Black Campaign Tanda Mundurnya Demokrasi
Aura pemilu legislatif dan pilpres terasa kuat dalam pilkada
MATARAM.lombokjournal.com — Momentum Pilkada serentak tahun 2018 akan berlangsung di 171 daerah di 17 propinsi, 19 kota dan 115 kabupaten dengan total 573 pasangan calon.
Suasana dinamika dan tarikan politik nasional dan daerah bergeliat secara dinamis dan kohesif dalam perspektif sosial dan budaya. Sirra Prayuna, SH, praktisi hukum dan politisi PDIP mengungkapkan itu melalui siaran persnya, Minggu (21/01).
Usai Pilkada serentak ini, tahun 2019 akan dilanjutkan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. “Aura pemilu legislatif dan pilpres terasa kuat dalam pilkada ini,” kata Sirra.
Dikatakannya, secara normatif esensi pilkada adalah perwujudan demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Saatnya rakyat memilih calon pemimpin terbaik, yang mampu mengantarkan daerahnya maju adil makmur dan sejahtera.
“Disinilah pentingnya partisipasi politik aktif rakyat yang secara sadar dan cerdas menentukan pilihan calon Pemimpin Daerah di bilik suara nantinya,” kata Sirra .
Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat antusias dalam mengekspresikan hak konstitusionalnya. Rakyat dituntut arif dan bijaksana dalam mengarikulasikan hak politiknya secara baik dan taat aturan.
Sirra memaparkan, akhir akhir ini publik dibuat tercengang dan miris melihat kecenderungan respon publik dalam mengekspresikan dukungannya. Antusiasme kontestasi electoral belum dapat diartikulasikan secara bijaksana yang kaya gagasan.
“Namun yang muncul justru gambaran banyaknya bertebaran ujaran kebencian, fitnah, hoax, rasis, politik premordial dan politik identitas,” ungkapnya .
Pengacara dari Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDI Perjuangan ini menambahkan, ekspresi dukungan para simpatisan di ruang publik kerap ditemukan bermuatan negatif.
“Tanpa disadari, pola black campaign atau kampanye hitam sesungguhnya telah menuntun ke arah kemunduran berdemokrasi,” ujarnya. Lebih jauh, itu ikut berkontrubusi meruntuhkan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Sirra menekankan, nalar sehat demokrasi elektoral sepertinya lumpuh terkena pengaruh virus jaman Now yang kaya akan teknologi digital.
“Kita tahu era digital memang tak mengenal batas ruang dan waktu dalam berekspresi. Satu kali pencet ribuan viral menebar ke seantero bak virus melumpuhkan bahkan mematikan,” ujarnya.
Diungkapkannya, ‘dokter moral’ ternyata belum ampuh dalam mematikan virus ini. Demikian juga regulasi UU IT belum membuat para penebar takut atas ancaman hukuman pidananya relatif tinggi.
“Penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu dan Gagumdu aparat penegak hukum akan disibukan menagani kasus pidana hate speach oleh tangan tangan jahil penebar virus jaman Now,” tambahnya
Ditegaskan, tak ada jalan lain untuk melumpuhkan virus ini guna memulihkan kembali psykologi sosial masyarakat dan kontestan, yaitu dengan menindak tegas pelaku berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Sirra Prayuna berharap, agar konstituen menggunakan nalar yang sehat dalam kontestasi pilkada ini. “Sehingga apa yang diyakini dapat diperjuangkan dengan benar dan bermartabat,” pungkasnya.
AYA (*)