Cerita Lain Hilangnya Siti, Pendaki Rinjani Dari Jakarta.
Dilaporkan pada malam hari, petugas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) baru berangkat siang hari berikutnya
Jum’at, 28 Juli 2017 sekitar pukul 14.00 WITA saya bersama dua orang kawan memulai pendakian dari titik awal menuju puncak Gunung Rinjani.
Kami tiba di puncak pada hari Minggu siang. Di sanalah kami bertemu seorang wanita muda berjilbab merah bersama rombongan pendaki yang berjumlah sekitar 20an orang. Mereka mengaku datang dari Jakarta.
Wanita muda tersebut memang paling kami ingat karena sempat bergantian saling memotret bersama kawan-kawan saya. Puas menikmati puncak pendakian, Wanita muda tersebut meminta diri untuk turun lebih dulu.
Namun ia menitipkan semua perlengkapan gunungnya pada salah satu kawan satu rombongannya. Pastilah ia akan cari tempat untuk buang air pikir saya. Saya sempat memperingatkannya untuk berhati-hati. Ia pun melenggang pergi.
Tak lama, saya bersama kawan satu tim beranjak turun meninggalkan rombongan si wanita muda yang masih asik menikmati puncak. Setelah beberapa jam kami berjalan menurun, rombongan si wanita muda menyusul kami. Saya melihat seseorang masih memegangi tas dan perlengkapan lain milik si wanita muda. Hingga barisan paling belakang dari rombongan saya tidak melihat pemiliknya.
“Kawannya yang berjilbab merah kemana, mbak?” saya memberanikan diri bertanya
“Siti masih di belakang, Mas” sahut salah seorang dari mereka
“Loh kok ditinggal?” Tak ada jawaban dari mereka. Mereka asik mengobrol. Kepala saya terus mendongak ke depan ke belakang, memastikan keberadaan wanita muda bernama Siti tersebut. Saya tak melihatnya. Kawan saya pun turut memasang raut keheranan. Sembari berjalan pelan, kami mendiskusikan tentang Siti. Kami saling meyakinkan bahwa tak ada Siti di depan. Juga tak ada orang lain di belakang.
Kami memutuskan untuk berhenti minum dan beristirahat. Kami pikir, kalau benar Siti berada di Belakang dan tertinggal jauh dari rombongannya tanpa perlengkapan akan sangat fatal.
Hari semakin senja. Daun-daun dari pohon-pohon raksasa di dekat kami bergemuruh diterpa angin. Angin yang begitu dingin di musim kemarau. Kami melihat seseorang turun dari puncak. Seorang pria berkebangsaan asing.
“Tak ada orang lain lagi di belakang selain saya,” sahutnya saat kami menanyakan tentang Siti. Kami tidaklah mengenal baik Siti kecuali hanya karena pertemuan beberapa menit kami di Puncak. Tapi hati kami begitu gundah.
Seorang manusia sendirian di puncak Rinjani yang dingin terpisah dari rombongannya. Kelelahan. Tanpa perlengkapan. Apa yang harus kami lakukan. Bukan tak ingin kami kembali ke atas untuk mencari Siti, namun tubuh kami yang juga kelelahan, persediaan air dan makanan yang pas-pasan, hari yang semakin gelap, dan lokasi Siti yang tidak kami ketahui adalah resiko yang besar untuk kami.
Memikirkan resiko-resiko terburuk bagi Siti membuat kami berhenti bicara. Rombongan Siti sudah tak terlihat lagi.
Tiba di sebuah pos peristirahatan. Saya dan tim segera menemui petugas untuk melaporkan Siti yang tertinggal di atas.
“Untuk bertindak, kami harus menunggu instruksi dan laporan resmi, Mas” jawab petugas.
“Tak ada saksi lain selain kami dan rombongan yang tadi melewati pos ini, Pak” sahut saya
“Rombongan yang tadi lewat tidak mengatakan apa-apa tentang anggotanya yang hilang” tukasnya acuh
“Itulah mengapa kami yang melapor, Pak. Mereka tidak peduli kawannya sendiri,” nada bicara saya semakin meninggi. Perdebatan terjadi cukup lama. Kawan saya berusaha menenangkan saya.
Tak menyerah, kami bergerak kembali mencari sinyal. Begitu sinyal di handphone muncul, kawan saya berinisiatif menelepon petugas Taman Nasional Gunung Rinjani untuk melaporkan tentang Siti. Kalimat “segera kami telusuri dan evakuasi” dari petugas di telepon untuk sementara membuat kami membuang nafas lega.
Hari semakin malam, kami segera turun kembali menyusul rombongan Siti untuk meyakinkan mereka bahwa satu orang kawannya tertinggal sendirian. Kami menemui mereka di lokasi camp. Saya langsung mencari ketua rombongan Siti.
Emosi saya sudah tak terbendung. Di depan kawanannya saya membentak ketua rombongan Siti. Dari jawaban-jawabannya yang terkesan tak peduli, saya dan tim menyimpulkan bahwa rombongan tersebut tidak saling kenal sebelumnya. Bisa jadi mereka hanya grup backpacker online yang kemudian janjian untuk sama-sama mendaki Rinjani.
Dengan jumlah orang yang cukup banyak, jelas satu ketua regu tidak cukup memimpin rombongannya. Ditambah hanya empat orang dari mereka yang mengaku sudah pernah naik Rinjani. Saya begitu kesal, kecewa, dan marah terhadap mereka. Begitukah sikap sosial masyarakat kota besar? gumam saya.
Tidur nyenyak hanyalah khayalan. Pikiran saya tidak bisa berhenti memikirkan seorang manusia yang tersesat di puncak. Pikiran-pikiran buruk menghantui saya. Pastilah dua orang kawan saya pun memikirkan hal yang sama.
Saya mendengar beberapa dari rombongan Siti mulai terdengar menangis. Menyebut-nyebut nama Siti. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Kenapa baru tersadar setelah jauh begini. Untuk merasa menyesal mereka sudah sangat terlambat. Siti tidak akan mampu bertahan dalam udara yang sangat dingin tanpa tenda, tanpa persediaan makanan dan minuman.
Dengan perasaan dan pikiran yang masih jua tak menentu kami melanjutkan perjalanan turun di pagi hari. Jika Siti masih hidup, harapan satu-satunya adalah tim evakuasi yang kemarin hari ditelepon kawan saya. Atau petugas yang semoga saja percaya ucapan kami dan langsung melakukan pencarian bersama para porter tanpa menunggu instruksi dan laporan yang katanya harus resmi.
Semoga dan semoga yang terus saya rapalkan tiba-tiba harus pupus dalam sekejap. Jam 11 siang, saya berpapasan dengan petugas yang katanya baru akan berangkat melakukan pencarian dan evakuasi. Terlambat!. Saya sudah tak punya energi untuk marah. Dengan nada memelas aya hanya bertanya kenapa bapak-bapak baru berangkat sekarang? Kenapa tidak langsung saja kemarin petang dengan perlengkapan yang super lengkap?.
Setidaknya, saya melakukan hal-hal yang bisa saya lakukan untuk Siti. Tentu saya berharap ada berita baik begitu saya sampai di rumah.
Sayangnya, hal itu pun tidak terjadi. Alih-alih kabar baik, semua kejadian yang tertulis di berita sama sekali tidak sesuai.
Entah apa yang si ketua rombongan dan petugas ceritakan kepada wartawan untuk membela citra diri mereka. Wajah-wajah yang masih bisa tersenyum terpajang di halaman muka berita membuat saya semakin merasa pilu. “Sisi kemanusiaan orang-orang ini sudah sangat memudar” gumam saya menggeleng-gelengkan kepala.
Diceritakan oleh Reza Andhika
Ditulis oleh Yuga Anggana
-eRKaeM 01/08/2017-
sumber : blog satriabond