Nikmati Signature Mocktail di One Karaoke

Bar tidak selamanya identik dengan minuman import beralkohol.

MATARAM.lombokournal.comOne Karaoke,

Tempat bernyanyi yang terletak di Basement Hotel Golden Tulip Mataram, menawarkan signature mocktail, campuran minuman kreasi Bar yang diramu dari buah-buahan dan bahan tanpa alkohol.

“Kami punya signature mocktail,” kata Manajer Operasional One Karaoke, Syahrizal kepada lombokjournal.com.

Jenis minuman yang dimaksud merupakkan campuran minuman tanpa alkohol yang bahannya memanfaatkan bahan-bahan lokal,  untuk dikreasikan menjadi minuman yang mempunyai ciri khas, baik dalam penampilan maupun cita rasa.

Saat ini, sedikitnya tujuh jenis signature mocktail dengan tampilan dan citarasa menggoda, bisa dinikmati di One Karaoke. Semua mocktail yang ditawarkan, merupakan perpaduan bahan tanpa alkohol dan buah-buahan segar lokal Lombok, NTB.

Menurut Rizal, dengan menyediakan signature mocktail yang bisa dinikmati pengunjung, One Karaoke ingin mengedukasi pengunjung dan masyarakat umum, termasuk peggiat Bar dan Restauran di NTB, tentang arti mocktail dan cara kreasi pembuatannya.

“Kita juga ingin tunjukan, kreasi bar tidak selalu berkaitan dengan produk import alcohol. Tapi bisa dengan mocktail yag bahannya dari bahan lokal dan yang pasti non alkohol,” katanya.

Dengan kreasi dan inovasi yang terus dilakukan, One Karaoke sebagai salah satu tempat bernyanyi di Mataram mendukung pengembangan potensi wisata hiburan di NTB dengan mendorong kemampuan dan skill putra daerah. Terutama di bidang Hotelier umumnya, serta Food and Beverage khususnya.

Tampilan dan citarasa signature mocktail di One Karaoke memang sangat menggoda. Meski berbahan buah-buahan lokal, namun kualitas standar internasional.

Salah satu mocktail favorit adalah “Tulip Sunrise”.

Kepada lombokjournal.com, Supervisor Bar & Floor One Karaoke, Lalu Febriansa Ardiwiguna, langsung unjuk kebolehan, meramu  mocktail Tulip Sunrise. Hanya dalam hitungan menit, segelas mocktail segar berwarna kuning pun tersaji.

BACA : Pizza One, Nyanyi Sepuasnya di One Karaoke

Semua signature mocktail di sini menggunakan bahan buah-buahan lokal. Namannya mocktail pasti non alkohol. Kita pakai jeruk, semangka, lemon, anggur, buah naga dan sebagainya,” kata Febriansa. (gra)

gra

 

 




Car Wash Dance, ‘Memalukan Kota Mataram’

MATARAM – lombokjournal.com

Meski terlambat, reaksi keras atas kegiatan Car Wash Dance di Lombok Epicentrum Mall (LEM), Minggu (29/5) datang dari JPRMI (Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia) Wilayah NTB, yang mengutuk kegiatan acara itu karena dianggap melukai perasaan masyarakat Pulau Seribu Masjid. “Acara ini memalukan Provinsi NTB,” kata Ketua JPRMI Wilayah NTB, TGH Lalu Pattimura Farhan,S.Ag, MHi dalam pernyataan sikapnya yang dikirim ke Lombok Journal, Kamis sore (2/6)

car wash dance1car wash dance

Acara yang digelar kelompok anak muda yang bekerja dalam EO Sebelas 12 itu, dianggap menodai iktiar NTB yang giat membangun citra ‘destinasi wisata halal’. Tak urung, jaringan remaja masjid mengecam Epicentrum Mall. “Ini tidak mendukung visi misi pembangunan Provinsi NTB maupun Kota Mataram visinya maju religius,” kata Lalu pattimura.

Menurut catatannya, kejadian car wash dance di LEM adalah kejadian kedua yg melukai masyarakat NTB, setelah sebelumnya pihak LEM melarang karyawannya berjilbab pada tahun 2015. Meski Epicentrum Mall akhirnya memperbolehkan karyawannya berjilbab, pada kasus car wash dance pun bersikap sama.meminta maaf dan tdk mengulangi kembali.

“Islam memposisikan perempuan dalam posisi mulia,sebagai ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa dan melanjutkan cita cita luhur dari pendiri bangsa dan ulama yang membangun NTB,” kata Pattimura..

Kekhawatiran kelak Epinventrum Mall mengulangi kembali hal yang melukai masyararakat NTB, Dalam pernyataan sikapnya JPRMI menuntut;

Pemprov NTB maupun Pemkot Mataram membuat perjanjian dengan management Epicentrum Mall agar tidak membuat kebijakan atau kegiatan promosi yang bertolak belakang dengan visi pembangunan Prov NTB dan bertentangan dnegan nilai-nilai budaya yang beradab. Dan untuk itu, harus ada sanksi tegas bila perjanjian dilanggar

“Seluruh stake holder agar terlibat aktif dalam mendukung wisata halal dan visi pembangunan NTB,” kata Lalu Pattimura Farham daam pernyataan sikapnya.

Banyak Kecaman

Sebelumnya, acara car wash dance telah menuai banyak kecaman di media sosial. Komisi V DPRD Provinsi NTB telah memanggil pihak Managemen Lombok Epicentrum Mall.   Selain itu, Majelis Ulama Indonesia Kota Mataram menganggap kegiatan yang mengumbar aurat itu hukumnya haram.

Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi yang menilai kegiatan itu sebagai porno aksi, mendesak kepolisian agar segera menindak penyelenggaranya. “Polisi harus mempidanakan penyelenggara kegiatan tersebut,”kata gubernur.

Rst




Gerakan “Sastra Pinggiran”, dari Kota Yang Dihimpit Kemiskinan

Kota Paling Berbahaya di Brasil, Menjadi Pusat Gerakan Puisi.

Kathleen McCaul |

SAO PAOLO, BRASIL

Kita bisa membayangkan kota besar dengan mayoritas penduduknya yang dihimpit kemiskinan. Sao Paolo di Brasil, seperti umumnya kota besar di negara sedang berkembang, kota yang dipadati pemukim urban.  Tapi siapa menduga, dari Kota Sao Paolo tumbuh gerakan sastra

Di kota ini banyak terdapat pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para pelaku kriminal. Ini gambaran jejak jutaan imigran pencari kerja yang memadati kota selama beberapa dekade terakhir.

Sao Paolo yang padat; pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para penjahat
Sao Paolo yang padat; pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para penjahat

Mereka membangun tempat tinggal mereka sendiri, semau gue, di pinggiran kota. Lingkungan yang semula tanpa fasilitas air bersih, listrik, dan apalagi fasilitas pembuangan limbah selayaknya. Itu berlangsung selama bertahun-tahun. Tak mengherankan, dari lingkungan ini berkembang beragam kejahatan dan kekerasan.

Kota ini pernah diterpa berbagai masalah yang datang silih berganti. Banjir yang hebat dan tanah longsor. Permukiman yang semrawut dengan jalan perkampungan tanpa aspal yang penuh lubang.

Pernah pemerintah Brasil membuat proyek perumahan untuk memperbaiki pemukiman masyarakat miskin. Tapi tak lama kemudian, tetap menjadi pemukiman kumuh. Sampai tahun 2000-an sangat sedikit ruang terbuka hijau. Tidak ada ruang untuk pohon-pohon di jalan-jalan yang sempit dengan bangunan rumah berhimpitan.

“Banyak pengangguran di kota. Situasi sulit ini hanya menghasilkan kekerasan,” jelas Mauricio Feijo, Urbanis yang bekerja di pinggiran Sao Paulo.

Penduduk setempat menyebut lingkungannya sebagai ‘pinggiran’ (margin), istilah untuk komunitasnya adalah ‘kaum pinggiran’ (The Margin).  Di Brazil, ‘pinggiran’ juga identik sebagai pelaku kriminal, dan orang-orang pinggiran sering diberi label seperti itu karena kenyataannya, dari wilayah yang sulit dan miskin itu memang melahirkan banyak tindak kejahatan.

Barangkali aneh bagi orang luar, justru dari lingkungan penuh kejahatan itu lahir gerakan sastra, yaitu “Sastra Pinggiran” atau sastra dari ‘kaum pinggiran’. Para penulis sastra yang berasal dari lingkungan keras itu berusaha mengubah persepsi buruk lingkungannya.

Berasal dari pinggiran dan bisa bertahan hidup, serta mencipta di tengah situasi kemiskinan dan ketidakadilan, kata mereka, merupakan pengalaman yang heroik.

Botol Bir, Penonton dan Penyair

Salah satu daerah di Sao Paolo ada daerah atau distrik – seperti kecamatan atau kelurahan — yang mempunyai sejarah paling ganas dibandingkan daerah pinggiran lainnya. Daerah itu namanya Jardim Angela, terletak di bagian selatan kota. Sepanjang tahun 2000-an,  daerah  Jardim Angela memiliki catatan kasus pembunuhan tertinggi  dibanding semua lingkungan di Sao Paulo. Antara Januari dan Agustus. tahun 2014, tercatat 31 pembunuhan.

Penyair dan performer foto bareng usai Sarau jangan Binho ; lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Penyair dan performer foto bareng usai Sarau jangan Binho ; lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Kalau datang di daerah ini, di pintu gerbang masuk akan ditemui sebuah bar, namanya Bar do Ze. Di bar yang juga biasa digunakan tempak menenggak bir ini, dikenal sebagai markas ‘sastra pinggiran’ (Literatura Marginal).

Kalau memasuki bar ini, pertama-tama akan terlihat, seperti umumnya tempat tongkrongan minum di Sao Paulo; meja bir dari kayu, ada piala sepak bola dipajang di rak, dijual  roti bakar keju untuk cemilan. Krat bir menumpuk, selain  telah disiapkan di botol dalam kulkas. Cuaca di Jardim Angela selalu panas, karena itu penduduk lokal menyukai bir dingin.

Memang tidak seperti biasanya, bar ini mempunyai perpustakaan cukup luas. Di perpstakaan itu ada buku-buku tentang gramatika atau tata bahasa dan revolusi seksual, terjemahan dari karya Leo Tolstoy dan Darwin.  Novel usang Brasil ditaruh berjejer dengan beberapa buku karya pemikir besar dunia; Montaigne, Kant, Descartes dan Hegel.

Bar do Ze adalah bar yang menyelenggarakan acara puisi Cooperifa tiap Selasa malam. Semacam acara musik regular, di Warjack di Mataram yang berangsung tiap Selasa malam.

Namun acara bincang-bincang dan baca sastra di Bar do Ze,  rasanya bukan seperti acara diskusi sastra yang diikuti penulis yang mukanya selalu mengkerut. Lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis. Orang-orang dari penjuru Jardim Angela datang.  Mereka berkerumun di beberapa sudut seputar bar,  keluar masuk dari bar, berseliweran jalan. Secara tiba-tiba muncul menjual popcorn, atau lapak yang membka jasa meramal mimpi, dan bermuncul penjaja perhiasan lokal mirip jualan akik dan sejenisnya.

Di dalam bar,  para penyair dan pengunjung duduk bercampur baur di sekitar meja yang penuh dengan botol bir. Seorang pria tua berambut putih dengan jenggot panjang,  membaca puisi tentang Backlands. Pria mengenakan topi baseball yang biasa dipakai remaja, bercelana jeans baggy dan kaos sepak bola.

Dua wanita tua dengan  blus ketat putih yang rapi, rambut mereka diikat kepang, duduk, bibirnya komat kamit konsentrasi membaca sebuah puisi pendek, mirip karya ‘haiku’. Perempuan muda mendengarkan pembacaan puisi itu bersama balita dan menyuapinya dengan ‘escondido’, spesialisasi hidangan bar berupa daging kering dan kentang tumbuk.

Remaja usia sekolah dengan memanggul ransel, menunggu untuk mendukung teman mereka yang sedang bersiap di depan mike. Seperti semua orang, anak itu  bersorak ketika menuju ke depan bar.  “Ayo bung,” katanya. “Kita bisa melakukan yang lebih baik. Kita berbeda. Kita adalah Favela!” Ramai terdengar teriakan dan sorak-sorai.

Puisi-puisi yang dibacakan di sini sering membawa tema kekerasan, urusan dengan aparat kepolisian, keluarga dan obat-obatan terlarang. Nyata sekali ada rasa kebanggaan ketika mereka menyimak sastra yang terinspirasi dari lingkungan mereka sendiri.

Seorang performer sedang membaca puisi dengan kemasan hip hop yang memikat masyarakat setempat
Seorang performer sedang membaca puisi dengan kemasan hip hop yang memikat masyarakat setempat [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Ermildo Panzo, seorang penyair dari Angola, yang telah berkeliling seluruh Afrika dan Amerika Latin, mengatakan, ini adalah pertama kalinya ia melihat kegembiraan dalam satu acara puisi di benua itu.

“Aku pernah ke Panama, Cancun, Kuba. Peristiwa seperti ini tidak pernah ada. Puisi adalah sesuatu yang ‘tertutup’, hanya diminati sekelompok kecil penulis. Tapi disini, malam ini, mereka sangat antsias dan gembira,” ia menjelaskan.

Panzo percaya, seperti halnya irama musik Samba, peristiwa puisi di Sao Paulo yang disebutnya ‘ saraus’,  itu dipengaruhi sejarah Afrika. Puisi yang menjadi respon terhadap penindasan,  yang berakar pada masa perbudakan.

“Orang-orang yang meninggalkan Afrika datang ke Brazil, dipekerjakan sebagai budak  di perkebunan tebu.  Pada saat senggang, mereka berkumpul membentuk lingkaran, salah satu maju akan bercerita pengalaman menyedihkan yang dialaminya. Kemudian masing-masing bergiliran maju dan bercerita, dan seterusnya,” katanya.

Pendiri gerakan kontemporer “Marginal Literatura” (Sastra Kaum Pinggiran) di Sao Paulo ini sering dikatakan sebagai novelis dan aktivis. Penulis yang biasa dipanggil Ferrez ini, novel pertamanya Capao Pecado, diterbitkan pada tahun 2001. Novel itu menggunakan bahasa jalanan yang dipengaruhi hip-hop, menceritakan kehidupan keras masyarakat lingkungannya. Dan karyanya itu memenangkan penghargaan dari kritikus serta disukai penduduk setempat.

Biasanya ia dapat ditemui di kampunya Capao Redondo, tidak jauh dari Bar do Ze.  Ia membuka toko yang didedikasikan untuk ‘kaum pinggiran’ dengan menjual berbagai mode yang disukai kalangan pinggiran; seperti topi pelatih baseball, atau T-shirt dengan tulisan  ‘Aku cinta Capao Redondo’.

Mengenakan kaus, celana jeans dan topi baseball, Ferrez tampak seperti umumnya penduduk lokal. Sebelumnya, kehadirannya sebagai penulis sempat jadi sasaran ejekan masyarakat selama bertahun-tahun.

Awalnya, orang-orang  lingkungannya menolaknya.  Mereka melempari batu ketika mereka melihat Ferrez berjalan dengan buku di tangan. Dari tahun 1995 sampai tahun 2000 ia bekerja keras agar diakui masyarakat.  “Saya tunjukkan tulisan saya kepada orang-orang di sini. Mereka terkejut ada seorang penulis di lingkungan mereka. Orang disini terus menertawakan saya,” tutur Ferrez.

“Aku Menulis Sastra Kaum Pinggiran”

Kalau sekarang berjalan di Capao Redondo, Ferrez disambut hangat. Buku-bukunya banyak dibaca, dan dia menjadi tokoh dihormati di lingkungannya. Di luar itu, ia diundang berbagai lokakarya termasuk di sekolah. Menurutnya, sukses yang diraihnya karena pembacanya dapat mengidentifikasi dirinya dalam karya yang ditulisnya.

Ferraz dan putrinya saat makan siang di Capao Redondo [Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Ferraz dan putrinya saat makan siang di Capao Redondo [Kathleen McCaul / Al Jazeera]
“Waktu masih muda, saya mengunjungi toko buku bekas, sayangnya tidak pernah kutemukan buku yang bicara tentang masalah yang kita hadapi sehari-hari, seperti pengemudi sepeda motor yang mabuk dan menabrak mobil, kisah kencan dengan gadis, ” katanya.

Ferrez menulis peristiwa sehari-hari, dan orang-orang menemukan dirinya dalam buku yang ditulisnya. Dan pembacanya berpikir, “Oh, itu seperti saya – bertemu cewek bercengkerama di taman, bukannya sebuah hotel.”

Ia menuturkan, kebanyakan sastra Brasil hanya pura-pura dan penuh fantasi. Saya pusing membaca buku yang mengisahkan kehidupan di pantai Copacabana, misalnya. Bagaimana orang di sini mampu mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat terbang dan tinggal di pantai Copacabana di mana tarif hotelnya 5.000 real sehari? Bukan masyarakat tidak mempunyai minat baca, masalahnya mereka tidak menemukan apa pun yang berbicara tentang kehidupan mereka, tambahnya.

Ketika diwawancarai tentang buku pertamanya, saat Ferrez mulai mengenalkan kredo “Sastra Pinggiran” (Literatura Margina). “Orang-orang bertanya, anda penulis kontemporer? Kujawab, tidak. Saya menulis sastra yang terinspirasi masyarakat pinggiran,” katanya.

Istilah itu menguat, kemudian mulai banyak penulis yang menyebut dirinya juga penulis “Sastra Pinggiran”. “Kami menerbitkan majalah sastra untuk masyarakat pinggiran dengan gambar dan desain keren, untuk menarik perhatian orang-orang yang belum pernah membacanya.”

Kelompok penulis pinggiran yang mengekspresikan kombinasi kebanggaan, kemarahan dan pengamatan kehidupan di jalan-jalan pinggiran itu, telah mencapai popularitasnya. ‘Saraus ‘ dalam bentuk karya sastra itu berlangsung tiap malam minggu, di seluruh kota, dengan kemasan menjadi tontonan yang memikat.

Penyair Dirceu Villa mengakui tidak bisa menyaingi acara itu. “Jika saya membuat acara di pusat Sao Paulo, kalau saya beruntung paling banyak akan dihadiri enam orang. Cobalah pergi ke daerah pinggiran itu, pembacaan puisi yang dikemas itu akan dihadiri lebih dari 300 orang,” katanya.

Saat ini sudah ada sebuah toko buku yang didedikasikan sepenuhnya untuk “Sastra Kaum Pinggiran” yang dikelola penulis Alessandro Buzo. Pada malam tertentu di toko bukunya, Terpidana dari Pinggiran Kota (Suburban Convict), dipertunjjkan pembacaan puisi dengan kemasan bersama pemain bass dan drummer yang dikunjungi kerumunan wisatawan, penduduk setempat dan termasuk penulis berdedikasi.

Luar biasanya, untuk suatu acara malam puisi, kebanyakan penonton di toko buku itu adalah pemuda, dengan pakaian jins baggy dan topi baseball, beberapa di antaranya berambut gimbal dengan berkaos oblong Bob Marley.

Seorang mantan tahanan mengungkapkan, bagaimana ia membawakan puisi ke dalam penjara, dan efek positifnya para pemuda dalam penjara itu merasa puisi itu bicara tentang mereka.

Buzo mempunyai pembawaan ceria, pria karismatik meski ia adalah mantan pecandu narkoba. Ia menegaskan, sastra pinggiran telah mereformasinya dan puisi pinggiran menarik kalangan muda di jalanan karena sangat ‘dekat’ ke hip-hop dan kelompok-kelompok lokal seperti MC Racionais. Melalui musik yang mengiringi pembacaan puisi, mendorong Buzo terinspirasi untuk menulis.

“Hip-hop yang bicara tentang hidup saya. Di Brasil hip-hop merupakan protes dan lahir dari protes masyarakat, tentang politik, menyadarkan apa yang terjadi disekitarmu. Saya melakukan hal yang sama dalam sastra,” kata Buzo.

Buzo mulai berpikir tentang kereta yang ditumpanginya tiap hari. Transportasi umum itu mengerikan, tua, bising, penuh sesak. Ketika hujan bocor, air akan masuk ke dalam. Buzo  menghabiskan waktunya di kereta itu dan menulis cerita kemudian mengirimkannya ke perusahaan kereta api, tapi tidak ditanggapi. Kemudian mengirimkannya ke media. Media juga tidak menanggapi. Akhirnya ia menetak 50 eksemplar dan pergi ke kereta terakhir, membagikannya pada penumpang.

“Saya tidak berpikir mereka akan merespon baik, tapi ternyata orang-orang menyukainya. Ini berbicara tentang pengalaman mereka. Mereka berbicara tentang hal itu setelahnya, dan bertanya kenapa anda tidak menulis buku?” cerita Buzo.

Karena contoh orang-orang seperti Buzo dan Ferrez, rak-rak buku di toko “Suburban Convict” sekarang penuh buku karya penulis pinggiran. Tapi ada orang-orang pinggiran yang mengatakan masih belum mampu menulis – atau membaca – tentang pengalaman mereka sendiri. Mereka adalah adalah kalangan perempuan.

“Protagonis Kejantanan”

Elizandra Sondra, seorang penulis puisi dan wartawan. Jangkung dan masih belia, dengan senyum lebar dan rambutnya dijalin elegan. Ia baru menyunting dan merilis koleksi 22 penyair perempuan pinggiran. Menurutnya, buku itu muncul dimaksudkan membenahi bias gender dalam gerakan “Sastra Kaum Pinggiran”.

“Perempuan jarang diundang bergabung dalam diskusi puisi. Saya satu-satunya perempuan yang diundang bicara. Dan pertanyaan tentang tulisan perempuan kulit hitam, benar-benar mengganggu saya. Jadi saya mulai mengatur koleksi ini puisi perempuan hitam,” katanya.

Seorang penyanyi dan penulis lagu tampil membawakan puisi di Sarau melakukan Binho [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Seorang penyanyi dan penulis lagu tampil membawakan puisi di Sarau melakukan Binho [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Elizandra mengatakan, dalam gerakan sastra itu perempuan menghadapi dilema. Sebab sebagian besar diskusi dan pembacaan puisi berlangsung di bar. Padahal, budaya masyarakat masih menganggap tempat-tempat seperti itu hanya pantas dikunjungi laki-laki. Wanita yang berada di sekitar bar diremehkan sebagai perempuan tuna susila.

“Kami sudah membuang anggapan itu sekarang,” katanya.

Namun masih ada pertanyaan, tentang kekerasan terhadap perempuan. Perempuan pinggiran harus berjuang melawan stigma, tubuh tetap jadi obyek erotisme seperti zaman perbudakan. Tubuh perempuan kulit hitam diperlakukan tanpa kasih sayang. Ini adalah tema yang muncul dalam tulisan perempuan kulit hitam.

“Gerakan sastra kaum pinggiran memang mencoba melakukan perubahan pandangan masyarakat, tapi tetap dengan protagonis kejantanan, dan kami ingin mengubah itu,” kata Elizandra.

Rayne Qu

(sumber: Al Jazeera)




KAU TAHU KAN, APA ITU URBAN

lombokjournal

Mungkin perbedaan paling signifikan antara kehidupan kota dan kehidupan di kampung, kehidupan di kota hampir seluruhnya tergantung uang. Bahan makanan ditanam di kampong tapi itu harus diangkut ke kota, di mana penduduk kota harus membayarnya dengan uang. Bagaimana penduduk kota  mendapatkan uang merupakan suatu yang sangat kompleks

Ada beberapa hal diproduksi. Beberapa lainnnya menyediakan semua jenis layanan. Beberapa kesepakatan dalam makanan yang dibawa dari kampong  melalui gudang, dealer grosir, toko, restoran, dan semua jenis dari toko-toko khusus. Sebuah kota besar seperti New York menarik barang dari seluruh dunia – anggur dari Perancis, California, Spanyol, dan Jerman, misalnya; kopi dari Afrika, Amerika Selatan, dan Arab. Segala sesuatu yang datang dalam dibayar dengan uang.

New York telah menyediakan barang dan jasa yang diproduksi untuk mendapatkan uang, orang harus membayar apa yang dikonsumsinya. Ini adalah proses yang sangat rumit dan menarik. Banyak orang di pusat-pusat kota harus membayar sewa tempat tinggal mereka, yang sering hanya berupa sebuah petak di gedung-gedung.

Orang-orang yang memiliki bangunan menggunakan uang dari sewa untuk membeli apa yang mereka butuhkan, atau untuk membangun lebih banyak gedung-gedung. Ribuan orang mendapatkan uang dengan bergerak di bidang uang dalam satu atau lain cara. Ada aliran konstan barang ke kota dan aliran konstan uang dari kota. Ekonom menghabiskan masa hidup mempelajari proses ini. Tetapi intinya adalah uang.

Orang-orang di daerah perkotaan cenderung sibuk dengan mendapatkan dan menghabiskan uang – mungkin terlalu banyak sehingga, seperti Wordsworth mengatakan di salah satu soneta nya:

Dunia memadatkkan hidup kita; berhenti dan berlari, / Mendapatkan dan menghabiskan, kami berbaring membuang seluruh kekuatan /  Sedikit yang kita nikmati di alam / Kita membiarkan hati pergi, berkah hina!

Kehidupan perkotaan adalah penuh tekanan tapi menarik. Hidup di desa selalu damai tapi membosankan. kehidupan pinggiran kota menggabungkan fitur terburuk dari keduanya: stres dan membosankan.

urban2

Kehidupan perkotaan berbeda dari kehidupan pinggiran kota atau pedesaan karena kepadatan penduduk yang menghasilkan perbedaan budaya. Ada beberapa hal yang hanya terjadi di mana terdapat banyak orang. Kota memiliki lebih musik, teater, seni, dan pusat-pusat budaya lainnya.

 

William Delaney

 

 

 




Juragan Lalapan Gemar Metal

syafaat 4
Ahmad Syafaat

lombokjournal.com

Ahmad Syafaat, 40 tahun, berharap perbedaan genre musik tak membuat pelakunya bermusuhan. Ia juga tak ingin ada stigma yang menciptakan strata jenis musik. “Ada yang mengatakan, jenis jazz sebagai musik elit, sedang dangdut digolongkan musik rakyat, musik metal malah disebut musik setan. Itu harus diluruskan,” katanya.

Tapi ‘meluruskan’ itu bukan dengan berdebat. Mempertemukan pandangan kesenian dengan berdebat, hasilnya malah melebarkan perbedaan. Musik atau kesenian, menurut Syafaat, mestinya jadi sarana menggalang persaudaraan.syafaat7

Bermusik bukan berdebat tapi memainkan musik. Ia pun mengajak para seniman Mataram, khususnya yang kerap bertandang ke Warung Jack di Taman Budaya NTB, bergembira bermain musik. Ia mengajak Agus Wintarno alias Winsa Prayitno (teater), Zaeni Muhammad (perupa), Arief Firmansah (facebooker), Dodi Subiantoro (musisi), Muzakir (vokalis lagu-lagu Koes Ploes), Lukman Blader (musisi jalanan), Ake Surya Panji (musisi tradisi) dan Wing Sentot Irawan (musisi balada dan pengelana bersepeda yang pernah berkeliling ke Asia Tenggara), membuat kelompok Kule-Kule (asalnya dari nama alat musik Ukulele).

“Daripada berdebat yang tak jelas juntrungannya, lebih baik main musik. Musik untuk menyampaikan rasa gembira, dan mengajak orang lain bergembira. Ini cara menghidupkan musik. Juga membangun kesetaraan dalam bermusik,” ujar Syafaat bersemangat. Dengan cara itu para seniman berbagai aliran menikmati sama rasa dalam bermusik.

Saat ini, REPUBLIK SABLENG Musik Rakyat, ungkapan mengembalikan musik untuk publik, mendominasi repertoar tiap Selasa di Warjack Taman Budaya NTB. Itulah semangat “sama rasa” yang didengungkan Ahmad Syafaat. Bersama seniman lainnya, ia menggagas menambah jadwal di Warjack pada hari Jum’at, bulan April mendatang.

Musik Cadas
Surabaya dikenal sebagai kota cikal bakal menjamurnya musik keras. Ahmad Syafaat yang lahir tahun 1976 di Kampung Kolombo kawasan Tanjung Perak di Surabaya, juga menggeluti musik cadas. Ibunya yang berasal dari desa Sunge Geneng, Kecamatan Sekaran, Lamongan adalah vokalis musik gambus. “Saya sejak di kandungan sudah mendengar musik,” ujar Syafaat tanpa bercanda. Ayahnya yang berasal dari Jombang, menanamkan sikap religius.

Meski saat itu hanya berbekal kursus gitar di YASMI (Yayasan Musik Indonesia), tapi lingkungan kampung Kolombo yang bisa dibilang kampung para musisi, mengasah ketrampilan dan kepekaan musiknya. Minatnya pada musik keras, ternyata alasannya ada hubungan dengan semangat di keluarganya. “Saya suka Metalica, karena lagu-lagu James Harvield sangat religius,” cerita Syafaat.

Sebagian besar lagu-lagu rock ternyata syair-syairnya bernuansa religius yang bisa menjadi renungan. Misalnya lagu Unforgiven, yang mengungkapkan rasa bersalah seorang anak pada ibunya. Atau Sad But True bicara tentang kesedihan yang membawa kebenaran. Itu lebih baik daripada gembira tapi salah. Lagu Master of Puppet juga penuh renungan.syafaat 1

“Hampir semua lagu Metalica nadanya religius. Pesan-pesan moralnya mempengaruhi saya,” katanya.

Membuka Warung Lalapan
Bahkan waktu Syafaat harus berhijrah dari Surabaya ke Mataram (Lombok), ia juga iangat lagu Metalica. Ada sebuah lagu yang berkisah tentang kerinduan akan kebebasan, dimana pun berada.

Tahun 2010, Syafaat memutuskan meninggalkan Surabaya menuju Lombok, daerah yang belum pernah didatanginya. Meninggalkan dua anaknya yang masih kecil. Ia berangkat bersama istrinya dengan menumpang sepeda motor, hanya berbekal uang Rp1 juta, untuk memulai kehidupan baru di Lombok.

Selama 6 bulan di Lombok berjualan ‘tahu tek tek’, mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan. “Saya pernah diusir orang yang melarang saya berjualan di depan tokonya,” kisahnya. Ia kemudian beralih menjual ayam goreng lalapan. Kelihatan ia jodoh dengan lalapan.

Syafaat meyakini, dengan modal 4 T (Telaten, Teliti, Temen/sungguh-sungguh, Tinemu/menemukan), akan mencapai keberhasilan. Usaha merupakan syariat yang harus dijalani manusia, hasilnya semua tergantung Tuhan. Yang penting, sebagai muslim, dalam menjalani hidup, ingat pesan Rasul ,”ightanim chomtsa qobla chomtsi”, “jagalah lima sebelum datangnya lima”. Menjaga lima yang dimaksud, menjaga kesempatan sebelum datang kesempitan, menjaga sehat sebelum datang sakit, menjaga kekayaan sebekum datangnya miskin, menjaga muda sebelum tua, serta menjaga hidup sebelum mati.

Sekarang Syafaat sudah mempunyai beberapa lapak kaki lima lalapan ayam dengan merek Sableng (sambel ngebleng alias pedas banget). Tiap hari lalapan ayamnya bisa menghabiskan 250 ekor ayam. Tapi ia tak pernah ‘ngoyo’ untuk menjadi kaya.

Berbeda saat datang ke Lombok dengan harapan tak menentu, Kini ia bisa merencanakan sekolah kedokteran anaknya di perguruan tinggi yang baik. Selain itu, sedikit banyak, ia mendukung anak-anak muda main musik dengan menyediakan alat-alat musik yang dimilikinya.

Sebab, bagi Syafaat, “choirunnas amfa ulum linnas”. “Sebaik-baik hidup adalah yang bermanfaat bagi orang lain…,” kata Syafaat mengutip hadits.

(Ka-eS)




Anggota DPD Ke NTB Bahas UU Pemda dan ASN

Rombongan Anggota DPD RI di Ruang Rapat Utama
Rombongan Anggota DPD RI di Ruang Rapat Utama

Lombok Journal

Kunjungan Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) ke Provinsi Nusa Tenggara Barat, untuk membahas Pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Benny Rhamdani Wakil Ketua Komite I yang bertindak selaku pimpinan rombongan, mengungkapkan itu, Senin (1/2/2016), saat diterima Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB H. Muhammad Nur, S.H., M.H. di Ruang Rapat Utama. Sekda saat itu didampingi anggota SKPD dan FKPD Lingkup Provinsi NTB.

Sekda H Muhammad Nur menerima anggota DPD RI di Ruang Rapat Utama
Sekda H Muhammad Nur menerima anggota DPD RI di Ruang Rapat Utama

“Saya sangat senang, karena kami diterima sangat baik. Kami sering turun ke daerah, menyerap aspirasi rakyat dan melihat langsung permasalahan yang berkembang di daerah ini,” kata Benny.
Sekda NTB, Muhammad Nur mengapresiasi dipilihnya NTB dalam Kunjungan Kerja DPD RI. Kunjungan itu, menurutnya, kehormatan bagi NTB. Pihak Pemprov NTB menganggap positif karena bisa dijadikan sarana sharing berbagai kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Hal itu akan dijadikan evaluasi demi kemajuan lebih baik.
Dipaparkan juga implikasi ketiga UU tersebut di NTB. “Peralihan kewenangan dari pusat ke provinsi, maupun kabupaten/kota serta sebaliknya, ada beberapa hal yang harus disesuaikan. Misalnya soal penataan ruang, pemerintah provinsi sulit mengendalikan alih fungsi, karena kewenangan ada di Pemerintah Kota/Kabupaten,” terang Sekda.
Menyinggung perubahan atas UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, menurut Sekda, merupakan suatu hal yang lazim dilaksanakan. Contohnya, pengangkatan pejabat daerah melalui seleksi terbuka sangat baik dan perlu dipertahankan, ungkapnya.

(Dyka/Biro Humas dan Protokol Setda Prov. NTB)