Cerita Lain Hilangnya Siti, Pendaki Rinjani Dari Jakarta.

Dilaporkan pada malam hari, petugas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) baru berangkat siang hari berikutnya

Jum’at, 28 Juli 2017 sekitar pukul 14.00 WITA saya bersama dua orang kawan memulai pendakian dari titik awal menuju puncak Gunung Rinjani.

Kami tiba di puncak pada hari Minggu siang. Di sanalah kami bertemu seorang wanita muda berjilbab merah bersama rombongan pendaki yang berjumlah sekitar 20an orang. Mereka mengaku datang dari Jakarta.

Wanita muda tersebut memang paling kami ingat karena sempat bergantian saling memotret bersama kawan-kawan saya. Puas menikmati puncak pendakian, Wanita muda tersebut meminta diri untuk turun lebih dulu.

Namun ia menitipkan semua perlengkapan gunungnya pada salah satu kawan satu rombongannya. Pastilah ia akan cari tempat untuk buang air pikir saya. Saya sempat memperingatkannya untuk berhati-hati. Ia pun melenggang pergi.

Tak lama, saya bersama kawan satu tim beranjak turun meninggalkan rombongan si wanita muda yang masih asik menikmati puncak. Setelah beberapa jam kami berjalan menurun, rombongan si wanita muda menyusul kami. Saya melihat seseorang masih memegangi tas dan perlengkapan lain milik si wanita muda. Hingga barisan paling belakang dari rombongan saya tidak melihat pemiliknya.

“Kawannya yang berjilbab merah kemana, mbak?” saya memberanikan diri bertanya

“Siti masih di belakang, Mas” sahut salah seorang dari mereka

“Loh kok ditinggal?”  Tak ada jawaban dari mereka. Mereka asik mengobrol. Kepala saya terus mendongak ke depan ke belakang, memastikan keberadaan wanita muda bernama Siti tersebut. Saya tak melihatnya. Kawan saya pun turut memasang raut keheranan. Sembari berjalan pelan, kami mendiskusikan tentang Siti. Kami saling meyakinkan bahwa tak ada Siti di depan. Juga tak ada orang lain di belakang.

Kami memutuskan untuk berhenti minum dan beristirahat. Kami pikir, kalau benar Siti berada di Belakang dan tertinggal jauh dari rombongannya tanpa perlengkapan akan sangat fatal.

Hari semakin senja. Daun-daun dari pohon-pohon raksasa di dekat kami bergemuruh diterpa angin. Angin yang begitu dingin di musim kemarau. Kami melihat seseorang turun dari puncak. Seorang pria berkebangsaan asing.

“Tak ada orang lain lagi di belakang selain saya,” sahutnya saat kami menanyakan tentang Siti. Kami tidaklah mengenal baik Siti kecuali hanya karena pertemuan beberapa menit kami di Puncak. Tapi hati kami begitu gundah.

Seorang manusia sendirian di puncak Rinjani yang dingin terpisah dari rombongannya. Kelelahan. Tanpa perlengkapan. Apa yang harus kami lakukan. Bukan tak ingin kami kembali ke atas untuk mencari Siti, namun tubuh kami yang juga kelelahan, persediaan air dan makanan yang pas-pasan, hari yang semakin gelap, dan lokasi Siti yang tidak kami ketahui adalah resiko yang besar untuk kami.

Memikirkan resiko-resiko terburuk bagi Siti membuat kami berhenti bicara. Rombongan Siti sudah tak terlihat lagi.

Tiba di sebuah pos peristirahatan. Saya dan tim segera menemui petugas untuk melaporkan Siti yang tertinggal di atas.

“Untuk bertindak, kami harus menunggu instruksi dan laporan resmi, Mas” jawab petugas.

“Tak ada saksi lain selain kami dan rombongan yang tadi melewati pos ini, Pak” sahut saya

“Rombongan yang tadi lewat tidak mengatakan apa-apa tentang anggotanya yang hilang” tukasnya acuh

“Itulah mengapa kami yang melapor, Pak. Mereka tidak peduli kawannya sendiri,” nada bicara saya semakin meninggi. Perdebatan terjadi cukup lama. Kawan saya berusaha menenangkan saya.

Tak menyerah, kami bergerak kembali mencari sinyal. Begitu sinyal di handphone muncul, kawan saya berinisiatif menelepon petugas Taman Nasional Gunung Rinjani untuk melaporkan tentang Siti. Kalimat “segera kami telusuri dan evakuasi” dari petugas di telepon untuk sementara membuat kami membuang nafas lega.

Hari semakin malam, kami segera turun kembali menyusul rombongan Siti untuk meyakinkan mereka bahwa satu orang kawannya tertinggal sendirian. Kami menemui mereka di lokasi camp. Saya langsung mencari ketua rombongan Siti.

Emosi saya sudah tak terbendung. Di depan kawanannya saya membentak ketua rombongan Siti. Dari jawaban-jawabannya yang terkesan tak peduli, saya dan tim menyimpulkan bahwa rombongan tersebut tidak saling kenal sebelumnya. Bisa jadi mereka hanya grup backpacker online yang kemudian janjian untuk sama-sama mendaki Rinjani.

Dengan jumlah orang yang cukup banyak, jelas satu ketua regu tidak cukup memimpin rombongannya. Ditambah hanya empat orang dari mereka yang mengaku sudah pernah naik Rinjani. Saya begitu kesal, kecewa, dan marah terhadap mereka. Begitukah sikap sosial masyarakat kota besar? gumam saya.

Tidur nyenyak hanyalah khayalan. Pikiran saya tidak bisa berhenti memikirkan seorang manusia yang tersesat di puncak. Pikiran-pikiran buruk menghantui saya. Pastilah dua orang kawan saya pun memikirkan hal yang sama.

Saya mendengar beberapa dari rombongan Siti mulai terdengar menangis. Menyebut-nyebut nama Siti. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Kenapa baru tersadar setelah jauh begini. Untuk merasa menyesal mereka sudah sangat terlambat. Siti tidak akan mampu bertahan dalam udara yang sangat dingin tanpa tenda, tanpa persediaan makanan dan minuman.

Dengan perasaan dan pikiran yang masih jua tak menentu kami melanjutkan perjalanan turun di pagi hari. Jika Siti masih hidup, harapan satu-satunya adalah tim evakuasi yang kemarin hari ditelepon kawan saya. Atau petugas yang semoga saja percaya ucapan kami dan langsung melakukan pencarian bersama para porter tanpa menunggu instruksi dan laporan yang katanya harus resmi.

Semoga dan semoga yang terus saya rapalkan tiba-tiba harus pupus dalam sekejap. Jam 11 siang, saya berpapasan dengan petugas yang katanya baru akan berangkat melakukan pencarian dan evakuasi. Terlambat!. Saya sudah tak punya energi untuk marah. Dengan nada memelas aya hanya bertanya kenapa bapak-bapak baru berangkat sekarang? Kenapa tidak langsung saja kemarin petang dengan perlengkapan yang super lengkap?.

Setidaknya, saya melakukan hal-hal yang bisa saya lakukan untuk Siti. Tentu saya berharap ada berita baik begitu saya sampai di rumah.

Sayangnya, hal itu pun tidak terjadi. Alih-alih kabar baik, semua kejadian yang tertulis di berita sama sekali tidak sesuai.

Entah apa yang si ketua rombongan dan petugas ceritakan kepada wartawan untuk membela citra diri mereka. Wajah-wajah yang masih bisa tersenyum terpajang di halaman muka berita membuat saya semakin merasa pilu. “Sisi kemanusiaan orang-orang ini sudah sangat memudar” gumam saya menggeleng-gelengkan kepala.

Diceritakan oleh Reza Andhika
Ditulis oleh Yuga Anggana
-eRKaeM 01/08/2017-

sumber : blog satriabond




Siti Mariam, Pendaki Yang Sempat Raib di Rinjani, Ditemukan Pengembala Sapi

Pendaki asal Jakarta, Siti Mariam (29) yang dikabarkan hilang akhirnya ditemukan Suhaldi, pengembala sapi  asal warga Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Tiimnur

MATARAM.lombokjournal.com – Penegasan ditemukannya Siti Mariam yang dilaporkan hilang hari Minggu (30/7), dan dalam keadaan selamat hari Rabu (2/8) sekitar pukul 07.00 Wita, disampaikan Mustafa Imran Lubis, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).

“Korban ditemukan oleh pengembala sapi salah seorang warga Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun bernama Suhaldi,” ujar Lubis, Rabu (2/8).

Saat ditemukan Siti Mariam posisinya berada 1,5 Km dari jalur pendakian Desa Sembalun ke arah selatan. Menurut penuturan Suhaldi, Siti ditemukan di daerah Abangan Sembalun dalam keadaan pucat pasi.

Dikatakan Lubis, Siti telah mendapatkan pertolongan dari petugas Balai TNGR Resort Sembalun Seksi Pengelolaan Wilayah II serta Tim Evakuasi Edelweis Medical Help Center (EMHC) dan dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap korban Siti Maryam.

“Hhasil pemeriksaan Dokter Puskesmas Sembalun, korban dalam keadaan sehat, “ kata Lubis. Siti hanya mengalami cidera ringan dan trauma akibat musibah yang dialaminya.

Sebelumnya, Siti dilaporkan hilang saat mendaki di Gunung Rinjani. Menurut penuturan Agus Budi Santoso, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), kejadian adanya pengunjung yang hilang diterima petugas Balai TNGR Resort Sembalun pada Ahad (30/7) sekitar pukul 18.00 Wita.

Laporan tersebut berasal dari petugas Polhut BTNGR Lalu Wira Jaya yang sedang melaksanakan tugas pemantauan pengunjung di Pelawangan Sembalun dan diterima Kepala Resort Sembalun Zainuddin.

Dikatakan, tim evakuasi berangkat menuju lokasi sekitar pukul 20.00 Wita dengan jumlah petugas 10 orang dan tiba di lokasi pada Senin (31/7) sekitar pukul 14.00 Wita.

Agus menerima laporan, informasi yang dikumpulkan tim evakuasi dari rekan-rekan korban, mereka merupakan endaki grup berjumlah 28 orang, berasal dari Jakarta. “Masuk melakukan pendakian melalui Sembalun hari Jumat (28/7),” ujar Agus di Mataram, Selasa (1/8).

Rombongan tersebut pada hari pertama bermalam di Pos 3, kemudian hari Sabtu (29/7) pagi menuju Pelawangan Sembalun dan bermalam. Sehari berselang, sekitar pukul 02.00 Wita, rombongan munca dan kembali ke pelawangan sembalun pada pukul 09.00 WITA.

Pada saat track turun di letter “S” korban, lanjut Agus, izin kepada temannya untuk buang air besar. Siti Mariam menitipkan barang-barangnya berupa HP, tas dan dompet pada rekan grupnya.

Setelah satu jam, korban yang beralamat di Cakung, Jakarta Timur tidak juga kembali dari buang hajatnya sehingga rekan korban mencari namun tidak ditemukan. Kemudian dilakukan pencarian oleh rekan-rekan korban lain namun tidak ditemukan.

Agus menyebutkan, saat melakukan pendakian tersebut, korban mengenakan pakaian berwarna merah marun, sweater abu-abu bertuliskan backpacker Jakarta, dengan jilbab berwarna agak merah muda.

Siti Mariam sempat dperkirakan jatuh karena tim evakuasi menemukan jejak di lokasi di mana terakhir kali korban izin untuk buang hajat. Berdasarkan jejak kaki diperkirakan korban jatuh ke jurang dengan kedalaman sekitar 100 meter lebih,” kata Agus.

BACA : Cerita Lain Hilangnya Siti, Pendaki Dari Jakarta

Namun, karena kondisi cuaca, tim akan kembali melakukan pencarian dengan membawa peralatan untuk evakuasi. Kata Agus, saat ini 25 orang rekan korban sudah turun menuju Sembalun dan 2 orang termasuk pelapor juga sudah berada di Sembalun.

AYA




Nasib Pengungsi Suriah, Merana Dimana-mana

Badan Pengungsi PBB atau UNHCR menyebut angka 5 juta pengungsi Suriah itu sebagai ‘tonggak sejarah penting’.  Ini jumlah terbanyak dalam sejarah pengungsian

lombokjournal.com –

UNHCR menyerukan komunitas internasional perlu berbuat lebih banyak untuk membantu mereka. Namun komunitas internasional telah gagal mengakhiri konflik Suriah. Situasi di dalam negara itu masih tidak aman bagi orang-orang untuk pulang.

”Kami melihat lebih banyak orang yang terbunuh setiap harinya,” sebut Alun McDonald dari organisasi kemanusiaan Save the Children.

Kebanyakan pengungsi Suriah ditampung di negara-negara kawasan seperti Turki, Libanon dan Yordania. Ada juga pengungsi Suriah yang ditampung di Irak dan Mesir. Ratusan ribu pengungsi Suriah juga melarikan diri ke Eropa, tidak sedikit yang jatuh ke tangan sindikat penyelundup manusia dan dieksploitasi.

Sejumlah kecil pengungsi Suriah yang kini bermukim secara resmi di Eropa, Kanada dan Amerika Serikat (AS). Kelompok pengungsi terbesar ada di Turki, jumlah yang terdaftar mencapai 2,9 juta orang.

Di Yordania, ada 657 ribu pengungsi Suriah yang terdaftar pada PBB, namun pemerintah setempat menyebut angka sesungguhnya mencapai 1,3 juta pengungsi Suriah. Sedangkan di Libanon, PBB menyebut ada sekitar 1 juta pengungsi Suriah yang tinggal dalam kondisi memprihatinkan di barak-barak tak resmi. Situasi semakin sulit karena pemerintah menolak membangun barak pengungsi yang resmi.

McDonald juga menyebut sebagian besar komunitas internasional juga gagal membantu pengungsi, dengan semakin banyak negara yang menutup perbatasan dan mengusir pengungsi.

Beberapa negara menutup pintu bagi pengungsi, dengan berbagai alasan. Sebagian negara-negara Eropa belum terbiasa dengan kehidupan multibudaya. Negara-negara tersebut didominasi oleh orang Kristen dengan populasi muslim yang sangat sedikit, ditambah gerakan politik sayap kanan yang menimbulkan kebencian SARA di masyarakat.

Misalnya, Slovakia mengatakan akan menerima 200 pengungsi Suriah demi meringankan beban negara-negara sahabat Uni Eropa, karena sedang mengalir ratusan ribu migran ke dalam Uni Eropa. Namun syaratnya, semua 200 keluarga yang akan diterima haruslah orang Kristen.

Beberapa negara Eropa Tengah lainya, seperti Republik Ceko,  hanya mengambil pengungsi Suriah yang beragama Kristen.

Sebagian negara Eropa khawatir potensi penyusupan dari ISIS yang masuk lewat jalur pengungsi yang menimbulkan kewaspadaan tinggi terhadap pengungsi Suriah.

BACA JUGA : Ramadhan Penuh Derita Bagi Pengungsi Suriah

Ada yang menarik, para pengungsi tidak menjadikan negara-negara kaya di teluk arab sebagai tujuan. Mereka lebih memilih untuk pergi ke Eropa.

Misalnya, Qatar hanya tercatat menerima pengungsi maksimal 130 ditahun 2014. Arab Saudi hanya menerima hingga maksimal 600 pengungsi di tahun 2012 dan jumlahnya berkurang ditahun 2014. Uni Emirat Arab dan Kuwait mempunyai rekor yang tak berbeda jauh dengan Arab Saudi.

Rr

(Dari berbagai sumber)

 




Ramadhan Penuh Derita Bagi Pengungsi Suriah

Perang dan kerusuhan politik selalu penuh cerita derita. Saat pertikaian bersenjata antara pemerintah Suriah dan oposisi membara, paling menderita adalah jutaan warga sipil yang tak berdosa. Warga Suriah yang semula hidup damai bahagia, kini jadi pengungsi hina dan hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

lombokjournal.com —

Konflik dalam negeri Suriah yang berlangsung sejak Maret 2011, entah kapan akan berakhir.  Apa yang dihasilkan? Tercatat sekitar 320 ribu nyawa melayang sia-sia. Sekitar 5 juta warga Suriah atau sekitar seperempat populasi negara yang kekuatan militernya semula ditakuti Israel itu, menjadi pengungsi di tengah konflik yang masih membara.

Saat warga muslim di negara lainnya khusyu’ beribadah, dan tengah bersiap merayakan Idhul Fitri,  di barak-barak pengungsian pinggiran utara Aleppo dan Idlib lebih dari 900 ribu

dalam kecemasan serangan udara, pengepungan tentara pemerintah yang mengintai pejuang bersenjata dari kubu oposisi. Mereka hidup di bawah rasa lapar, kekurangan air bersih, dan kurangnya pasokan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dan di akhir bulan Ramadan – dan itu terjadi sepanjang bulan Ramadhan — bom dan bentrokan bersenjata terjadi siang dan malam. Di tengan api pertempuran dasyat itu para pengungsi menjalani hidupnya sehari-hari.

Sebagian besar pengungsi merupakan keluarga pejuang oposisi bersenjata, yang dipaksa meninggalkan pinggiran kota Moadamiyah di Damaskus pada tanggal 19 Oktober 2016, menuju Idlib, di utara Suriah.

Bulan Desember 2016, pemerintah Suriah merebut kembali Aleppo dari pemberontak, dan kesepakatan evakuasi memberi tentara Suriah dan sekutunya menguasai kota setelah bertahun-tahun berperang.

Sejak tahun 2014, pemerintah Suriah maupun kelompok oposisi bersenjata mencapai serangkaian kesepakatan. Di sejumlah daerah yang terkepung, mengizinkan pejuang bersenjata untuk meninggalkan kota yang dikepung pemerintah ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi di utara Suriah, di dekat Berbatasan dengan Turki

Di bawah kesepakatan evakuasi tersebut, ribuan pemberontak, bersama keluarga mereka, dipaksa menyingkir dari kampung halamannya.

Pemerintah memandang kesepakatan itu memberi kesempatan bagi warga sipil melarikan diri ke daerah aman. Tapi kelompok oposisi, aktivis, dan beberapa warga sipil menganggap itu bentuk pemindahan paksa. PBB mengatakan bahwa pemindahan paksa Aleppo timur merupakan “kejahatan perang”.

Keluarga pengungsi itu merindukan rumahnya, ingat bulan Ramadhan di rumah seperti biasa menyiapkan makanan berbuka puasa tiap hari, bersama keluarga, teman dan tetangganya, menikmatinya sebagai kesempatan bersuka cita.

Mereka merindukan rumah dan bau makanan yang khas.  Tapi saat ini semua berbeda. Mereka merindukan adzan untuk sholat dari masjid terdekat, suara “mosaharate” (sebutan orang yang berjalan dan memukul drum di daerah pemukiman) membangunkan orang untuk “sahur”.

Tapi mereka tidak tahu kapan harus pulang ke kampung halaman.

Rr




Kata Novel, Ada Oknum Jendral Diduga Terlibat Tapi Polisi Tak Tertarik Mengusut

Novel Baswedan mengaku sudah memberikan nama jendral polisi yang diduga terlibat, tapi polisi dikatakan tak tertarik mengusut.

lombokjournal.com —

Meskipun ada seseorang yang sempat diduga salah satu pelaku penyerangan ditangkap Polda Metro Jaya (kemudian dilepas karena tak ukup bukti). Sudah lebih dua bulan Novel Bswedan dirawat di Singapura, polisi belum berhasil mengungkap pelakunya.

Padahal Novel pernah bertemu dengan Kapolri Tito Karnavian yang berjanji segera menemukan pelakunya.

Beberapa waktu lalu, media ramai memberitakan adanya keterlibatan oknum jenderal polisi. Novel sendiri sudah mendengar info itu tapi tidak mempercayainya. Tapi selang beberapa waktu setelah melihat fakta-fakta membuatnya berpikir, jangan-jangan info itu benar.

Saat diwawancarai TIME (10/6), Novel menyebut dalang nya adalah oknum jenderal polisi yang berpengaruh di Mabes Polri.

Memang ia tidak punya bukti, tapi ia berharap melihat bukti itu dari temuan Tim pencari Fakta yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Tentang identitas oknum jendral itu,Novel sudah menceritakan identitasnya itu sejak ia memberikan keterangan ke Kapolres, penyidik, meski keterangannya itu tidak dituangkan dalam BAP.  Menurutnya, polisi tidak tertarik mengusut dugaan keterlibatan oknum jendral itu.

“Perkara saya ini saksinya banyak. Kalau polisi mau, pasti akan cepat terungkap,” tegasnya.  (kepada kumparan.com Novel memberikan informasi, tapi sifatnya off the record).

Kalau kemudian Kepolisian balik memintanya membuktikan keterlibatan oknum jenderal itu, menurut Novel sebagai penegak hukum pernyataan itu menunjukkan tidak paham tugasnya.

Seperti diberitakan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, mengimbau kalau memang ada oknum jenderal polisi yang terlibat Novel diminta menyebut siapa namanya, buktinya apa. “Jangan cuma menyebar isu saja,” kata Argo di Polda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (21/6).

Ketika ditanya kenapa bilang polisi tak tertarik menemukan pelakunya, Novel menegaskan ada saksi yang melihat pelaku memegang gelas itu tanpa memakai sarung tangan. Tapi polisi bilang tak menemukan sidik jari di gelas tersebut. Saksinya adalah tetangganya sendiri.

Rr (Sumber: kumparan.com)

 

 




Berbuat Baik Pun, Anda Bisa Dimusuhi, Kata Novel Baswedan

Ini keteguhan hati Novel Baswedan. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini masih dirawat di rumah sakit di Singapura setelah tragedi penyiraman air keras, yang menyebabkan matanya terancam buta permanen.

lombokjournal.com —

Meski beberapa kali menghadapi percobaan aksi yang mencelakakan dirinya, Novel Baswedan tak pernah jera. Berkali-kali mendapat ancaman, pernah nyaris ditabrak mobil, dan terakhir pagi usai menunaikan sholat subuh, Rabu (11/4), wajahnya disiram air keras oleh dua orang yang berboncengan kendaraan bermotor yang mukanya tertutup.

Kini Novel harus dirawat di Singapore General Hospital, untuk waktu yang tidak bisa ditentukan sampai kapan. Sementara mata kanannya belum normal, mata kirinya terancam buta permanen.

“Peristiwa ini tak bisa menghalangi kita yang berjuang. Kita enggak akan jera,” katanya saat wawancara melalui telpon internet dengan kumparan.com, hari Kamis (22/6) dini hari.

Kerusakan matanya mencapai 95 persen. Tanpa kecemasan Novel menjelaskan, ini bukan soal sudah bisa melihat sejauh mana, tapi masih bisa melihat lagi atau tidak. Memang ada resiko matanya tidak bisa melihat sama sekali.

Namun ia mengaku terus berpikir positif saja, menganggap peristiwa tragis yang menimpa dirinya tidak ada ruginya. Mungkin maksudnya, dengan niatnya memberantas korupsi resiko yang dihadapinya tak perlu dirisaukan.

Novel yang baru berulang tahun ke-40 mengatakan, usia bukan berapa yang sudah tercapai, tapi berapa sisanya. “Umur saya siapa yang tahu, mungkin lebih pendek dari anda. Akan sia-sia jika kita tidak berbuat baik,” tuturnya.

Itu sebabnya, ia terus fokus, mengoptimalkan diri untuk berbuat baik. Kalau tak menggunakan umur sebaik-baiknya untuk berbuat baik, akan rugi. Tapi berbuat baik itu pilihan.

“Berbuat baik pun, anda bisa dimusuhi,” katanya.

Tapi Novel meyakini, siapa pun yang ingin melakukan apapun (termasuk akan mencelakai) kepada kita, jika Allah tidak menghendaki, tidak akan terjadi. Semuanya atas izin Allah.

Dalam keadaan masih terbaring di rumah sakit, ia masih memonitor dari tim penyidikan tentang kasus korupsi e-KTP yang melibatkan “nama-nama besar.”  Tapi kepada tim ia minta laporan tidak disampaikan lewat telpon. Selain alasan kesehatan matanya yang bisa terpengaruh kondisi psikologisnya,  ia juga merasa telponnya disadap.

BACA JUGA : Ada Oknum Jendral Diduga Terlibat, Tapi Polisi Tak Tertarik Mengusut

Malam sebelum peristiwa penyiraman air keras itu, sebagai Ketua Satgas Penyidikan e-KTP ia memimpin rapat di ruang penyidik KPK, menyusun strategi untuk mengungkap tuntas kasus e-KTP. Salah satunya menjadikan Miryam S Haryani sebagai tersangka.

Sehari sebelumnya, KPK juga mengirimkan surat permintaan cegah kepada Dirjen Imigrasi atas nama Ketua DPR Setya Novanto, yang tersangkut kasus e-KTP.

Rr (sumber: kumparan.com)




Perang Suriah Dimulai Dari Corat-coret Grafiti Seorang remaja

Ini  kisah tentang Mouawiya Syasneh, anak laki-laki pembenci Assad, yang pertama membuat corat-coret grafiti yang memicu percikan perang yang melanda Suriah

lombokjournal.com

Perang sipil di Suriah meninggalkan bekas luka, yang mungkin tidak pernah sembuh. (foto; Reuter)

Mouawiya Syasneh baru berumur 14, saat itu bulan Februari 2011. Sebagaimana umumnya remaja yang merasakan kegetiran di bawah pemerintahan Bashar al-Assad, ia tak bisa menahan diri menyemprotkan tulisan slogan-slogan anti pemerintah di dinding sekolahnya di Deraa, Suriah. Sama sekali tak pernah dibayangkannya, aksi corat-coret grafiti kecil  itu memicu perang saudara besar-besaran.

Seorang produser (pembuat film) pemenang Emmy Award, Jamie Doran, menuturkan pertemuannya dengan Mouawiyah Syanes. Sekarang Mouawiyah Syasneh telah tumbuh menjadi seorang pemuda.

“Kami bertemu di Deraa. Dan bercakap-cakap seolah-olah menjalani kehidupan normal, di tengah kekacauan serta orang-orang yang mengangkat senjata melawan pasukan Assad,” cerita Doran

Kini Mouawiyah memilih berjuang di garis depan, bergabung untuk Tentara Pembebasan Suriah. Mouawiya mengakui, seandainya ia tahu apa konsekuensi dari corat-coret grafitinya saat itu, ia tidak akan pernah mengejek presiden negara itu, Bashar al-Assad.

Sebab akibat perang sipil Suriah, sedikitnya setengah juta orang tewas sejak awal perang. Kota tempat bermukim  Mouawiya dirusak oleh pertempuran jalanan, penembakan dan pemboman.  Perang itu meninggalkan bekas luka, yang mungkin tidak pernah sembuh.

Kini hidupnya telah berubah.  Ia telah kehilangan teman dan kerabat, termasuk ayahnya. Dan Suriah telah berubah untuk selama-lamanya. Pemuda itu berkisah sekilas tentang Perang Saudara Suriah, yang merubah kehidupannya di Deraa , sejak awal konflik.

Penuturan Jamie Doran

Doran tiba di Yordania, di sebuah pos perbatasan yang berhadapan dengan Suriah.  Ia bertemu dan bicara dengan banyak orang untuk mengumpulkan informasi lebih banyak.  Doran  baru tiba dari Moskow. Ngobrol dengan orang yang mungkin akan tahu lebih banyak tentang perang Suriah.

Ia ngobrol mulai dengan orang-orang kebanyakan, termasuk seorang wartawan berpengalaman. Saya mengajukan pertanyaan sederhana: bagaimana perang Suriah dimulai? Jawaban yang didengarnya umumnya seragam.

Jawaban yang sering didengarnya,  yang sekarang diyakini kalangan tertentu: “Yang memulai semuanya adalah teroris. ”

Namun faktanya,  ISIL (atau ISIS) dalam bentuk seperti sekarang belum ada di Suriah saat itu, atau al-Nusra belum muncul sampai berbulan-bulan setelah itu (permulaan perang). Fakta ini seolah-seolah mudah dilupakan, bukan hanya di Moskow tapi termasuk liputan media seluruh Dunia.

Idealisme untuk mengingatkan (dan menginformasikan) khalayak dunia tentang asal-usul dari perang sipil Suriah (Sumber: UN)

Dan wajah orang-orang benar-benar terkejut, ketika Doran mengeluarkan laptop dan menunjukkan trailer film terbaru yang baru dibuatnya untuk Al Jazeera, Remaja Pemicu Perang Suriah, seperti suatu yang ajaib untuk dilihat. Mereka seolah tidak mengetahui apa yang selama ini terjadi.

Mereka mengaku tidak pernah menyadari bagaimana, selama beberapa dekade, para penentang pemerintah tiap hari menghadapi ketakutan dari kejaran polisi rahasia, penyiksaan, penghilangan dan eksekusi di luar hukum.

Mereka tidak pernah mendengar bagaimana seorang ayah yang mengkhawatirkan anak perempuannya sendirian di jalanan karena takut penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan di tangan milisi Shabiha, yang dikendalikan keluarga Assad.

Dan mereka benar-benar tidak menyadari, dan dianggapnya lelucon ada siswa sekolah yang nakal, dengan corat-coret grafitinya telah membakar perang sipil di Suriah.

Awal tahun 2016, Doran sedang duduk di sebuah kafe, tempat nongkrong di Jalan Al-Khattab, Amman, Yordania, dengan juru kamera dan pembuat film, Abo Bakr Al Haj Ali. Waktu itu ia berniat mengunjungi Deraa, kota yang melahirkan revolusi, yang hampir diabaikan media dalam beberapa tahun terakhir.

Yordania tidak membiarkan wartawan Barat menyeberang ke Deera. Satu-satunya pilihan adalah tur resmi ke daerah yang dikuasai pemerintah melalui Damaskus. Tentu perjalanan ‘resmi’ itu tidak menarik bagi Doran.

Ia menghabiskan minggu sebelumnya duduk di perbatasan. Hanya satu jam berkendara dari Deraa. Setelah menjalin kesepakatan dengan militer Yordania, ia berharap menjadi orang Barat pertama yang diizinkan untuk menyeberang dalam tiga tahun. Waktu itu ia berada di kompleks perbatasan dan akan meninggalkan tanah Yordania.

Tapi tiba-tiba panggilan datang ke pos. Beberapa saat kemudian,  dengan sangat sopan ia dibawa dengan mobil sedan … dan menuju ke Amman. Kemudian akhirnya mengetahui bahwa wakil dari badan intelijen Inggris, MI6, di Amman menyarankan pemerintah Yordania agar tak membiarkannya menyeberang ke Suriah!

Dengan kecewa ia kembali ke kafe, dan ngobrol bersama Abo Bakr. Dan ia masih mencari kesempatan, membuat film tentang Deraa. Ini kota asaln Abo Bakr, wilayah yang diketahuinya.

“Jadi, siapa yang Anda kenal disana?” tanya Doran.

“Aku tahu komandan, Marouf Abood, orang pertama yang mendirikan milisi setelah pasukan pemerintah menyerang desanya,” jawab Bakr.

“Menarik. Dan siapa lagi?”

Dia melanjutkan untuk menyodorkan setengah lusin nama; Komandan ini, komandan itu.

“Ayo, Bakr. Anda harus tahu orang lain, seseorang yang berbeda, yang masih segar,” kata Doran. Abo Bakr mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang benar-benar sangat menarik.

Dan kemudian dia menambahkan: “Yah, saya kira ada anak yang menggoreskan grafiti anti-Assad di dinding sekolahnya yang memulai perang.”

Informasi itu merupakan momen yang seolah-olah mengetuk Doran  dengan benda seberat 90 kilo. Anak laki-laki yang memulai perang Suriah! Pikirkan tentang itu. Itu tidak ISIL, atau al-Nusra, maupun kelompok teroris lainnya.

Itu adalah tindakan pembangkangan, pemberontak muda, yang menyebabkan pemberontakan yang menggiring setengah juta orang tewas dan negara tercabik-cabik.

Itu, tentu saja, kesalahan anak yang baru berusia 14 tahun bersama tiga temannya yang bergabung dengannya.  Remaja  nakal itu tak pernah memahami bahwa tindakannya berakibat sangat besar. Itu sama sekali  di luar pemahaman mereka.  Mereka ditangkap polisi dan disiksa, pembangkangan remaja itu tidak ada jalan kembali.

Ketika orang tua dan keluarga mereka tiba di kantor polisi untuk memohon kebebasan anaknya yang belum mengetahui apa-apa itu, mereka dihardik: “Lupakan anak-anak ini. Pulanglah ke istri-istri kalian dan buat anak lebih banyak lagi. Jika kalian tidak bisa membuat anak lagi, kirim istrimu  kemari … ada yang senang  melakukannya untuk kalian. ”

Kemarahan tak bisa dicegah. Sekering telah dinyalakan dan, saat polisi mulai secara acak membunuh demonstran dan diikuti pembunuhan berikutnya, perlawanan bersenjata menjadi sebuah keniscayaan.

Bagi Doran pribadi, film ini dibuatnya di luar banyak kepentingan pribadi, seperti biasa ia membuatnya di masa lalu. Doran seperti didorong idealism untuk mengingatkan (dan menginformasikan) khalayak dunia tentang asal-usul dari perang sipil Suriah.

Bagi mereka yang terlibat langsung, film yang dibuatnya memberikan kesempatan semua pihak untuk melakukan refleksi. Begitu banyak pengorbaan dan penderitaan untuk sebuah revolusi, dengan perhitungan apapun, adalah dan tetap tidak lengkap tanpa menyampaikan informasi yang faktual.

Mouawiya Syasneh, Anak yang memulai Perang Suriah, sekarang seorang pemuda yang, seperti banyak pemuda lain di Deraa, selalu tampak menyandang Kalashnikov dalam kesehariannya. Keluarganya sendiri telah membayar harga yang mengerikan untuk peristiwa dan tindakannya pada bulan Februari 2011.

Roman Emsyair  (Sumber:  Al Jazeera)