Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia

Miris  melihat jiwa-jiwa pemuda Indonesia yang diracuni oleh bahasa-bahasa aneh

Jaman sekarang anak-anak muda banyak yang tidak mengerti bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka jauh lebih menyukai bahasa dari negara-negara tetangga, contohnya bahasa Korea dan Jepang yang sedang membuming di kalangan anak muda Indonesia.

Kemanakah rasa menjunjung tinggi Bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia, seperti yang dulu pernah di sumpahkan oleh para pemuda Indonesia??

Entahlah, rasa itu sepertinya mulai luntur dari hati setiap kaum muda para pejuang bangsa ini. Mungkinkah ini sebuah ketertarikan atau bahkan melebihi ketertarikan?

Kalangan remaja seperti saya ini banyak sekali bahasa-bahasa aneh lainnya yang menyalahi aturan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) Bahasa Indonesia yang benar. Contohnya, seperti kita sebut saja bahasa gaul bahkan bisa berubah menjadi bahasa alay yang sedang banyak merasuki dunia para pemuda-pemudi Indonesia.

Sangat miris memang melihat jiwa-jiwa pemuda Indonesia yang telah diracuni oleh bahasa-bahasa aneh itu.

Sebenarnya menciptakan bahasa-bahasa baru itu bagus namun harus tetaplah ada batasnya dan pada kaidah-kaidah yang secara umum itu jauh lebih baik.

Meskipun itu semua tergantung kesepakatan daripada penuturnya. Harapan ke depan bagi pemuda Indonesia khususnya janganlah mudah terbawa suasana arus Globalisasi, ikut masuk ke arusnya tak apalah, namun tetap membawa pelampung untuk berenang ketepian.

Maksudnya bawalah ciri khas negara Indonesia ini ke tengah arus Globalisasi TANPA HARUS MENGHILANGKANNYA!!!***




Cara Berbahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar Dalam  Lingkungan Bermasyarakat

Situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi pilihan atau prioritas utama dalam berbahasa

Untuk memahami bagaimana menggunakan bahasa indomesia dengan baik dan benar, terlebih dahulu saya akan memberikan sedikit penjelasan.

“BerbahasaIndonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan sebagai pemakaian kata-kata dalam ragam bahasa yang serasi dan selaras dengan sasaran atau tujuannya, dan yang lebih penting lagi adalah mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar.

Pernyataan “Bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu pada ragam bahasa yang memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Bahasa yang diucapkan biasanya adalah dalam bentuk bahasa yang baku.

Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada suatu kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi pilihan atau prioritas utama dalam berbahasa.

Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa dan kaidah itu sendiri meliputi 6 aspek, yaitu Tata Bunyi (Fonologi); Tata bahasa (Kata dan Kalimat); Kosakata: Ejaan; Makna; kelogisan.

Dan Pada aspek tata bunyi kita mungkin sudah mengenal bunyi |f|,|v| dan |z|. Contoh Kata – kata yang benar adalah fajar, fakir (miskin), motif, aktif, variable, vitamin, devaluasi, zakat, zebra dan izin . dan bukan pajar, pakir (miskin), motip, aktip, pariable, pitamin, depaluasi, jakat, jebra dan ijin .

Pada aspek pelafalan termasuk juga aspek tata bunyi. Contoh pelafalan yang benar adalah kompleks, korps, transmigrasi, ekspor bukan komplek, korp, tranmigrasi dan ekspot. Pada aspek tata Bahasa Contoh bentuk tata bahasa yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakan dan pertanggung jawaban . bukan obah/robah/rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertangungan jawab .

Dalam segi kalimat dalam kalimat mandiri , pada kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat dan objek/keterangan. Pada aspek kosakata kata – kata, seperti bilang, kasih, entar dan udah. Lebih baik diubah dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar dan sudah. Agar menjadi bahasa indonesia yang benar.

Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), Bandar udara , keluaran (output) dan pajak tanah (land tax) sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil dan pajak bumi.

Dalam segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, hakikat, objek, jadwal, kualitas dan hiraki. Dalam segi makna, penggunaan bahasa yang benar berikatan dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan makna. Seperti dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang bermakna konotatif (kiasan).

Pemilihan itu berikatan dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang di ajak berbicara ( kalau lisan ) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.

Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan. Ciri – ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut : Penggunaan kaidah tata bahasa normatif. Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku: acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti. Penggunaan kata-kata baku. Misalnya cantik sekali dan bukan cantik banget; uang dan bukan duit; serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.

Penggunaan ejaan resmi dalam ragam tulis.

Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (EYD). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.

Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan.

Meskipun hingga saat ini belum ada lafal baku yang sudah ditetapkan, secara umum dapat dikatakan bahwa lafal baku adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau bahasa daerah. Misalnya: /atap/ dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan /abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/.

Penggunaan kalimat secara efektif.

Di luar pendapat umum yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia itu bertele-tele, bahasa baku sebenarnya mengharuskan komunikasi efektif: pesan pembicara atau penulis harus diterima oleh pendengar atau pembaca persis sesuai maksud aslinya.

Bagaimana menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Untuk memahami bagaimana menggunakan bahasa indomesia dengan baik dan benar, terlebih dahulu saya akan memberikan sedikit penjelasan. “Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan sebagai pemakaian kata-kata dalam ragam bahasa yang serasi dan selaras dengan sasaran atau tujuannya dan yang terlebih penting lagi adalah mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar. Pernyataan “Bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu pada ragam bahasa yang dimana memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.

Bahasa yang diucapkan biasanya adalah dalam bentuk bahasa yang baku. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada suatu kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi pilihan atau prioritas utama dalam berbahasa. ***




Bahasa Daerah Tersingkir oleh Bahasa Indonesia, dan Bahasa Indonesia Dianggap Kalah Bergengsi dibanding Bahasa Asing.

Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya

Bahasa merupakan cerminan dari identitas suatu bangsa. Identitas sangat erat kaitannya dengan suatu sikap dari karakter. Karakter yang dimaksud ialah suatu kecerdasan berbahasa yang meliputi kemampuan dalam memilah berbagai kata yang baik, untuk digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi keseharian di lingkungan masyarakat.

Seiring perkembangan zaman dan era globalisasi, membuat bahasa  daerah dan bahasa Indonesia seakan terhipnotis dengan perkembangan tersebut.

Setiap libur akhir semester dan lebaran tiba, rumah kakek dan nenek di salah satu kecamatan tanjung kabupaten Lombok Utara selalu dipenuhi para keponakan. Sebagian telah duduk di sekolah menengah pertama, sebagian lagi masih di sekolah dasar. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik dengan orang tua maupun dengan keluarga lainnya.

Orang tua mereka seratus persen penutur bahasa Sasak. Namun tak seorang pun dari para keponakan itu fasih berbahasa Sasak.

Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman saya ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota.

Di rumah, bahasa yang dipakai orang tua kami untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sasak. Ada proses pewarisan Bahasa Daerah, bahasa ibu, atau dalam  Bahsa Sasak nya “inaq”, yang kini mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, dan Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut Bahasa Daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot.

Sekali waktu saya pernah ke rumah tetangga, saat itu saya mengirim undangan acara rowah atau biasa orang Sasak menyebutnya mensyilak, Kemudian saat itu saya mendengar anak pertamanya itu mentuturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga  adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris.

Ketika itu saya bertanya-tanya, kenapa bapak tidak mengajarkan anak-anak bapak  dalam berbahasa daerah atau berbahasa Sasak ?

Dan tetangga saya mengatakan, bahwa mereka tidak biasa brabahasa Sasak karena mereka lama hidup di luar negeri. Namun alasan itu buru-buru saya tanggapi, sebab guru saya tinggal lama di Arab Saudi, malah anak-anaknya lahir di Arab Saudi, semuanya mampu berbahasa Sasak.

Kita tahu, alasan ketakutan seperti contoh di atas tak dapat dilekatkan ke dalam konteks kiwari dalam penolakan menggunakan bahasa daerah. Perkara lain yang paling memungkinkan dijadikan alasan oleh para orang tua adalah soal keefektifan.

Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah Bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan khususnya dalam kasus bahasa Sasak meski para orang tua mereka penutur bahasa Sasak, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Inggris,setengah bahasa Indonesia.

Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sasak, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.

Namun sejak 2008 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan.

Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, Bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia.

Tapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah pinggiran atau yang lebih dekat pusat.

Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan Bahasa Daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan  leluhur.

Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga guru saya yang tinggal lama di Arab Saudi dan tetap menggunakan Bahasa Sasak dan Bahasa Indonesia di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut. Dan Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, sebetulnya bahasa utama mereka adalah Bahasa Arab (sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Arab ), tapi karena orang tua dan saudara-saudaranya di rumah menggunakan bahasa Sasak, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh anak guru saya.

Dalam masyarakat dwi bahasa, fungsi bahasa  memang berbeda-beda. Dan seperti dituturkan sebelumnya, di Indonesia posisi Bahasa Daerah memiliki fungsi yang lebih rendah daripada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal ini kemudian melahirkan prestise berbahasa yang berbeda-beda.

Bahkan, secara ironis, mereka menyebut sebagai bahasanya orang-orang dari dunia luar,

Penjelasannya tentang tingkatan gengsi bahasa, jika ditarik ke dalam kondisi penggunaan Bahasa Daerah hari ini di Indonesia, bisa jadi menjadi salah satu alasan para orang tua dalam menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, alih-alih menggunakan Bahasa Daerah.

Sebaliknya tentang penyakit “nginggris” yang merasuki orang Indonesia, khususnya kalangan terpelajar, yang menurutnya, semestinya lebih mengerti konteks sejarah yang mengiringi lahir dan tumbuhnya bahasa Indonesia.

Anehnya lagi, orang merasa berprestasi  tinggi jika dia dapat berbahasa Inggris dengan baik, yakni bahasa yang memiliki fakta keinternasionalan. Sebaliknya, orang merasa berprestasi rendah jika hanya dapat berbahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia menjadi tidak karuan karena pemakainya, terutama kalangan terpelajar, dalam bercakap maupun menulis, tampak seperti kesurupan, jor-joran, menghias Bahasa Indonesia dengan kata-kata, istilah-istilah, bahkan kalimat-kalimat tertentu bahasa Inggris. Tidak jelas apa maunya, apakah supaya kelihatan pintar, kelihatan cendekia, ataukah sekadar menunjukkan bakat genit dan kebolehan bersolek?. Contoh terjadi di Kalangan artis. Di sosial media lebih tempatnya di YouTube, beberapa artis  berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan bahasa asing, sedangkan di negara kita tercinta ini menggunakan Bahasa Indonesia.

Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia tidak hanya disebabkan oleh masuknya berbagai bahasa Asing, tetapi juga disebabkan oleh adanya berbagai permasalahan dalam Bahasa Daerah dan pengaruh bahasa gaul. Sekarang ini bahasa Asing hampir disemua sektor kehidupan sering digunakan daripada Bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Asing di zaman modern seperti sekarang ini memang sangat diperlukan khususnya untuk para generasi muda. Sebab bahasa Asing menjadi model utama dalam mencapai cita-cita yang telah diimpikannya.

Pada generasi muda sekarang ini, mendalami pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap cukup, ketika berada di bangku sekolah SMA. Alasan yang sering mereka ungkapkan adalah sebagai orang Indonesia tentu sudah pasti mampu untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Jika hal ini terus bergulir dan dibiarkan begitu saja, maka cepat atau lambat Bahasa Indonesia akan menjadi terpinggirkan dengan adanya berbagai bahasa Asing. Tidak adanya filterisasi terhadap akulturasi budaya yang masuk ke Indonesia merupakan salah satu dampak yang menjadikan maraknya penggunaan bahasa Asing di kalangan masyarakat.

Keanekaragaman bahasa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke perlu dijadikan sebagai bahan dalam pemacu bangsa Indonesia untuk bisamelestarikan budaya sendiri. Hal tersebut harus dibarengi dengan penanaman rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang lebih, melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dengan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, agar mereka lebih mudah menerimanya,

Menurut Saya , kenyataan sintesis kebahasaan tersebut seolah-olah tidak tersanggahkan. Namun dalam kerangka pembinaan dan pembakuan bahasa, kenyataan kebahasaan ini merupakan spesimen pelanggaran yang perlu diperbaiki.

Dalam semangat pemeliharaan dan pemajuan Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia, kenyataan ini tentu menjadi catatan yang mesti diperhatikan. Memang bukan hal mudah untuk memperbaikinya, namun setiap orang yang masih peduli setidaknya bisa mempertimbangkan usul saya dalam Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya. ***




Pembangunan Ekonomi Melalui KEK,  Asli Khayalan

Pemerintah harus turun tangan dan bila perlu secara manual menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi hambatan yang tidak perlu.

Di tengah pandemic dan wabah yang melanda sejak awal tahun, kesulitan ekonomi masyarakat yang semakin nampak.

Seharusnya pemerintah harus tetap bisa bekerja dengan baik sebagai tenaga pelayan masyarakat. Tidak terselesaikannya pembayaran tanah warga yang inclave dengan KEK bisa menjadi preseden dan alat ukur kinerja pemerintah yang buruk.

Sengketa agraria mempunyai sejarah yang panjang di Nusa Tenggara Barat, seharusnya hal tersebut harus menjadi pelajaran untuk tidak terulang kembali.

Dalih pemerintah sejak orde baru sampai saat ini masih sama; pembangunan untuk kesejahteraan, peningkatan ekonomi masyarakat adalah jargon lama dan tidak pernah terbukti.

Tidak terselesaikannya permasalahan pembayaran tanah warga di kawasan KEK Mandalika terkesan lucu; hal ini tidak berbanding lurus dengan upaya pemerintah pusat yang terus melakukan perbaikan disegala lini, penyederhanan birokrasi, kemudahan akses izin dan kesejahteraan social bagi masyarakat sebagai dampak dari pembangunan.

Masyarakat luas berasumsi buruk terhadap pemerintah dan ITDC adalah hal yang sangat wajar, apalagi perkembangan pembangunan yang sangat lamban dan terkesan tidak mempunyai keterbukaan terhadap publik.

Tata kelola yang serampangan juga akan berakibat pada timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di NTB yang skala dunia.

Pemerintah harus turun tangan dan bila perlu secara manual menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi hambatan yang tidak perlu. Jika tidak; maka sama saja, pemimpin di NTB ini sedang mengakali rakyatnya dengan janji dan kepalsuan. ***

 




Berhijrah Mewujudkan SDM Unggul Menuju NTB Gemilang

“Dengan 1000 beasiswa ke luar negeri dan 1000 pengusaha muda yang kita lahirkan akan cukup menggoncangkan NTB dan negeri ini.”

MATARAM.lombokjournal.com —  Gubernur NTB Dr.  Zulkieflimansyah menegaskan, kebijakan beasiswa pendidikan dan mengirimkan mahasiswa ke luar negeri, bukanlah semata agar mereka mendapatkan gelar dan nilai akademis.

Hadirnya generasi muda dan masyarakat NTB yang unggul kelak di kemudian harI, jauh lebih utama.

Tak ada program yang lebih baik untuk menjadi sebuah peradaban besar di masa depan kecuali melalui pendidikan.

Pengiriman 1000 anak-anak muda NTB untuk pendidikan dan sekolah di luar negeri,  sejatinya bagian dari “revolusi mental dan konsep berhijrah” mewujudkan SDM unggul. Ini sangat bermanfaat bagi praktik-praktik pembangunan multisektor jangka panjang, menuju peradaban besar NTB Gemilang.

Pengiriman untuk belajar keluar negeri, kata Gubernur juga merupakan implementasi dari ajaran berhijrah yang dianjurkan  oleh semua agama besar didunia.

Agar ummatnya senantiasa berpetualang, berziarah ke tempat baru untuk menaklukan hidup yang lebih besar.  Dan mengenal perkembangan dunia luar yang begitu luas, kaya dan beragam.

Tidak hanya terkurung pada mindset atau pikiran yang kerdil, terang gubernur.

Pengiriman tersebut, bukan karena kualitas pendidikan didalam negeri lebih rendah. dibandingkan kualitas di luar negeri  seperti Polandia, Inggris,Jepang, Korea, Cina.

Bahkan dari sisi kualitas, tidak sedikit lembaga pendidikan didalam negeri yang kedisiplinannya, dosen dan fasilitasnya jauh lebih hebat dari negara-negara tersebut.

Namun, kata Doktor Zul, pengiriman itu untuk membangun cara pandang atau mindset yang lebih luas, membangun jaringan dan kemampuan berinteraksi ditengah percaturan global yang kian kompetitif.

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Zul mengungkapkan, Negara-negara maju di Eropa seperti Amerika, dan negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang dan China mengawali langkah mereka sehingga menjadi seperti sekarang ini tidak melalui hal lain kecuali melalui kebijakan pembangunan manusia (SDM) yang unggul.

“Sekolahkan ke luar negeri, tumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan anak muda adalah jalan pintas menghadapi hukum perubahan jaman yang membutuhkan SDM unggul sebagai aktor utama pembangunan bangsa, di masa kini maupun  di masa depan,” tegasnya.

“Dengan 1000 beasiswa ke luar negeri dan 1000 pengusaha muda yang kita lahirkan akan cukup menggoncangkan NTB dan negeri ini,” tambahnya lagi.

Karena menurut Doktor Zul, kemampuan memandang dunia, dan lahirnya SDM-SDM unggul itu, bukan semata ditentukan gelar dan nilai akademis semata. Atau hanya ditentukan dan dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya saja,  tetapi juga pengalaman, teman bergaul, jaringan global dan tingkat ekonomi.

Karena itu, solusinya sederhana saja, tegasnya. Yakni perbaiki dan perkuat pendidikan. Perkaya pengalaman, perluas jaringan dan teman bergaul serta perbaiki ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Mental pahlawan

Saat melepas 41 pemuda/pemudi NTB yang akan menuntut ilmu di Taiwan dan China, di Pendopo Gubernur NTB di Mataram, Minggu (25/08/ 2019, gubernur meminta kepada anak-anak NTB tersebut agar membangun mental pahlawan.

Menunjukkan diri dengan semangat dan api optimisme  untuk berdiri sebagai contoh dan teladan serta pembuka pintu kemudahan bagi generasi-generasi berikutnya.

Mereka yang akan dikirim ini bukan semata-mata untuk mencari nilai, tetapi yang terpenting adalah menumbuhkan persaudaraan dan kecintaan sebagai sesama anak bangsa yang berasal dari berbagai latar belakang negara yang berbeda.

“Jangan sampai ingin nilainya bagus tetapi tidak bergaul”, ujarnya.

Gubernur doktor Zul berharap, penerima beasiswa ini akan menjadi pelopor, yang akan membuka pintu dan kemudahan bagi generasi penerima beasiswa berikutnya di China dan Taiwan, pintanya.

Kepala Divisi Kerjasama Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) NTB, Imanuela Andilolo, berharap kepada seluruh penerima beasiswa menjaga nama baik NTB.

“Kami berharap adik-adik semua yang akan menempuh pendidikan di China dan Taiwan bisa menjaga nama baik daerah kita,” tambahnya.

Mereka yang mendapatkan beasiswa ini dinyatakan lulus dan diterima di sejumlah perguruan tinggi di dua negara tersebut. Diantaranya 23 orang S1  dan 4 orang peserta Program Doktor akan belajar di Cina dan 14 orang S3 (Program doktor) diterima di Taiwan, pungkasnya.

gde Aryadi




PUASA DAN TRANSISI LAKU

Drs Cukup Wibowo MMPd Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Puasa membuat siapapun yang menjalaninya akan memperoleh pengalaman transisional atas laku dirinya

PERUBAHAN BAGI MAHLUK HIDUP adalah sebuah keniscayaan. Ditandai oleh hal baru yang membedakan rupa suatu keadaan di fase awal ke fase berikutnya, perubahan menjadi tuntutan yang tak bisa dielakkan, apakah itu merupakan siklus alami atau kreasi yang dilandasi oleh kesadaran diri untuk menjadi lebih baik.

Sebagai penghuni kehidupan dengan realitasnya yang selalu berubah, kita tak bisa menghindar dari perubahan yang terjadi di luar kita. Penyesuaian kita tak hanya karena perubahan itu terjadi secara fisik, namun juga pada hal yang sifatnya nonfisik, yang oleh M. Azhar dalam tulisannya Perubahan sebagai ‘Sunatullah’, disebutkan meliputi hal-hal seperti paradigma, konsep, teori, pendekatan, metode, definisi, perspektif, wawasan, sistem, visi, misi, program dan sejenisnya.

Oleh alasan perubahan yang terjadi di luar kita itulah, penyesuaian harus kita lakukan dengan membangun kesadaran diri agar bisa kita petik kemanfaatan dari perubahan yang ada. Namun begitu, selain sisi positifnya, perubahan juga menghadirkan efek negatif bagi mereka yang gagal untuk mendapatkan kebaikan yang dikandung oleh perubahan itu. Karenanya, sekalipun perubahan itu merupakan keniscayaan, kita tak boleh membiarkan diri tanpa bekal ilmu pengetahuan dan agama yang baik agar kita tidak menjadi mangsa dari laju perubahan yang menyasar apa saja.

Ikhtiar untuk membekali diri dengan bekal pengetahuan agama tentu dimaksudkan agar kita bisa selamat dunia dan akherat dalam menghadapi keniscayaan yang tak bisa kita elakkan dalam hidup ini.

Nasehat akan hal ini juga telah disampaikan oleh Imam Syafi’i, “Dunia adalah tempat yang licin nan menggelincirkan, rumah yang hina, bangunan-bangunannya akan runtuh, penghuninya akan beralih ke kuburan, perpisahan dengannya adalah sesuatu keniscayaan, kekayaan di dunia sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kemiskinan, bermegah-megahan adalah suatu kerugian, maka memohonlah perlindungan Allah, terimalah dengan hati yang lapang segala karunia-Nya.”

Puasa adalah rangkaian ikhtiar untuk membuat siapapun yang menjalaninya akan memperoleh pengalaman transisional atas laku dirinya, yakni perubahan dari diri tanpa batas menjadi pribadi yang memiliki kepastian batas

Menjalankan ibadah puasa membuat kita terlatih berprilaku untuk makin tahu malu, tahu aturan, dan yang paling utama adalah tahu bagaimana menjalankan ketaatan kita kepada Allah dengan cara yang sebenar-benarnya. Perubahan (transisi) laku inilah yang menjadi salah satu hikmah kita berpuasa.

Semoga puasa kita di hari ke-28 ini membuat kita makin memiliki kesadaran untuk terus berikhtiar dalam perubahan diri agar menjadi lebih baik bagi diri sendiri maupun orang lain.***




 PUASA DAN KISAH TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH

Drs Cukup Wibowo MMPd Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Hal yang tampak ‘tidak mungkin’
dalam memperjuangkan kebenaran-Nya
akan menjadi ‘mungkin’ bagi hamba Allah yang beriman

Alkisah, seorang guru muda pendatang bernama Ibrahim harus terjebak di suatu kampung dengan berbagai masalah yang tak biasa. Berbagai kejanggalan yang terjadi tak hanya soal kebejatan moral yang justru dilakukan oleh orang paling kaya dan berpengaruh di kampung itu, yang bernama Harun, tapi juga oleh penolakan segelintir orang terhadap dirinya.

Oleh cintanya yang ditolak oleh Ibrahim, Jamilah yang tak lain adalah istri Harun kemudian memfitnahnya dengan mengatakan kalau dirinya diperkosa oleh Ibrahim. Dalam cerita yang menggambarkan niat Ibrahim untuk mengubah kampung itu lebih baik, ia justru harus berhadapan dengan banyak tokoh yang menghalang-halangi langkahnya.

Di antaranya guru agama di kampung itu yang bernama Sulaeman, yang banyak dipengaruhi oleh Harun. Juga seorang pemuda berandal bernama Arsad yang sangat tidak menyukai kehadirannya lantaran pernah kepergok oleh Ibrahim saat sedang memperkosa Halimah, gadis desa yang dianggap sakit jiwa.

Di tengah situasi yang tak mudah karena dirinya harus juga menghadapi hasutan yang membuat penduduk kampung akan menghukumnya, Ibrahim akhirnya bisa keluar dari kemelut dan berhasil menyadarkan penduduk kampung untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Begitulah sinopsis film yang berjudul Titian Serambut Dibelah Tujuh, yang dirilis tahun 1982 dengan sutradara Chaerul Umam dan aktor El Manik sebagai pemeran Ibrahim. Dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1983, Asrul Sani meraih penghargaan sebagai penulis skenario terbaik dalam film itu.

Apa yang bisa kita petik dari cerita film yang mengisahkan banyak kemunafikan yang terjadi di masyarakat itu?

Keteguhan dan keseimbangan diri adalah kunci dalam menghadapi terpaan badai. El Manik yang bermain sebagai Ibrahim dalam film itu dengan sangat bagusnya menunjukkan kepada penonton bagaimana seseorang yang sedang berjuang di jalan kebaikan tak akan pernah luput dari gempuran berbagai ujian. Tekanan mental oleh hujatan dan kebenciaan masyarakat yang tak menginginkan perubahan membuatnya serasa seperti sedang menyebrang titian serambut dibelah tujuh.

Hal yang tampak ‘tidak mungkin’ dalam memperjuangkan kebenaran-Nya akan menjadi ‘mungkin’ bagi hamba Allah yang beriman. Hanya dengan kesabaran, keteguhan hati serta keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menolong kecuali Allah adalah modal utama seorang yang beriman dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya.

Di dalam tindakan puasa, perjuangan diri untuk tidak mudah ditaklukkan oleh antagonisme yang bersemayam di dalam jiwa dan raga adalah, karena kuatnya kesabaran dan kokohnya keyakinan karena Allah. Ya, semua karena Allah.

Sejak dari ketika kita berniat, berproses hingga sampai titik selesainya puasa, semua semata-mata karena Allah, Sang Maha Benar dari segala kebenaran yang ada.

Semoga puasa kita di hari keduapuluh lima ini makin memantapkan keyakinan kita bahwa perjuangan melawan hawa nafsu menjadi mudah karena Allah memang memudahkan semua kesulitan kita.




PUASA DAN NARASI TENTANG KESETIAAN

 Drs Cukup Wibowo MMPd Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Kesetian untuk mengabdi pada kebaikan memang tak mudah, bila mengingat kecurangan itu juga bisa bermula dari diri sendiri. Puasalah yang bisa membuat kita tetap jujur dan tak berkhianat

Migrasi burung pada caranya melintasi waktu dalam pergantian musim yang berkepastian. bukanlah pengandaian untuk menggambarkan ketekunan yang berulang. Pergerakan burung dari satu wilayah ke wilayah lainnya itu adalah potret dari sebuah realitas di antara begitu banyak peristiwa yang sejenis.

Migrasi, sebagaimana siklus pergantian musim, adalah cara alam menetapkan ketentuannya. Seluruh penghuni bumi berada di dalam ketentuaan yang sama dimana kehidupan berproses sejak mula hingga akhirnya.

Dalam kesetiaan menjalani ketentuan itu selalu terselip harapan yang menjadi alasan utama kenapa semua proses itu berlangsung.
Kehidupan dan kematian adalah ketentuan yang tak bisa dielakkan oleh makhluk hidup dalam wujud apapun dirinya.

Manusia, hewan, tumbuhan, dan patikel hidup lainnya berada dalam siklus yang sama, yakni dari ada menjadi tiada. Kehidupan menjadi ruang pengabdian sebelum kematian menjemput dengan seluruh harapan yang disediakan usai kematian terjadi. Para pemilik keyakinan mempercayai bahwa ada janji kehidupan yang lebih abadi seusai kematian disediakan Yang Maha Kuasa atas dedikasi keimanan hamba-Nya semasa hidup.

Bila demikian, betapa singkatnya waktu yang harus ditempuh oleh manusia untuk seluruh pengabdian hidupnya sebelum apa yang dilakukannya usai. Hidup tak ubahnya berhenti dalam kesejenakan dengan ragam anjuran dan godaan yang datang silih berganti. Pilihannya hanya satu, bermanfaat atau sia-sia.

Godaan-godaan yang begitu memukau panca indera tak hanya sekedar melintas, lebih dari itu dengan pesonanya yang melenakan bisa membuat diri tak berkutik. Di tengah kesementaraan waktu yang memiliki batas yang amat singkat, godaan itu seperti hendak melucuti kesetiaan dan dedikasi keimanan kita.

Untuk apa hidup bila tak menikmati apa yang ditawarkannya? Bukankah tubuh memiliki hak untuk merasakan seluruh nikmat yang diinginkannya? Kenapa harus menunggu kematian bila tubuh kemudian jadi bangkai yang terbujur tanpa memiliki kesanggupan untuk menginginkan sesuatu yang paling remeh sekalipun?

Kesetian untuk mengabdi pada kebaikan memang tak mudah bila mengingat kecurangan itu juga bisa bermula dari diri sendiri. Hawa nafsulah yang jadi pemicu kecurangan, yang dengan lihainya mengubah keyakinan dengan penyesatan logika tentang waktu. Alih-alih menggunakan waktu untuk kebaikan, yang terjadi justru bagaimana waktu diposisikan untuk bisa memfasilitasi hasrat duniawi.

Puasa adalah contoh kesetiaan nyata pada kebaikan yang harus terus dijaga hingga pada waktunya. Godaan dan tekanan apapun tak boleh membuat kita lemah dan kalah, yang hanya membuat kita kehilangan kehormatan diri

Semoga di puasa keduapuluh tiga ini kita bisa merawat pikiran-pikiran baik tanpa ternodai oleh godaan apapun yang menjadi larangan.***




PUASA DAN SINERGI KEBAIKAN

DRS. Cukup Wibowo, M.Pd Sekretaris Dishub Kota Mataram

Kebersediaan adalah modal utamaketika sinergitas menjadi kebutuhan setiap unsur dalam kelompok. Tak ada yang lebih baik dari kebersediaan diri untuk bisa membuat kebaikan terwujud

Kita tak akan pernah bisa lepas dari himpunan. Sebagaimana tubuh yang berisi himpunan organ dengan fungsinya masing-masing. Satu sama lain tak bisa bekerja sendiri, melainkan saling terikat untuk kemudian saling menguatkan. Tubuh kita adalah pengandaian yang bisa dijadikan contoh untuk menggambarkan betapa tak ada yang bisa disebut paling penting bila masing-masing organ yang merupakan bagian dari himpunan itu senyatanya memiliki otoritas untuk menjadi penting dalam sistem kerja tubuh, yang diperlukan agar metabolisme tubuh terjaga fungsionalitas dan keteraturannya.

Praktek akan pentingnya peran setiap individu dalam kebutuhan himpunan berlaku dalam banyak urusan. Yang membedakan satu sama lain hanya pada porsi tanggung jawabnya. Sebuah tujuan kelompok akan terwujud manakala tanggung jawab bisa ditunaikan secara optimal oleh masing-masing anggota yang ada di dalam kelompok itu.

Namun begitu pengingkaran tak bisa dielakkan. Setiap kali rumusan ideal bagi tercapainya maksud dan tujuan terbentuk, setiap kali itu pula hambatan dan rintangan muncul  saat rumusan harus dipraktekkan. Sebuah urusan seringkali mengalami kesulitan untuk diwujudkan manakala ia  tak bisa dianggap mewakili kepentingan dan harapan setiap orang.

Cikal bakal akan munculnya friksi sering kali dipicu oleh kuatnya pikiran dalam pertarungan untuk memenangkan maksud. Dimulai dari kebutuhan akan tercapainya maksud itu, maka para pemilik maksud akan berkoalisi dengan pemilik maksud yang sama. Dalam keadaan seperti ini, cita-cita untuk mewujudkan tujuan secara bersama-sama tak ubahnya rumusan impian belaka.

Dalam keadaan ketika kemacetan terjadi, tak bisa kita pungkiri, ia hanya bisa terurai bila ada kebersediaan untuk masuk dalam keteraturan. Kebersediaan adalah modal utama ketika sebuah kerjasama semua unsur yang terlibat (sinergitas) bisa dirumuskan oleh masing-masing pihak. Tak ada yang lebih baik dari kebersediaan diri untuk bisa membuat kebaikan terwujud.

Puasa yang kita jalani adalah rumusan dan sekaligus tindakan kebaikan. Barangsiapa berpuasa sesungguhnya dia menjalani dua hal sekaligus, yakni teori dan praktek. Pertama adalah merancang niat. Dan niat itu serupa formula dalam menjalani kebaikan-kebaikan yang memang menjadi isi dari keharusan puasa. Yang kedua adalah mempraktekkan kebersedian dalam puasa, yaitu dengan jalan menahan hawa nafsu serta terus bersabar dalam memahami tindakan dan prilaku pihak lain.

Bila keduanya yakni antara niat dan praktek puasa bisa menjadikan diri kita pribadi yang tentram dan tak bergolak dengan diri sendiri, maka sesungguhnya itu memudahkan kita dalam menyesuaikan diri dengan orang lain dalam himpunan kebaikan yang sama.

Semoga puasa kita di hari keduapuluh dua ini kita makin membuat kita percaya bahwa kebaikan itu bukan sebuah keniscayaan, melainkan ikhtiar yang bersungguh. Dan puasa kita adalah kesungguhan untuk maksud itU.***




PUASA DAN MALAM PENUH KEMULIAAN

                                                                                                                                      “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka   jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukhari dan Muslim)                                                                                

Oleh Drs Cukup Wibowo MMPd Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Mataram

Bulan Ramadhan adalah sebuah kisah tentang waktu. Bulan dengan begitu banyak keberkahan yang terkandung di dalamnya. Tak heran bila kita menyaksikan bagaimana totalitas peribadatan umat Islam di bumi ini selama Ramadhan. Totalitas yang diiringi dengan kegembiraan hati itu menjelma dalam lantunan indah ayat-ayat Illahi yang mengudara dari berbagai penjuru bumi.

Bak orkestrasi dengan siratan kemerduaannya yang berkumandang tanpa henti, udara seperti dipenuhi oleh doa kebaikan dan harapan yang tertuju ke langit. Terlebih pada malam di sepuluh hari terakhir Ramadhan, bumi seakan menanti tibanya keistimewaan sebuah malam yang dirindukan oleh setiap umat Islam, ialah Malam Lailatul Qadar.

Malam Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (yang dalam bahasa Arab disebut sebagai : لَيْلَةِ الْقَدْرِ, malam ketetapan) adalah satu malam yang begitu luar biasa terjadi di bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Malam yang kemudian diperingati oleh umat Islam sebagai malam diturunkannya Al-Qur’an. Di keutamaan Lailatul Qadar itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan, tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS Al-Qadr: 1-5).

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”

Di riwayat lain juga dituliskan, Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh yang terakhir dari (bulan) Ramadhan. Lailatul Qadar itu pada sembilan hari yang masih tersisa, tujuh yang masih tersisa, dan lima yang masih tersisa.”

Maksud dari sembilan hari yang masih tersisa, adalah tanggal dua puluh satu, tujuh hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh tiga, dan lima hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh lima.

Kita telah memasuki sepuluh hari terakhir puasa kita di bulan Ramadhan. Betapa berharganya waktu di sisa sepuluh hari terakhir ini untuk kita sia-siakan bila kita ingin bertemu dengan Lailatul Qadar. Tentu saja perjumpaan itu bersyarat bila kita ingin meraihnya, tapi dengan ridho dan keberkahan Allah SWT

semoga kita menjadi bagian dari “yang dikendaki Allah untuk menjumpai malam penuh kemuliaan” itu. Insyaallah.***