegress’-nya, tak perlu disangsikan kemampuan dan semangatnya berinteraksi. Musisi balada ini selalu menghibur audiennya, meski lirik lagu-lagunya banyak menyampaikan kritik sosial atau lingkungan. Itulah kesenian, menyentil tanpa menyakiti. “Ari hidup di daerah tapi bukan kelas lokal,” kata seorang wartawan.
Memang, kalau Ari Juliant tentu bukan – seperti yang dimaksud panitia — sebagai talenta lokal yang kurang mendapatkan kesempatan tampil di panggung nasional. Ari dikenal sebagai ‘musisi gerilya’ yang sudah banyak menjelajah ke berbagai tempat. Bahkan ia pernah tampil di pelosok pedesaan di Austria dan Belanda.
BAJIGUR BLUEGRESS
Ari merupakan salah satu musisi yang konsisten menolak masuk dalam dunia industri. Panitia memang berharap event ini bisa menambah skill dan kepercayaan diri talent lokal, yang akan berdampak pada industri musik lokal, tentu bukan dimaksudkan untuk Ari Juliant.
Meski berlabel ‘Jazz Festival’ namun hari pertama penyelenggara cukup jeli dengan menampilkan grup berakar tradisi tapi kreatif dari Rumah Budaya Paer Lenek (Lombok Timur). Selain itu juga tampil BandiniKoffe Jazzz Projet, Nissant Fortz, Rian Rusliansyah & Friend, Dipa & friends, Log Sanskrit dan Yura.
Waktu penyelenggaraan yang dimulai sore hari cukup menarik. Sebab menikmati musik di pantai sampai menjelang sunset juga memberi daya tersendiri.
Menurut Ais, menampilkan beberapa kelompok musik itu juga mempunyai motivasi menyatukan seniman yang selama ini sering bergerak sendiri-sendiri. “Mengajak seniman untuk bersinergi, itu juga sangat penting,” kata Ais.
Pilot Project
Ais Mashoud mengatakan, konsep event “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival 2016” yang didukung Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan pertama digelar di Lombok ini, dianggap sebagai pilot project untuk penyelenggaraan event berikutnya. Apa yang sudah dikerjakan hari ini akan menjadi evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan berikutnya.
Sebagai daerah wisata, NTB khususnya Lombok masih belum mempunyai event musik berskala internasional. Di berbagai tempat sudah lama berlangsung hajatan musik jaz, seperti Prambanan Jazz Festival, Dieng Jazz Festival, Ijen Jazz Festival atau Ubud Jazz Festival. “Mulai tahun 2016, di Senggigi mulai menggelar festival jazz dunia. Ini akan disusul tahun berikutnya, dan seterusnya,” ujar Ais.
Tekadnya itu bukan tanpa alasan kuat. Menurut Ais, Lombok mempunyai keindahan alam tidak kalah dengan daerah lain. Karena itu penyelenggaraan event ini makin menguatkan daya tarik Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan keyakinan akan kuatnya daya tarik Lombok, meski umumnnya penyelenggaraan festival jazz di berbagai tempat itu berlangsung bulan Agustus, di Lombok tetap berlangsung juga pada bulan Agustus tanpa khawatir kalah bersaing.
“Kita cari moment peak sesason, karena itu tahun berikkutnya tetap diselenggarakan bulan Agustus. Apa pun yang terjadi. The show must go on.. Tiap wisatawan akan mengenang event ini,” kata Ais. Ternyata pertunjukan hari pertama itu dibanjiri penonton, dan itu menjawab pesimisme orang sebelumnya, tambahnya
Bagaimana pun “Pesona Senggigi International Jazz & World Music Festival” tak lepas dari promosi Pesona Indonesia atau Wonderful Indonesia. Seperti diketahui, branding Pariwisata Indonesia untuk mencapai target 20 juta wisatawan tahun 2019 adalah pesona Indonesia atau “wonderful Indonesia”.
Kata “Wonderful” atau “Pesona” merupakan janji tentang Indonesia yang selalu menakjubkan. Senggigi memiliki pesona yang luar biasa dari segi keindahan alamnya dan keramahan penduduknya, dengan event ini diharapkan makin meningkatkan pesona Senggigi untuk memikat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
“Ingat jazz, ingat Semggigi,” tegas Ais.
Suk
Seni Dari Kolaborasi Sosial
Dari Workshop Kelas WAH – Pasir Putih
LOMBOK UTARA – lombokjournal.com
Kolaborasi antar seniman dan masyarakat dalam proses kreatif, menjadi topik workshop kelas WAH yang diselenggarakan komunitas Pasir Putih di Pemenang Lombok Utara, 7 – 9 Juli lalu. Empat orang ‘seniman-aktivis desainer sosial’ dari Polandia, berdiskusi dengan seniman dan pegiat seni di Lombok. “Seniman harus membuka diri, dan mampu menjawab tantangan kreatifnya,” kata Marriana Dobskowska.
Selain Marriana Dobskowska, seorang kurator untuk program-program residensi, proyek-proyek seni dan pameran, ada empat orang lainnya juga dari Polandia. Mereka adalah Iza Rutkowka, seniman, desainer dan aktivis sosial, dan Krzysztof Lukomski, dosen dengan gelar PhD di University 0f Art, Poznan Polandia, dan art director di ShortWave Film Festival.
Kemudian Alicia Rogalska, seniman fotografi yang lahir di Polandia tapi saat ini berbasis kerja di London, yang menekuni proyek-proyek seni yang melibatkan partisipasi dan kerjasama masyarakat. Ada lagi Maciej Siuda, arsitek yang meraih sarjana Cum Laude dari Universitas Teknologi Wroclaw.
Bulan Juni lalu, kelima orang itu mengambil bagian dalam kegiatan ‘Pameran dan Program Publik’ di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, serta di beberapa lokasi di sekitar Galeri nasional, yang dikuratori Marriana Dobskoska. Pameran itu dalam proyek ‘Desain Sosial Bagi Kehidupan Sosial’. Maciej Siuda, yang tahun 2015 pernah berkolaborasi dengan Jatiwangi Art Factory (JAF), dalam pameran itu memberi workshop ‘kekuatan berbagi sebagai alat evolusi’.
Kehadiran lima orang dari Polandia di komunitas Pasir Putih di Pemenang itu membuka kesempatan berbagi pengetahuan dan pengalaman, baik bagi tamu dari Polandia itu sendiri maupun seniman-seniman Lombok, termasuk warga setempat. Selama tiga hari, mulai Kamis, 7 Juli 2016, sampai Sabtu, 9 Juli 2016, berlangsung mulai pukul 2 siang hingga pukul 5 sore (diskusi sering hingga larut malam). Diskusi intens terbagi menjadi tiga kelas, yaitu ‘Kelas Ruang Publik’ dengan pemateri Iza Rutkowka dan Kris Lukomski, ‘Kelas Photografi’ oleh Alicia Rogalska dan ‘Kelas Ruang dan Teater’ oleh Mariana Dobkowska dan Maciej Siuda.
Mengingat pengalaman dan latar belakang para seniman dari Polandia itu, sebenarnya bisa menjadi kawan diskusi intens bagi para seniman atau pengiat seni di Lombok. Tapi memang sayang, mungkin waktunya yang dekat lebaran Idhul Fitri, kegiatan itu ramai diikuti pada awal kemudian pesertanya menyusut di hari berikutnya. Apalagi seniman-seniman Lombok (di luar Lombok Utara) yang telah banyak bekerja dengan masyarakat, tidak tampak terlibat.
Kehadiran seniman Polandia untuk mengisi kegiatan ‘KelasWah’ yang berlangsung tiap bulan dari komunitas Pasir Putih ini memang penting untuk berbagi (sharing), khususnya konteks seni kontemporer yang peduli sosial yang tak mengabaikan konteks historis dan pemahaman kenyataan kemasyarakatan. Diskusi yang intens akan menghasilkan gagasan yang bisa menjadi pijakan atau dasar proses kreatif dan berkarya.
Maciej Siuda, yang punya pengalaman memberi konsultasi arsitek untuk publik, memandang kekuatan ‘berbagi’ (sharing) menjadi alternatif positif dari trend global yang memandang kompetisi semata-mata sebagai bahan bakar kemajuan. Filsuf Polandia, Zygmunt Bauman, pernah memandingkan, bila dia memberi seseorang satu dolar dan sebaliknya orang itu memberinya satu dolar, masing-masing hanya memiliki satu dolar. “Jika saya memberimu ide dan kamu memberikan idemu, maka kita masing-masing akan memiliki dua ide,” kata Zygmunt Bauman yang dikutip Maciej Siuda.
Marriana Dobskowska, dalam percakapan di akhir workshop menambahkan tentang pentingnya seniman membangun kolaborasi dengan masyarakat untuk menumbuhkan kepekaan sosial. “Hubungan dengan kehidupan sosial menjadi bagian kreativitas seni,” katanya.
Menurutnya, seni kontemporer tak membatasi ruang kreativitasnya, semata-mata di media kanvas, galeri, studio atau panggung. Berdedikasi untuk kesenian, berarti harus selalu mengerjakan praktis sosial. Dengan membuka diri, seniman akan makin terbuka wawasan pengetahuannya.
“Seniman seharusnya tak berhenti di zona aman. Seniman harus menjawab tantangan kreativitasnya,” kata Marriana.