Imunisasi pneumococcus vaccine (PCV), Mulai Dilaksanakan di Lombok Barat dan Lombok Timur

NTB daerah pionir yang pernah sukses sebagai pilot project imunisasi hepatitis di tahun 2000, dan imunisasi Hib di tahun 2013.

MATARAM.lombokjournal.com — Kementerian Kesehatan RI bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, mencanangkan program demonstrasi imunisasi pnemokokus konyigasi atau pneumococcus vaccine (PCV), yang mulai dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (03/10), di Puskesmas Gunungsari, Lombok Barat.

Program yang didukung oleh World Health Organization (WHO), Unicef dan Clinton Health Access Initiative (CHAI) akan direplikasi secara nasional untuk upaya pencegahan penyakit pneumonia pada bayi dan balita.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, hadirf bersama Mohammad Subuh, Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin, Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, serta perwakilan World Health Organization (WHO), Unicef dan Clinton Health Access Initiative (CHAI).

Program demonstrasi imunisasi PCV di Lombok Barat dan Lombok Timur resmi dimulai hari ini, dan akan kota evaluasi enam bulan ke depan.

“Program akan direplikasi di seluruh daerah di NTB dan akan direplikasi menjadi program nasional,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, Mohammad Subuh.

Program imunisasi PCV itu dilaksanakan karena beban penyakit pneumonia di Indonesia cukup besar. Penyakit peneumonia menyebabkan kasus kematian bayi terbesar di Indonesia, setelah diare.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesda) tahun 2013 yang diulang di tahun 2017, prevalensi pneumonia atau radang paru-paru pada bayi di bawah tiga tahun (Batita) di Indonesia masih mencapai 21,7 persen.

“Bisa dibayangkan, kalau jumlah batita kita ada 10 juta, maka ada 2,1 juta yang menderita pneumonia. Kalau pneumonianya berat, maka kemungkinan kematian sangat tinggi. Ini yang kita cegah dengan imunisasi PCV,” katanya.

Menurutnya, provinsi NTB dipilih menjadi lokasi demontrasi atau pilot project imunisasi PCV ini bukan semata karena kasus pneumonia masih cukup tinggi di NTB.

Namun, NTB merupakan daerah pionir yang sudah pernah sukses sebagai pilot project imunisasi hepatitis di tahun 2000, dan imunisasi Hib di tahun 2013.

Subuh mengatakan, secara nasional imunisasi menjadi bagian penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit bagi masyarakat di suatu negara.

Indonesia saat ini hanya memiliki 9 jenis vaksin untuk imunisasi dasar nasional, sementara di Malaysia sudah 14 vaksin, dan di Amerika Serikat sudah ada 17 hingga 18 vaksin.

Imunisasi ini penting karena hanya ini proteksi spesifik. Tidak ada lagi program proteksi spesifik di kesehatan kecuali imunisasi. “Karena itu sampai tahun 2020 pemerintah menargetkan bisa menambah tiga sampai empat jenis imunisasi lagi selain sembilan yang sudah ada,” katanya.

Dijelaskan, dua imunisasi baru yang sudah mulai dikembangkan dan diujicoba adalah imunisasi MR dan PCV. Untuk MR, saat ini sudah berjalan di pulau Jawa dengan cakupan mencapai 98 persen.

Tahun depan imunisasi MR akan direplikasi juga ke luar pulau Jawa pada Agustus 2018.

Kemenkes juga tengah mengambangkan rencana imunisasi human papiloma virus (HPV) untuk penyakit CA servic, serta imunisasi japanese ensa valeptis untuk penyakit meningitis otak yang tahun depan akan dimulai di Bali.

Subuh menekankan, keberhasilan program imunisasi sebenarnya merupakan warisan, bukan hanya warisan program tetapi juga warisan sumber daya manusia (SDM).

Ia mencontohkan, Indonesia sudah mendapat tiga sertifikat bebas penyakit dari WHO, antara lain bebas Cacar, bebas Polio, dan bebas eliminasi neonatus tetanus.

Program imunisasi cacar dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno pada 1957 dan pada 1980 Indonesia mendapat sertifikasi bebas cacar dari WHO saat Presiden Soeharto.

Program imunisasi Polio dicanangkan di masa Presiden Soeharto sejak tahun 70-90an, dan pada 2014 Indonesia dinyatakan bebas polio di masa pemerintahan SBY.

Dan sertifikat eliminasi neonatus tetanus yang imunisasinya dicanangkan SBY, sertifikasinya didapatkan tahun 2017 ini di saat pemerintahan Presiden Jokowi.

“Jadi inilah warisan-warisan yang ada. Untuk SDM generasi penerus kita juga, ini kita mulai dari mereka nol bulan hingga berusia sekolah,” katanya.

AYA

BACA JUGA :

Imunisasi PCV Dilaksanakan Mulai Posyandu, Puskesmas dan RS di Lobar dan Lotim




Lombok Barat dan Lombok Timur Jadi Uji Coba Imunisasi Penyakit Pneumonia

NTB termasuk daerah dengan sumbangan tertinggi kematian bayi akibat pneumonia

MATARAM.lombokjournalcom — Kementerian Kesehatan bersama World Health Organization (WHO) dan Clinton Health Access Initiative (CHAI) memilih Lombok sebagai pilot project progam ujicoba imunisasi Pneumococcal Vaccine (PVC) untuk pencegahan penyakit pneumonia.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jane Soepardi mengatakan, dua kabupaten di Lombok, yakni Lombok Barat dan Lombok Timur menjadi proyek percontohan dalam program tersebut, yang dimulai bulan Oktober.

Jane menyebutkan, tren kematian bayi akibat penyakit pernafasan pneumonia terus mengalami peningkatan.

“Termasuk di Indonesia yang masuk dalam 10 negara terbesar dalam angka kematian bayi yang disebabkan pneumonia yang mencapai 15 persen pertahun,” ujar Jane saat memaparkan program imunisasi PCV di Kantor Gubernur NTB, Jalan Langko, Mataram, NTB, Senin (2/10).

Jane mengungkapkan alasan di balik pemilihan NTB sebagai proyek percontohan. Pasalnya, NTB termasuk daerah dengan sumbangan tertinggi kematian bayi akibat pneumonia di Indonesia. Ke depannya, program ini juga akan dilakukan di sejumlah kabupaten/kota lain di Tanah Air.

Sokongan dana untuk program yang akan berjalan selama tiga tahun di NTB berasal dari ABPN sebesar Rp 34,5 Miliar untuk vaksin PCV, Rp 1 Miliar untuk operasional, dan dukungan dana sebesar Rp 14,5 Miliar dari CHAI, sebuah NGO nirlaba berbasis di New York, AS. Jane menjelaskan, vaksin ini sudah diuji BPOM dan juga mendapat sertifikat halal dari Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA), dan sudah pula mendapat rekomendasi MUI.

“Program ini menyasar sekitar 25.894 bayi usia 2 hingga 15 bulan di Lombok Barat, sedangkan 14.792 bayi terdapat di Lombok Timur,  sehingga jumlah total sasaran sekitar 40 ribu bayi,” ucap Jane.

Kepala Dinas Kesehatan NTB Nurhandini Eka Dewi menyampaikan pemberian vaksin PCV secara gratis ini akan dilakukan di pusat pelayanan kesehatan, seperti Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit akan dilayani di Lombok Barat dan Lombok Timur.

“Untuk masyarakat yang memiliki bayi bisa langsung saja datang ke pusat pelayanan terdekat untuk mendapatkan vaksin ini,” kata Nurhandini.

Nurhandini menambahkan, penyakit pneumonia memang masih menjadi penyebab terbesar angka kematian bayi dan balita di NTB, setelah diare. Pemilihan NTB sebagai proyek percontohan tak semata karena jumlah kasus yang cukup tinggi sekitar 15 persen kematian bayi dan balita karena pneumonia, atau sama dengan angka nasional.

“NTB juga dipilih karena Dinas Kesehatan NTB sudah sering melakukan penelitian terkait penyakit pnemonia ini sehingga punya data yang lebih lengkap dibanding daerah lain,”

Beberapa penelitian yang dilakukan dua tahun terakhir, Nurhandini menyebutkan, sekitar 50 persen anak bayi dan balita sehat di NTB ternyata memiliki kandungan bakteri pneumokokal pencetus pneumonia. Nurhandini menilai, sistem imunisasi yang didapat saat bayi belum sepenuhnya memproteksi dari pneumokokal.

AYA

 

 




Mulai Keluhan Pada Petugas Loket, Hingga Keluarnya RS Yang Jadi Mitra BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan Cabang Mataram memberi penjelasan untuk merespon keluhan masyarakat terkait pelayanan

MATARAM.lombokjournal.com – Di era pesatnya perkembangan teknologi informasi, masyarakat lebih suka melontarkan keluhannya melalui media sosial (medsos).  Tujuannya jelas, agar masalah yang dikeluhkan seseorang langsung diketahui khalayak luas.

Misalnya, di platform facebook muncul postingan terkait pelayanan loket yang kesannya lamban, dan petugasnya tidak berada di tempat.  Keluhan lainnya, misalnya soal rumah sakit yang keluar dari program (maksudnya tidak melanjutkan kemitraan) dengan BPJS Kesehatan, termasuk  obat yang tidak bisa dicover BPJS.

Bagaimana dengan  motto pelayanan prima dari BPJS Kesehatan. Itulah begitu kurang lebih keluhan yang disampaikan melalui medsos.

Keluhan itu langsung mendapat respon dari pihak BPJS Kesehatan Cabang Mataram.

Kepala Bidang Kepesertaan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Cabang Mataram, Lalu Kahar Kusman menjelaskan tentang petugas loket.

Dijelaskan, loket petugas frontliner dibagi menjadi 3 bagian dengan fungsi pelayanan yg berbeda.  Loket satu utk pendaftaran baru serta pemberian informasi, loket selanjutnya adalah proses mutasi peserta.

“Loket terakhir adalah pencetakan kolektif untuk melayani segmen Badan Usaha, PIC Satker PNS, PIC Satker TNI dan POLRI,” jelas Kusman seperti ditulis di Medi Infor BPJS Kesehatan, Jum’at (28/09).

Lebih jauh dijelaskan, mengenai standar waktu layanan di masing-masing loket. Untuk cetak kartu 3 menit, sedang mutasi atau perubahan data 7 menit. Mengenai pemberian informasi dan pengaduan serta pelayanan kolektif 15 menit.

Untuk waktu tunggu pendaftaran PPU, perubahan data, cetak kartu, kolektif 20 menit. sedangkan pemberian info dan keluhan adalah 50 menit.

“Definisi waktu layanan adalah sejak peserta dipanggil, mendapatkan layanan sampai dengan selesai,” jelasnya.

Sedangkan waktu tunggu adalah sejak peserta datang mendapat antrian sd dipanggil petugas frontliner.

Untuk pengurusan kolektif seperti satker, atau badan usaha,dihimbau untuk diurus secara kolektif di masing-masing intansi melalui bagian kepegawaian, bagian personil, atau PIC Badan Usaha. Bisa juga dengan pendaftaran mandiri, cukup menyerahkan berkas lengkap di petugas checker dan selanjutnya konfirmasi melalui sms blast.

“Pendaftaran juga sudah bisa dilakukan melalui care center 1500400 serta drop box di kecamatan-kecamatan,” terangnya.

Peserta pemilik HP android dan IOS sudah dapat mendownload aplikasi mobile JKN. Sehingga mutasi atau perubahan sudah bisa dilakukan dirumah tanpa harus mendatangi kantor BPJS Kesehatan.

RS Mitra BPJS Kesehatan

Bagaimana mengenai rumah sakit (RS) yang keluar dari program JKN dan tidak lagi melayani peserta BPJS Kesehatan?

Sesuai regulasi,  Fasilitas Kesaehatan (Faskes) milik pemerintah wajib melayani pesertaJKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat). Bagaimana dengan RS swasta?

RS milik swasta yang ingin menjadi provider layanan harus melalui tahapan pendaftaran,  mengisi self assestment, kemudian akan di-credentialing. “Jika sesuai maka akan dikontrak,” kata Kusman.

Proses seleksi melalui aplikasi HFIS (Health Facilities Information System), sehingga ada keterbukaan informasi baik itu proses daftar dan proses credentialing. Seluruh work flow dapat dimonitor oleh faskes yg mau kontrak melalui aplikasi ini.

Hasil credentialing dan proses tahapan yang dilakukan, selama RS tersebut sesuai outputnya dan berkomitmen melayani peserta JKN sesuai regulasi yang mengatur program ini, maka akan di TL.

Sampai saat ini ada dua RS swasta yang sudah melalui tahapan tersebut, dan sudah dikontrak melayani peserta jkn. RSIA Permata Hati dan RS Harapan Keluarga,” jelasnya.

Manfaat pelayanan yang diperoleh peserta JKN yaitu rawat jalan, rawat inap, pelayanan obat, bantuan alat kesehatan, ambulance, dan COB atau koordinasi manfaat bagi peserta yang punya asuransi tambahan lainnya.

Mengenai pelayanan obat, adalah sesuai indikasi medis dan tatalaksana dari DPJP Faskes yg merawat peserta. Dan haru  sesuai daftar obat formularium yang dikeluarkan oleh Kemenkes.

jika ada obat di luar fornas, jika disetujui oleh komite medik dan bagian dari terapi pasien, maka akan dijamin. “Obat-obatan fornas bukan obat murah. Disana juga terdaftar obat berbiaya mahal untuk penyakit-penyakit katastrofik,” kata Kusman.

KS




Drg Nanik Murwani Setyatiningsih, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan

Sejak tahun 2010 sudah menjadi dokter Asker, waktu beralih ke BPJS Kesehatan tahun 2014, Drg Murwani tetap nyaman karena ikut ambil bagian meningkatkan kesehatan masyarakat.

Drg Nanik Murwaani Setyatiningsiih (Foto: KS)

MATARAM.lombokjournal.com —  Praktik sebagai dokter gigi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), berarti terlibat aktif dan bertanggung jawab pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

“Sejak tahun 2010 saya sudah menjadi dokter gigi Askes. Waktu Askes beralih ke BPJS Kesehatan tahun 2014, saya tetap menjalin kerjasama. Saya senang menjadi dokter yang ikut ambil bagian meningkatkan mutu kesehatan masyarakat,” kata Drg Nanik Murwani  Setyatiningsih, di ruang praktiknya di Jalan catur Warga 6 Mataram, Minggu (30/09) sore.

Tiap hari, rata-rata ruanng praktiknya dikunjungi lebih dari 30 pasien yang sebagian besar merupakan peserta program JKN. Tidak ada pembatasan pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan gigi. Karena itu, tidak jarang pelayanan itu berlangsung hingga tengah malam.

Tentang kunjungan  itu hanya dibuat aturan, pasien yang mendaftar dimulai pukul 16.00 wita, dan pasien yang mendaftar di atas jam 21,00 wita harus mendaftar hari berikutnya. Dan pasien mendaftar hanya untuk berobat hari yang sama, tidak boleh mendaftar untuk hari berikutnya.

Dengan jumlah kunjungan pasien yang tiap hari meramaikan ruang praktiknya itu, tentu tak bisa bekerja sendiri. Saat ini Murwani bekerja bersama asisten  5 orang dokter gigi.

“Ada tiga orang dokter yang tiap hari  stand by di ruang praktik,” kata Murwani. Itu masih ditambah satu orang dokter umum khusus saat cabut gigi.

Berapa penghasilan yang diperoleh Drg Nanik Murwani Setyatiningsih dari tarif kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan atas pelayanan kesehatannya?

Murwani mengatakan, jumlah peserta yang tercatat di BPJS Kesehatan yang memanfaatkan FKTPnya sebanyak 30 ribu peserta. Dengan nominal norma kapitasi sebesar Rp2 ribu, maka tiap bulan penghasilan yang diterima sebesar 30.000 x Rp2.000,- = Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

“Saya dibayar sesuai jumlah peserta. Sudah lama dengan BPJS, dengan penghasilan yang saya terima saya sudah nyaman,” tutur Murwani.

Dikatakannya, sesuai MoU yang ditandatanganinya bersama BPjS Kesehatan, ia tak pernah menerima dana kapitasi itu sampai tanggal 15. Kalau tanggal 14 jatuh pada hari libur, pembayarannya dimajukan.

“Saya sudah lama bekerja dengan BPJS Kesehatan, pembayaran itu tidak pernah lewat tanggal 15,” katanya.

Sesuai aturan, dari dana itu prosentase yang lebih besar digunakan untu jasa pelayanan kesehatan, dan sisanya dimanfaatkan biaya operasional pelayanan kesehatan.

Karena itu, Murwani selalu mengalokasikan bagian terbesar biaya pelayanan kesehatan yang diterimanya untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Makin tinggi angka kesakitan berarti peningkatan kesehatan masyarakat tidak berhasil. “Saya menjaga mutu pelayanan kesehatan dengan perawatan bagus dan obat bagus. Supaya kunjungan pasien tidak meningkat,” katanya.

Bagi dokter gigi lulusan Universitas Erangga tahun 1989 ini, dengan tarif kapitasi yang diterimanya masih membuatnya nyaman, dan tak mengurangi kemampuannya meningkatkan kualitas pelayanan. Bagaimana pun, kondisi sekarang jauh lebih baik dibanding masih zaman Askes dulu.

“Tapi terus terang, pajak yang harus saya bayar termasuk tinggi,” kara dokter gigi asal Kediri, Jawa Timur ini sambil tersenyum.

KS

BACA JUGA:

Berapa Sih Fasilitas Kesehatan Dibayar BPJS Kesehatan? Ini Penjelasannya

 




Berapa Sih Fasilitas Kesehatan Dibayar BPJS Kesehatan? Ini Penjelasannya

Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dalam program JKN-KIS dengan BPJS Kesehatan, dibayar dengan tarif sesuai aturan Menteri Kesehatan

Lalu Kahar Kusman (foto: KS)

MATARAM.lombokjournal.com — Di era JKN-KIS (Jaminan Kesehatan nasional-Kartu Indonesia Sehat), pembayaran biaya pelayanan kesehatan untuk Fasilitas Kesehatan sudah ada ketentuannya.

Kepala Bidang Kepesertaan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Cabang Mataram, Lalu Kahar Kusman, memberi penjelasan tentang ketentuan biaya itu.  Peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2016, mengatur mengenai Standar Tarif Pelayanan Kesehatan.

“Sesuai Peraturan Menkes, BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan kesehatan itu berdasarkan tingkatan Fasilitas Kesehatan,” katanya di kantornya di Mataram, Kamis (28/09)

Dijelaskannya, pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan dibedakan atas Tarif Kapitasi dan Tarif Non Kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Selain itu, ada Tarif Ina CBG dan Tarif Non Ina CBG untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Kusman merincikan tarif itu seperti ini:

  • Tarif Kapitasi ; pembayaran per bulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar. Tarif ini tak memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
  • Tarif Non Kapitasi; besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Tarif ini didasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
  • Tarif Indonesian-Case Based Groups (disebut Tarif INA-CBG); besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan. Merupakan paket layanan yang didasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.
  • Tarif Non INA-CBG merupakan tarif di luar tarif paket INACBG untuk beberapa item pelayanan tertentu. Meliputi alat bantu kesehatan, obat kemoterapi, obat penyakit kronis, CAPD dan PET Scan, dengan proses pengajuan klaim dilakukan secara terpisah dari tarif INA-CBG.

Tarif Kapitasi dan Non Kapitasi

Lebih lannjut dijelaskan Kusman,  Tarif Kapitasi digunakan membiayai pelayanan di FKTP, meliputi administrasi pelayanan; promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; obat dan bahan medis habis pakai; dan pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.

FKTP merupakan fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik. “Hanya untuk keperluan observasi, promotif, preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya,” terang kusman.

Sesuai kompetensinya, FKTP pemberi pelayanan kesehatan pertama yang harus diakses terlebih dahulu oleh Peserta JKN, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.

Sedangkan Tarif Non Kapitasi, merupakan biaya pelayanan di luar lingkup pembayaran kapitasi.

Pelayanannya meliputi ambulans; obat program rujuk balik; pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik; penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim; rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis; jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan pelayanan Keluarga Berencana.

Pembayaran tarif kapitasi kepada FKTP, diatur dalam Peraturan Presiden No 32 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi.

Kusman menerangkan, Penetapan besaran Tarif Kapitasi di FKTP dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. “Standar Tarif Kapitasi di FKTP ditetapkan bervariasi,” katanya.

Untuk puskesmas Rp3.000, sampai dengan Rp6.000 per peserta terdaftar per bulan. Untuk Klinik Pratama, Praktik Dokter, Rumah Sakit Kelas D Pratama sebesar Rp8.000 sampai dengan Rp10.000 per peserta terdaftar per bulan. Untuk praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp2.000 per peserta terdaftar per bulan.

Menurut Kusman, nominal dari standar Tarif Kapitasi ini terlihat kecil. Tapi Tarif Kapitasi hendaknya tidak dilihat sebagai tarif pelayanan tiap kasus pasien yang berkunjung. Namun harus dihubungkan dengan jumlah Peserta sakit yang mengakses pelayanan di suatu FKTP, terhadap total Peserta terdaftar di FKTP tersebut.

Sebagai contoh, di Puskesmas A dengan besaran Tarif Kapitasi sebesar Rp.6.000 dan terdaftar sebanyak 15.000 Peserta pada bulan Januari 2017, maka penerimaan Puskesmas A tersebut adalah sebesar Rp.90.000.000 di bulan tersebut.

Bila selama bulan Januari tersebut terdapat 15% dari Peserta terdaftar yang sakit dan mendapat pelayanan di Puskesmas A, maka sesungguhnya biaya pelayanan kesehatan untuk tiap Peserta (unit cost).

Itu setara dengan 15% x 15.000 x Rp.90.000.000 = Rp.90.000. Ini berarti bahwa semakin rendah angka kesakitan Peserta yang terdaftar di Puskesmas A, maka akan semakin surplus Puskesmas A tersebut.

“Oleh karenanya setiap FKTP diharapkan dapat meningkatkan upaya promotif dan preventif atau edukasi dan pencegahan penyakit kepada Pesertanya, selain meningkatkan kualitas pelayanan kuratif dan rehabilitatif”, kata Kusman.

KS

BACA JUGA :

Drg Nanik Murwani Setyatiningsih, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan

 




Tramadol Dikhawatirkan Masuk Pesantren

Kalau peredaran Tramadol tidak ditekan, dikhawatirkan akan menyebar ke pondok pesantren

MATARAM.lombokjournal.com —Maraknya penyalahgunaan tramadol saat ini manaruh perhatian serius Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul  khawatir dengan peredaran tramadol yang sangat massif di kalangan anak muda.

Jika tidak segara dieleminir, tidak menutup kemungkinan dapat menyebar  hingga ke pondok-pondok pesantren.

Karena itu, Gubernur  meminta BPOM NTB untuk menarik peredaran pil Tramadol di NTB dan meminta BPOM untuk mengirim surat kepada BPOM RI agar memberikan usulan terkait ditariknya peredaran Tramadol di masyarakat.

“Satu-satunya cara untuk mengurangi penyalahgunaan Tramadol di NTB adalah menarik peredarannya,” tegas Gubernur saat menerima Kepala BPOM Prov. NTB, Dra. Ni Gusti Ayu Nengah Suarningsih, Apt., MH, di Ruang Kerja Gubernur, Kamis (28/09).

Kepala BPOM NTB ditemani Kepala Bakesbangpoldagri NTB, H. Lalu Syafii, menghadap Gubernur TGB  melaporkan peredaran obat-obat terlarang di NTB, termasuk hasil pemantauannya terhadap pil Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC) yang sangat meresahkan masyarakat di sejumlah daerah di tanah air kita.

Terkait dengan tablet PCC tersebut, Ia melaporkan hingga saat ini NTB masih aman dari peredaran gelap PCC.

“Kami melakukan koordinasi dengan Kepolisian dan Dinkes untuk mengetahui peredaran pil PCC di NTB. Dan hasilnya aman, bahwa pil PCC belum ditemukan di NTB, baik di sarana resmi seperti apotek dan perusahaan besar farmasi  maupun sarana ilegal/tidak resmi lainnya,” Jelasnya.

Ia juga menjelaskan Pil PCC berbahaya karena ada kandungan carisoprodol. Dahulu carisoprodol digunakan untuk mengobati penyakit rematik, karena fungsinya untuk relaksan otot (mengurangi rasa sakit di otot).

Namun, karena banyak disalahgunakan, tahun 2013 BPOM RI menarik peredaran carisoprodol di Indonesia.

“Mekanisme kerja pil PCC jika dikonsumsi secara berlebihan (di atas 5 tablet) dan dicampur dengan minuman beralkohol atau soda efeknya sama dengan mengkonsumsi opium. Dan nantinya akan menyebabkan ketergantungan,” jelasnya.

Terkait dengan peredaran Tramadol di NTB, Kepala BPOM melaporkan pihaknya melakukan melakukan audit secara komprehensif di sarana pelayanan dan jalur distribusi, seperti di apotek, Perusahaan Besar Farmasi (PBF), puskesmas agar peredarannya jangan sampai bocor.

Tramadol ada yang memiliki ijin edar dan ada yang tidak memiliki ijin edar (ilegal). “Untuk Tramadol yang memiliki ijin edar, seperti di apotek-apotek dan pusat pelayanan kesehatan, BPOM melakukan pengawasan ketat di sarana pelayanan dan jalur distribusi agar peredarannya jangan sampai bocor,” ujarnya.

Pengawasan dilakukan dengan meminta laporan secara berkala dari apotek-apotek, PBF-PBF, dan puskesmas-puskesmat terkait jumlah tramadol yang masuk dan keluar.

“BPOM NTB akan melakukan kajian terkait dengan penyalahgunaan pil Tramadol. Jika tingkat penyalahgunaannya tinggi, maka Tramadol bisa ditarik dari peredaran seperti carisoprodol,” kata Ni Gusti Ayu Nengah Suarningsih.

AYA

 




50 Persen Jamaah Haji Punya Riwayat Sakit Jantung dan Pernafasan

Masih 12 jamaah haji yang sakit dan dirawat di rumah sakit di Arab Saudi

LOMBOK BARAT.lombokjournal.com  — Hingga saat ini 13 jamaah haji yang meninggal keberangkatan tahun ini merupakan jemaah beresiko tinggi.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Nurhandini Eka Dewi mengatakan, Senin (25/9), sebanyak 13 jamaah haji asal NTB meninggal dunia di Tanah Suci dalam musim haji 2017 ini.

“Hingga saat ini, sudah 13 (jamaah) yang meninggal, kebanyakan risti (risiko tinggi),” katanya.

Nurhandini menjelaskan, sejak sebelum keberangkatan, Dinas Kesehatan NTB mencatat lebih dari 50 persen jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci merupakan para jamaah haji risiko tinggi dengan riwayat penyakit jantung dan pernafasan, mengingat rata-rata jamaah haji tergolong sudah lanjut usia.

Dikatakannya, selain meninggal dunia, masih ada 12 jamaah haji yang berada di rumah sakit di Arab Saudi lantaran sakit. Akibatnya, para jamaah harus berada lebih lama di Tanah Suci untuk menjalani perawatan intensif.

Nurhandini menjelaskan, kondisi kesehatan para jamaah yang sakit harus dipastikan telah pulih agar bisa dipulangkan melalui kloter-kloter berikutnya.

“Karena perjalanannya kan panjang (naik pesawat), makanya kasihan jika dipaksakan padahal kondisinya masih sakit,” kata Nurhandini.

Sepulangnya dari Arab Saudi, lanjut dia, para jamaah haji yang sempat dirawat di Arab Saudi akan diperiksa kembali oleh petugas puskesmas terdekat.

“Setelah pulang, saya sudah bersurat ke seluruh puskesmas, dalam 14 hari mereka harus dikunjungi, harus dikontak petugas kesehatan setempat,” katanya

AYA.




BPOM NTB Lakukan Pengawasan PCC dan Paracetamol.

PCC yang beredar  ilegal berdasarkan hasil uji ada dua jenis, yaitu Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC), dan PCC serta Tramadol.

Ni Gusti Ayu Nengah Suarningsih (Foto: AYA)

MATARAM.lombokjournal.com — Maraknya peredaran Obat- obatan Paracetamol Cafein Carisofrodol (PCC) membuat Balai pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Mataram angkat bicara.

Kepala BPOM NTB Ni Gusti Ayu Nengah Suarningsih mengatakan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Polisi Daerah (POLDA) NTB.  Meski di NTB menurutnya, belum ada ditemukan Obat PCC tersebut.

“Terkait isu tablet PCC yang di Kendari Makassar, dan bahan baku ditangkap di Cimahi. Untuk NTB sampai saat ini belum ditemukan PCC tersebut,” jelasnya, Selasa (19/09).

PCC yang beredar  ilegal berdasarkan hasil uji ada dua jenis, pertama, Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC) dan PCC sertaTtramadol.

Ia menambahkan untuk produk ilegal secara rutin sudah lakukan pengawasan penindakan, terutama di NTB kan tramadol yang beredar yang disalahgunakan.

“Kalau yang Carisoprodol peredaran sudah dilarang BPOM sejak 2013. Jadi yang beredar itu ilegal gak ada ijin BPOM. Penanganannya BPOM bersama aparat pemegang hukum,” cetusnya.

Sampai saat Ini belum ada temuan jenis PCC di sarana pelayanan kesehatan seperti puskemas dan Rumah Sakit.  “Kasihan masyarakat, harus kita lindungi masyarakat agar dapat obat yang memenuhi standar.Kita dengan Tim sudah Turun kelapangan, belum ada yang ditemukan,” katanya.

BPOM Mataram secara rutin lakukan pengawasan pembinaan terkait produk ilegal. Dengan adanya kasus yang marak akhir-akhir ini makin diintensifkan pengawasannya dengan kepolisian dan Dinas Kesehatan.

“Kalau sakit jangan disalahgunakan obat. Ttramadol atau PCC dan sejenisnya  harus ada resep dokter, kalau ditawari di luar jangan mau. Karena ada iming iming tramadol bisa meningkatkan stamina, itu informasi yang sesat,” pungkasnya.

AYA

 




Tahun 2019, Rumah Sakit Swasta Wajib Bergabung Dengan BPJS Kesehatan

Saat ini rumah sakit swasta belum diiwajibkan bergabung dengan BPJS Kesehatan. Tapi kalau semua penduduk sudah masuk sistem JKN, seluruh rumah sakit swasta wajib bergabung

JAKARTA.lombokjournal.com – Rumah sakit swasta wajib ikut BPJS Kesehatan mulai 2019 mendatang.  Menjelang 2019, rumah sakit swasta yang tergabung dalam ARSSI Asosiasi umah Sakit Swasta Indonesia (melakukan persiapan mulai dari sistem maupun sarana medis yang mengikuti aturan Clinical Pathway.

“Rumah sakit swasta (saat ini) tidak wajib ikut BPJS, namun kalau semua penduduk sudah masuk dalam sistem JKN, tentu masuk dalam BPJS tak bisa dihindari,” ujar Ketua Umum ARSSI) Drg susi Setiawati Susi Setiawaty pada Seminar Nasional IV dan Healthcare Expo III, di Jakarta, Selasa (22/08).

Saat ini ada persoalaan yang dihadapi RS swasta dalam melayani peserta BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni soal ketersediaan obat yang hingga kini masih banyak yang harus diperbaiki.

”Hal seperti inilah yang membuat rumah sakit swasta sering kesulitan obat, Kemudian rumah sakit swasta cari padanan formula di rumah sakit masing-masing,” kata Susi.

Selain itu ada masalah terkait akreditasi rumah sakit. Semua rumah sakit yang bekerja sama dengan JKN harus terakreditasi. Kewajiban itu diberikan waktu sampai 2021.

Masalahnya, sumah sakit swasta membiayai semua kebutuhan operasionalnya termasuk ruang ICU yang membutuhkan investasi cukup besar. Di era JKN, rumah sakit dituntut menambah fasilitas tersebut.

“Untuk tempat tidur ICU, ventilator saja sudah ratusan juta,” ucapnya.

Tantangan Era JKN

Drg Susi Setiawati mengatakan, era Jaminan Kesehatan Nasiona (JKN) menjadi tantangan tersendiri bagi rumah sakit swasta. Beberapa strategi harus dilakukan guna meningkatkan mutu dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

“Rumah sakit smart, safety, ramah, aman, bermutu, harus memiliki sarana dan prasarana yang mendukung serta menerapkan operasional yang efektif dan efisien,” kata Susi dalam keterangan persnya, Selasa (5/9).

Pihak rumah sakit harus mempersiapkan sejak dini terkait target pemerintah mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada 2019. Selain bergabung dengan BPJS Kesehatan, rumah sakit harus menyiapkan mutu layanan sehingga menjadi pilihan masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan.

“Menjadi rumah sakit pilihan itu tidak mudah. Dibutuhkan komitmwen semua pihak, baik pimpinan rumah sakit, staf maupn tenaga medis,” kata Susi.

Ketua Umum Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Kuntjoro mengatakan, tantangan yang dhadapi rumah sakit pada era JKN cukup banyak. Salah satunya, rumah sakit harus efisien.

Efisien antara lain dalam pengadaan obat. Rumah sakit bila perlu membeli obat dengan sistem fast moving, sehingga tak perlu punya gudang obat. Hal lain yang perlu diefisienkan adalah soal listrik, air, pembelian obat dan sebagainya.

“Namun perlu digarisbawahi bahwa era JKN berarti bisa menurunkan kualitas layanan,” kata Kuntjoro.

kGS

 

 

 




Mendaftarkan dan Menanggung Iuran Peserta BPJS Kesehatan Tetangga Yang Tidak Mampu

Kisah tentang pekerja travel agnt, yang menyelamatkan jiwa tetangganya dengan mendaftarkan dan menanggung biaya iuran kepesertaan BPJS Kesehatan

lombokjournal.com —

Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ada anggota masyarakat yang secara sukarela berpartisipasi membantu BPJS Kesehatan dalam mensosialisasikan pentingnya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Tujuannya untuk mendapat manfaat jaminan kesehatan.

Seperti terjadi di Medan, Sumatera Utara, ada relawan yang bersedia mendaftarkan dan menanggung biaya iuran bulanan peserta BPJS Kesehatan yang berasal dari masyarakat miskin.

Namanya Muhammad Ricky Rivai, seorang warga asal Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Hatinya terketuk melihat para tetangganya yang kurang mampu belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Tetangganya yang erba kekurangan itu tidak memiliki biaya yang cukup untuk mendaftar ke BPJS Kesehatan. Jangankan untuk membayar iuran bulanan, untuk makan dan kebutuhan sehari-harinya pun mereka harus banting tulang.

Tak hanya itu, jarak antara tempat tinggal Ricky dengan kantor BPJS Kesehatan terdekat terbilang cukup jauh, yaitu 35 kilometer.

“Kondisi jalannya rusak, angkot pun jarang lewat. Kalaupun ada, harus dioper dua kali. Wajar jika masyarakat enggan ke sana untuk mengurus pendaftaran karena akses dari tempat kami susah,” kata Ricky.

Ricky pun berinisiatif mendaftarkan masyarakat di tempatnya melalui jalur online. Bekerjasama dengan Ketua RT setempat, ia mendata dan mendaftarkan tetangga-tetangganya yang belum memiliki jaminan kesehatan. Ia juga menanggung biaya iuran bulanan sejumlah tetangganya yang kurang mampu.

Total sudah ada mencapai 80 warga yang dibantu daftar tanpa dipungut biaya macam-macam, selain biaya untuk iuran bulanan pada pertama kali mendaftar. Ada tujuh orang warga miskin yang didaftarkan di kelas III, dan sudah dua bulan ini saya tanggung secara pribadi iuran per bulannya.

“Saya bilang sama mereka, kalau perekonomiannya sudah membaik, nanti iuran bulanannya agar ditanggung yang bersangkutan,” ujar pria kelahiran 29 Agustus 1992 ini.

Sebagai tour agent yang memiliki kendaraan travel, ia juga mempersilakan masyarakat yang sakit, termasuk yang kurang mampu, menggunakan mobilnya untuk berobat ke fasilitas kesehatan.

“Ya itu tadi, sarana transportasi di sini susah. Kita tidak membeda-bedakan siapa yang sakit, kalau butuh langsung kita antar ke rumah sakit secepatnya,” tegasnya.

Ia pun bercerita, dulu pernah mengantarkan salah satu peserta BPJS Kesehatan tanggungannya ke rumah sakit tengah malam karena kondisinya sudah mengkhawatirkan.

Di RS Imelda Pekerja Indonesia Medan, dokter mengatakan bahwa ada penumpukan cairan di bagian dalam liver dan harus segera dioperasi.

“Total lama perawatan pasca operasi adalah 14 hari; 2 hari di ICU dan 12 hari di ruang perawatan biasa. Seluruh biayanya ditanggung biaya BPJS Kesehatan, tidak ada kutipan biaya apapun, termasuk obat yang harus dibeli sendiri ataupun sekedar biaya administrasi,” tutur Ricky.

Ke depannya ia berharap agar JKN bisa memberi harapan baru bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam penjaminan kesehatan yang baik dan berkualitas, tanpa membeda-bedakan si kaya dan si miskin.

Inilah kisah sederhana, tapi bisa menyelamatkan orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan, saat sakit yang membutuhkan biaya besar.

Sumber; Info BPJS Kesehatan