Juru Bicara Kepala Daerah; Kebutuhan Mengelola Komunikasi Publik
Menjadi Juru Bicara Kepala Daerah sekaligus Pemerintah Daerah, yang menangani bagian kehumasan, harus menjamin porsi keterbukaan informasi publik bagi masyarakat
MATARAM.lombokjournal.com ~ MEMBATIH dialektika informasi dalam dinamika pemerintahan mengkatalis pentingnya keberadaan seorang juru bicara Kepala Daerah guna menopang keberlangsungan siklus pemerintahan daerah.
Betapa tidak, cepatnya arus informasi yang beredar tanpa filter perlu nara hubung untuk menjembatani narasi tunggal pemerintah, melalui aktivitas komunikasi dan informasi publik terkait program pembangunan serta kebijakan kepala daerah. Tujuannya sampai utuh kepada publik, sehingga tidak terpahami parsial.
Kehadiran juru bicara (spoken person) di tubuh pemerintahan daerah pun menjadi kebutuhan yang strategis.
Pihak yang diberi otoritas penuh untuk memastikan kebijakan, program kerja dan aktivitas Kepala Daerah dapat diterima secara holistik. Menjamin program pembangunan dapat berlangsung dengan baik.
Urgennya kehadiran juru bicara diatur secara khusus dalam Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 480/3503/SJ tentang penunjukan juru bicara di lingkungan Pemerintah Daerah.
Kehadiran juru bicara diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan informasi masyarakat di samping memberi masukan terkait pembenahan kondisi daerah.
Di antara tugas juru bicara adalah menyampaikan setiap informasi terkait kegiatan Kepala Daerah (khusus) dan Pemerintah Daerah (umum), melalui jasa media massa dengan mengonsultasikan terlebih dahulu kepada pimpinan daerah.
Informasi yang disampaikan juru bicara harus bersumber dari reportase yang disusun dengan data pendukung yang lengkap, akurat dan terpercaya.
Berwenang menghimpun beragam masukan (informasi dan data-data) yang diperlukan dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Termasuk di dalamnya dapat mendampingi dirinya wawancara dan konferensi pers.
Atau dapat pula mewakili pribadinya dalam aktivitas penyampaian informasi kepada masyarakat selingkungan dengan kegiatan Pemerintah Daerah atau hal lain dalam koridor tugas dinas.
Juru bicara pun berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menentukan materi siaran pers maupun hak jawab terhadap pemberitaan media massa yang memerlukan klarifikasi.
Dapat menjamin porsi keterbukaan informasi publik bagi masyarakat yang lebih komprehensif serta memastikan setiap informasi pembangunan daerah bisa tersampaikan dengan baik dan menyejukkan publik.
Setali tiga uang, juru bicara dapat ditunjuk dari aparatur sipil negara (ASN) ataupun non ASN (unsur profesional). Sebab, tidak ada aturan baku yang mengatur secara pasti juru bicara harus dari kalangan ASN.
Perlunya Kepala Daerah menunjuk juru bicara sehubungan dengan implementasi dari tugas-tugas informasi publik dan kehumasan di lingkungan Pemerintah Daerah, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kehumasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
Pertama, perlu upaya mendorong terciptanya relasi yang harmonis antara satuan pemerintahan, baik dalam hubungan vertikal antara pemerintah dengan pemerintah provinsi maupun pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Relasi horisontal antara Pemerintah Daerah dalam mengelola komunikasi publik, sekaligus menyinergikan informasi antar satuan kerja pemerintahan daerah pada kanal media massa.
Kedua, perlu dukungan anggaran berdasarkan Pasal 35 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2011 guna meningkatkan sarana dan prasarana di bidang kehumasan dan pengelolaan informasi publik. Serta program pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis lainnya untuk peningkatan kapasitas, terutama dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi bagi aparatur kehumasan dan pengelola informasi di lingkungan pemerintah daerah. ***
Merawat Generasi Penerus Bangsa
Kader HMI berperan merawat dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia menjadi tugas dan tanggungjawab yang dilakukan dengan progresif dan benar
MASDIYANTO, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Univ 45, kader HMI Komisariat UMMAT
MATARAM.lombokjournal.com ~ 17 Agustus 2021 Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai umur kemerdekaan yang ke 76 sejak di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah merdeka, ungkapan Bhineka Tunggal Ika menjadi tanda khusus bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki penduduk yang beranekaragam, kemudian bersatu dengan luar biasa hingga saat ini.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga memiliki Kebhinekaan atau keanekaragaman, Tujuan HMI menjadi pemersatu dengan menjunjung tinggi asas kebangsaan dan keislaman. Hal itu dengan terang menegaskan, peran Kader HMI dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia menjadi tugas dan tanggungjawab yang harus dilakukan dengan progresif dan benar.
Itulah visi besar yang menjadi esensi penggerak setiap Kader HMI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Secara garis besar peran Kader HMI tersebut diawali dengan kesadaran diri sebagai Mahasiswa untuk menyongsong kemajuan berdasarkan asas kebangsaan dan keislaman. Dengan kesadaran tersebut, Kader HMI memiliki nasionalisme serta sikap dan karekter yang terpadu dan berlaku kedepan.
Kualitas Mahasiswa semacam itu berdampak kepada semakin besarnya kewajiban untuk merealisasikan nasionalisme dan perlikunya dilingkungan sekitar.
Pada kondisi Indonesia saat ini, minimal Mahasiswa melakukan filterisasi informasi untuk menjaga kondusifitas dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kader HMI telah terbiasa menggapai informasi dengan referensi yang tepat. Selain itu juga kebiasaan-kebiasaan intelektual menjadi tindakan yang progresif dilakukan dilingkungan sekitarnya terutama dalam lingkup organisasi.
Kader HMI dengan keilmuan akademis, inovasi dan pengabdiannya di lingkungan kampus dan masyarakat merupakan cerminan generasi bangsa yang berderajat tinggi. Bukan hanya membentuk diri sendiri, ke depan kader HMI juga bertindak secara luas membentuk generasi yang ada di kalangan masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut Kader HMI harus mampu melihat dan mengkaji keadaan generasi penerus bangsa disekitarnya. Melakukan interaksi sosial secara terus-menerus untuk menumbuhkan nasionalisme dan membentuk perilaku yang baik.
Misi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan Kader HMI secara progresif dapat mengokohkan jiwa kebangsaan dan keislaman tidak hanya kepada Kader HMI, namun juga berdampak kepada generasi penerus bangsa dalam cakupan yang luas.
Itulah yang harus selalu digodok dengan baik secara bersama-sama untuk mencapai tujuan HMI secara menyeluruh.
Peran yang dibawa sebagai Kader HMI tidak diemban hanya sebatas konsep atau teori, namun terlaksana dalam praktek kehidupan bernegara dan berbangsa. Keindonesiaan serta keislaman melekat pada diri masing-masing kader.
Pemahaman dirinya sebagai Mahasiswa yang ditanamkan melalui perkaderan, memberikan dorongan semangat untuk terus melakukan tugasnya sebagai supporting dan preasure serta menjadi agen perubahan bagi negara dan rakyat.
Dalam perjalanannya, kader-kader HMI memiliki caranya tersendiri untuk merealisasikan cintanya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam konteks mempertinggi derajat rakyat Indonesia, Kader HMI menjalankan titah tersebut sebagai kebutuhan dalam perjuangan–perjuangannya untuk berkontribusi. Maka dari itu dalam mencapai tujuan yang pasti itu, kader HMI harus benar-benar menjadi output yang memiliki integritas dan kualitas akademis yang tinggi.
Salah satu peran Kader HMI yang telah dilaksanakan sejak pertama kali menjadi kader adalah menjaga kebhinekaan itu sendiri sebagai bentuk penyederhanaan miniatur negara indonesia yang plural.
Formulasi mencapai visi besar Kader HMI yang telah disebutkan diawal memang berjalan pada proses yang tiada henti dan berlanjut dari generasi ke generasi.
Tantangan pada masa pandemi sekarang ini dan kedepannya harus dihadapi dengan komitmen nasionalisme dan karakter perjuangan yang konkret, mulai dari diri pribadi untuk kemudian menjadi mahasiswa yang mampu menginspirasi. ***
Pemikat Empati atau Pemantik Konflik?
Para Juru Kampanye Pemilihan Kepala Desa di Lombok Utara yang mestinya jadi pemikat empati pemilih, justru bisa menegasikan pilkades yang rasional, damai, demokratis, dan kaya gagasan
SARJONO; Penulis adalah Mahasiswa Magister KPI Pascasarjana UIN Mataram
MATARAM.lombokjournal.com ~ Gurindam kompetisi pemilihan Kepala Desa (pilkades) serentak pada tiga belas desa 2021 di Lombok Utara, resmi ditabuh panitia pemilihan.
Riuh gemanya terdengar nyaring di antero zona elektoral desa bersangkutan. Musababnya, lelampahan para juru kampanye (jurkam), kerap memantik kontroversi.
Sontak, ragam cuitan pun kerap muncul dan tak jarang menuai pro kontra antar pendukung bakal calon. Kadang acap kontra produktif dengan realitas sosial keseharian masyarakat.
Tidak cukup berhenti di situ, saling sindir antar tim sukses bakal calon pun tak terelakkan terjadi dalam sirkuit memikat empati masyarakat. Misalnya sindiran dengan kalimat tanya “Bagaimana kabar rombongan sirkus?”
Pemilihan diksi ini seolah memantik konfirmasi dengan pesan kerap digelindingkan oleh pihak lain pada kesempatan yang berbeda.
Polemik tampaknya berlangsung tanpa bertepi, isu sampiran datang silih berganti, mengisi ruang-ruang publik bukan hanya tanpa narasi melainkan miskin visi misi, mirip “tong kosong nyaring bunyinya”.
Sikap para jurkam seperti ini berarti sedang menegasikan terwujudnya pilkades yang rasional, damai, demokratis, dan kaya gagasan.
Jika model kampanye seperti ini terus terorganisir, bukan tidak mungkin program-program unggulan yang ditawarkan oleh para calon akan tertutup awan pekat atraksi. Pada akhirnya, pemilih hanya mengingat sensasi, bukan substansinya.
Penulis merasa prihatin atas keadaan yang timbul sehingga perlu mengulasnya, sebab jika tidak ada aral melintang publik desa akan menempuh paparan pesan kampanye hampir 3 bulan lamanya. Waktu yang singkat bagi para calon, tetapi sangat menjemukan bagi para pemilih jika isinya hanya hujatan dan “recehan” keblinger.
Menurut Lilleker dan Negrine, 2000 (Firmanzah, 2008: 271), kampanye merupakan periode yang diberikan oleh panitia kepada semua kontestan, baik para suksesor maupun para calon. Tujuannya memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pemilihan.
Jika merujuk kepada tahapan kampanye calon, setidaknya kurang dari tiga bulan waktu yang tersedia. Saat kampanye merupakan kesempatan bagi kontestan untuk menanamkan pengaruh dan simpati pemilih agar dapat meraup suara sebanyak-banyaknya.
Kesuksesan suatu calon dalam pilkades acapkali ditentukan oleh cara dan strategi yang ditempuh dalam memainkan isu-isu yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Kampanye adalah bagian kecil dari kampanye politik elektoral, maka kampanye Pilkades merupakan seluruh aktivitas politik yang fokus menggiring pemilih ke tempat-tempat pencoblosan. Adapun kampanye yang bersifat jangka panjang berikut dilakukan secara terus menerus untuk membangun image politik.
Bahasa Persuasif
Sebagaimana biasa, sebelum proses pemungutan suara tentu akan dilakukan kampanye-kampanye. Ketika masa kampanye tiba, para jurkam maupun calon itu sendiri akan menggunakan berbagai cara untuk menarik massa.
Salah satunya dengan kekuatan bahasa, maka saat itu pula peran bahasa penting untuk berkomunikasi.
Fungsi bahasa pada masa kampanye biasanya alat menyatakan ekspresi diri yang menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran seorang jurkam. Unsur pendorong ekspresi diri demi menarik perhatian orang lain, masyarakat yang hadir pada prinsipnya juga sedang berkampanye.
Akibat lebih jauh dari ekspresi diri, adalah munculnya komunikasi. Komunikasi tidak akan sempurna jika ekspresi diri seseorang tidak diterima atau dipahami orang ataupun massa yang hadir.
Dalam lokus fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa sebagai kanalisasi perumusan ide-ide atau maksud para jurkam atau calon itu sendiri. Bahasa juga akan dimanfaatkan oleh mereka (calon) sebagai alat kontrol sosial untuk mempengaruhi tingkah laku atau tindak-tanduk orang lain.
Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt) atau tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi. Pun tingkah laku yang bersifat tertutup (covert) atau tingkah laku yang tak dapat diamati. Seorang calon pemimpin akan kehilangan wibawanya, jika bahasa yang dipergunakan saat berkampanye adalah bahasa yang kacau, tidak teratur dan tidak sistematis.
Untuk itu, para jurkam atau calon yang berkampanye hendaknya memiliki kemahiran berbahasa, baik dalam penggunaan bahasa lisan maupun secara tertulis, agar mereka yang mendengar atau diajak bicara dengan mudah memahami pesan yang disampaikan.
Bahasa atau teks yang dipergunakan hendaknya bahasa yang umum dipakai, tidak menyalahi norma-norma yang umum berlaku, serta bersifat persuasif atau mempengaruhi (persuadee).
Inti kampanye adalah membujuk dan mempengaruhi supaya mau bertindak, berbuat sesuai yang diinginkan oleh para jurkam atau calon yang berkampanye. Bahasa (teks persuasif) menjadi suatu hal yang mutlak dipersiapkan oleh tim pemenangan para calon yang akan berkampanye pada waktu yang ditentukan.
Mempengaruhi pendengar, materi kampanye perlu dilengkapi dengan fakta-fakta, data-data yang bersifat kuat, bukti-bukti yang meyakinkan pendengar, menghindari konflik agar kepercayaan pendengar tidak tergerus realitas. Maka, perlu menulis bahasa (persuasi) dengan bahasa yang sangat menarik.
Pada masa kampanye, masyarakat kerap mendengar suguhan bahasa yang menggunakan kata ajakan atau memberi saran rekomendasi seperti “ayo”, “pilihlah”, “sebaiknya”, “mari” dan lain-lain, sebagai ciri bahasa persuasif.
Penggunaan bahasa persuasif saja tidak menjamin seorang calon bisa memenangkan kontestasi pilkades di desa masing-masing ?
Banyak faktor yang turut menentukan, semisal: visi-misi calon, latar belakang kehidupan calon, karisma calon, kinerja tim sukses, dan amunisi (nisbi). Namun di lain sisi, diksi dan penggunaan bahasa secara cermat dan tepat, seturut pula menentukan kemenangan calon-calon yang bertarung di pilkades serentak mendatang.
Magnit bahasa (persuasif) andil mempengaruhi psikologi massa pemilih yang menjadi sasaran kontestan. Bisa dibayangkan jika calon tidak sanggup berbicara, atau bahasa pesannya hanya bersifat naratif dan normatif, maka massa yang hadir tidak akan banyak tersentuh dan terpengaruh.
Semoga para jurkam maupun kandidat yang bertarung mampu mengemas diksi kampanye yang memikat publik (pemilih). Sejarah akan membuktikan. ***
Senyum Abadi dari Sang ‘Smiling Politician’
Sang Politisi yang memiliki Senyum Abadi itu saat sudah tak lagi menjadi Wakil Gubernur tetap pandai mendengar dan selalu tersungging senyumnya yang khas
Lalu Gita Ariadi*)
MATARAM.lombokjournal.com ~ Tanggal 12 Juni 2021 lalu, hari terakhir saya berjumpa Bapak H. MUHAMMAD AMIN SH MSi – Wakil Gubernur ke 5 NTB.
Seakan sama-sama ingin melepas rindu, Pak Amin demikian kami biasa menyapanya, mengundang kami rombongan pejabat Pemprov NTB mampir ke kediamannya untuk santap siang.
Waktu itu kami ramai-ramai ke Sumbawa Besar hadiri acara pemakaman Almarhumah Hj. Siti Fatimah Ungang Dea Mas – ibunda Bapak Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah .
Dalam 3 jam reuni dadakan dan dialog, kami menangkap kesan kuat, tak ada yang berubah pada sosok Pak Amin. Masih sehat dan energik. Stylenya kala menjadi wakil gubernur tetap tak berubah. Pimpinan yang hangat, terbuka, bersahaja, tak berjarak, pandai mendengar dan selalu tersungging senyumnya yang khas. Sang Politisi yang murah senyum.
Kalo bertemu, lebih sering terdengar gelak tawa dibanding hening kernyitan dahi. Suasana diskusi di ruang kerja wagub, rapat di Pendopo Panji Tilar seakan berulang tiada beda dengan suasana sillaturrahmi terakhir di kediaman (villa) beliau di Raberas Sumbawa Besar itu.
Saya mengenal pak Amin diawal tahun 1990 an. Waktu itu, Pak Amin adalah pengacara Sumbawa yang hebat. Kami sering ngopi di kantornya di Brang Biji dekat Bandara Sultan Kaharudin Brang Biji. Kami sering ngobrol bersama.
Kami sama-sama aktif di KNPI Sumbawa era Bung AM Jihad (Ketua), juga bersama Bung Syamsun Asir, Bung Burhanudin Salengke, Bung Majid Abdullah, Bung Jeff, Abah Mang, Oni Pasirlaut, Towe dan lain2.
Meski sama2 aktivis, tapi sering kali kami berada pada sisi yang bersimpangan.
Perbedaan perspektif bisa jadi karena perbedaan posisi. Saya berada di lingkar kekuasaan (inner circle) sebagai staf juru bicara (humas) Pemkab Sumbawa di era Bupati Kolonel Jakob Koswara (almarhum).
Sedangkan pak Amin adalah outsider yang rajin mengkritisi pemerintah. Era ini saya juga kenal dengan Bung Nurdin Ranggabarani, M. Jabir dan lain lain yang sedang nakal-nakalnya jadi orator jalanan.
Perbedaan posisi dan perspektif, hasilkan dialektika yang cerdas dan dinamis. Berbeda tapi selalu merindu untuk bertemu. Perbedaan serius tidak membeku jadi batu sandungan yang mengganggu. Perbedaan selalu mencair karena kepintaran dan gaya humanis Pak Amin yang tetap senyum dalam membangun narasi.
Dalam sebuah momentum pilkada, saya menulis sebuah artikel berjudul: ‘Antara Bang dan Bung Amin’. Bang Amin kala itu adalah sebutan populer tokoh reformasi-personifikasi dari Prof Amin Rais. Politisi ulung yg memimpin gerakan reformasi, popularitas politiknya sedang hebat, tokoh sentral poros tengah tapi tidak maju jadi Presiden, dan justru memberikan kesempatan itu kepada Gus Dur dengan berbagai pertimbangan dan dinamika yang mengiringinya.
Sedangkan Bung Amin tak lain dan tak bukan adalah politisi lokal sumbawa yang juga hebat yang kelak jadi suksesor Pak De Jari Djaelani memimpin DPD II Golkar Sumbawa dan pimpinan di Gedung Dewan Sumbawa jalan RA Kartini.
Saya tulis artikel itu agar Bung Amin yang politisi muda itu jangan maju ikut pilkada. Tetap saja dulu di jalur politik. Biarkan senior Bapak Drs. H. Latief Madjid yang maju jadi Bupati. Waktu itu pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD. Prediksi banyak pihak, kalo Bung Amin serius maju dan sukses melakukan konsolidasi penggalangan fraksi internal dewan, maka kans Bung Amin menjadi Bupati sangat besar.
Seperti biasa, gara-gara artikel itu kami pun terlibat perdebatan. Tapi saya bersyukur Bung Amin tdk marah, tidak juga benci. Bung Amin justru tertawa. Saya senang Bung Amin akhirnya tidak maju. Sayapun senang Pak Latief Madjid terpilih jadi Bupati Sumbawa.
Tahun 1997, saya menulis artikel berjudul : Ketika Sumbawa Dibagi Dua. Lagi lagi kami terjebak dalam perdebatan panjang. Saya yakinkan basis analitik saya adalah ilmu pemerintahan dan administrasi negara, untuk percepatan dan memperpendek rentang kendali pelayanan publik. Bukan tafsir politik atau polarisasi budaya. Sepat tetap sepat, singang tetap singang, tak ada laksana tembok berlin sebagai pembatas. Yang ada, pemerintah hadir lebih dekat layani rakyat.
Tahun 2008, ketika Pak Amin duduk di Udayana sebagai wakil rakyat, kami bertemu kembali setelah lama tak jumpa. Dihadapan banyak kolega sambil ngobrol beliau sampaikan, Bung Gite ini musuh tapi dia saudara saya. Musuh karena sering menjadi lawan diskusi yang sering beda sudut pandang tapi kami tetap bersahabat katanya kala itu. Tak lupa Pak Amin juga cerita tentang polemik artikel cikal baksl terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat.
Tak diduga, 6 tahun setelah polemik, saya harus tanda tangan rekomendasi pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Waktu itu saya Ketua DPRD Sumbawa. Sesuai aturan pemekaran/pembentukan daerah otonomi baru, harus ada rekomendasi bupati dan ketua DPRD Kabupaten induk. Pada waktu saya akan tanda tangan rekomendasi, saya terbayang wajah Lalu Gite, katanya.
Hal ini kami bahas dan cerita ulang kembali ketika 5 hari mendampingi Wakil Gubernur H. Muhammad Amin SH MSi, tahun 2018 awal kunjungan kerja ke Ning Xia Tiongkok, sebuah provinsi yang penduduk muslimnya paling banyak di China. Selama di Ning Xia, banyak hal dibahas termasuk sikap dan persiapannya hadapi pilkada Gubernur tahun 2018.
Satu hal yang justru tak dibahas adalah dengan siapa akan berpasangan. Saya akan setia hingga akhir menunggu petunjuk Pak Gubernur TGB, katanya. Tapi apa pun nanti saya juga adalah pimpinan parpol yang pasti harus menentukan sendiri langkah politik yang akan saya tempuh, katanya.
Awal bulan Agustus ini kesehatan Pak Amin baru kami ketahui dalam kondisi yang kurang baik. Dirawat di RS Manambai Sumbawa Besar. Kami kaget, ketika viral di medsos, flayer urgen dari Sultan Kertapati bahwa Pak Amin butuh donor plasma konvalesen untuk golongan darah B.
Kamis 5 Agustus 2021 pukul 20.35, dr Eka Nurhandini Assisten 3 Setda ProVinsi NTB melaporkan kondisi kesehatan Pak Amin yang malam ini menurun. Jumat dinihari, 6 Agustus 2021, Pukul 04.18 Gubernur NTB – Dr. H. Zulkieflimansyah, share di WAG Forum OPD yang berisi pejabat utama Pemprov NTB, berita duka telah berpulangnya ke rakhmatullah Bapak H. Muhammad Amin SH MSi. Innalillahi waa innailaihirojiun.
Sewaktu menjadi wakil gubernur, saya bersaksi Pak Amin sangat loyal dan setia ke TGB. Pak Amin pemimpin baik yang kini pergi meninggalkan kita semua dengan segala kebaikannya.
Saya teringat senyumnya yang sangat bersahabat. Saya ingin membalas senyum itu untuk menghantar perjalanannya yang panjang. Saya janji tidak ingin menghantarnya dengan kesedihan, walau itu ternyata sulit. Tetap terselip rasa sedih dan haru.
Selamat jalan sahabat, selamat jalan sang pemimpin, selamat jalan smiling politician.
Semoga Allah SWT mengampuni salah khilafmu, menerima segala amal ibadahmu, menjadi ahli surga dan semua sanak keluarga tabah dan ihlas melepaskan kepulanganmu. Alfatehah. Aamiin. ***
*Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi NTB
Optimalisasi Pedapatan Asli Daerah dengan Strategi W-O
* Penulis Sarjono, S.I.Kom; Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram
Refocusing (pemfokusan kembali) anggaran daerah selama Pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan PAD, dan berakibat menurunnya belanja daerah. Karena itu diperlukan strategi untuk optimalisasi PAD
OTONOMI diberikan kepada daerah untuk dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui upaya peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Pendekatan implementasi otonomi dengan konsep money follow function (MFF), sebab salah satu indikator dari kesuksesan otonomi daerah adalah kemandirian daerah.
Torehan sederhana ini penulis ketengahkan berangkat dari hasil evaluasi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang mengalami penurunan, berdasarkan data terbaru (27 Juli 2021).
Salah satu faktor penyebabnya dipicu oleh pandemi Covid-19.
Adanya refocusing (pemfokusan kembali) anggaran daerah selama Pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan PAD. Efek domino penurunan PAD tersebut berakibat pula menurunnya belanja daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa di antara kewenangan yang diberikan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah adalah adanya kewenangan atas pungutan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) sebagai sumber pendanaan di daerah. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kewenangan diberikan semata-mata untuk memperkuat esensi dan posisi otonomi dalam menopang kapasitas fiskal di daerah.
Fakta empiris secara nasional, bahwa tahun 2020 (sebelum penyesuaian akibat pandemi), kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah seluruh kabupaten di Indonesia rata-rata sebesar 12,81 %. Sementara sumber PAD terbesar di daerah berasal dari pajak daerah dengan kontribusi sebesar 71,64 %.
Dengan realita empiris ini perlu adanya langkah-langkah realistis untuk penguatan kapasitas fiskal di daerah dengan mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber-sumber PAD dan penggalian sumber PAD baru.
Upaya yang perlu diambil dengan menempatkan prioritas utama strategi pengoptimalan pengelolaan PAD di Lombok Utara dengan Strategi W-O (weakness–opportunities): membenahi kelemahan guna mengoptimalkan peluang.
Dalam konteks pembenahan kelemahan pengelolaan PAD, beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain.
Pertama, penguatan potensi PAD yang ditopang oleh gambaran jumlah dan volumenya sehingga bisa diestimasi (forecasting), untuk menentukan target dan pencapaian PAD yang optimal. Penguatan dapat ditempuh dengan mengidentifikasi secara menyeluruh atas sumber-sumber PAD, serta mengintensifkan koordinasi instansi penghasil PAD.
Kedua, peningkatan SDM dan kinerja aparatur. Kemampuan aparatur berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan PAD dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Peningkatan kemampuan ini dilakukan dengan mendorong aparatur mengikuti pendidikan dan pelatihan, serta kursus-kursus teknis dalam rangka meningkatkan skill dan kapasitas di bidangnya.
Ketiga, penguatan koordinasi internal manajemen pengelola PAD maupun koordinasi dengan instansi terkait untuk memudahkan aktivitas pengelolaan PAD.
Keempat, penataan regulasi. Kegiatan pemungutan PAD tentu saja tidak terlepas dari adanya regulasi. Penataan regulasi dengan melakukan pengkajian terhadap potensi-potensi PAD yang bisa dikembangkan dan disiasati.
Kelima, penataan sistem informasi dan administrasi pelaporan.
Adapun pengoptimalan peluang dapat ditempuh dengan cara membidik potensi perekonomian yang dapat tumbuh, SDA yang ada, potensi penduduk, serta geliat pembangunan.
Adapun sejumlah langkah yang dapat dilakukan antara lain;
Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Aktivitas perekonomian pada berbagai aspek mengharuskan adanya sumber-sumber PAD yang dapat dipungut dan dikelola secara efisien.
Dalam konteks Lombok Utara, hingga saat ini aspek pertanian yang tidak terkendala perekonomian pada masa Pandemi Covid-19. PAD dari aspek pertanian bisa dioptimalkan, seiring pembangunan sarana prasarana penunjangnya.
Kedua, peningkatan akses dan konektivitas antarwilayah. Sebagai daerah yang baru 13 tahun berotonomi, Lombok Utara memiliki kendala aksesibilitas, sehingga menghambat perolehan PAD.
Ada sejumlah potensi PAD yang dapat dikembangkan jika akses merata ke seluruh wilayah. Adapun langkah yang dapat diterapkan untuk penguatan konektivitas antara lain perbaikan sarana dan prasarana transportasi, serta mengoptimalkan peran dan fungsi koordinasi pada setiap jenjang birokrasi hingga level terbawah.
Ketiga, peningkatan kualitas pengawasan, adalah faktor penting yang menentukan efektivitas kinerja pengelolaan PAD, mealui peningkatan kemampuan SDM di bidang pengawasan, penataan sistem administrasi, pelaporan, sistem informasi serta database yang akurat dan terintegrasi, serta mengefektifkan fungsi pengawasan internal.
Menggali Potensi Sumber Pajak Daerah
Setidaknya, ada tiga langkah yang mesti dilakukan untuk meningkatkan PAD pada era kenormalan baru maupun pada masa-masa mendatang.
Pertama, ekstensifikasi pendapatan, melalui pengelolaan sumber-sumber penerimaan baru dan penjaringan Wajib Pajak/Wajib Retribusi baru. Pengelolaan sumber penerimaan baru terutama untuk lain-lain PAD yang sah dimestikan sebab penerimaan dari PDRD sudah dibatasi atas pemungutan pajak tertentu atau tidak memiliki keleluasaan dalam memungut pajak lain di luar pajak yang bersangkutan (UU Nomor 28 Tahun 2009).
Kedua, intensifikasi pendapatan, dengan optimalisasi penerimaan sesuai potensi daerah dan optimalisasi penerimaan dari piutang. Di antara kunci mencapai potensi pajak daerah yaitu melalui pemutakhiran atau validasi data pajak daerah dan menggali potensi sumber pajak baru.
Validasi data pajak daerah dengan melakukan pengecekan di lapangan secara cermat dan bertahap untuk menemukan apakah data wajib pajak masih sama atau sudah berubah. Adanya perubahan memerlukan penyesuaian basis data.
Untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) perlu dilakukan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) secara berkala, misalnya setiap lima tahun.
Hal ini ditempuh untuk menghindari tidak terlalu jauhnya rentang nilai NJOP dengan nilai pasar di satu sisi, dan menjaga kohesi harga NJOP agar tidak membebani masyarakat (jika penyesuaian NJOP dilakukan berkala tahunan) di sisi lain.
Demikian pula piutang pajak daerah, suatu permasalahan yang mesti diselesaikan karena menjadi salah satu sumber penerimaan daerah. Maka, perlu dilakukan verifikasi piutang pajak kepada seluruh objek pajak daerah untuk memastikan kebenaran data piutang yang dapat ditagih, terutama data piutang PBB-P2.
Khusus piutang pajak daerah yang sudah kadaluarsa sebaiknya dihapus sesuai peraturan perundang-undangan melalui ketetapan kepala daerah.
Ketiga, penguatan kelembagaan, kunci lain keberhasilan optimalisasi penerimaan daerah. Penguatan kelembagaan dapat ditempuh melalui restrukturisasi organisasi sesuai kebutuhan daerah, peningkatan kapasitas SDM aparatur, serta modernisasi administrasi perpajakan daerah.
Upaya ini niscaya diambil sebab kendala yang dihadapi daerah selama ini masih minimnya SDM yang memiliki keahlian di bidang perpajakan khususnya para penilai pajak dan juru sita.
Sementara modernisasi administrasi perpajakan daerah dapat dilakukan melalui penguatan mekanisme pemungutan pajak daerah dimulai dari pendataan, pendaftaran, pembayaran, pengawasan, penagihan hingga pemeriksaan.
Pemungutan perpajakan juga dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi informasi dalam pengelolaan pajak daerah serta kerjasama dengan instansi terkait, misalnya BPN dan PPAT dalam sinergi pengelolaan PBB-P2 dan BPHTB, Kejaksaan untuk pendampingan dalam penagihan pajak daerah, dan Disnaker PMPTSP untuk perizinan dan integrasi sistem informasi.
Selain itu pula, inovasi daerah untuk peningkatan pendapatan daerah juga menjadi kunci keberhasilan peningkatan PAD. Upaya lain yang tidak kalah strategis untuk meningkatkan PAD adalah mencari pendapatan lain selain Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), misalnya upaya optimalisasi BUMD dan aset-aset daerah yang dimiliki pemerintah daerah.
Kemudian, pemetaan aset-aset daerah, mengingat masih adanya aset daerah yang dapat dikelola.
Walhasil, alternatif strategi prioritas utama upaya optimalisasi pengelolaan PAD di KLU dengan membenahi kelemahan guna mengoptimalkan peluang. Optimis dapat meningkatkan PAD di tengah gempuran Pandemi Covid-19 dan ketergantungan dana transfer dari pemerintah secara bertahap dapat dikurangi.
Semoga (*)
Pemda KLU Harus Aktifkan Kembali Satgas Covid-19 Satu Pintu
Penulis: JAHARUDIN
Kabupaten Lombok Utara (KLU) termasuk salah satu wilayah zona orange, karena itu Pemda KLU harus mengaktifkan kembali Satgas penanganan Covid-19 sistem satu pintu
lombokjournal.com ~ Komitmen Pemerintah Daerah dalam mengatasi masyarakat terdampak Covid 19 di Kabupaten Lombok Utara, harus menciptakan suasana kondisi yang bebas. Atau setidaknya menurunkan zona orange Covid-19 yang kecendrungannya meningkat.
Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Lombok Utara untuk menggerakkan kembali tim Satgas Covid 19 satu pintu, agar bekerja lebih maksimal dan tidak cukup hanya oleh satu atau dua OPD saja.
Lombok Utara saat ini telah masuk dalam fase orange. Bukan saja karena menurunnya ekonomi masyarakat, dan pula karena bertambahnya penduduk miskin. Situasi kritis yang dialami pemerintah, karena harus berjibaku melawan penyebaran virus Corona jenis baru atau dikenal dengan sebutan Novel Coronavirus.
Secara resmi virus ini oleh World Health Organization (WHO) disebut sebagai Covid-19 yang berarti “Covid” singkatan dari Corona Virus Disease, sedangkan angka “19” menunjukkan tahun munculnya virus tersebut.
Pemerintahan Kabupaten Lombok Utara sudah mengeluarkan kebijakan penanganan, seperti lockdown dilakukan untuk mencegah masyarakat berkumpul dan berkerumun di tempat-tempat publik sehingga penularan menjadi lebih berisiko. Melakukan rapid test dan Vaksin kepada seluruh penduduk.
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mendeteksi dan menguji seluruh penduduk yang berisiko terpapar Covid-19 sehingga mudah untuk penanganan segera.
Faktanya Lombok Utara termasuk salah satu wilayah zona orange, yang belum juga menurun serta menghawatirkan dan harus berjibaku dengan segala kekuatan untuk bertanding cepat dengan Covid-19.
Virus ini melaju dengan cepat, menginfeksi siapa saja yang melakukan kontak dengan orang yang suspect. Diibaratkan jaringan sosial, infeksi orang pertama akan menyebabkan orang-orang lain terinfeksi, selama mereka melakukan kontak langsung seperti bersalaman.
Pola penularan virus ini tergolong unik, dengan masuk melalui mata, hidung, telinga, dan mulut.
Kian hari, kasus Covid-19 semakin masif, (lihat gambar) yang diperoleh penulis sebagian bersumber dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara per tanggal 23 Juli 2021.
Adanya peningkatan itu mengisyaratkan untuk mengaktifkan kembali tim Covid-19 sistem satu pintu lewat Satgas. Tim Satgas Penanganan Covid-19 yang sudah di SK-kan sudah berakhir sejak 2020.
Sejak bulan Januari 2021 hingga saat ini terkesan kurang efektif. Sistim satu pintu dengan melibatkan OPD maupun unsur yang lainnya.
Selain itu pihak RSUD lebih inten lagi membuka informasi (update) data terkinian sebagai bagian dari antisipasi dan penyebaran informasi melalui media.
BERSIPONGANG anganku mengais kembali keping-keping artefak dari beberapa peristiwa kala bocah di kota kelahiranku. Telah kusaksikan terjadi dan kudengar Ayah Ibu membicarakannya dengan para tamu. Ketika itu belum dapat kumengerti sebab-musabab terjadinya. Kemudian ujungpangkal dan duduksoal kisahnya sudah tersibaklah oleh waktu. Namun impresi kebocahanku atas serpihan dari kejadian itu hingga selanjut ini usiaku tidak jua kunjung selesai mengusik.
Itulah yang membawaku kembali berkunjung ke kota ini.
1
DARI BANDARA seorang famili mengantarku menyusuri jalan datar berkelok. Mengikuti garis pantai di pesisir timur teluk. Panoramanya dulu memesona. Kini tak membuatku terpukau. Kami menuju sebuah perempatan di pusat kota. Dua ratus meter arah timurlaut istana kesultanan. Lalu lintas sedikit mobil dan sepeda motor bersilang arah di sekitar. Arman Jahar, yang mengantarku, menepikan mobilnya di depan pagar halaman rumah pada pojok tenggara dari perempatan. Bangunan rumah tampak sudah berbeda sama sekali. Halaman luas yang ditumbuhi aneka bunga dan pepohonan, tempatku berkemah dan berkuda, semua telah punah. Namun utuh dalam terawanganku. Terekam jelas bentuk lama rumah itu. Bahkan perabotnya, warna kayunya dan susunannya. Dari semuanya, meja makan lah yang mendominasi kenanganku.
Ya meja makan besar terbuat dari kayu hitam itu. Kolongnya cukup luas, bisa menampung kasur tidur untuk Ibu dan dua bocah. Di sanalah kami mengungsi tidur. Dalam remang, seringkali gelap. Setiap malam. Malam yang berulang-ulang. Malam- malam yang diberondong derap tapak banyak orang. Suara dentang pagar halaman yang dipukul dengan besi dan batang kayu. Dan pekik serombongan lelaki perempuan yang meneriakkan lagu entah apa.
Cercah cahaya sebatang lilin yang tegak di lantai tak kuasa mengenyahkan rasa tercekam itu. Listrik dipadamkan, kata Ibu, agar kami di dalam rumah tidak terlihat oleh gerombolan yang selalu berkeliling mengendus dan bernyanyi lantang. Mereka menyusuri jalan di komplek dengan meneriakan lagu yang selalu sama. Asing dalam pendengaranku. Tidak pernah diajarkan Ibu Sinaga, guru TK kami. Setiap mulai terdengar lagu dari barisan itu, Ibu meraih aku dan adik dalam pelukannya. Sekarang,
Saat ini, kurasakan pelukan dekapan Ibu laksana pendar cahaya paling terang pada gulita kala itu. Ketika malam terteror pekik nyanyian tak kukenal dan dentang pagar terhantam besi.
Cukup lama sesudahnya adalah hari-hari tatkala tiada lagi berondongan teriakan lagu dari gerombolan yang berkeliling. Jauh waktu kemudian aku tahu, saat itu adalah hari-hari menjelang ujung tahun 1965.
Pada sekitar waktu itu, kerap pada hari sudah berbungkus malam, Ayah pergi dengan jip hanya berdua dengan supir. Kata Ayah, harus ke hutan jati. Jauh di luar kota. Kami—ibu, aku dan adik—tinggal di rumah dijaga petugas.Namanya, Pak Kus. Mulai menjaga—dan tak pernah pergi—setelah tidak ada lagi rombongan yang berkeliling melantangkan nyanyiannya. Sejak itu ia menempati satu ruangan di luar rumah induk, di sisi garasi. Menyusul hadir dan tinggal di kamar di teras belakang adalah Yusuf. Berasal dari pedalaman, ia murid SMP di dekat rumah. Bersama kawan- kawannya sering berbaris dan berteriak di jalanan mencari-cari rombongan yang menyanyikan lagu tak kukenal.
Pernah terdengar olehku, Ayah menjelaskan pada Ibu, bersama banyak yang lain ia mendapat tugas harus ke hutan jati. “Hadir untuk lihat orang yang ditangkap,” kata Ayah. “Banyak orang sudah diringkus.”
Mengingat itu, aku tercenung. Masygul. Terpaku menepi di sisi pagar halaman rumah. Rumah masa silam di pojok tenggara perempatan. Aku diam termangu.
2
TATAPANKU kemudian beralih ke sebentang jalan lebar di depan rumah. Di jalan ini pada satu siang melintas beriringan banyak truk. Hari itu, tak berapa lama setelah Pak Kus mulai menjaga rumah kami. Dalam iringan truk terbuka yang melintas terlihat orang-orang dan berbagai barang menumpuk. Mereka, orang-orang yang sering kujumpai di toko tempatnya berdagang, melayani pembeli. Kukenal raut mereka. Dua kali dalam seminggu aku dan adik diajak Ayah jalan-jalan ke kawasan pertokoan di sebelah barat istana kesultanan. Mampir belanja di toko pakaian dan toko kue. Atau makan cap cay enak dan mie kuah sedap di restoran. Juga ke pembuat sepatu yang selalu bercelana pendek. Sepatu dan sandalku dibuat oleh tangannya. Aku menyapa mereka, ‘Om Sepatu’, ‘Om Restoran’, atau ‘Om Toko Baju’—sesuai jenis usahanya.
Siang itu, om-om bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya—sebagian temanku di TK. Mereka duduk di atas tumpukan barang dalam truk yang bergerak perlahan. Sebagian berdiri menempel di dinding tepi bak truk. Ada Om yang cuma mengenakan singlet. Tante yang berdaster. Tak ada yang melambai. Hanya menatap.
Mereka berjejal dengan barang-barang. Kain warna warni serta kelambu putih berkibar melambai diterpa angin keluar dari tumpukannya.
Orang-orang dari rumah di sepanjang tepi jalan berhamburan keluar mendengar deru iring-iringanan truk yg melintas. Mereka meruyak, hiruk pikuk. Serupa tatkala menonton pawai perayaan kemerdekaan.
Karnaval. Aku merengek pada Ibu, mengapa aku tak ikut bersama temen- temenku seTK di atas truk? Mengapa ayah ibu mereka, Om dan Tante, turut dalam karnaval? Mana hiasan kertas warna? Mana benderanya?
Setiap peringatan hari kemerdekaan, selalu melewati depan rumah: karnaval anak, gerak jalan, drum band, juga parade segala jenis kendaraan hias dari truk sampai dokar. Semuanya meriah dalam balutan aneka warna kertas maupun ragam busana. Dan pasti banyak bendera kertas.
“Bukan, Nak. Ini bukan karnaval,” ujar Ibu membungkuk ke arahku. Lalu pandangannya kembali ke arah iring-iringan truk.
Tetapi, deru mesin banyak kendaraan itu. Hiruk pikuk orang di tepi jalan. Suasana meriah itu. Aku sedang menonton karnaval. Warna-warni kain diterpa angin. Dan kelambu yang melambai itu.
Aku sudah menjadi murid klas 2 SD di utara istana kesultanan ketika Pak Ali Jahja, kepala sekolah, mengantar masuk ke klas beberapa murid baru. Dan semuanya kukenal. Ada Ang, Kae, Ing, Fung, Cucing, Yong, Cae, dan Sing. Mereka sebelumnya adalah teman-temanku di TK. Pada saat istirahat aku melihat ternyata ada adik Ang di klas 1. Juga dua kakak perempuan Fung jadi murid baru di klas 3.
Teman-temanku kembali. Namun sebagian lainnya teman satu TK tak lagi pernah bertemu denganku. Entah ke mana sejak pergi dalam iring-iringan truk berkelambu melambai itu. Tak pernah kutanyakan itu pada para sahabatku. Tidak ada pula yang membicarakannya.
Hari ke hari kami belajar di klas. Bermain bola. Dan membolos, pergi menonton pacuan kuda. Aku kadang sebangku dengan Ang. Tubuhnya tinggi, kupikir hampir satu setengah kali badanku. Dia sering membantu untuk pelajaran berhitung. Kerap pula aku sebangku dengan Fung. Kami sama bertubuh mungil. Seringkali dia mengajari menggambar.
“Tanganmu jangan kaku. Lenturkan jarimu,” katanya agak dongkol ketika menggurui aku menggambar lengkung pelepah dan detail daun kelapa. Dia terampil menggambar. Bola mata dan manyun bibirnya otomatis bergerak searah gerakan pensil di tangannya. Tak pernah kualami keadaan seperti itu apapun yang coba kugambar.
Kadang Ang dan Fung minta tolong untuk jawaban dalam pelajaran bahasa, sejarah dan pengetahuan umum. Menjelang ulangan kami belajar bersama di rumah Jamil. Rumahnya gedung yang luas. Ayahnya pedagang kain. Di rumah itu sering terdengar musik kasidah dari piringanhitam. Rumah tokonya bersebelahan dengan toko
ayah Ang. Di sekolah, Jamil sebangku dengan Cucing. Syaiful dengan Ing. Dan Rais kadang dengan Yong. Rais lah yang kerapkali membentuk tim 2 x 6 orang untuk laga sepakbola di halaman depan deretan klas. Waktu istirahat, kami bertanding. Mayong, Kae, Rudin dan Rais adalah jagoan pencetak gol. Dua kakak perempuan Fung dan kakak perempuan Rais selalu menjadi supporter adiknya. Fung dan dua kakaknya— kurasa mereka berdua adalah perempuan paling cantik di sekolah kami—adalah anak Om Restoran. Ang kerap menggoda salah seorang kakak Fung. Jamil kepincut pada kakak Rais.
Serapat itu pertemanan kami, tak terdengar ada yang saling membicarakan karnaval truk berkibaran kelambu. Tidak juga ada yang bertanya, misalnya di mana anak-anak Om Sepatu dan anak-anak Om Baju kemudian bersekolah. Mereka teman kami satu TK, sebagian yang tak pernah bertemu lagi denganku setelah karnaval truk berkibaran kelambu.
Dari sisi pagar tempatku berdiri, kelambu tampak masih di pelupuk mata, melambai-lambai. Ranjang di kamar di manakah mereka dulu lalu merangkai kembali kelambu itu?
3
MASIH BERDIRI di sisi pagar, sesaat aku terkesiap. Seketika ingatanku mengapungkan kembali sepenggal cerita yang sempat kudengar saat klas 2 SD. Tentang komandan yang berkuasa memerintahkan penangkapan orang-orang, termasuk yang dibawa ke hutan jati. Belakangan, setelah pindah ke ibukota provinsi, justru komandan ini yang ikut ditangkap. Dipecat. Ditahan. Tidak lama sebelumnya, adik ipar komandan telah juga ditahan di Jawa.
Istri komandan dan adiknya adalah kerabat Ibuku. Anak-anak komandan tentu familiku. Kudengar Ibu dan Ayah bicara, sudah terima kabar bahwa anak-anak serta istri komandan dalam keadaan aman. Dan mereka dipindahkan dari rumah komandan ke rumah yang lebih kecil.
Sedikit yang kudengar mengenai adik istri komandan, dia ikut bersama kakaknya sejak SMP sampai SMA. Berpindah-pindah kota karena pindah tugas suami kakaknya. Selulus SMA, memisah dari kakaknya, ia ke Jawa untuk belajar melukis.
4 AKU MASIH di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan. Kulihat Arman agak menjauh, duduk di atas dinding riol. Kakinya menjuntai di saluran tak berair itu.
“Arman,” kataku mencelahi kebisuan. “Dulu, di halaman rumah kami ini,” aku menunjuk pekarangan di belakang punggungnya, “terpancang empat, mungkin lima, papan kampanye satu partai.”
“Partai apa?” tanya Arman menatapku.
“Tegak berdiri cuma dua hari,” sahutku tak hirau pertanyaannya. “Tiang dan papan kampanye partai itu dicabut, diangkat dari tanahpancangnya. Kemudian dilempar ke atas truk.”
Kelumit ingatanku tentang diringkusnya papan kampanye ini sungguh masih segar belaka. Saat itu aku sudah klas 5 SD. Setelah truk berlalu membawa papan kampanye, kusaksikan beberapa tetangga dan banyak orang tak kukenal datang bergegas. Lantas gerutuan marah bersahutan. Entah kepada siapa dituju. Makian, umpatan dan cacian berkelebatan saling tubruk pada suasana kerumunan.
Tidak berselang lama, muncul seorang yang semua dalam kerumunan mengenalnya. Ia Pak Abu Bedon, pedagang hasil bumi dan ternak. Ayah Rais, temanku seklas. Terkaya dari enam orang kaya di kabupaten ini—lima lainnya pun adalah adik kandung dan para sepupunya. Dari mobilnya, menurutku itu mobil terbaik di kota kami—bahkan lebih baik dari mobil bupati, ia turun dengan mata yg tampak merah. Air mukanya muram sangat. Lilitan sarungnya pun tidak kencang dan tak beraturan hingga ujung bawah lingkar sarungnya tinggi dan rendah. Tampak ia datang dengan terburu-buru.
“Datupa rawi lako doho re… La nga’i danta mena ba ina na.” Dari bibirnya yang dower terlontar umpatan murka sekasar yang bisa memuaskannya.
Kepada siapa orang-orang tua itu melontarkan serapahnya? Yang bisa kuduga ialah kepada para peringkus papan kampanye. Tetapi aku sungguh tak bisa menebak siapa para peringkus. Dan untuk apa mereka melenyapkan papan kampanye. Aku juga tidak tahu kelanjutan setelah amarah yang memuncak itu. Kerumunan itu beranjak bubar oleh gema azan maghrib.
Di pojok baratdaya dari perempatan adalah masjid raya kota ini.Menempati satu blok seluas dua kali lapangan bola. Ketika azan senja itu menggema, kerumunan orang dengan amarah tadi beriringan menuju masjid.
Di masjid itukah amarah melanjut? Atau mereda?
5 PADA SUATU Jumat, satu atau mungkin dua pekan setelah peristiwa diberangusnya papan kampanye. Seperti biasa, di masjid ramai orang yang akan beribadah Jumat.. Meluber sampai ke koridor timur masjid raya.
Khutbah sedang berjalan tatkala insiden itu mendadak muncul. Aku terpana. Beberapa orang beseragam lengkap dengan sepatunya merangsek masuk dari koridor timur. Melangkahi dengan kasar jamaah yang sedang bersila menyimak khutbah. Aku sempat bereaksi ingin tahu. Kutegakan tubuhku dengan menumpukan dua dengkul di lantai bersajadah. Secepat itu pula reaksi tangan Ayah menyentak lenganku. Menggamitku agar bersila kembali.
Sampai di depan mimbar, para penyerbu dadakan mengurung khatib yg seketika itu lalu menghentikan khutbah. Berlangsung ringkas dan cepat, khatib disorong keluar melalui pintu darurat sempit di belakang mimbar. Entah ke mana mereka membawa khatib. Empat orang berseragam berlompatan menyusul keluar melalui beberapa jendela pada dinding barat masjid, di depan saf pertama.
Ibadah Jumat terganggu hanya sekejap. Sekejap saja. Begitu khatib ditarik turun dari mimbar, muazim langsung sigap berdiri dan melantunkan bacaan standar penanda jeda antara selesainya inti khotbah dengan penutup. Sesudahnya muazim itu juga yang sekaligus membacakan penutup khutbah.
Seakan tak terjadi gangguan apapun, ibadah Jumat hari itu berlanjut dengan azan. Kemudian Om Imam memimpin salat Jumat dua raka’at.
Keriuhan terjadi usai salat. Orang-orang tidak langsung pulang. Mereka bergerombol menjadi banyak kelompok di dalam masjid. Ada yang berdiri, lebih banyak lagi yang belum beranjak. Mereka bersila, juga berselonjor di lantai.
Suara kata-kata yang berlompatan dari banyak kumpulan orang itu menggema di dalam masjid. Menimbulkan dengung di seantero ruang yang ditangkupi kubah utama, persis di bagian tengah atap masjid.
Itu atap bergenting tebal. Pernah kudaki bersama tetanggaku si pendiam Ainul dan Zulkifli yang gemar bicara. Beberapa kali selepas zuhur kami mendakinya sampai pelataran sempit persis di kaki kubah. Hanya untuk pamer cerita pada teman-teman di sekolah.
“Sudah kulihat semua atap rumah sekeliling kota ini sampai ujung teluk di kaki langit,” kata Zul sembari merangkak mundur menuruni atap.
Ainul menyeringai. “Selamat dulu sampai teras lantai dua, baru bicara selangit,” ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
Di sisi pagar rumah di pojok tenggara perempatan, terasa bibirku membuka dan agak tertarik melebar. Mengingat itu, aku tersenyum. Baru terpikir olehku, dengung menggema usai Jumat kemelut 50 tahun silam itu mungkin merayap jauh lebih tinggi dibanding tiga pendaki genting.
Kubayangkan, dengung itu berkelindan dalam perut kubah. Lalu menyeruak keluar melalui celah kaki-kaki penyangga mahkota kubah. Di pucuk ketinggian, dengung itu merayapi mahkota, yaitu bintang dan bulan sabit—mengantar semua doa dan kata-kata meraih langit.
6 TIGA ATAU EMPAT HARI sesudah Jumat kemelut sekejap itu. Kakek datang.
Biasa. Mampir dua kali seminggu. Tengok cucu. Ibuku anak tunggalnya.
Kakek seorang yang tertib dan necis. Pakaiannya tersetrika licin. Ujung atas pantalonnya melingkar di atas pusar, diikat ban pinggang. Ujung bawahnya jatuh tepat seinci di atas sepatu yang tersemir mengkilap.Seringkali duduk dengan kaki bersilang. Mengobrol dengan siapapun, dengan Pangeran—adik kandung Sultan—pun, tetap bersilang kaki. Ujung sepatu Kakek kadang nyaris menyentuh ujung sepatu Pangeran yang sama bersilang kaki. Anak perempuan mereka bersahabat dekat. Dua dari sedikit perempuan masa itu yang dikirim sekolah ke Jawa.
Kakek pembaca yang bukan saja rakus. Pada buku-bukunya bisa ditemukan garis tinta merah, biru, hijau, atau hitam di bawah teks yang dianggapnya menarik. Di ruang kosong teks, di tepi kanan atau kiri pada halaman dengan teks yang menarik perhatiannya, Kakek menulis—kadang dalam bahasa Belanda—catatan atau pertanyaan dengan tinta merah.
Kepada tamu, siapapun, yang mampir di rumahnya, Kakek selalu membacakan kutipan teks buku yang telah digarisbawahi. Sekaligus catatan atau pertanyaannya. Tidak perduli tamunya suka atau tak suka. Aku kerap tertawa, geli melihatnya seperti berdeklamasi tatkala membacakan teks untuk tamunya.
Di rumahnya banyak buku. Beberapa rak. Di atas rak yg paling lebar diletakkan bingkai foto—persis foto di dinding rumahku—pria berkacamata, kemeja putih lengan pendek dan berkopiah. “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar,” ujar Kakek menatap foto.
Siang itu aku sedang menemani Kakek di meja makan hitam besar. Membaca koran dan majalah. Aku cuma membolak-balik, membaca judul-judul, melihat foto-foto pada setumpuk publikasi langganan Ayah. Harian Abadi dari Jakarta; Petugas Pos
datang membawanya sekali seminggu, sekaligus 6 edisi; Pesawat terbang jenis DC-3 bekas perang Korea yang diubah jadi pesawat penumpang terjadwal sekali seminggu ke kota ini. Ada juga Majalah Panjimas, Jakarta; Buletin Adil, Solo; Majalah Berita Sketmasa, Surabaya; Ada yg seronok, majalah hiburan Varia.
Ketika itulah masuk Yusuf dari teras belakang memapah Om Tasrif sampai di ruang tengah. Dibaringkan di sofà. Tampak rautnya menahan kesakitan. Siang itu, tajam sorot matanya tampak tak berkilat.
Om Tasrif berkulit gelap. Rahangnya menonjol. Bekerja sebagai pegawai negeri pada satu kantor pemerintah. Ia berasal dari kecamatan dengan tradisi berani untuk tidak takluk. Di sana lelaki bertarung bebas satu lawan satu sebagai perayaan tiap selesai panen. Leluhurnya menolak patuh pada perintah sultan karena perintah sultan harus membayar bea kepada Hindia Belanda. Pembangkangan itu akhirnya mereka tempuh dengan perang. Melawan bedil dan sangkur, tentu kalah dan banyak yang gugur. Anak cucunya bangga, setiap tahun merayakan sikap dan tindakan pendahulunya. Dari komunitas itulah ia berasal. Tak aneh bila cap pemberani lekat padanya.
Dia keponakan Kakek. Sering datang mengobrol dengan Ayah Ibu. Kepadaku dia selalu tersenyum. Kerap membawakan untukku buah srikaya gunung, kadang mangga atau tebu.
Tetapi sekali ini datang tanpa buah di tangannya. Tak tampak senyum. Dia muncul dengan wajah lebam, bonyok, luka. Suaranya terdengar merintih. Tangannya menangkup di bagian perut. Langkahnya tertatih. Tidak lagi tegap.
Dari meja makan dan setumpuk majalah aku beranjak memberitahu Ayah. Kakek tak bereaksi, tetap membaca. Ayah bergegas keluar kamar hanya dengan sarung dan kaos oblong, mendelik ke arah Om Tasrif.
“Tiga hari saya disekap di markas. Begini jadinya,” keluh om Tasrif. Spontan Kakek berdiri.
“Verdomme..Stop sedu merintih itu,” Kakek membentak.
“Komandan yang dulu menangkap musuh, ternyata segolongan dengan yang ditangkapnya. Komandan yang sekarang, saya kira segolongan kita, ternyata menahan dan kejam menyiksa,” jawab Om Tasrif meradang.
“Hei Tasrif, saya disiksa dan dipenjara oleh dua penguasa berbeda sebelum zaman ini,” kata Kakek. Kepal tangannya berkacak di pinggang. “Ketahuilah, Nak. Orang-orang berkuasa datang dan pergi. Seperti musim, ganti berganti. Tetapi yang mereka genggam adalah zat kekuasaan yang sama.”
Kukira Kakek akan diam mendengar Om Tasrif masih meratap. Ternyata tetap bicara. “Orang berkuasa memihak kepentingannya sendiri. Selalu demikian. Di luar itu adalah korban. Bergiliran. Pada saatnya mereka juga adalah korban. Begitulah selalu yang terjadi.”
Tak hirau percakapan itu, Ayah menuju meja kecil di sudut ruang tengah. Diputarnya engkol telepon hitam, lalu berbicara kepada operator sentral telepon minta disambungkan ke telepon rumah dokter Hasan.
Belum lama menikahi sepupu ibuku. Ia paman dari temanku Sing. Dokter satu- satunya di kota ini, bahkan di sekabupaten ini. Baru dua tahun lulus dari Universitas Airlangga sudah langsung diangkat sebagai kepala rumah sakit kabupaten. Rumah dinasnya hanya berjarak empat rumah di sebelah barat masjid raya. Sedangkan rumah kami, diselingi seruas jalan, berada di timur masjid.
Dokter datang dengan tas hitam. Berkacamata tebal. Dan senyum yang tak pernah tanggal dari pipinya yang tembem. Laksana melekat pada wajahnya. Menatap parasnya serasa seisi dunia ini damai belaka. Dokter tidak bertanya yang terjadi pada pasiennya. Hanya menyentuh perlahan dan memeriksa menyeluruh pada permukaan tubuh.
Dengan stateskop tergantung di leher, dan airmuka yang senantiasa memberi senyum itu, ia laksana dewa penyelamat.
7 TUJUH BULAN setelah pemilu 1971 kami sekeluarga pindah ke kota provinsi. Ikut Ayah pindah tugas. Bertemulah aku dengan anak-anak bekas komandan yang ditahan itu. Kami sekolah di tempat yang sama. SMP dan SMA. Ibu mereka kupanggil Uwak. Itu aturan dari Ibuku. “Uwakmu enam tahun lebih tua dari Ibu.”
Aku sering mampir main di rumah kecil Uwak lantaran Anom, teman sebangku di SMP, kerap memintaku untuk menemaninya. Dia menaksir Lala, anak Uwak yang seumur aku. Lincah bergaul. Berlaku dan bertutur manis pada semua orang. Belia ini pandai pula menulis surat. Banyak teman terpesona. Mereka menganggapnya serupa Yessy Gusman, bintang film remaja kondang kala itu. Menurutku, Yessy lah yang mirip Lala karena anak perempuan Uwak lah yang lebih dulu lahir. Berbeda dengan kakak maupun adiknya, Lala tak tampak inferior di tengah pergaulan murid sekolah favorit.
Uwak bekerja apapun yang mungkin demi hidup dan sekolah enam anaknya. Acapkali kutemui sedang menyulam, menjahit atau membuat kue. Juga memasak pesanan tetangga dan kenalan. Kenduri di rumah keluarga jarang tanpa sentuhan
tangannya di dapur.”Yang penting anak-anak sehat, Uwak cukupkan kebutuhannya, dan bisa sekolah,” ujarnya.
Aku cuma mengangguk.
“Kamu tahu, nak…Uwak ibarat setir mobil tanpa kaca spion. Mobil khusus, telah Uwak copot persneling mundurnya. Lantas untuk apa kaca spion? Jangankan penumpangnya, sedangkan Uwak yang nyetir pun sudah tak perlu lihat samping dan belakang lagi.”
Kembali aku mengangguk. Dan mengucap, “Iya Uwak.”
Kuperhatikan tubuh Uwak makin lama kian ringkih. Tampak bagiku kepedihan menderanya. Betapapun ia terlihat berusaha selalu senyum. Sembari menyulam kadang turut mengobrol dan tertawa riang bersama teman-teman anaknya. Baju hangat tebal di badannya, kulihat seperti kukuhnya ketabahan membungkus lara dan perih.
Suami berpangkat overste mendadak sontak tidak lagi bisa bersama oleh sebab yang tak pernah Uwak tahu sebelumnya. Hidup berkecukupan sebagai anak istri komandan seketika terenggut, yang tak pernah Uwak duga akan mengalaminya. Anak bungsu terombang-ambing antara cap tak pernah tumbuh dewasa dengan stigma berkelainan mental, yang tidur berpindah-pindah dari satu rumah kerabat ke kerabat lainnya.
Dengan segala daya upaya Uwak dapat menyelesaikan lima anaknya sampai tamat sekolah menengah atas. Setiap ada anaknya lulus, segera ia berupaya mendapatkan pekerjaan. Hanya seorang yang dapat menjadi pegawai negeri. Itupun dengan akrobat memohon dengan air mata kepada istri jenderal yang menjabat gubernur—bekas atasan suami Uwak.
Adalah keajaiban Uwak dapat bertahan menghidupi sekeluarga. “Martabat dan kehormatan, kalau itu masih penting, kita sendiri yang menentukannya, yaitu oleh yang kita lakukan dalam menjalani hidup ke depan. Kalau ada cibir dan cemooh, biarkan saja. Itu pasti terhadap masa lalu dan keadaan kita saat ini. Kalian anak-anakku, ingat ya, bangunan masa lalu kita sudah rubuh. Telah melakukan apa Papamu dan Om kalian, dua laki-laki itu, Mama pun tak tahu. Apalagi kalian. Jangan pernah menoleh ke belakang. Mulai sekarang Mama yang pimpin ini keluarga. Kita susun bata demi bata bangunan masa depan kita. Apapun yang kita capai, yang lebih penting adalah kita sudah berusaha sebaik-baiknya usaha. Kelak waktu yang membuktikan.”
Begitulah Lala menulis kepadaku dalam salah satu suratnya mengisahkan tentang sikap dan pendirian Mamanya—Uwakku.
Aku merasa, Uwak adalah pejuang. Pahlawan berani hidup. Dengan keteguhan luar biasa, ia bertahan atas beban yang mengepungnya. Juga menghindar dan melawan kepedihan yang hari ke hari mengiris dan mencabiknya. Bukan saja suami dan adik lelaki telah diringkus darinya. Tetapi nyaris kehidupan di tubir jurang itu menggilas dan mengkremusnya.
Adik Uwak, kukenal sebagai Om Ima Hamanda. Begitu ia meminta namanya harus dieja. Bukan cuma Ima Haman. Itu kata seorang ponakannya, anak Uwak.
Haman, nama ayahnya. Tak jelas sebab ia menambah dua huruf pada nama ayahnya, yang ia terakan sebagai nama belakang dirinya. Mungkin—aku sekadar menduga, lantaran keyakinan ayahnya yang seringkali dipertanyakan dan didebat oleh Om Ima.
Pak Haman seorang guru sekolah menengah negeri. Ia menikah dengan sepupu Kakek. Sama dengan Kakek, Pak Guru Haman adalah pengagum seorang berkemeja putih lengan pendek, berkacamata dan berkopiah, yang pernah disebut Kakek sebagai “Perdana Menteri yang menyatukan Indonesia ketika hampir bubar” itu.
Belakangan aku tahu Om Ima adalah seorang pelukis alumnus ASRI Yogyakarta, satu dari lima orang pada awal 1960an mendirikan sanggar seni lukis berpengaruh—bahkan hingga saat ini. Ia ditahan, kemudian dimulailah, yang belakangan setelah bebas disebutnya, “hewan dari penjara ke penjara—tempat kemanusiaan telah hendak coba dipunahkan.”
Dibebaskan 1977 dari tempat tahanan terakhir, jauh di sebuah pulau kecil, terbawa pulang bersamanya: TBC kronis. Jalan pun sudah tak mampu. Ia ditandu.
Berselang setahun atau hampir dua tahun sesudah Om Ima, bebas pula kakak iparnya, sang bekas komandan eksekusi di hutan jati. Pada sekitar saat pembebasan itu, Lala lulus SMA dan berkeras melanjutkan belajar ke universitas di Jawa. Bersikukuh pada kehendaknya, sekukuh Uwak membesarkannya. Dengan bantuan famili, akhirnya Uwak dapat biaya untuk berangkatkan Lala.
Om Ima sudah tampak cukup sehat ketika kebetulan bertemu saat aku mengunjungi Uwak dalam kesempatan mudik liburan kuliah. Tak banyak bicara, Om Ima cuma bergumam, “Di penjara, dari penjara ke penjara, Om diperlakukan jadi hewan. Kemanusiaan dinistakan.” Kemudian menyingkir, berjalan tertatih menuju kamar tidur. Ia tak menanti tanggapan atas ucapannya.
Kabar yang menggembirakan Uwak dan suami—yang terbaring sakit—serta anak-anaknya, akhirnya datang. Lala diwisuda sebagai sarjana.
“Yang ini melebihi cantik ibunya waktu muda,” dengan airmata tertahan begitulah Ibuku memuji Lala ketika datang sowan setelah wisuda sarjana.
Pada awal 1990an di teras Wisma Seni TIM, Cikini, Jakarta, aku berpapasan dengan Om Ima.
“Ehhh, Om Ima… Sehat yaa,” seruku spontan—tak menduga bertemu dengannya pada sebuah pagi berkilau cerlang mentari.
Kami ternyata sama menginap di wisma yang bertarif 50 ribu perak per orang per malam itu.
“Iya… Beginilah. Lumayan,” jawabnya. Senyumnya tampak hanya segaris.
Kami berpelukan. Terasa olehku tipis tubuhnya. Dan bergetar. Kupikir tinggal semangat yang membuatnya kuat bertahan. Kulihat itu pada sorot matanya.
“Kembali melukis, Om?”
“Itulah enerji hidup ini. Tapi begini ya… Sudah belasan tahun di luar penjara. Memang bebas… Tapi terasa masih… masih digantung … terutama lantaran … apa itu
…kehormatan yang belum pulih,” ujarnya patah-patah.
Aku jadi merasa canggung. Kehilangan kata-kata untuk merespon Om Ima.
“Ayo Om, kita pulang kampung,” ujarku sekenanya. “Mungkin di kampung bisa ..”
“Om memang ingin pulang,” sahutnya menyambar kalimatku yang masih diawang-awang. “Tapi…Semua membenci. Tak seorang pun keluarga dan kerabat di sana yang mau terima Om pulang.”
“Eh Om, lahir di sana ‘kan tidak mesti mati dan bermakam di sana,” ujarku. Dia terkekeh. Terdengar getir.
8
AKU MENGINGAT momen di TIM Jakarta itu dari tepi pagar halaman rumah di pojok tenggara perempatan. Rumah masa lampau. Kemudian kuajak Arman berkendara keliling kota ini, ke area seputaran tempat kelahiran Uwak dan Om Ima. Sekaligus mampir makan enak di warung peninggalan Om Madura, ayah temanku Gatot.
Masakan kambing dengan resep Om Madura yang terkenal lezat ini lebih mirip tengkleng ketimbang soto—sebagaimana dikenal sejak mula kisah tatkala dijual keliling dengan gerobak dorong. Kuahnya berbumbu aneka rempah. Dagingnya disajikan lengkap dengan tulang. Tidak pakai santan, maka bukan soto apalagi gulai. Tidak pula bening, maka bukan sop.
Sebelum aku lahir puluhan keluarga Madura sudah bercampur baur saling silang kawin mawin dengan warga setempat. Temanku Gatot lahir sebagai generasi kedua, mungkin ketiga, peranakan Madura di kota ini. Saat kukunjungi warung peninggalan ayahnya ternyata sudah di tangan generasi anak dan ponakan dari Gatot. Bahkan siap- siap dioper ke generasi cucunya.
Lokasi warung ini tak pernah pindah, masih di tempat yang sama sejak aku TK 55 tahun silam. Di dalam kawasan kampung tempat Om Ima lahir. Sembari kunikmati daging dan kuah berbumbu rempah itu, Gatot bermata bulat besar itu masih tertawa- tawa menyerap ceritaku. Bahwa pernah kejadian dalam hidupku, tak mampu menemukan masakan seperti yang sedang kukunyah ini setelah 3 hari 2 malam mengubek-ubek dari Bangkalan, Pemekasan sampai Sumenep. Bahkan dalam rute sebaliknya pun masih kucari dengan penasaran.
“Namanya memang Soto Madura. Tapi ndak mungkin ada di Madura … Ha ha ha
… Ndak ada….. Ini menu racikan orang Madura di sini .. Kakek Nenek kami Madura di sini… ini formula yang sudah disesuaikan dengan selera lidah orang sini,” Gatot berkisah tentang moyangnya, perantau awal yang menetap atas ijin sultan.
Tampaknya makanan pun, di mana dimasak di situ selera dijunjung.
Menikmati formula bumbu moyangnya Gatot, aku ingat cerita Ibuku tentang perkembangan Lala tahun-tahun berikutnya selepas wisuda. Bekerja swasta. Menikah. Tinggal di Jakarta. Membangun usaha dagang scrap alias besi tua dengan suaminya. Beberapa tahun sudah bisa membeli tiga rumah besar. Berlimpah kekayaan materi. Dan diberkahi empat anak.
Suatu hari sesudah 2010 aku mencoba menemui Lala. Tak dapat kujangkau. “Gak pernah bisa sama kesempatan kita yang lowong acara,” kata Lala mendahului bicara ketika kutelepon.
“Banyak acara bisnis dan banyak pengajian,” lanjutnya.
“Orang kaya sibuk Ya sudah, kita ngomong di telepon saja,” sahutku.
Kudengar Lala tertawa mengikik.
“Aku cuma ingin Lala bantu Om Ima ”
“Ah, Om Ima udah beda, dia pindah jadi .ituu….” Lala memotong cepat kalimatku yang belum selesai.
“Lala ngomong apaan sich? Apanya yang beda? Pindah dari jadi apa ke jadi apaa?”
“Pokoknya beda … Dia beda dengan kita sekeluarga.”
“Dari kita belum lahir sampe kita tua, Om Ima juga udah beda dengan kita. Tapi kan tetap om kita.”
“iiihhh … Bukan itu. Dia udah menganut agama tapi beda dengan kita.”
“Ohh itu….. Soal keyakinan… Itu wilayah bebas merdeka tiap-tiap orang untuk berbeda pilihan yang diyakininya. Toh kita semua sama-sama mengabdi pada Zat Tuhan yang Satu, yang sama. Aku bukan mau bahas itu… Tapi mau minta Lala bantu Om Ima Saling bantu saling tolong, jangan pilih-pilih berdasar keyakinan.”
“Udah sering kubantu. Kirim-kirim semampuku.”
“Yeee …Bukan uang. Menghina dia memberinya uang belas kasihan. Dia gak butuh uangmu. Jadi OKB jangan sombong, Lala.”
“Apaan sich? Terus aku mesti bantu apaa?”
“Lala lakukan sesuatu, yakinkan, bujuk, keluarga besar di kampung agar mau terima Om Ima pulang dan menjalani sisa umurnya di sana. Sudah lebih 70 tahun, sakit-sakitan pula. Itu angannya, kerinduannya. Mungkin dia mau menunggu saat pergi dengan tenang nyaman di tengah keluarga di kampung.”
“Waduh, itu beraat. Berat. Justru enggak bisa tenang. Bisa dikucil dan dikata-dikatain di sana. Semua sudah bilang menolak.”
“Lala sering menyumbang keluarga di kampung. Mereka pasti berubah kalau Lala yang minta,” aku agak mendesak.
“Gak ada celah. Aku gak bisa. Gak mampu bantu alirkan kerinduan yang ini. Angkat tangan. Dan mohon maaf. Kita hormati pilihan keyakinan Om Ima. Harusnya kita hormati juga sikap berbeda yang diambil keluarga di kampung.”
“Tega banget tuh orang-orang, menolak kehendak seseorang, keluarga pula, menetap kembali di kampung tempat kelahirannya, untuk mencoba nyaman pada sisa umurnya,” sungutku mulai kesal.
“Buat apa juga pusing dengan tempat hidup dan mati. Sendiri dan tersisih tak bisa dijawab dengan melarikan diri ke dalam tempurung. Om Ima mestinya terus aktif saja melukis lagi. Siapa tahu ada kolektor gila kelak menggilai karyanya. Tuh temannya sesanggar, yang melukis celeng adalah tiran, ‘kan sama dulu juga dari penjara ke penjara. Sekarang jadi hebat. Dihormati orang. Lukisannya mahal. Kehormatan harus diperjuangkan. Aku belajar dari Mama. Mestinya dia kuat seperti Mama. Om Ima terlalu banyak lihat kaca spion sich. Mandeg daya kreasinya karena selalu meratapi masa lalu……”
“Hei Lala, cerewet. Stop ceramah. Om Ima ‘kan tetap melukis. Ada kolektor yang tampung lukisannya. Bukan perihal itu aku meneleponmu. Intinya, mau apa tidak bantu Om Ima diterima pulang tinggal di kampung? Dia mau kerja melukis di kampung.”
“Gak bisa. Berat. Pokoknya Om Ima jangan cengeng deh.” Kemudian ‘jeb’—Lala menutup telepon.
Buntu. Mentok sudah. Nasib Om Ima. Sendiri. Dan tersisih.
Setelah perjumpaan di TIM itu, dan percakapan telepon dengan Lala, lama tidak terdengar kabar berkenaan dengan Om Ima, Uwak maupun tentang suami Uwak. Sampai seorang teman menelepon. Temanku SMP dan SMA, tetangga beberapa rumah dari rumah Uwak. Dan ia seorang dokter. Sang dokter berkisah mengenai Lala yang membeli rumah besar milik tetangga Uwak. Lalu tembok pemisah dirubuhkan. Lantas rumah kecil Uwak dan rumah besar baru dibeli itu sama-sama direnovasi dan digabung jadi satu menjadi rumah dengan banyak ruang yang jembar. Halamannya pun jadi lebih lapang.
“Memangnya kenapa, Pak Dokter? Bagus dong Si Lala. Mencoba meraih kembali masa kecil riang berkecukupan yang dulu seketika terenggut. Inisiatif anak berusaha bikin suasana hidup nyaman agar Mama Papanya jadi sehat dan berbahagia,” ujarku merespon cerita sang dokter.
“Iya, bagus. Orangtua Lala kelihatan memang happy sekarang. Tadinya aku mengincer rumah itu. Eh keduluan Lala,” sahut dokter.
“Tuan ini dokter atau pedagang jual beli properti?” Kudengar dia tertawa berderai sambil memaki.
“Pak dokter mestinya sesekali bantu periksa kesehatan beliau berdua. Kan sudah pada uzur tuh,” kataku.
Berkeliling seputaran kota ini telah mengapungkan hampir semua halaman- waktuku kala bocah dan belia. Perkisahan ini sekadar sepuing dua-puing yang dapat kuceritakan. Ada sepercik luka dan perih. Mungkin setangkup kegetiran. Ada secercah elan dan harapan. Barangkali setangkup optimisme. Semua itu—lazimnya kehidupan— adalah latar yang melengkapi kesementaraan.
9 BEBERAPA TAHUN setelah nyaman berbahagia—sering dalam sakit—di rumah yang jembar itu, sang bekas komandan, suami Uwak, wafat.
“Semua keluarga tabah menerima,” kata Ibu mengabariku melalui telepon.
Ihwal duka dan belasungkawa lah yang kian sering saling dikabari di antara teman-teman seiring makin tua usia kami. Daniel, temanku membolos, memberi kabar bahwa Jamil tewas dalam kecelakaan sepeda motor. Joewel, saudara kembar Daniel, meninggal menyusul Johanes kakak mereka. Zulkifli, yang kemudian menjadi arsitek spesialis masjid, mengabari adiknya wafat.
Tujuh tahun setelah suaminya berpulang, lalu Uwak menyusul mangkat dengan tenang di tengah semua anak dan mantu serta para cucu yang menungguinya di rumah sakit.
Ang juga mengirim pesan bahwa Fung sekeluarga sedang berduka. Dalam ingatanku, sekeluarga Fung pindah ke Jawa setelah semua tiga kakak-adik ini lulus SD. Belum genap 10 tahun menetap di Jawa santer kudengar mereka menjadi satu keluarga dari 5 Terkaya Indonesia. Posisi yang kemudian selama puluhan tahun hingga kini tetap bertahan. Dan selalu menjadi berita media massa mainstream maupun media sosial.
“Papanya Fung meninggal dunia karena sakit,” Ang menulis pesan.
Kubayangkan Ang—yang memilih nyaman di kampung dan meneruskan toko ayahnya
—mungkin masih memendam hasrat masa bocah SD.
“Sekeluarga Fung datang ke kampung dengan jet pribadi membawa abu jasad mendiang.” Begitulah Ang menutup pesannya.
Belakangan Fung sendiri mengirimiku kabar, abu jasad papanya (di masa lalu biasa kusapa ‘Om Restoran’ itu) telah ditabur oleh anak cucu di tengah perairan teluk tepi barat kota ini . “Itu pesan Papaku ketika sakit. Abunya harus ditabur di teluk di kampung halaman,” tulisnya.
Pesan dari Fung tadi, sungguh kuingat dengan pasti, ketika itu tak urung telah memaksaku membacanya berulang-ulang. Teringat lagi olehku bocah temen-temen TK dan orangtua mereka yang tak pernah kembali setelah karnaval truk berkelambu melambai itu. Lalu kuketik jawaban untuk Fung. “Pada zaman ini, kita tidak tahu pentingnya seseorang masih memiliki kampung halaman. Tapi, Papamu ada benarnya. Mau di mana lagi kampung halaman kita—tanah tempat pulang, tempat kita merasa berakar dan bertaut dengan puak maupun leluhur, sedangkan luka dan gembira masa silam kita, juga kakek nenek kita lahir, hidup, mati dan dikuburkan di sana.”
Memiliki tempat untuk kembali, tanah terakhir yang dikehendaki—sebelum akhir……………
Hasrat dan kerinduan Om Ima yang tak pernah sanggup ia raih hingga kemarin, ketika virus maut itu merenggutnya. Misa Requim pun urung mengiringi perjalanan terakhirnya.●
#Bima – LabuanBajo, Medio 2020
Mempercakapkan Zaken OPD di Pemerintahan Djohan-Danny
Dibutuhkan birokrasi profesional yang jadi kunci keberhasilan pemerintahan, karena itu penting mempercakapkan Zaken OPD, yakni figur-figur jajaran pembantu bupati yang memiliki kompetensi bagus di bidangnya.
——- SARJONO; Penulis adalah Mahasiswa Magister KPI Pascasarjana UIN Mataram
lombokjournal.com ~ “Serahkanlah semua urusan pada ahlinya”. Kalimat ini adalah penerang jalan kebangkitan daerah Lombok Utara di tengah senjakala birokrasi saat ini. Satu sisi butuh percepatan atas seabrek pekerjaan rumah yang kini sedang menanti penyelesaian.
Disisi lain, birokrasi daerah sebagai penggerak pembangunan daerah masih memerlukan penataan-penataan SDM sesuai dengan fokus dan lokusnya.
Secara sederhana kalimat di atas dapat kita analogikan sebagai berikut. Misalkan, seorang ayah ingin anaknya pintar bermain tenis meja, serahkan pada pelatih teknis meja ternama. Atau jika ingin kualitas pembangunan infrastruktur bagus dan berkualitas, serahkan pada orang yang tahu ilmu konstruksi.
Demikian pula ketika mempercakapkan soal politik dan pemerintahan. Maka segala hal ihwal tentangnya haruslah dipegang oleh orang yang benar-benar kompeten. Begitu kira-kira, hemat penulis, makna sederhana ungkapan di atas.
Torehan ini penulis ketengahkan ke ruang publik, musababnya saat ini percakapan komposisi birokrasi yang akan dibentuk oleh Bupati dan Wakil Bupati terpilih Lombok Utara, H. Djohan Sjamsu, SH dan Danny Karter Febrianto, ST, M.Eng.
Berbagai spekulasi liar merebak jika jabatan-jabatan penting di birokrasi akan diisi oleh orang-orang yang dianggap berkonstribusi terhadap pemenangan pasangan Djohan-Danny dalam Pilbup Lombok Utara 9 Desember 2020.
Memang, terlalu dini memunculkan spekulasi semacam itu, pasalnya usia pemerintahan Djohan dan Danny belum genap empat bulan, terhitung sejak dilantik pada tanggal 26 Februari 2020 di graha bhakti kantor gubernur oleh Gubernur Zulkifliemansyah didampingi Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah dan sejumlah pejabat teras Pemprov NTB.
Luput dari berbagai spekulasi dan kecurigaan publik yang boleh jadi dianggap sebagian kalangan sebagai wacana prematur, dalam amatan penulis, keterlibatan warga dalam mengawal pemerintahan Djohan-Danny adalah langkah maju yang patut mendapat apresiasi seperlunya.
Kemenangan fantastik pasangan Djohan-Danhy (JODA AKBAR) pada Pilbup Lombok Utara dengan perolehan suara 56,1 %, mengalahkan pasangan petahana, Najmul Akhyar-Suardi (NADI) yang harus puas mengantongi dukungan suara 43,9 % adalah bukti jika ekspektasi publik untuk pasangan ini cukup tinggi, (www.suaralomboknews.com).
Zaken OPD
Birokrasi profesional menjadi kunci keberhasilan pemerintahan lima tahun ke depan. Komposisinya diisi oleh figur-figur yang mumpuni di bidangnya masing-masing sehingga program pembangunan yang telah dituangkan dalam blue print pemerintahan Djohan-Danny bisa terealisasi dengan baik.
Konsekuensinya: Djohan-Danny harus berani mengambil sikap tegas untuk tidak diintervensi oleh kepentingan manapun jika ingin pemerintahan yang mangkus-sangkil dan maksimal.
Kendatipun tidak bisa dimungkiri bahwa kemenangan yang diraih oleh keduanya memang hasil kerja keras banyak pihak. Banyak spektrum kekuatan yang berkolaborasi menjadi satu kekuatan dahsyat untuk memastikan pasangan ini keluar sebagai juara. Memang politik punya perspektif kepentingan, sehingga tepat rasanya istilah klasik: tidak ada makan siang gratis, digunakan. Semua punya nilai kepentingan yang mesti dibayar.
Namun luput dari kepentingan, ada baiknya sejenak kita menoleh ke belakang mencermati kondisi Lombok Utara tiga tahun silam, sesaat pascagempa mendera, daerah otonomi yang baru beranjak menapaki usia 13 tahun ini tampak seperti “kota mati”. Baru saja bangkit dari siuman akibat gempa beruntun ribuan kali mengguncang, tetiba kita dikejutkan dengan pandemi Covid-19. Wabah penyakit yang bermula menjangkiti masyarakat Kota Wuhan China.
Dari sana kemudian menyebarluas ke seluruh penjuru dunia, menembus sekat ruang dan waktu, bergerak cepat melintasi koridor batas-batas benua/negara. Lombok Utara pun tidak luput dari serangan virus corona. Menciptakan suasana kian mencekam, lebih menakutkan dari bencana gempa dan tsunami sekalipun, lantaran sifatnya yang tidak kelihatan. Dampak yang ditimbulkan disadari luar biasa.
Daerah ini mengalami keterpurukan dalam berbagai sendi kehidupan akibat dua bencana menghantam daerah dalam kurun dua tahun terakhir: gempa bumi 2018 dan pandemi Covid-19 setahun silam, nyaris seluruh aspek berdaerah lumpuh, perekonomian daerah tiarap, APBD turun drastis, dan seterusnya.
Beberapa deskripsi kondisi berdaerah seperti diuraikan di muka layak direnungi bersama, menjadi pertimbangan matang bagi para pemegang otoritas kepemimpinan daerah sebelum melakukan penyegaran pejabat OPD.
Menjadi wacana yang solutif di tengah isu mutasi yang akan dilakukan oleh kepala daerah. Langkah yang mesti dicoba oleh pimpinan daerah periode 2021-2026, jika ingin menghendaki stabilitas politik dan berpemerintahan membaik.
Zaken OPD adalah jawabannya. Orang-orang terpilih di jajaran pembantu bupati adalah orang yang memiliki kompetensi yang bagus di bidangnya. Misalkan saja, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, siapa yang menjabat. Ia adalah ahli di sektor pertanian, kelautan, perikanan dan pangan.
Ia juga jago, atau paling tidak mengerti keempat aspek tersebut serta berlatar belakang dunia pertanian, pangan, kelautan dan perikanan. Kepala Bappeda, ia adalah orang yang mengerti dan memahami kredo persoalan perencanaan pembangunan.
Demikian pula Kepala Dinas Kominfo, ia harus benar-benar mengerti soal komunikasi (publik) dan teknologi informatika berikut dinamika informasi dari waktu ke waktu. Terlebih dinas ini memliki tupoksi, salah satu di antaranya sebagai “Humas Daerah”, dalam arti luas.
Pun, Kepala Dinas Pariwisata. Siapa yang layak, tentu jawabannya adalah orang yang memahami seluk beluk dunia pariwisata, punya jaringan yang luas, tahu strategi promosi wisata, punya inovasi mengembangkan destinasi pariwisata, dan mampu mengelola aset-aset pariwisata strategis, dan sebagainya.
Apalagi seperti yang kita tahu, bahwa sumber terbesar PAD Lombok Utara berasal dari sektor pariwisata.
Sekali lagi, zaken OPD atau birokrasi profesional menjadi solusi terbaik, karena diisi oleh orang-orang dengan kapasitas mumpuni, punya etos dan visi kerja yang tinggi. Di sinilah, menurut penulis, kapabilitas dan kredibilitas kepala daerah diuji.
Kontestasi telah usai, namun meninggalkan beberapa coretan-coretan sejarah sepanjang proses pelaksanaan pemilukada 2020, berdampak pada kehidupan masyarakat. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menangkap tren elektoral seraya berdiri paling depan memastikan kebangkitan bumi pertiwi adi mirah paer daya.
Traits Theory
Dalam teori kepemimpinan “Traits Theory”, kehadiran seorang pemimpin dalam masyarakat dilahirkan atau tidak dilahirkan (Steve Wolinski, 2010). Dalam teori ini, keberhasilan dan kualitas pemimpin ditentukan oleh personality dan ability.
Oleh sebab itu, Bupati sebagai seorang pemimpin yang dilahirkan dari proses kompetisi politik sudah seharusnya memiliki kepribadian role model bagi rakyatnya serta punya kemampuan dalam mengatasi persoalan yang ada di tengah masyarakat. Ordway Tead (1931) dalam bukunya berjudul “The Art of Leadership”, berpandangan kepemimpinan adalah penggabungan perangai yang membuat seseorang mungkin dapat mendorong beberapa pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Oleh karena itu sudah saatnya pucuk pimpinan daerah mulai menyaring kepala-kepala OPD yang ada saat ini sembari mencari figur-figur baru yang dapat membantu menata eskalasi etape pemerintahan daerah. Hal utama yang mesti dilakukan bagaimana memastikan figur yang terpilih adalah sosok yang bersih, mampu mengeksekusi program, mempunyai keahlian manajerial, dan tentu yang tidak kalah penting, sosok yang cerdas.
Kepala daerah memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kedaerahan lain yakni hak prerogatif, adalah hak kepala daerah untuk mengeluarkan keputusan atas nama daerah, bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Jadi, Zaken OPD merupakan susunan OPD-OPD pembantu bupati yang diisi oleh para teknokrat atau kaum profesional dalam bidangnya masing-masing agar betul-betul dapat merumuskan persoalan yang tengah dihadapi daerah.
Tujuan dan fungsi dibentuknya zaken OPD, tentu untuk menghindari terjadinya malfungsi OPD, menghindari terjadinya malpraktek di OPD serta memaksimalkan kinerja dari para kepala OPD beserta jajarannya. Semoga ***
Beri Perhatian Saat Anak Pegang Handphone
Jaka Prawira Dirja, mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram
Di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, penggunaan handphone di kalangan perlajar dan mahasiswa tidak dapat dihindari. Mulai dari anak di bawah 10 tahun pun sudah memiliki handphone atau HP atau tepon genggam, setidaknya ia mulai diberi keleluasaan pegang pernangkat komunikasi itu.
Penggunaan telpon genggam dalam waktu yang lama dapat membuat mata menjadi sakit. Apalagi bila digunakan selama berjam-jam. Bukankah anak-anak di masa sekarang sering sekali menggunakan telpon dalam jangka waktu yang cukup lama.
Karena beragam alasan, biasanya orang tua pun tidak menegur. Justru (biasanya) membiarkan anaknya menggunakan alat komunikasi itu hampir tanpa batas waktu. Padahal, kalau anak-anak semakin diberi kebebasan seperti itu, maka anak-anak semakin tergantung dan dikendalikan oleh telpon genggam.
Orang tuanya juga membiarkan anaknya fokus dengan HP-nya, alasannya karena anaknya lebih diam di rumah dan tidak keluyuran. Padahal sebenarnya itu akan membahayakan dan juga dapat menyebabkan anaknya jadi kurang bergaul. Dan cenderung apatis alias kurang menjalin komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya. Ini merupakan tanda-tanda seorang anak yang kecanduan.
Kecanduan terhadap telpon dapat mempengaruhi pola makan dan juga pola pikir anak. Tanda-tanda yang jelas, anak-anak jadi kurang nafsu makan (bahkan bisa jadi kurang tidur) karena terlalu fokus dengan HP-nya. Kita pun bisa langsung merasakan bahwa memandang layar HP yang berlebihan bisa menyebabkan terganggunya saraf mata dan otak. Karena jam tidur terganggu dan juga mata kurang istirahat.
Ada beberapa kasus, berlama-lama fokus dengan HP menyebabkan gangguan jiwa hingga kebutaan anak-anak di bawah umur. Sebagian besar orang sebenarnya sudah mengetahui, HP yang diberikan pada anaknya hanya sedikit waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Justru waktu yang lama digunakan untuk bermain game online dan yang lainnya.
Disini peran orang tua sangat penting dan dibutuhkan dalam mengawasi dan juga mengamati kegiatan anaknya saat bermain telpon. Apakah mereka hanya membuka situs belajar atau yang lainnya.
Tetapi seringkali (karena berbagai alas an, orang tua suka lalai. Sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk penanganannya menurut saya pribadi, harus ada perhatian dan memberi batas waktu bermain HP anaknya. Kesadaran dini dari orang tua diperlukan, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan menimpah anak-anak yang kita cintai.***
Media Sosial Pengaruhi Perilaku Remaja
Yudis Dwi Prayuda, mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Mataram
Teknologi komunikasi makin maju, dan berbarengan dengan itu (tidak dipungkiri) manusia makin membutuhkan hadirnya internet dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini kebutuhan akan jaringan internet makin dibutuhkan manusia, baik dalam kegiatan sosialisasi, pendidikan, kegiatan bisnis dan sebagainya.
Tentu saja, kesempatan ini menjadi peluang bisnis yang langsung disambut dengan gesit oleh vendor smartphone (telpon pintar) serta tablet murah yang sangat mudah dijumpai dan menjadi trend. Mari kita perhatikan, sekarang ini (hampir) semua orang memiliki smartphone, dan dengan demikian manusia makin membutuhkan jaringan internet.
Dan hadirnya smartphone maka media sosial pun ikut berkembang pesat.
Media sosial merupakan situs di mana seseorang dapat membuat web page pribadi, dan terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama, untuk berbagi informasi dan melakukan komunikasi.
Jika media konvensional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet.
Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk bergabung dan berpartisipasi dengan memberikan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta memberi informasi dalam waktu yang cepat dan tak berbatas. Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Di dalam media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat berkomunikasi kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan atau pergaulan sosial. Seseorang yang asalnya ‘kecil’ dan ‘bukan siapa-siapa’ tiba-tiba berubah menjadi figur yang sangat dikenal, dan menjadi ‘besar’ serta menjadi ‘perbincangan ramai’. Hal seperti itu memungkinkan terjadi dengan adanya media sosial, Dan begitu pun sebaliknya, orang yang semula ‘besar’ tiba-tiba menjadi ‘ubukan siapa-siapa’.
Bagi masyarakat indonesia khususnya kalangan remaja, media sosial seakan sudah menjadi kebutuhan pokok, seperti makan dan minum. Ada yang menyebutnya sudah seperti candu, karena tiada hari yang dilalui tanpa membuka media sosial. Bayangkan, hampir sepenuh waktunya dalam sehari-hari tidak lepas dari smartphone.
Media sosial yang paling sering digunakan oleh kalangan remaja antara lain: Facebook, LINE, Whatshapp, Twitter , Path, Youtube, Messenger.
Masing-masing media sosial tersebut memiliki keunggulan tersendiri dalam menarik pengguna media sosial yang mereka miliki. Media sosial memang menawarkan banyak kemudahan yang dapat membuat para kalangan remaja betah berlama-lama berselancar di dunia maya.
Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi feedback secara terbuka untuk berkomentar, serta membagikan informasi yang diperoleh dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.
Kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasanya memposting kegiatan pribadinya, curhatannya, serta foto-foto bersama teman-teman dan keluarga. Dalam media sosial siapapun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tapa rasa khawatir.
Karena dalam internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan identitas atau jati diri untuk melakukan suatu tindakan kejahatan. Padahal dalam perkembangan sekolah, remja berusaha mencari identitasnya dengan bergaul bersama teman-teman sebayanya.
Namun saat ini seringkali remaja yang beranggapan bahwa semakin aktif dirinya di media sosial maka mereka akan dianggap semakin keren dan gaul. Sedangkan remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap kuno atau ketinggalan jaman dan kurang gaul.***