Bahaya Pergaulan Bebas Generasi Baru

Widya Adi Prasetyo, mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal.com

Kehidupan remaja pada zaman sekarang memprihatinkan. dimulai dari gaya hidup yang menggambarkan moral orang dalam masyarakat, dan bagaimana cara orang tersebut hidup.

Banyak remaja sekarang yang menyalahgunakan gaya hidup mereka. Terlebih remaja-remaja yang tinggal di kota-kota besar atau kota metropolitan. Mereka banyak menggunakan trend mode yang bergaya kebarat-baratan.

Remaja zaman sekarang selalu dikaitkan dengan teknologi. Masa remaja adalah masa dimana seseorang sedang mencari jati dirinya. Dengan demikian remaja tersebut dapat dengan mudah untuk meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.

Menurut saya, remaja adalah yang berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Seseorang di golongkan sebagai remaja jika orang tersebut sedang mengalami masa pubertas nya.

Masa  pada umur 18-22 tahun ini kerap membuat masyarakat resah terhadap tingkah lakunya. Contohnya, melakukan tauran sesama remaja  dan meminum minuman keras. terlebih melakukan hubungan yang terlarang yang di larang oleh agama (Islam).

Akhir-akhir ini, Indonesia berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Apa yang dikhawatirkan? Tidak dapat dipungkiri bila dikatakan, gaya hidup baru pribadi masyarakat Indonesia cenderung hedonisme (mencari kesenangan) seperti hura-hura, hal ini memicu perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja.

Pergaulan bebas di Indonesia sering terjadi di kota-kota besar seperti JABODETABEK, dan sekitarnya tapi juga di berbagai kota kecil, banya remaja terkontaminasi pergaulan bebas.

Dampak Pergaulan Bebas

Siapa sih yang tidak tahu apa itu penyakit Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan sebutan HIV/AIDS? Nah, salah satu penyebab penyakit itu adalah pergaulan bebas yang memicu perilaku seks bebas.

Ada banyak penyebab remaja melakukan pergaulan bebas, khususnya kalangan pelajar. Penyebab tiap remaja mungkin berbeda, tetapi semuanya berakar pada penyebab kurangnya pegangan hidup remaja dalam hal keyakinan/agama, dan ketidakstabilan tingkat emosional.

Hal tersebut menyebabkan perilaku yang tak terkendali pada remaja, dan pola pikir rendah.

Sikap mental yang tidak sehat dan pola pikir yang salah, remaja merasa bangga terhadap pergaulan yang tidak sepantasnya. Mereka melakukannya hanya semata-mata untuk menyenangkan diri, dan tidak ingin dianggap rendah karena rasa gengsi yang berlebih.

Pelampiasan rasa kecewa, ketika remaja mengalami tekanan, karena kekecewaan terhadap orangtuanya, yang terlalu otoriter ataupun membebaskan, sekolah yang memberikan tekanan terus-menerus (banyaknya tugas dan menurunnya prestasi). Dan lingkungan masyarakat yang memberikan masalah sosialisasi memicu pola pikir negatif dan cenderung mengambil langkah salah untuk menghibur diri.

Majunya perkembangan zaman,globalisasi juga. Lagi-lagi globalisasi mempengaruhi pola pikir remaja, hanya karena ingin terlihat modernisasi atau bergaya, banyak diantaranya yang mengikuti beberapa budaya Barat yang tidak sesuai dengan nila Pancasila, misalnya bergaya pakaian sesuai artis-artis yang mengenakan pakaian kurang pantas. Coba kamu pikirkan lagi, menjadi diri sendiri tentu lebih menyenangkan, bergaya boleh saja asalkan tidak memaksakan diri dan tentunya sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Perilaku Bebas, Pancasila dan Hukum

Tidak hanya penyakit HIV/AIDS dampak dari pergaulan bebas, terlebih seks bebas. Aborsi pun marak dilakukan di kalangan pelajar, tahukah kamu jika hal tersebut merupakan pelanggaran hukum dan HAM, serta penyelewenangan dari ideologi bangsa Indonesia?

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 9 ayat (1) mengenai Hak Hidup, “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, pada 53 ayat (1) mengenai Hak Anak, “ setiap anak yang sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.” A

dapun tertera pada Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28A, “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Sudah jelas tertera secara hukum tertulis bahwa aborsi merupakan tindakan pencabutan atau penghilangan nyawa seseorang atau hak hidup seseorang secara paksa yang termasuk dalam bentuk pelanggaran HAM.

Ada pepatah mengatakan “masuk ke kandang kambing tapi tidak seperti kambing” itu berarti kita menempatkan diri dalam suatu lingkungan tetapi kita bisa memilah mana hal positif yang menguntungkan untuk dilakukan dan tidak terjerumus kedalam hal negatif yang justru merugikan.

Bergaul bukan hanya untuk ketenaran dan kesenangan semata, tetapi jadikan itu sebagai wadah membentuk pribadi yang berjiwa kemasyarakatan dan menghargAi sesama. Jadilah diri sendiri agar tahu bagaimana orang disekitar nyaman berkomunikasi denganmu

Hmm… Cobalah memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam isi hatimu yaa.. jangan menyimpan perasaan dan permasalahamu seorang diri.***




Apa Kabar dengan Kuliah Daring?

Risqa Qiratun Aryati, mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal.com

Siapa sangka semua ini akan terjadi? Siapa mengira bahwa awal tahun ini akan menjadi awal tahun yang penuh kisah pilu? Siapa yang mau jika negaranya dilanda wabah menyedihkan seperti ini?.

Tidak ada yang menyangka, tidak ada yang mengira, dan tidak ada yang mau. Kabar huru-hara terdengar di seluruh penjuru negeri ini, karena datangnya tamu tak diundang, tamu yang membahayakan, tamu yang menjadi ancaman.

Virus yang mengganggu sistem pernapasan manusia ini sangat mudah untuk berpindah tempat dari satu insan ke insan lainnya. Tak mengenal usia, tak mengenal pekerjaan, tak mengenal penyakit lain, virus korona dapat menjangkiti siapa pun, bahkan orang yang terlihat sehat pun, tak dihiraukan oleh virus ini.

Tak terkecuali Indonesia sudah menjadi salah satu negara yang warganya positif terkena virus korona.

BACA JUGA:

Media Sosial yang Membuat ‘Candu’

Kian hari kian merebak. Hal tersebutlah yang membuat pemerintah negeri ini mengeluarkan kebijakan pembatasan social (social distancing) untuk mengurangi persebaran virus korona di Indonesia. Dan banyak sekolah, kampus, tempat ibadah, bahkan para pekerja yang mengeluarkan kebijakan untuk bekerja atau belajar dari rumah.

Kuliah daring

Belajar dari rumah untuk mahasiswa dan Sudah banyak kampus yang mengeluarkan kebijakan kuliah daring. Berbagai aplikasi dan platform digunakan untuk menunjang keberlangsungan belajar mahasiswa dengan dosennya.

Enak sih jadi punya waktu yang lebih fleksibel.”

Kegiatan kuliah daring memang dapat diakses dimana saja dan di waktu yang telah ditentukan bersama. Materi perkuliahan yang diberikan oleh dosen melalui kuliah daring juga dapat dipelajari kembali dengan mudah oleh mahasiswa di waktu yang lebih fleksibel.

Baik dosen maupun mahasiswa juga dapat lebih menguasai teknologi informasi dan komunikasi di tengah era globalisasi yang menuntut manusia untuk hidup bersama teknologi. Mahasiswa juga dapat melakukan pembelajaran dengan lebih santai dengan caranya masing-masing saat mengikuti perkuliahan secara daring.

Memang, kuliah daring memberi waktu yang lebih luang bagi beberapa mahasiswa, sehingga dapat melakukan kegiatan lain yang disukai dengan waktu yang banyak. Namun, tak bisa dipungkiri, mahasiswa pun juga manusia yang memiliki perbedaan.

Bosan”

“ Tidak enak”

“Kuliah terus di bayar”

“Paket terus di isi”

“ Lelah menatap layar terus hampir setiap hari”

Ya, kenyataannya tidak semua mahasiswa merasakan kenikmatan dari kuliah daring. Justru ada yang mengeluh akan sistem kuliah daring yang dijalani dan menyatakan lebih senang melakukan kuliah secara tatap muka. Tak hanya itu, tenggat waktu yang diberikan pun semakin membuat mahasiswa berasa ingin memiliki otak seperti Albert Einstein yang cerdas dalam hal pengetahuan.

Asli, tugas banyak banget, bukan kuliah daring melainkan tugas daring, dan setiap minggu selalu ada tugas, kadang dosennya enggak ngasih sesuai jadwal, terkadang juga kasihnya sekarang besok terakhir dikirim,”

Saya merasa, kuliah online seakan menjadi mimpi buruk bagi kami karena dihantui dengan banyaknya tugas yang diberikan oleh dosennya, tanpa menjelaskan materi perkuliahan yang seharusnya kami terima.

BACA JUGA:

Generasi Milenial Bicara Demokrasi

Jadi lebih capek aja karena enggak ada batasan waktu. Kapan kita belajar sama kapan kita mengerjakan tugas, seperti menyatu gitu,”

Tak pelak, bahwa tugas online yang diberikan oleh dosen, dan tentunya harus dikerjakan oleh mahasiswa mengundang banyak rasa yang mewarnai hari-hari mereka.

Aneh bukan? Kuliah online yang padahal dilakukan di rumah dengan berbagai cara yang nyaman yang dapat diciptakan oleh mahasiswa itu sendiri, tetapi malah membuat mahasiswa lelah.

Lelah yang dirasakan pun beragam. Lelah terlalu banyak menulis, lelah terlalu sering menatap layar laptop, lelah karena otak dipaksakan untuk mengerti materi yang diberikan karena tidak ada penjelasan dari dosen, dan lelah karena dikejar-kejar oleh tugas yang berdatangan sambung-menyambung seperti kereta.

bagaimana tidak? Kuliah daring yang tiba-tiba harus dilaksanakan ini turut membuat dosen kelimpungan. Tidak semua dosen menguasai teknologi saat ini. Boro-boro menyajikan materi lewat daring, melalui power point di kelas saja tidak menjamin mahasiswanya menerima pelajaran dengan baik dan jelas.

Ya mau bagaimana lagi, dosen juga pasti bingung mau mengajar seperti apa, mengoreksi hasil tugas mahasiswa bagaimana. Hanya meratapi ini semua sambil berharap korona cepat berlalu

Harapan mahasiswa

Ketar-ketir mahasiswa maupun dosen atau pihak kampus yang lainnya memang tak bisa dihindari. Kaget pasti ada, sebab ini semua terjadi tanpa ada rencana di jauh-jauh hari sebelumnya. Kebijakan yang dibuat hari lalu juga pasti dibuat atas dasar desakan keadaan.

Banyak yang berharap kepada kampus-kampus yang berdiri di negeri ini agar dapat menciptakan konsep yang lebih efektif lagi untuk kegiatan kuliah daring ini.

“Saya berharap banget kampus bisa kasih kebijakan yang menunjang kegiatan belajar mengajar secara daring ini. Berikan yang terbaik buat mahasiswa yang kuliah online. Bukan cuma kampus yang repot sama kebijakan itu, tapi mahasiswa juga repot karena kendala keterbatasan komunikasi, apalagi banyak dosen yang tak acuh sama komunikasi via online, soalnya mahasiswa juga mau komunikasi sama dosen dengan baik-baik,”

Buat pemerintah yang membuat kebijakan di negara ini. Tolong saya berharap banget kasih kebijakan yang sangat bisa dinikmati oleh kampus, mahasiswa, dan juga pemerintah sendiri. Saya tahu pandemik Covid-19 ini memang tidak diharapkan kedatangannya di Indonesia, tetapi sifat cepat tanggap harus benar-benar dilaksanakan, karena banyak hubungannya dengan proses akademik di sekolah dan perguruan tinggi.

Kalau misal kuliah tidak maksimal sekarang kan juga berpengaruh buat kita ke depannya yang akan menggantikan posisi pemerintah saat ini,”

Mungkin saat ini bisa menjadi sejarah bagi Indonesia, bahwa rindu besar-besaran pernah terjadi di negeri ini. Tak ada yang bisa bohong akan kerinduan yang mahasiswa alami. Bagaimana tidak? Keseharian mahasiswa adalah di kampus, bukan di rumah saja seperti ini.

Terlambat bangun pagi saat ada kelas pagi, terburu-buru melangkahkan kaki ke kampus, suasana riuh di kelas. Selain itu mahasiswa pasti mencari  makanan di kantin. Gurauan mereka yang memiliki kemampuan humoris saat sedang menunggu pergantian kelas, tak dapat dirasakan untuk sementara waktu.

Sumpah kangen banget sama kuliah. Kangen teman-teman sama kangen suasana kampus,”***




Generasi Milenial Bicara Demokrasi

NILMA YANTI UTARI, mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mattaram

lombokjournal.com

Demokrasi berasal dari bahasa Yunan; demos dan kratos, demos berarti (rakyat) kratos (pemerintahan). Demokrasi menurut ahli, Abraham Lincolin, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Berbicara demokrasi tentu tidak lepas berbicara mengenai proses bagaimana memenangkan suatu pertarungan sehingga mencapai singgasana yang paling tinggi (kekuasaan).

Dalam setiap pertarungan tentu ada beberapa faktor yang menarik kita kaji secara mendalam, apa dan bagaimana demokrasi yang seharusnya. Ketika kita melihat proses demokrasi yang terjadi di tiap tingkatan kekuasaan, baik dari tingkat paling bawah (pemilihan Kepala Desa) sampai tingkat pusat (pemilihan Presiden), tidak jarang menghadirkan kondisi kondisi yang keluar dari konteks kehidupan sosial masyarakat.

BACA JUGA:

Arus Balik Idul Fitri di Masa Covid-19

Perebutan kekuasaan mampu menyeret individu bahkan kelompok untuk berbuat tindakan Tindakan anarkisme karena hasrat untuk berkuasa yang menggebu gebu.

Seperti yang diketahui di Lombok Timur pada Tahun 2021 akan mengadakan Pemilihan secara serentak di beberapa Desa, yakni sebanyak 29 Desa.

Rencana pelaksanaan pilkades serentak itu pada tanggal 28 Juli, tutur Muhammad Hairi, Kepala Dinas Pemerintahan dan Kelembagaan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Lombok Timur.

Konflik horizontal merupakan hal yang menjadi perhatian khusus setiap elemen disetiap proses demokrasi di Indonesia. Karena bukan tidak mungkin lagi hal hal sensitif yang seharusnya tidak dikeluarkan di muka umum Jjustru menjadi senjata ampuh para petarung dalam melancarkan siasat.  Bahkan isu isu ras, money politik dan kecurangan kecurangan sangat rentan terjadi dalam setiap konstalasi politik.

Tentu hal hal demikian akan mengundang konflik dalam kehidupan sosial masyarakat. Lalu pertanyaan mendasarnya, adalah bagaimana keterlibatan Generasi Milenial (Pemuda) dalam menetralisir konflik yang akan terjadi dalam proses demokrasi, khususnya di beberapa Desa yang akan melaksanakan Pilkades di Lombok Timur?

Berbicara mengenai Generasi Milenial (Pemuda/i) tentu tidak lepas dari bagaimana berpengaruhnya pemuda dalam menciptakan kondisi dilingkungan masyarakat, spirit pantang menyerah dan emosional yang kadang kadang tidak mampu dikontrol akan berdampak pada perbuatan perbuatan yang keluar dari konteks bagimana kehidupan sosial yang aman dan damai.

BACA JUGA:

Pendidikan Daring di Masa Covid -19

Tentu diperlukan keterlibatan pemuda mengambil bagian dalam menciptakan dan mengembalikan cita-cita demokrasi yang seharusnya. Perbedaan pendapat dan perbedaan pilihan seharunya dijadikan menjadi warna positif dalm kehidupan sosial, bukan sebaliknya.

Pemuda perlu bersatu untuk mengawal proses demokrasi dengan menyerukan perdamaian di lingkungan sosial masing masing untuk terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. ***




Bahaya Bagi Pengguna Narkoba

Adhe Ningsih, mahasiswa Progran Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal

Menurut organisasi Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization) Narkotika dan obat obatan terlarang atau biasa disingkat Narkoba, didefinisikan semua zat padat, cair, ataupun gas yang dimasukan ke dalam tubuh dan bisa mengubah fungsi dan struktur tubuh baik secara fisik ataupun psikis.

Di indonesia sendiri narkoba juga di kenal dengan sebutan NAPZA (Narkotika, Psikoptropika, dan Zat Adiktif)

Menurut WHO (1982) semua zat padat, cair maupun gas yang di masukan ke dalam tubuh yang dapat merubah fungsi dan struktur tubuh secara fisik maupun psikis, tidak termasuk makanan, air dan oksigen di mana dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal.

BACA JUGA: Pembelajaran Daring Saat Wabah Covid-19

Jenis-jenis Narkoba, yaitu di antaranya adalah :

  1. Narkotika adalah zat/ obat yang berasal dari tanaman atau sintetis maupun semi sintesis yang dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan
  2. Psikotropika Zat/obat alamiah atau sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku

Zat adiktif adalah bahan lain bukan narkotika atau psikoptropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan baik psikologis atau fisik. Misalnya alkohol, rokok, cofein.

Salah satu dampak terbesar dari penyalahgunaan narkoba adalah bisa memengaruhi kesehatan seseorang. Di lihat dari fisik luarnya aja, pengguna narkoba sama sekali tidak menarik dengan badanya yang kurus karena pengguna narkoba kehilangan nafsu makan.

Selain itu, pengguna narkoba juga rentan terkena berbagai gangguan kulit contohnya infeksi Narkoba juga mengakibatkan gangguan syaraf contohnya kejang, berhalusinasi tinggi, hingga kehilangan kesadaran. Jangan terkeju jika pengguna narkoba akan kesulitan untuk mendapatkan keturunan di karenakan narkoba dapat mempengaruhi hormon reproduksi manusia.

BACA JUGA: Lebaran Tak Sempurna Tanpa Mudik

Tak hanya itu, pengguna narkoba juga rentan terkena penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS yang sampai sekarang belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya.

  • Dalam pemakaian pada dosis yang sudah terlalu banyak bisa menyebabkan overdosis hingga kematian.
  • Psikologi, sering gelisah, kurang percaya diri, kesulitan bergaul dan sering di timbuli perasaan tertekan, stres serta depresi.
  • Lingkungan sosial, pengguna narkoba sering kali diabaikan oleh masyarakat, tidak ada yang bergaul dengan mereka. Sebaliknya pengguna narkoba justru mendapat celaan serta akan di jauhi. Akibatnya hubungan sosial dengan masyarakat pun terputus. ***



Media Sosial yang Membuat “Candu”

Yanti, mahasiswa Progran Studi Adminiistrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal.com

Seiring dengan mudahnya masyarakat mengakses Internet, media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter, Youtube, Tik tok dan aplikasi lainnya, merupakan media yang paling sering digunakan oleh masyarkat untuk berbagai macam keperluan mulai dari pekerjaan hingga sebagai sarana untuk sekedar hiburan.

Semenjak adanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia mengharuskan masyarakat untuk beraktivitas dari rumah. Aktivitas lain seperti berinteraksi sosial secara langsung juga harus terbatas tidak leluasa seperti dulu.

Tingkat penggunaan media sosial menjadi meningkat. Media sosial menjadi pilihan masyarakat sebagai solusi untuk sarana interaksi dan komunikasi di kala pandemi. Selain sebagai sarana komunikasi media sosial juga berperan sebagai sarana refresing pengusir penat dan rasa bosan setelah beraktivitas dari rumah seperti WFH, kuliah online, sekolah online maupun pekerjan-pekerjaan yang lainnya.

BACA JUGA: Gelombang Kedua Covid-19 di India

Saat ini, media sosial tentunya sudah menjadi bagian dari kehidupan mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Pengguna media sosialpun juga beragam mulai dari anak -anak hingga orang tua juga mulai menggunakan media sosial.

Media sosial menyuguhkan berbagai platfom yang dapat diakses melalu perangkat smartphone. Aplikasi media sosial tersebut menyuguhkan berbagai fitur yang menarik. Dalam media sosial kita bisa mencari berita yang sedang hangat, menonton bola, menonton video, berkomunikasi dan lainnya. Tak heran lagi, media sosial menjadi alat komunikasi teratas apalagi dikala pandemi seperti ini.

Namun dengan seringnya menggunakan media sosial, masyarakat menjadi “candu” terhadap sosial media. Mereka seperti enggan untuk jauh-jauh dari media sosial, kaoan dan dimanapun mereka berada masyarakat selalu mengakses internet.

Seperti ungkapan “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh” seperti benar adanya. Karena saat ini, sebagai orang hanyut dalam keasikannya berselancar di media maya hingga lupa akan kehidupan nyata.

BACA JUGA: Menjadi Gelas Kosong, Tapi Kritis

Bahkan mereka menghiraukan bahwa disamping mereka ada teman, keluarga ataupun saudara. Mereka lebih aktif dimedia sosial ketimbang aktif didunia nyata.***




Menjadi Gelas Kosong Tapi Kritis

Sri Lela Fitri, mahasiswa Program Studi Administrsi Pulik, Universitas Muhammadiyah Mataram

 lombokjournal.com

Jika kita memiliki gelas kosong, maka kita dapat mengisinya dengan air jernih sampai gelas itu penuh. Namun jika gelas yang kita miliki sudah penuh, kita tidak dapat mengisinya lagi.

Jika dipaksakan, maka kita akan mendapai air yang bertumpahan. Begitupun jika gelas yang kita miliki hanya separuh isinya, maka air yang dapat kita isi hanyalah separuh sisanya.

Dan jika analogi ini kita lihat dari sudut pandang menuntut ilmu ataupun mencari nasihat, maka kita harus memposisikan diri kita sebagai gelas kosong. Yang siap diisi oleh ilmu, oleh nasehat, oleh kebaikan, ataupun oleh kebenaran. Sehingga apa-apa yang diberikan tak tumpah, melainkan selalu terserap. Jadilah gelas kosong sepanjang kehidukan berlangsung.

Tidak berarti kita menjadi orang yang apatis dan menerima segalanya, sehingga mudah disetir. Sama sekali bukan seperti itu. Pasanglah antivirus di dalam akal sehat kita, yang akan menyaring semua keabnormalan ide dan gagasan.

BACA JUGA: Orang Pintar Tapi Belum Tentu Terdidik

Melindungi akal sehat dan hati suci kita dari keburukan yang berbungkus rapi sehingga begitu menawan, yang disodorkan kepada kita terus-menerus. Jadilah kritis namun jangan pesimis. Setelah menerima apa yang ditawarkan, segeralah latih akal sehat untuk berfikir dan menggali maknanya. Tarik semua pembelajaran dan hikmahnya.

Jangan lupa menjadi orang penuh prasangka terhadap ide dan gagasan yang baru yang tidak familiar, terhadap nasehat-nasehat yang tidak diharapkan, atau kebenaran yang tidak menyenangkan. Sehingga walau gelas memang sudah kosong, tetapi air tidak bisa masuk, karena terhalang oleh sebuah “tutup gelas” yang tak terlihat walaupun gelasnya sudah dalam genggaman erat.

Kita bisa melihat orang-orang semacam itu di seminar, kelas, dan dalam pengajian. Ketika banyak orang-orang yang menjadi cerah wajahnya dengan ilmu yang baru diterima, mereka justru selalu saja dapat menentukan hal-hal negatif untuk dibicarakan.

Ketika orang-orang lain bersemangat untuk segera menerapkan ilmu baru, mereka justru merasa menyesal telah menghadirinya.

Banyangkan perbedaanya pada saat kita menjadi gelas kosong, gelas, separuh kosong dan gelas penuh. Itulah keberagaman jenis orang yang hadir di sebuah lingkaran ilmu. Sehingga pada akhirnya, ada orang-orang yang menjadi tercerahkan dan memahami hampir semua materi, ada orang yang separuh paham, namuan ada pula orang yang malah bingung dan sama sekali tidak mengerti.

Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, berapa kali kita menghadiri seminar, kelas dan pengajian, namun akhlak kita belum berubah?

Apa itu karena kita belum iklhlas menerima semua ilmu itu, sehingga kita tidak meluruskan niat dan benar-benar berusaha menjadi gelas kosong yang bisa menampung semua ilmu. Atau malah, kita memang sengaja tidak mengosongkan gelas dan malah memasang tutup, sehingga semua ilmu itu bertolak belakang.

BACA JUGA: Persoalan Dalam Pemelajaran Daring

Apakah di saat itu kita sedang sombong ? Karena yang  di maksud sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manuisa (HR. Muslim).

Mungkin tutup yang terpasang erat, adalah upaya kita untuk menolak melihat kebenaran yang dibawa oleh ilmu itu?

Mungkin juga, penolakan kita untuk mengosongkan gelas dan menampung semua ilmu yang akan datang adalah dari sikap kita yang meremehkan sang guru, meremehkan jenis ilmu yang di berikan, merehkan tempatnya, merehkan orang-orang yang berada di sekeliling kita.

Astagfirullahaladsim.

Padahal jika kita tidak sesombong itu, dan kita bersedia mengosongkan setidaknya sebagian dari gelas kita, untuk menampung kucuran air yang jernih, walau setengah bagian dari gelas kita saat itu hanya terisi oleh air yang keruh.

Namun Ketika kita sudah tidak sombong lagi, dan bersedia menerima ilmu. Maka, air jernih kan menguncur dan mengisi ruang gelas yang kosong hingga penuh. Bercampur dengan air keruh di dalam gelas, maka air di dalam kelas akan mulai meluap dan tumpah.

Dan tahukah, air seperti apa yang terbuang pada saat itu? Ya benar, air yang terbuang dari gelas kita adalah air keruh itu. Sehingga yang tertinggal di dalam gelas kita hanyalah air yang jernih.

Amin

Bangaiman jika kita menjadi orang yang membagi ilmu, menjadi orang yang menuangkan air, menjadi si pemberi nasehat, menjadi guru?

Orang-orang yang di kirimkan kepada kita yang membagi masalahnya kepada kita, ada yang datang hanya ingin bercerita tanpa berharap nasehat, dan ada pula yang berharap solusi.

Sehingga kita harus pandai-pandai melihat, apakah gelas yang yang kita hadapi tertutup, kosong, atau terisi sebagian.Karena dengan mengetahui keadaan orang yang bersangkutan, kita akan mampu mengatur tingkat pengharapan kita. Tingkat pengharapan; adanya respon positif terhadap nasehat kita, diterimanya nasehat kita, dijalankannya solusi-solusi yang kita berikan.

Memang jika orang yang tersebut adalah orang yang dekat dengan kita, yang kita sayangi, maka kita akan menjadi sangat subjektif. Kita akan berusaha sekuat mungkin untuk menolongnya. Tingkat pengharapan kita kepadanya akan sangat tinggi. Kita terus berharap agar orang yang bersangkutan akan berubah.

Dan ketika orang yang di harapkan untuk berubah, ternyata tetap melakukan hal yang sama atau bahkan lebih buruk, maka kita akan sangat kecewa. Hal itu karena harapan kita kepadanya sangatlah tinggi, sehingga sakit rasanya ketika jatuh.

Namun inilah tantangannya. Setiap dari kita memang wajib mengingatkan, wajib saling memberi nasehat, namun kita tidak akan di minta pertanggung jawabannya terhadap hasilnya kelak. Bahkan Rasulullah SWT pun hanya bertugas sebagai pemberi peringatan dan sebagai suri tauladan untuk umat.

Salah satu cara untuk memanage pengharapan kita, maka kita harus jeli melihat. Jika orang itu datang membawa gelas kosong dan kita bisa mengisi penuh gelas itu, maka kita dapat berharap lebih dari orang yang membawa gelas yang hanya setengah kosong. Dan jika orang itu membawa gelas yang terpasangi tutup, kita dapat menyadarinya dan terhindar dari kekecewaan.

Bukankah kita telah diajari, bahwa jika kita melihat ketidakbenaran terjadi; maka kita dapat merubahnya dengan tangan kita. Jika tidak bisa, maka kita dapat berusaha merubahnya dengan lisan kita, dan jika kita tidak mampu, maka kita dapat menolaknya dengan hati kita, walau itu adalah selemah-lemahnya iman.

Kita dapat merubah seseorang dan lingkungan dengan tangan kita, pada saat kita memiliki kewenangan dan kekuasaan terhadap mereka. Dimana kita dapat memberi konsekuensi terhadap keburukan yang terjadi, dan di harapkan dengan konsekuensi itu, orang dan lingkungan menjadi berubah.

Namun lebih seringnya, kita hanya mampu menasehati dengan lisan, ataupun hanya mampu untuk mendoakan di dalam hati. Dan karenanyalah kita harus mampu mengontrol tingkat pengharapan kita.

Karena ketidak mampuan mengontrol pengharapan kita, dapat berbuah menjadi rasa kecewa yang berlipat-lipat, dan dapat berakhir dengan rasa cuek terhadap apapun yang terjadi dengan orang yang bersangkutan. Kita menjadi apatis.

Berbeda ketika kita sudah mampu mengelola pengharapan kita. Kita akan ikhlas memberi ilmu, menasehati, menolong, tanpa berfikir tentang di terima dan dijalankannya nasehat-nasehat kita. Jika di jalankan, maka InsyaAllah kita akan terhindar dari sikap puas diri, dan kalaupun di tolak kita akan terhindar dari sikap berputus asa.

Pada saat itu kita bukanlah bersikap cuek kepada orang yang bersangkutan, namun kita bersikap tawakkal. Menyerahkan segala sesuatunya kembali kepada Allah SWT.

Namun jika orang yang bersangkutan, kelak menyadari semua kesalahannya, datang kembali meminta nasehat, meminta tolong agar di bantu, dan ber azzam ingin berubah. Maka saat itu kita wajib untuk kembali menasehati, kembali mengingatkan kepada kebaikan. Kembali berada di sisinya, sebagai saudara sesama muslim. Sebagai sebuah bangunan utuh. ***

 




Lebaran Tak Sempurna Tanpa Mudik

Abdul Fisal, mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal.com

Bagi sebagian besar umat Islam, mudik di penghujung Ramadhan merupakan sebuah ritual penting nan sakral. Terutama bagi mereka yang berada nun jauh di perantauan.

Setelah lama berpisah dengan sanak keluarga dan handai tolan, tentunya ada kerinduan yang mengusik untuk bisa kembali berkumpul dengan sanak keluarga. Pertemuan jiwa dan raga yang penuh emosional antara anak dengan kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya, diyakini bukan hanya pertemuan biasa.

Namun merupakan bagian dari keasadaran diri seseorang dalam mengimplementasikan makna mudik bagi kehidupan yang penuh dengan dinamika ini. Sejauh manapun burung terbang, sekali waktu ia pasti kembali rumahnya.

BACA JUGA: Arus Balik Idul Fitri di Masa Covid-19

Demikian sakralnya berlebaran bersama keluarga lewat tradisi mudik ini, sehingga para perantau telah jauh-jauh hari mempersiapkan bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung halaman.

Mudik juga bisa dimaknai sebagai kerinduan mencipi penganan tradisional seumpama geukarah dan thimpan, atau berziarah ke makam orangtua yang telah tiada. Bisa juga sebagai wadah merenda kembali tali silaturrahmi yang sempat terputus dengan saudara dan orang sekampung.

Meski untuk mudik dibutuhkan banyak pengorbanan, mulai dari mempersiapkan tiket moda angkutan yang harganya melonjak tinggi saat menjelang lebaran. Atau pun padatnya arus mudik jika pulang dengan kendaraan pribadi.

Namun semua pengorbanan itu terbayar lunas dan tidak bisa tergantikan harganya dengan nilai dengan apa pun−bila telah bersua kembali dengan orang-orang tercinta di kampong halaman.

Aroma desa yang khas dengan kekentalan kekerabatan yang masih alami dibandingkan kehidupan urban masyarakat kota yang penuh individualistik. Apalagi kala disambut tangis haru dan peluk cium dari sanak keluarga.

BACA JUGA: Pendidikan Daring di Masa Covid-19

Sejatinya mudik Idul Fitri sebagai implementasi dari kegembiraan dan jangan pula dirayakan secara berlebih-lebihan dan terkesan sombong.

Sebab ada juga sebagian para pemudik yang ketika pulang sengaja memamerkan kemewahan seperti mobil baru dan barang-barang bawaan lainnya yang terkadang bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari warga desa.

Perjuangan pemudik menembus medan perjalanan yang berat, tajam, berkelok-kelok, dan terdapat tanjakan dan curam disertai macet.***




Persoalan Dalam Pembelajaran Daring

Risalatul Amanah, mahasiswa Program Studi Administrasi publik, Universitas Muhamadiyah Mataram

lombokjournal.com

Pandemi COVID-19 di Indonesia, menjadikan aktifitas masyarakat untuk berinteraksi dihentikan dan beralih menggunakan aktivitas daring. Kondisi ini tidaklah mudah untuk Lembaga Pendidikan. Proses pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh.

Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan dari pengaturan zona boleh tidaknya sekolah dibuka atau tidak dengan aturan protokol kesehatan yang ketat, termonitor membudayakan pola hidup bersih dan sehat dalam rangka pencegahan dan pengendalian COVID-19.

BACA JUGA: Orang Pintar Belum Tentu Terdidik

Meskipun sudah diberikan pedoman pembelajaran di masa COVID-19, di beberapa daerah banyak memilih pembelajaran dengan daring untuk mencegah penyebaran virus COVID-19. Tetapi dalam pelaksanaannya, banyak persoalan yang terjadi dalam pembelajaran daring ini.

Hasil survei Tanoto Foundation, organisasi filantropi keluarga independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981, terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada 332 kepala sekolah, 1.368 guru, 2.218 siswa, dan 1.712 orang tua yang dirilis kompas.com, ditemukan tiga masalah utama.

Pertama, sebanyak 56 persen orang tua yang jadi responden mengaku kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak yang duduk di bangku SD/MI dan 34 persen orang tua yang anaknya duduk di bangku SMP/MTs.

Kedua, orang tua kesulitan menjelaskan materi pelajaran ke anak untuk SD/MI (19 persen) dan SMP/MTs (28 persen). Ketiga, Orang tua kesulitan memahami materi pelajaran anak untuk SD/MI (15 persen) dan SMP/MTs (24 persen).

BACA JUGA: Arus Balik Idul Fitri di Masa Pandemi Covid-19

Data tersebut menunjukan kelangsungan belajar mengajar yang tidak dilakukan di sekolah berpotensi menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Pada akhirnya tujuan pendidikan dan fungsi sekolah untuk menciptakan proses pembelajaran dan suasana belajar tidak tercapai.

Sekolah sebagai lembaga

Kondisi sekolah di masa pandemi COVID-19 sangat memprihatinkan. Kondisi ini mengingatkan kembali gagasan Ivan Illich, seorang pemikir pendidikan yang pernah hidup di Amerika. Semangat membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan merupakan gagasan Ivan Illich dalam memandang fungsi sekolah tidak lagi sejalan dengan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia.

Sekolah sebagai Lembaga itu terdapat adanya guru, kehadiran siswa di sekolah dan sekolah terdapat kurikulum. Kritik Ivan Illich sekolah sebagai lembaga, pendidikan seharusnya hak semua orang untuk belajar.

Tetapi kenyataannya, sekolah dipenuhi dengan kewajiban-kewajiban tertentu. Kepatuhan siswa harus hadir dan belajar di sekolah. Sekolah seperti dijadikan sebagai tempat satu-satunya untuk belajar.

Anak yang pandai identik dengan anak sekolahan. Sekolah juga dibuat peringkat, manusia dibuat kelas-kelas yang tidak memanusiakan manusia. Terdapat kurikulum yang merupakan sebagai modal sekolah, kurikulum terdapat kurikulum tersembunyi yang menanamkan pandangan bahwa jika menginginkan kehidupan yang baik dan benar itu harus mengikuti apa yang diajarkan di sekolah. Guru dalam melaksanakan kurikulum, guru hanya mengikuti apa yang ada dalam kurikulum.

Sekolah di masa pandemi

Sejalan dengan kritik Ivan Illich, sekolah di masa pandemi merupakan bukti nyata hilangnya fungsi sekolah sebagai lembaga, yaitu hilangnya peran guru, tidak adanya lagi kehadiran siswa di sekolah dan hilangnya tujuan kurikulum tersembunyi sebagai pandangan bahwa sekolah merupakatan satu-satunya tempat untuk belajar.

Menjadi pertanyaan besar hari ini, apakah sekolah sebagai Lembaga masih sesuai dengan fungsi sekolah dan tujuan kurikulum didalamnya dapat tercapai dengan pembelajaran daring saat ini.

Pada kenyataannya pembelajaran jarak jauh atau daring masih dianggap sebagai proses sekolah meskipun dengan berbagai kekurangan baik dari guru, siswa dan orang tua.

Dilihat dari keadaan guru dan siswa, sekolah di masa pandemi, guru kesulitan dalam berkomunikasi dengan siswa. Hal ini karena keterbatasan model pembelajaran daring yang tidak lagi pada ruang kelas di sekolah, melainkan sekolah berpindah di masyarakat atau di rumah.

Pada masa pandemi ini, orang tua atau keluarga justru menjadi guru sekolah di rumah. Orang tua mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran dan memotivasi anak saat mendampingi belajar di rumah.

Begitu juga dengan pencapaian kurikulum, guru mengalami kesulitan mengelola pembelajaran daring dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum, waktu pembelajaran berkurang sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar.

Fungsi sekolah di masa pandemi COVID-19 dan fungsi sekolah dalam pandangan Ivan Illich, bisa menjadi sebuah refleksi. Sekolah sebagai Lembaga seharusnya merupakan tempat yang mudah diakses, mudah diperoleh sumber pengetahunnya, tidak terikat pada sebuah profesi dan menerima masukan secara terbuka.

Sejatinya fungsi sekolah adalah untuk menciptakan tujuan pendidikan memanusiakan manusia, tidak untuk membatasi waktu, tempat, bentuk, dan aturan siswa dalam belajar. Hal ini bisa menjadi bahan kajian dalam merumuskan fungsi sekolah setelah masa pandemi COVID-19, terkait tujuan dari fungsi sekolah yang seharusnya berjalan sesuai tujuan pendidikan.***




Pembelajaran Daring Saat Wabah Covid-19 

Mustika Aryanti, mahasiswa Aministrasi Pulik, Universitas Muhammadiyah Mataram

lombokjournal.com

Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) yang telah melanda 215 negara di dunia, memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi.

Untuk melawan Covid-19 Pemerintah telah melarang untuk berkerumun, pembatasan sosial (social distancing) dan menjaga jarak fisik (physical distancing), memakai masker dan selalu cuci tangan.

Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah telah melarang perguruan tinggi untuk melaksanakan perkuliahan tatap muka (konvensional) dan memerintahkan untuk menyelenggarakan perkuliahan atau pembelajaran secara daring (Surat Edaran Kemendikbud Dikti No. 1 tahun 2020). (Firman, F., & Rahayu, S., 2020).

Perguruan tinggi dituntun untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran secara daring atau on line.

Bentuk perkuliahan yang dapat dijadikan solusi dalam masa pandemi covid-19 adalah pembelajaran daring. Menurut Moore, Dickson-Deane, & Galyen (2011) Bentuk perkuliahan yang dapat dijadikan solusi dalam masa pandemi covid-19 adalah pembelajaran daring.

Tulisan ini untuk memperoleh gambaran pembelajaran daring semasa pandemi Covid-19

  1. Mahasiswa memiliki fasilitas yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran Daring

Peningkatan dalam penggunaan internet di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Penggunaan smartphone dan laptop dalam pembelajaran daring dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik (Anggrawan, A., 2019).

Penggunaan pembelajaran daring menggunakan zoom cloud meeting memiliki kelebihan dapat berinteraksi langsung antara mahasiswa dan dosen serta bahan ajar, tetapi memiliki kelemahan boros kuota dan kurang efektif apabila lebih dari 20 peserta didik.

Lebih lanjut, tantangan pembelajaran daring adalah ketersediaan layanan internet. Sebagian mahasiswa mengakses internet menggunakan layanan selular, dan sebagian kecil menggunakan layanan WiFi.

Ketika kebijakan pembelajaran daring diterapkan di Universitas Jambi, mahasiswa sedang pulang kampung. Mereka mengalami kesulitan sinyal selular ketika di daerah masing-masing. Jika pun ada sinyal yang didapatkan sangat lemah.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan pembelajaran daring di Universitas Jambi. Pembelajaran daring memiliki kelemahan ketika layanan internet lemah, dan intruksi dosen yang kurang dipahami oleh mahasiswa. Tantangan lain yang dihadapi adalah kendala dalam pembiayaan pembelajaran daring.

Mahasiswa mengungkapkan bahwa untuk mengikuti pembelajaran daring, mereka harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk membeli kuota data internet. Menurut mereka, pembelajaran dalam bentuk konferensi video telah menghabiskan banyak kuota data, sementara diskusi online melalui applikasi pesan instan tidak membutuhkan banyak kuota. Rata-rata mahasiswa menghabiskan dana Rp. 100.000 sampai Rp. 200.000 per minggu, tergantung provider seluler yang digunakan.

Penggunaan pembelajaran daring menggunakan konferensi video membutuhkan biaya yang cukup mahal.

  1. Efektivitas Pembelajaran daring

Secara keseluruhan, mahasiswa puas dengan pembelajaran yang fleksibel. Dengan pembelajaran daring, mahasiswa tidak terkendala waktu dan tempat dimana mereka dapat mengikuti perkuliahan dari rumah masing-masing maupun dari tempat dimana saja.

Dengan pembelajaran daring, dosen memberikan perkuliahan melalui kelas-kelas virtual yang dapat diakses dimana pun dan kapan pun tidak terikat ruang dan waktu. Kondisi ini membuat mahasiswa dapat secara bebas memilih mata kuliah yang dikuti dan tugas mana yang harus dikerjakan lebih dahulu.  menginformasikan bahwa fleksibilitas waktu, metode pembelajaran, dan tempat dalam pembelajaran daring berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa terhadap pembelajaran.

Pembelajaran daring juga memiliki kelebihan mampu menumbuhkan kemandirian belajar (self regulated learning). Penggunaan aplikasi on line mampu meningkatkan kemandiri belajar.  Kuo menyatakan bahwa pembelajaran daring lebih bersifat berpusat pada siswa yang menyebabkan mereka mampu memunculkan tanggung jawab dan otonomi dalam belajar (learning autuonomy).

Belajar secara daring menuntut mahasiswa mempersiapkan sendiri pembelajarannya, mengevaluasi, mengatur dan secara simultan mempertahankan motiviasi dalam belajar. Sobron menyatakan bahwa pembelajaran daring dapat meningkatkan minat peserta didik.

Pembelajaran daring memiliki tantangan khusus, lokasi mahasiswa dan dosen yang terpisah saat melaksanakan menyebabkan dosen tidak dapat mengawasi secara langsung kegiatan mahasiswa selama proses pembelajaran.

Tidak ada jaminan bahwa mahasiswa sunguh-sungguh dalam mendengarkan ulasan dari dosen. Szpunar bahwa mahasiswa menghayal lebih sering pada perkuliahan daring dibandingkan ketika kuliah tatap muka. Oleh karena itu disarankan pembelajaran daring sebaiknya diselenggarakan dalam waktu tidak lama mengingat mahasiswa sulit mempertahankan konsentrasinya apabila perkuliahan daring dilaksanakan lebih dari satu jam.

  1. Pembelajaran daring memutus mata rantai Penyebaran Covid-19 di Perguruan Tinggi

Wabah Covid-19 adalah jenis wabah yang tingkat penyebarannya sangat tinggi dan cepat. Wabah ini menyerang sistem imun dan pernapasan manusia. Pencegahan wabah ini dilakukan dengan menghindari interkasi langsung orang yang terinfeksi dengan orang-orang yang beresiko terpapar virus corona ini.

Mengatur jarak yang disebut social distancing dan kontak fisik yang berpeluang menyebarkan virus. Berbagai upaya untuk menekan mata rantai penyebaran Covid-19 di menerapkan aturan pembelajaran daring. Perkuliahan dilakukan menggunakan internet sehingga memudahkan dosen dan mahasiswa berinterkasi secara on line.

Dosen dapat membuat bahan ajar yang dapat diakses oleh mahasiswa dimana saja dan kapan saja. Pembelajaran daring memungkin adanya interaksi melalui web walaupun mereka berada di tempat yang jauh dan berbeda.

Keberadaan dosen dan mahasiswa yang berada ditempat yang berbeda selama pembelajaran menghilangkan kontak fisik dan mampu mendorong muculnya  perilaku social distancing. Menurut Stein (2020) melakukan social distancing sebagai solusi yang baik untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Pelaksanaan pembelajaran daring memungkinan mahasiswa dan dosen melaksanakan perkuliahan dari rumah masing-masing. Mahasiswa dapat mengakses materi perkuliahan dan mengirim tugas yang diberikan dosen tanpa harus bertemu secara fisik di kampus. Tindakan ini bisa mengurangi timbulnya kerumunan massa di kampus seperti yang terjadi pada perkuliahan tatap muka.

WHO (2020) merekomendasi bahwa menjaga jarak dapat mencegah penularan Covid-19. Sayangnya, di daerah-daerah yang pelosok dan tidak mempunyai akses internet yang baik pelaksanaan pembelajaran daring menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam menyiasati kondisi ini, mahasiswa yang tinggal di daerah yang sinyal internet lemah akan mencari wilayah-wilayah tertentu seperti perbukitan dan wilayah kecamatan untuk dapat terjangkau oleh akses internet.

KESIMPULAN

Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Sebagai Covid-19 di lingkungan perguruan tinggi, maka Mahasiswa melaksanakan pembelajaran daring sebagai solusi pelaksanaan pembelajaran.

Hasilna menunjukkan mahasiswa memiliki sarana dan prasarana untuk melaksanakan pembelajaran daring. Pembelajaran daring efektif untuk mengatasi pembelajaran yang memungkinan dosen dan mahasiswa berinteraksi dalam kelas virual yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Pembelajaran daring dapat membuat mahasiswa belajar mandiri dan motivasinya meningkat.

Namun, ada kelemahan pembelajaran daring mahasiswa tidak terawasi dengan baik selama proses pembelajaran daring. Lemah sinyal internet dan mahalnya biaya kuato menjadi tantangan tersendiri pembelajaran daring. Akan tetapi pembelajaran daring dapat menekan penyebaran Covid-19 di perguruan tinggi. ***




Orang Pintar Belum Tentu ‘Terdidik’

Armiati, mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah

lombokjournal.com

Munculnya berbagai masalah di masyarakat seperti berbagai tindakan kriminal dan memalukan adalah akibat dari kelakuan orang tidak terdidik. Masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja terjadi di tengah semakin tingginya pendidikan warga negara Indonesia, mengapa demikian?

Orang Pintar Belum Tentu Terdidik

Banyak orang yang telah menempuh Pendidikan tinggi, hingga bergelar doctor atau bahkan professor, nyatanya belum tentu mampu mengubah kelakuan seseorang.

Mungkin sekolah tinggi di Indonesia telah berhasil menghasilkan orang-orang pintar namun tidak terdidik. Buktinya masih banyak penjahat yang bergelar sarjana bahkan professor yang harus mendekam di penjara.

Pola pendidikan formal di Indonesia memang hanya mengajarkan bidang keilmuan pengetahuan dan teknologi saja yang membuat orang semakin pintar. Namun sayangnya, dalam hal budi pekerti yang membuat orang menjadi terdidik tidak diajarkan. Dari situlah sebabnya mengapa orang pintar masih banyak yang melakukan tindakan memalukan seperti korupsi.

BACA JUGA: Tsunami Covid-19 Varian Baru di India

Mungkin memang hanya di Indonesia mantan narapidana korupsi masih bisa dijadikan pemimpin sebuah instansi. Hal ini bukankah seharusnya menjadi hal yang memalukan bagi semua pihak, padahal masih banyak orang yang terdidik di luar sana tapi tidak dipilih.

Revisi Sistem Pendidikan Formal Bisa Jadi Solusi

Jika sistem pendidikan formal di Indonesia segera di revisi dengan mementingkan proses tidak hanya hasil, akan mencetak orang-orang terdidik. Bagi orang yang terbiasa dididik dengan melihat hasil saja memang tidak akan mempedulikan bagaimana cara atau proses mendapatkannya. Tidak peduli cara benar atau tidak yang ditempuh yang penting hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.

Di situlah letak kesalahan sistem di negeri ini, yang membiarkan anak didiknya menggunakan segala cara untuk memperoleh hasil yang ditargetkan. Padahal cara yang ditempuh seharusnya juga masuk ke dalam penilaian apakah caranya benar atau caranya salah. Dengan demikian artinya memperhatikan proses untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

BACA JUGA: Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Impact dari sistem pendidikan yang mementingkan proses adalah lahir orang-orang pintar yang terdidik, bukan orang pintar yang sok pintar. Jika Indonesia mampu mengubah sistem pendidikannya menjadi seperti ini, maka bukan tidak mungkin jika Indonesia akan bersih dari korupsi.

Saatnya semua pihak berjuang dan mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi melalui bidang pendidikan. Pendidikan bisa dimulai dari usia dini di rumah, orang tua di rumah harusnya juga berusaha menciptakan calon orang terdidik bukan hanya orang pintar.***