Black Campaign Tanda Mundurnya Demokrasi

Aura pemilu legislatif dan pilpres terasa kuat dalam pilkada

Sirra Prajuna

MATARAM.lombokjournal.com — Momentum Pilkada serentak tahun 2018 akan berlangsung di 171 daerah di 17 propinsi, 19 kota dan 115 kabupaten dengan total 573 pasangan calon.

Suasana dinamika dan tarikan politik nasional dan daerah bergeliat secara  dinamis dan  kohesif dalam perspektif sosial dan budaya. Sirra Prayuna, SH, praktisi hukum dan politisi PDIP mengungkapkan itu melalui siaran persnya, Minggu (21/01).

Usai Pilkada serentak ini, tahun 2019 akan dilanjutkan dengan pemilihan legislatif  dan pemilihan presiden. “Aura pemilu legislatif dan pilpres terasa kuat dalam pilkada ini,” kata Sirra.

Dikatakannya, secara normatif esensi pilkada adalah perwujudan demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Saatnya rakyat memilih calon pemimpin terbaik, yang mampu mengantarkan daerahnya maju adil makmur dan sejahtera.

“Disinilah pentingnya partisipasi politik aktif rakyat yang secara sadar dan cerdas menentukan pilihan calon Pemimpin Daerah di bilik suara nantinya,” kata Sirra .

Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat antusias dalam mengekspresikan hak  konstitusionalnya. Rakyat dituntut arif dan bijaksana dalam mengarikulasikan hak politiknya secara baik dan taat aturan.

Sirra memaparkan, akhir akhir ini publik dibuat  tercengang dan miris melihat kecenderungan respon publik dalam mengekspresikan dukungannya.  Antusiasme kontestasi electoral belum dapat diartikulasikan secara bijaksana yang kaya gagasan.

“Namun yang muncul justru gambaran banyaknya bertebaran ujaran kebencian, fitnah, hoax, rasis, politik premordial dan politik identitas,” ungkapnya .

Pengacara dari Badan Bantuan  Hukum dan Advokasi DPP PDI Perjuangan ini menambahkan, ekspresi dukungan para  simpatisan di ruang publik kerap  ditemukan bermuatan negatif.

“Tanpa disadari,  pola black campaign atau  kampanye hitam sesungguhnya telah menuntun ke arah kemunduran berdemokrasi,” ujarnya. Lebih jauh, itu ikut berkontrubusi meruntuhkan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Sirra menekankan, nalar sehat demokrasi elektoral sepertinya lumpuh terkena pengaruh virus  jaman Now yang kaya akan teknologi digital.

“Kita tahu era digital memang tak mengenal batas ruang dan waktu dalam berekspresi. Satu kali pencet ribuan viral menebar ke seantero bak virus melumpuhkan bahkan mematikan,” ujarnya.

Diungkapkannya, ‘dokter moral’ ternyata belum ampuh dalam mematikan virus ini. Demikian juga regulasi UU IT belum membuat para penebar takut atas ancaman hukuman pidananya relatif tinggi.

“Penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu dan Gagumdu aparat penegak hukum akan disibukan menagani kasus pidana hate speach oleh tangan tangan jahil penebar virus jaman Now,” tambahnya

Ditegaskan, tak ada jalan lain untuk melumpuhkan virus ini guna memulihkan kembali psykologi sosial masyarakat dan kontestan, yaitu dengan menindak tegas pelaku berdasarkan aturan hukum yang berlaku.

Sirra Prayuna berharap, agar konstituen  menggunakan nalar yang  sehat  dalam kontestasi pilkada ini. “Sehingga apa yang diyakini dapat diperjuangkan dengan benar dan bermartabat,” pungkasnya.

AYA (*)

 

 




Mutasi ‘Tanpa Pamrih’, Benarkah?

Setelah Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap BUpati Klaten, Sri Hartini yang kesandung skandal suap terkait mutasi pejabat di akhir tahun 2016, Kepala Daerah yang terbiasa main dalam ‘mutasi haram’ di berbagai tempat di Indonesia mulai menangkap sinyal tanda bahaya. Tapi masih adakah penempatan jabatan, apalagi di posisi jabatan strategis, tanpa ‘kontribusi’ bagi Kepala Daerah?

lombokjournal.com

Ada ungkapan umum, korupsi atau suap dalam penempatan jabatan tercium baunya seperti kentut.  Dan seperti halnya kentut, meski baunya menyengat namun tak pernah jelas wujudnya.  Dugaan-dugaan pun berseliweran, meski dengan indikasi meyakinkan, tapi membuktikan siapa sumber bau kentut bukanlah mudah.

Dalam kasus suap jabatan, biasanya menggunakan seseorang yang menjadi perantara pengumpulan uang yang akan diberikan kepada Kepala Daerah agar yang bersangkutan mendapat jabatan yang diinginkan.  Di Kabupaten Klaten, putra Sri Hartini yang saat ini Ketua Komisi IV DPRD Klaten, Andi Purnomo, diduga menjadi perantara dan pengepul para pihak yang ingin mendapatkan jabatan ‘haram’.

Belum bisa dipastikan apa peranan Andi dalam kasus yang telah mentersangkakan ibunya itu. Meski demikian, Andi juga (diduga), selain sebagai penghubung, ia juga mengambil keuntungan dengan memesan proyek kepada pihak yang ‘membeli’ jabatan itu. Sekali mengayuh, keuntungan ganda langsung direngkuh.

Bupati Klaten, Sri Hartini – suaminya yang juga mantan Bupati Klaten juga kesandung korupsi – memang sedang kejatuhan sial. Sebab umumnya Kepala Daerah – mulai gubernur hingga bupati/walikota – di berbagai daerah banyak bersinggungan dengan pejabat yang ingin memuluskan posisinya dengan dengan jalan‎ menyuap. Sebagian besar Kepala Daerah itu hanya belum ketabrak nasib sial.

Tapi bau kentut itu sudah tercium. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menengarai ada kejanggalan dalam proses mutasi pejabat dalam penataan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) berdasarkan PP No 18/2016 tentang Perangkat Daerah. Diduga kuat banyak terjadi di luar Jawa.

Penataan yang diharapkan merampingkan organisasi birokrasi daerah hingga 25 persen itu, dan itu menghemat belanja pegawai, membuat pejabat eselon II ingin bertahan di posisinya atau justru memburu jabatan-jabatan strategis.

Tapi pengakuan seorang yang pernah ditawari masuk eselon IV di satu kabupaten di provinsi NTB itu mengindikasikan, soal bayar uang jabatan itu sudah lama berlangsung. Bahkan dilingkungan birokrasi, hal itu malah dianggap sebagai kewajaran. “Masa untuk jadi kasubag saja harus setor sampai 15 juta, untuk apa. Dua tahun lagi saya juga pensiun,” cerita seorang aparatur yang sudah lebih 30 tahun mengabdi sebagai ASN di pemkab.

Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Lombok Utara, Ardianto, SH, kepada wartawan mengatakan, ia berharap KPK tidak hanya memantau Kabupaten Klaten tapi semua daerah yang menurutnya soal suap mutasi jabatan hal yang dianggap lumrah. Tentu ia tak secara langsung mengatakan, di KLU soal suap itu dianggap sebagai kewajaran.

Gubernur NTB, DR M Zainul Majdi, berharap tak ada transaksi  dalam mutasi di lingkungan birokrasi Provinsi NTB yang berlangsung, Selasa (3/1) lalu. Tak perlu berprasangka kalau gubernur hanya ‘berharap’ tapi tidak ‘memberi jaminan’ benar-benar tak ada suap.

Hal sama juga diungkapkan Wakil Walikota Mataram, Mohan Roliskana, setelah berlangsung mutasi 868 ASN di Pemkot Mataram (Jum,at, 30/12), “Saya sangat mengharamkan hal seperti itu,” kata Mohan.

Masyarakat mengerti bahwa transaksi langsung dalam proses mutasi merupakan tindakan ceroboh dan bebal. Sebab kasus Bupati Klaten, Sri Hartini, sudah mensinyalkan tanda bahaya bagi Kepala Daerah lain di seluruh Indonesia. Pihak KPK sendiri mengisyaratkan sudah memperoleh data tentang Kepala Daerah yang menjalankan mutasi haram.

Khusus di seluruh daerah NTB, kita berharap sudah saatnya praktik dagang jabatan itu diakhiri. Meski kita tak bisa menghindar, kepentingan politik selalu menyertai mutasi. Tentu yang dimaksud dalam kepentingan politik itu termasuk penguasaan sumber daya daerah.

Memang tak mudah berharap bahwa mjutasi jabatan benar-benar tanpa pamrih. Semata-mata mengutamakan profesionalisme birokrasi untuk meningkatkan pelayanan publik. Masyarakat hanya bisa berharap meski masih jauh panggang dari api.

REDAKSI

 

 

 

..

 

 




Hantu Muslim Gentayangan di Amerika

hamid Dabashi
Oleh Hamid Dabashi

 

Roh Muslim menghantui Amerika, yaitu roh Kapten Humayun Khan seorang tentara Amerika Serikat beragama Islam yang gugur di Irak. Itu memperangkap Trump, saat orang Tua Kapten Khan berpidato di Konvensi Partai Demokrat.

Itu perangkap sempurna, dan seperti kuda nil bodoh Donald Trump terperosok ke dalamnya. Dan ia terus menggali, yang makin menjerumuskannya lebih jauh ke dalam lubang.

Hillary Clinton mengisyarakan tanda bahaya  — saat menyampaikan pidato sambutan di Philadelphia – dengan mengatakan, “Seorang pria (maksudnya Trump,red) yang bisa terpancing (hanya) dengan tweet, bukan orang yang bisa dipercaya mengendalikan senjata nuklir.”

Menggigit Umpan
Umpan yang dilempar itu bukanlah cuitan di medsos, tapi Khizr Khan orang tua (dari Kapten Humayun Khan) yang berduka karena anaknya, seorang tentara Muslim, tewas tahun 2004 saat bertugas di Irak. Anaknya bertempur dalam keputusan perang oleh George W Bush — perang  yang sah tapi tidak bermoral — yang mengakibatkan kehancuran total suatu negara bangsa. Sekaligus membantu bangkitnya ‘geng pembunuh’ Negara Islam Irak dan Levant (ISIL, juga dikenal sebagai ISIS).

Ceritanya bermula ketika Tuan dan Nyonya Khan, orang tua tentara Muslim Kapten Humayun Khan, muncul di panggung untuk berbagi kesedihannya dengan bangsa Amerika, sekaligus mengecam Donald Trump yang anti-Muslim.

Tuan Khan, yang pidatonya ditujukan untuk Trump, saat itu menyatakan: “Anda telah berkorban banyak, tapi itu tidak ada artinya.” Kemudian dengan emosional ditegaskan: “Donald Trump, Anda minta dipercayai untuk membangun masa depan Amerika? Mari saya tanya…. Apakah Anda pernah membaca konstitusi AS? Kalau belum, dengan senang hati saya pinjamkan fotokopinya.” Kemudian Khan mengeluarkan salinan konstitusi AS dari saku jasnya.

Itu pertunjukan drama yang sempurna, tayangan televisi yang sempurna, dan politik yang sempurna. Dan dengan segera, adegan itu menyebar di internet.

Trump terpancing, menyepelekan seorang tentara Muslim yang tewas untuk AS. Seperti biasa, Trump merespon dengan cara dangkal,  ceroboh, dan dengan lagak premanisme. Lebih bodoh lagi, ia justru menyasar Ghazala Khan atau Nyonya Khan yang tidak bicara sepatah pun saat mendampingi Tuan Khan pidato di panggung.

Tapi Trump menduga semaunya, ia diam karena memang dilarang bicara. Ia  diam menunjukkan seorang wanita Muslim yang lemah dan tertekan. Padahal Ghazala diam karena sedang berduka. Menurut pengakuannya, ia selalu tak bisa berkata apa pun bila sedang mmebicarakan kematian putranya. Itulah kesalahan Trump yang terperangkap kampanye buatan  Clinton.

Pers liberal Amerika seolah memihak Clinton, terus menekan dengan menghadirkan kalangan Muslim di berbagai program talk show, untuk mengecam Trump bahkan dengan bahasa yang lebih fasih.

Trump malah menanggapinya dengan cara yang lebih bodoh, justru memperlihatkan arogansinya, dan kelewat batas menghina keluarga seorang tentara AS yang gugur di medan perang

Runtuh patriotisme dalam militerisme                                                                          Klimaks dari drama ini, seorang pensiunan mayor jenderal tentara AS yang menjadi komandan brigade tempur Kapten Khan, Dana J H Pittard, menulis sebuah esai memori untuk menghormati dan membela keluarga Khan. Tidak diragukan, di masa depan sejarah akan mencatat, insiden Khan menjadi faktor penting jika Trump kalah dalam pemilihan ini.

Memperangkap Trump dengan orang tua prajurit AS yang mati dan membiarkan dia menggantung dirinya dengan tali sepatunya sendiri, merupakan hasil paling langsung dari insiden Khan.

Kampanye Clinton tujuannya setara atau bahkan lebih penting,menyaksikan tontonan ambruknya patriotisme dalam militerisme, sehingga membersihan peran Clinton yang dengan angkuh melancarkan perang Irak. Siapa pun yang mengkritiknya akan jadi mirip Trump yang akan berhadapan dengan orang tua yang berduka.

Muslim,hantuopini11Agustus2

ilustrasi : Mantra Ardhana

 

 

 

 

Kedua tujuan bertemu dengan presisi sempurna: dukungan Clinton untuk perang Irak yang sah tapi tidak bermoral sekarang dibungkus dalam bendera Amerika. Ditempatkan di bawah upacara salinan konstitusi AS, dilakukan secara terhormat oleh orang tua berkabung dari seorang “pahlawan Amerika” yang dimakamkan di pemakaman Arlington.

Mengekspos alur                                                                                                        Seperti semua plot sempurna lainnya, bagaimanapun, selalu ada petunjuk di tempat kejadian.
Sehari sebelum Khan muncul di panggung di Philadelphia, Bill Clinton secara khusus minta uji loyalitas semua Muslim Amerika.

“Jika Anda seorang Muslim, yang mencintai Amerika dan kebebasan, yang benci teror,” katanya, “tinggal di sini dan membantu kami menang dan membuat masa depan bersama-sama. Kami inginkan dukungan Anda.”

Sentimen Bill Clinton yang dinyatakan dalam kalimat itu, diramalkan akan munculnya  Khan ‘di panggung Konvensi Nasional Partai Demokrat, dan ‘prasangka rasis’ telah disiapkan atas kematian anaknya.

Ketika Kapten Khan yang pemberani, menurut laporan saksi, berjalan ke kematiannya menuju pembom bunuh diri yang mendekatinya, pada dasarnya ia berusaha meyakinkan Bill Clinton maupun Donald Trumps tentang tanah air angkatnya bahwa ia “mencintai Amerika dan kebebasan, benci teror” dan pantas untuk berada di sini.

Militerisme Tersembunyi Clinton                                                                               Selalu ada konsekuensi yang tidak diinginkan untuk rencana jahat. Kampanye Clinton berhasil mengekspos rasisme Trump bahkan menjeratnya, dan membuatnya kehilangan pemilu kali inii. Pada kenyataannya pembangunan militer AS dalam proses tersembunyi dalam momen semangat patriotik

Namun dalam prosesnya, komunitas Muslim di AS juga menemukan martabat, mengartikulasikan, dan beberapa hati untuk menata kembali pemilihan presiden ini, dan mewakili masyarakatnya yang banyak difitnah, karena mereka berani bersuara melawan transmutasi patriotisme ke dalam militarisme pihak yang berperang

Kehilangan seorang anak dalam perang tidak berarti bahwa Anda menjadi penghasut perang. Sebaliknya: Mr Khan sebenarnya kritis atas perang Irak. Sentimen anti-perang tersebar luas di kalangan veteran AS dan keluarga mereka.

Salinan konstitusi AS yang diacungkan Mr Khan untuk mengecam hasutan Trump akan kembali menghantui Clinton. Di saat berikutnya, acungan salinan konstitusi itu juga akan jadi teguran sebuah perang yang ilegal terhadap bangsa lain yang berdaulat.

Ed. Roman Emsyair

Sumber: Al Jazeera

 

 




Hari ini, Mimpi Penghuni Surga

ORAN, Aljazair –

Surga menguasai fantasi orang-orang Muslim di abad pertengahan. Ya, bukan hanya di abad pertengahan. Surga bagi umat Islam tetap merupakan fantasi hari ini. Tetap menjadi tema khotbah, dan sekaligus menjadi wacana politik. Surga menjadi tujuan bagi individu atau kelompok, yang secara bertahap menggantikan impian tentang pembangunan, stabilitas dan kemakmuran, yang dijanjikan oleh dekolonisasi pasca perang di dunia Arab.

Kamel Daoud, Aug, 2016

Hari ini, imajinasi kebahagiaan hanyalah tentang hari esok setelah kematian, bukan saat hidup di dunia.

“Kenikmatan surga bagi diri sendiri ,” renungan yang ditulis dalam editorial di sebuah surat kabar Islam di Aljazair, saat bulan Ramadhan.

Pernyataan itu diikuti dengan penjelasan tentang pesona, kenikmatan, kegembiraan yang setia menanti setelah kematian. Imajinasi tentang surga, digambarkan sebagai tempat berlimpah kenikmatan, dengan hidangan seks dan anggur, perhiasan emas dan pakaian sutra.

Ini  janji akan datangnya kenikmatan berlipat-lipat, kebalikan dari kehidupan duniawi yang penuh derita bagi kebanyakan orang Arab. Mereka berada dalam situasi frustrasi yang dialami (umumnya) negara-negara Arab yang menderita karena kegagalan ekonomi, perang dan kediktatoran berdarah.

ilustrasi; Mantra Ardhana

Surga dijanjikan oleh kitab suci Quran, makin seru dengan setumpuk uraian dalam literatur agama selama berabad-abad. Dalam beberapa tahun terakhir, surga menjadi negara impian orang miskin, pengangguran, tapi juga kaum beriman. Dan dengan jihad bisa mencapainya, seperti dipromosikan para tokoh agama saat merekrut para relawan.

 

Ilustrasi : Mantra Ardhana

Ini adalah pembaruan menarik dari konsep kebahagiaan, yang dominan setengah abad lalu. Saat itu, negara-negara Maghreb danTimur Tengah – yang ingin lepas dari belenggu kemiskinan dan kesengsaraan akibat penjajahan, harus berperang melawan pasukan pendudukan. Negara-negara itu menganjurkan jihad untuk visi masa depan berdasarkan kemerdekaan, egalitarianisme, pembangunan, kemakmuran, kesejahteraan, kreativitas, hidup berdampingan yang berkeadilan.

Visi utopia itu mudah dipahami banyak orang. Pada gilirannya diadopsi oleh elit sosialis atau komunis dan bahkan beberapa monarki, sebagai mimpi politik bersama. Itu memberi legitimasi kepada rezim-rezim baru. Dekolonisasi merupakan era dengan slogan besar tentang kemajuan bangsa dan modernisasi melalui proyek-proyek besar  infrastruktur.

Tapi mimpi itu berujung buruk. Terutama disebabkan pikiran berdarah dari rezim otoriter serta kegagalan politik kiri di dunia Arab. Hari ini, seseorang Muslim – dengan iman, budaya atau dimana pu berada – memasuki utopia Islamosphere yang beredar melalui internet dan media. Fantasi inilah yang saat ini memenuhi benak banyak orang, dalam pidato politik, lamunan kedai kopi dan keputus asaan generasi muda. surga telah datang kembali sebagai mode, dijelaskan rinci oleh pengkhotbah, imam, termasuk dalam fantasi sastra Islam

Nilai jual utama; kaum perempuan, dijanjikan dalam jumlahn banyak, sebagai hadiah bagi yang bertakwa. Para wanita dari surga, bidadari, cantik, penurut, perawan lembut. Bagaimana dengan jihadis perempuan, juga diizinkan masuk taman firdaus yang kekal itu? Jika laki-laki dapat memiliki puluhan perawan, bagaimana dengan para perempuan?

jawaban para pengkhotbah bisa lucu: imbalan surgawi bagi perempuan itu adalah menjadi istri yang membahagiakan suaminya dalam kehidupan kekal. Mereka berdua ditakdirkan untuk menikmati kebahagiaan suami-istri yang abadi, di usia simbolis 33 dan dalam kesehatan yang yang juga kekal.

Bagaimana bagi perempuan yang sudah tidak punya suami atau sudah bercerai? Seorang pengkhotbah menjawab, perempuan itu akan mendapatkan suami lagi dengan pria lain yang sudah bercerai semasa masih hidup di dunia.

Anehnya, impian ini dari surga Muslim berhadapan dengan idaman lain yang sekaligus antagonis: dunia Barat. Membangkitkan gairah atau kebencian bagi orang Islam pergi yang ke Barat, hidup atau mati di sana , sebagai migran atau martir, menaklukkan atau menghancurkannya.

Utopia Muslim yang baru itu menjadi soal di dunia Arab saat ini. Motivasi banyak orang lari dari keputusasaan dan keluar dari kesengsaraan,  tidak lagi dengan mewujudkan negara yang makmur kaya dan sejahtera, seperti terjadi pasca dekolonisasi. Yang terjadi hari ini adalah janji surga di akhirat. Imajinasi tentang ‘kebahagiaan kekal’ menyebabkan kegelisahan.

Banyak orang ingin mengabaikan ini. Namun faktanya, untuk masuk surga orang harus lebih dulu mati.

 

Kamel Daoud, kolumnis untuk Quotidien d’Oran, adalah penulis novel “The Meursault Investigation.” Esai ini diterjemahkan oleh John Cullen dari bahasa Prancis

(Judul asli dalam Bahasa Inggris : Paradise, The new Muslim Utopia)

 




“Hantu” Baru Itu Bernama Pokémon

Arab Saudi –

Di tiap periode sejarah atau zaman muncul karakter atau ‘masalah’ yang mengganggu dan menimbulkan kecemasan atau ketakutan.  Sesuatu yang ‘menimbukan perasaan tidak aman’ itu disebut “bogeymen” (hantu). Banyak muncul ‘hantu’ seperti itu dalam sejarah.  ‘Hantu’ itu menjadi ancaman karena ‘dianggap’ nyata dan berbahaya.

Khaled Almaeena
Khaled Almaeena

Tahun 1950 di Amerika Serikat, Komunis adalah bogeymen. Dalam kecemasan luar biasa tentang komunisme, Senator Joseph R. McCarthy menciptakan hantu ‘Merah’, kemudian melakukan perburuan un tuk membersihkan Amerika dari semua elemen Komunis.  Hingga muncul ungkapan “ada merah di bawah tiap tempat tidurmu.”

Kini kecemasan pada Komunisme mengendur. Hari ini, di Amerika, giliran Muslim sebagai bogeymen baru.

Hantu terbaru  yang muncul saat ini adalah Pokémon Go.  Game atau permainan di smartphone baru itu menarik perhatian dunia.  Bahkan di Arab Saudi kecemasan itu demikian besar. Teori konspirasi bermunculan, beberapa orang mengoceh munculnya bagaimana Pokémon dikatakan sebagai trik pemerintah Amerika untuk memata-matai dunia.

 

GAMES POKEMON; Hantu terbaru yang muncul saat ini adalah Pokémon.
GAMES POKEMON; Hantu terbaru yang muncul saat ini adalah Pokémon.

Ada fatwa dari ulama yang mencela games itu buang-buang waktu dan tidak Islami!

Seorang pengusaha Jeddah balik bertanya, apakah korupsi juga tidak Islami, jika membayar gaji pekerja dan tunjangannya  tidak tepat waktu serta memperlakukan mereka dengan buruk tidak Islami?

Perdebatan di masyarakat tentang munculnya Pokemon Go menunjukkan, kita harus benar-benar menyadari bahaya nyata yang menghadang  masa depan – kelebihan penduduk, korupsi, intoleransi dan kelangkaan air. Kita benar-benar sudah benar-benar kehilangan akal sehat.

Ini makin rancu, saat pejabat di pemerintahan mengeluarkan aturan yang melarang pegawainya main game Pokemon! Padahal yang mendesak, bagaimana pegawai memperbaiki layanan publik, dan haram korupsi.

Semua ribut-ribut tentang Pokemon hanya membuat saya sedih, karena kita melupakan masalah nyata di sekitar kita. Tiba-tiba, kita lupa masalah nyata negeri ini. Seolah-olah kita hanya punya bahaya tersembunyi dalam game ponsel terbaru.

Artikel ini pertamakali dipublikasikan di Saudi Gazette, 24 July, 2016.

________________________
Khaled Almaeena

adalah veteranwartawan Saudi , komentator, pengusaha dan editor di Saudi Gazette. Almaeena pernah menduduki berbagai posisi di media Saudi selama lebih dari tiga puluh tahun, termasuk CEO dari sebuah perusahaan PR, Saudi televisi berita anchor, talk show, penyiar radio, dosen dan wartawan. Sebagai seorang jurnalis, Almaeena pernah mewakili media Saudi pada KTT Arab di Baghdad, Maroko dan di tempat lain. Pada tahun 1990, ia salah satu dari empat wartawan yang meliput sejarah dimulainya lagi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Rusia. Dia juga melakukan perjalanan ke Cina sebagai bagian dari misi diplomatik ini. kolom politik dan sosial Almaeena ini muncul secara teratur di Gulf News, Asharq al-Aswat, al-Eqtisadiah, Arab News, Times of Oman, Asian Age dan The China Post. KONTAK: kalmaeena@saudigazette.com.sa dan diikuti di Twitter: @KhaledAlmaeena

Last Update: Senin, Juli 25, 2016 KSA 11:12 – 08:12 GMT

 

 

 




Politik Telah Meracuni Islam

Kami orang muslim ingin dipercaya bahwa agama kami adalah “agama damai.” Tapi hari ini Islam tampak lebih seperti agama konflik dan pertumpahan darah.

Dari perang saudara di Suriah, Irak dan Yaman, ketegangan internal di Libanon dan Bahrain. Termasuk persaingan berbahaya antara Iran dan Arab Saudi, maka Timur Tengah menghadapi ancaman perselisihan intra-Muslim.  Ini mengembalikan putaran jarum jam kuno, persaingan jaman lama antara Sunni dan Syiah.

mustofa akyol

                                                            Mustafa Akyol,  Feb. 3, 2016

Agama sesungguhnya tidak berada di jantung konflik ini. Sebenarrnya, politik selalu yang bersalah. Tapi dalam sejarahnya, penyelewengan Islam menjadikan konflik-konflik politik jauh lebih menghawatirkan. Apalagi saat kedua belah pihak yang berselisih mengklaim, mereka berjuang bukan demi kekuasaan atau wilayah, tapi atas nama Allah. Dan ketika musuh dipandang sebagai bid’ah (bukan hanya lawan), perdamaian jauh lebih sulit untuk dicapai.

Mencampuradukkan agama dan politik akan meracuni Islam. Tentu hal ini juga membayangi semua ajaran teologis dan moral agama. Quran yang mengajarkan kerendahan hati dan kasih sayang, terabaikan oleh kesombongan dan agresivitas kelompok yang mengaku membela agama Allah.

Ini bukan masalah baru dalam Islam. Selama kepemimpinan Nabi Muhammad pada abad ketujuh, komunitas Muslim bersatu. Tapi setelah Rasul wafat, ketegangan muncul dan meningkat menjadi pertumpahan darah. Perselisihan itu muncul buan soal bagaimana menafsirkan Quran atau bagaimana memahami ajaran Rasul. Itu tentang kekuatan politik: Siapa sebagai khalifah atau penerus nabi,  atau siapa memiliki hak untuk memerintah?

Masalah politik ini bahkan mengadu domba janda nabi, Siti Aisyah dengan menantunya Ali. Ribuan pengikut mereka saling membunuh satu sama lain. Tahun berikutnya, terjadi lagi Pertempuran Siffin.Pengikut Ali dan Muawiyah, Gubernur Damaskus, menghunus pedang, yang makin membuat sesama muslim terperosok dalam permusuhan. Hingga hari ini perpecahan Sunni-Syiah tetap meruncing.

Kalau orang Kristen awal, pecah dalam sekte-sekte melalui perselisihan teologis tentang sifat Kristus. Namun perpecahan di kalangan Muslim dimulai dari sengketa politik tentang siapa yang harus memerintah mereka.

Seharusnya kita, penganut Islam yang diajarkan Rasul Muhammad, mulai mengevaluasi pencampuradukan agama dan politik. Dalam kenyataan selama ini, politisasi agama yang dilakukan sebagian kelompok Islam bukan hanya tidak membanggakan. Justru hanya  menimbulkan masalah, karena itu perlu dicari solusinya.

Solusi ini harus dimulai dengan perubahan paradigma tentang konsep dari “khalifah.” Ada masalah esensial: pemikiran Islam tradisional memandang khalifah sebagai bagian inheren dari Islam. Hal ini, tanpa sengaja mempolitisasi agama selama berabad-abad. Al-Quran atau ajaran nabi  sama sekali tidak diamanatkan itu. Konsep “khalifah” itu merupakan produk dari pengalaman politik historis dari komunitas Muslim.

Selain itu, saat pemikiran Islam memandang kekhalifahan sebagai bagian integral dari agama, maka pemimpin politik dan ulama Islam akan membangun tradisi politik otoriter. Selama khalifah atau pemimpin itu saleh dan taat hukum, pemikir Islam seharusnya mewajibkan umat Islam mematuhinya.

Tradisi yang memandang kekhalifan bagian integral dari agama tidak mempertimbangkan, bagaimanapun kebajikan itu relatif. Kekuasaan itu sendiri memiliki pengaruh yang merusak, bahkan penguasa yang sah bisa memiliki musuh yang sah.

Pada pertengahan abad ke-19, Kekaisaran Ottoman (berarti kekhalifahan di Ottoman) , mengambil langkah besar dalam tradisi politik Islam dengan mengimpor lembaga dan norma-norma liberal Barat. Kekuasaan sultan dibatasi, partai politik diizinkan berdiri dan orang-orang di parlemen dipilih. Upaya ini membuat khalifah sebagai kepala monarki demokratis gaya Inggris, hanya setengah-sukses. Hal ini berakhir ketika Republik Turki menghapuskan kekhalifahan setelah Perang Dunia I.

Kelahiran gerakan Islam modern adalah reaksi pasca vakum kekhalifahan ini.  Kelompok Islamis yang dipolitisasi tidak kukuh dengan pandangan tradisional bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Bahkan lebih dari itu, mereka menyusun kembali agama sebagai negara.

“Agama yang benar adalah sistem dari Allah untuk memutuskan dan mengatur urusan kehidupan manusia,” Sayyid Qutb, ideolog Islam terkemuka, menulis pada 1960-an. Dan karena Allah tidak pernah benar-benar turun mengatur urusan manusia, Islam akan melakukannya atas nama-Nya.

Tidak semua pemikir Islam mengambil baris ini. Abad ke-20 sarjana Said Nursi melihat politik bukan sebagai wilayah suci, melainkan zona perselisihan jahat perselisihan.  “Aku berlindung kepada Allah dari setan dan politik,” tulisnya.

Pengikutnya membangun gerakan masyarakat sipil Islam di Turki, tuntutannya hanya meminta kebebasan beragama dari negara. Akademisi Muslim kontemporer, seperti Abdelwahab El-Affendi dan Abdullahi Ahmed An-Na’im mengartikulasikan argumen Islam yang kuat untuk merangkul sekularisme liberal yang menghormati agama.

Mereka meyakinkan bahwa umat Islam perlu sekularisme untuk dapat mempraktekkan agama dengan benar . Perlu ditambahkan bahwa umat Islam juga perlu sekularisme untuk menyelamatkan agama menjadi hamba  yang melayani ‘perang suci’ yang mendominasi kekuasaan negara.

Semua ini berarti bahwa Islam, dengan nilai-nilai inti keadilan, harus benar-benar berpaling dari politik kekuasaan. Agama dapat berperan konstruktif dalam kehidupan politik, seperti ketika menginspirasi orang untuk berbicara kebenaran bagi penguasa. Tapi ketika Islam menyatu dengan kekuasaan, atau menjadi seruan dalam perebutan kekuasaan, nilai-nilainya mulai memudar.

Mustafa Akyol adalah penulis “Islam without Ekstrem: A Case Moslem for Liberty” dan penulis opini kontribusi berbasis Istanbul

editor: Roman emsyair

(sumber: The New York Times/Feb 2016)




Siapakah Di Balik Percobaan Kudeta di Turki?

Upaya kudeta berdarah di Turki, pekan lalu, yang harus dibayar lebih dari 200 nyawa, menjadi perhatian dunia. Apalagi saat Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan, kelompok komunitas Islam yang dipimpin Fethullah Gulen bertanggung jawab atas percobaan kudeta itu.  Fethullah Gulen adalah ulama Turki yang tinggal di pengasingan di Pennsylvania, Amerika,  sejak akhir 1990-an.

mustofa akyol

 

oleh Mustafa Akyol

Mr. Gulen membantah tuduhan tersebut.  Beberapa elit politik di Barat rupanya berpikir, ini adalah satu dari sekian banyak teori konspirasi aneh yang dijajakan Erdogan. Tapi sebenarnya, ini bukan propaganda. Ada alasan untuk mempercayai bahwa tuduhan itu benar.

Fethullah Gulen oleh pengikutnya dianggap bukan hanya sekedar ulama. Mereka secara terbuka menyatakan, seperti saya telah diberitahu secara pribadi, dia adalah Imam Mahdi (versi Islam untuk menyebut Mesias). Kehadiran Mahdi untuk menyelamatkan dunia Muslim, dan itu berarti juga penyelamatan dunia itu sendiri. Banyak pengikutnya percaya bahwa Mr Gulen bertemu Nabi Muhammad dalam mimpinya, dan menerima perintah langsung dari Rasulullah.

Gambaran dari gerakan pengikut Gulen adalah hirarki pemujaan nya. Gerakan Gulen terstruktur seperti piramida: Imam ‘Top-level’ memberi perintah kepada Imam tingkat kedua, yang memberi perintah kepada imam-tingkat ketiga, dan seterusnya hingga ke akar rumput.

Kegiatan kelompok pengikut Gulen di Turki (seperti) tidak ada yang salah. Kegiatan paling menonjol antara lain membuka sekolah, menjalankan amal layanan sosial untuk orang miskin, dan mempertahankan “pusat dialog” yang memberitakan kasih, toleransi dan perdamaian. Tidak ada yang salah dengan itu, tentu saja.  Saya pribadi telah berbicara berkali-kali di lembaga Gulen sebagai tamu, dan bertemu dengan orang-orang yang sederhana, baik, dan mengajarkan cinta sesama.

Tapi suatu saat, salah seorang Gulenist yang kecewa mengatakan kepada saya tahun lalu, “ada sisi gelap dari gerakan ini. Dan beberapa anggotanya tahu soal itu.”

Selama beberapa dekade, gerakannya telah menyusup lembaga negara Turki, seperti di institusi kepolisian, peradilan dan militer. Banyak yang percaya bahwa beberapa Gulenists, menerima perintah dari imam mereka, menyembunyikan identitas mereka, dan mencoba menyusup melalui lembaga-lembaga negara untuk merebut kekuasaan.

Dari Sekutu Jadi Musuh

Ketika Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan Islam (A.K.P) berkuasa tahun 2002, merasa terancam oleh sekularis garis keras yang mendominasi militer Turki sejak zaman Bapak Republik Turki, Kemal Ataturk, saat itu Erdogan melihat kader Gulenist di negara bagian sebagai aset politik. Sejak itu aliansi lahir antara Erdogan dan Gulen.

Pemerintah Erdogan didukung Gulenist, dan sejak itu secara sistematis petugas polisi, jaksa dan hakim dari kalangan sekuler disingkirkan. Mulai tahun 2007, ratusan aparat dari kalangan sekuler dan sekutu sipilnya dipenjarakan.

Perburuan untuk menyingkirkan kalangan sekuler ini merupakan agenda politik Mr Erdogan.  Namun Gulenists bahkan lebih agresif dari agenda politik partai Endorgan. Dan tindakannya lebih  mengkhawatirkan,  banyak bukti menunjukkan tindakan Gulenist sangat berlebihan. Dua jurnalis sekuler dan seorang kepala polisi yang difitnah menyalahkan “Tentara Imam,” dipenjara atas tuduhan palsu.

“Bagaimana mereka bisa menggunakan bukti palsu untuk menyalahkan orang yang tidak bersalah?” tanya saya kepada teman Gulenist yang kecewa.

“Karena tujuan akhir mereka begitu besar,” katanya. Demi ambisi gerakan apokaliptik, “mereka berpikir segala cara bisa dibenarkan.”

Akhirnya menjadi jelas, mengapa Gulenists begitu kuat mendepak kaum sekuler: Mereka ingin mengganti posisinya. Banyak aparat yang mengambil bagian dalam upaya kudeta pekan lalu, adalah orang-orang yang dipromosikan setelah pembersihan militer tahun 2009, yang konon berjasa menyelamatkan Erdogan dari kudeta.

Pada tahun 2012, kalangan sekuler lama telah disingkirkan, dan yang tersisa tinggal Gulenists bersama A.K.P yaitu Partai yang dikuasai Endorgan yang kemudian menguasai Turki.  Tapi hanya butuh waktu kurang dari dua tahun, dua kelompok Islamis yang menguasai pemerintahan Turki itu mulai berseteru dan saling tidak percaya. Akhirnya saling curiga keduanya berkembang menjadi permusuhan.

Ketegangan itu memuncak pada bulan Desember tahun 2013. Saat itu polisi dan jaksa dari kalangan Gulenist menangkap puluhan pejabat pemerintah dalam penyelidikan korupsi.  Gerakan penyelidikan terhadap korupsi itu diduga kuat sasarannya untuk menjatuhkan Erdogan, yang kemudian mengutuk penyelidikan  itu sebagai aksi percobaan “kudeta.”

Tapi adegan berdarah 15 Juli itu, keadaan di Turki jauh lebih buruk dari yang terllihat beberapa tahun terakhir. Khususnya, Mr Erdogan seharusnya merencanakan pembersihan militer yang diduga dari kelompok Gulenists.  Kepala staf militer, yang menentang kudeta, diidentifikasi  sebagai pemberontak Gulenists.  Satu gerakan komplotan bahkan dilaporkan mengaku bertindak di bawah perintah dari Gulen.

Mengingat struktur hirarkis masyarakat Gulen, membuatnya menjadi tersangka utama. Tentu saja, kebenaran bisa keluar hanya dalam pengadilan yang adil. Sayangnya, peradilan Turki saat ini di bawah kontrol Erdogan,  dan Negara itu dalam polarisasi yang membahayakan musuh-musuh Endorgan.

Namun pemerintah Amerika Serikat sebaiknya bernegosiasi dengan rekan-rekannya di  Turki dalam hal ekstradisi Mr Gulen atas permintaan pemerintah Turki. Agar Mr Gulen dihadapkan pada pengadilan yang adil.

Proses pengadilan yang akan menjamin keadilan, sekaligus meningkatkan hubungan Turki-Amerika. Selain itu ekstradisi Mr Gulen akan membantu memulihkan situasi berbahaya di Turki. Ekstradisi Mr Gulen mungkin diperlukan untuk membantu banyak orang yang tidak bersalah dalam komunitas Gulen.

Pengadilan yang fair akan membuktikan, apa mereka benar-benar terlibat.  Agar mereka bisa kembali memulai kehidupan baru sebagai individu bebas.
Mustafa Akyol adalah penulis “Islam without Ekstrem: A Case Moslem for Liberty” dan penulis opini kontribusi berbasis Istanbul.

(Sumber : The New York Times/July 2016)